Solusi Terbaik? Bagi Siapa?

1721 Words
 Vino ganti mencermati raut wajah Sang Atasan yang masih duduk di depannya. Sepertinya dia  sedang mengukur sampai di mana dia harus bicara serta resiko apa yang bakal mengiringinya usai mengatakannya. Dan kala mendapati Nando mulai menampakkan mimik muka yang terlihat tidak sabar, Vino bagai terlecut kesadarannya. Dia memang tak dapat menunda lagi untuk berbicara.  Kepalang tanggung. Terserah setelah ini mau ngomong apa dia, hadapi saja deh, pikir Vino.  “Mas Nando, maaf. Jadi sebenarnya Kakak saya itu bukannya memerlukan bantuan saya untuk beberapa hari secara berturut-turut lalu urusannya tuntas. Itu dia Mas, yang membuat saya sebal dan terbawa uring-uringan di tempat kerja."  "Jadi apa?" Vino berdeham kecil, mulai merasa percaya diri.   "Begini, Mas. Dia memerlukan saya membantu usaha ... eng..., Keluarganya, untuk kurun waktu yang tertentu,” kata Vino hati-hati.  Sontak Nando mengernyitkan dahi. Yang terpikir olehnya, bisa jadi saat ini ada sesuatu hal yang menimpa Kakaknya Vino dan sekarang memerlukan Sang Adik untuk sedikit turun tangan membantunya. Dia berpikir, yang dimaksud Vino dengan ‘usaha Keluarganya’ adalah usaha dari Suaminya Linda. Mengingat bahwa Saudara sepupunya juga pernah mengalami hal yang mirip dengan yang mungkin tengah dialami oleh Vino sekarang, timbul empati di hati Nando. Walau tak terkatakan, dia sampai mengira bahwa Kakaknya Vino sedang ada masalah dengan Suaminya sehingga merasa harus meminta bantuan Sang Adik untuk mengamankan harta perusahaan mereka. Dipikir Nando, Kakak Ipar Vino mirip dengan Kakak Ipar dari Saudara Sepupunya, yang ditengarai terlalu lemah sehingga dimanfaatkan oleh Sekretaris yang mempunyai niat buruk untuk menguasai harta perusahaan. Namun walau berpikir demikian, Nando tak ingin mengorek lebih jauh untuk menjaga harga diri Vino. “Oke, Vino, bisa kamu persingkat? Kamu sebut saja, apa yang kamu inginkan?” tanya Nando. Vino berdeham pelan sekali lagi.  “Begini Mas Nando, karena saya sendiri belum tahu akan berapa lama saya harus membantu dia untuk mengawasi urusan di perusahaan keluarganya itu. Belum pasti. Entah dua minggu, tiga minggu atau bahkan skenario terburuk..., bisa-bisa jadi satu bulan, maka..,” Vino menjeda kalimatnya.  Nando sudah mulai memperlihatkan ekspresi wajah yang kurang sedap dipandang mata mendengar kata ‘dua minggu, tiga minggu, satu bulan.’ Dia mulai merasa bahwa Vino lupa diri.  Ngelunjak, Anak ini! Dipikirnya dia Anak Pemegang Saham, di sini apa? Jatah cuti saja yang resmi hanya 14 hari kerja untuk masa kerja satu tahun. Itu juga jarang ada yang mengambil sekaligus karena sadar diri dengan jenis pekerjaan yang digeluti. Ya kalau Seseorang ambil cuti sekaligus, nggak bisa dadakan begini mengajukan nya. Ini dia menyebut tiga minggu? Tiga minggu itu saja sudah lebih dari 14 hari kerja! Gerutu Nando dalam diam.  Vino melanjutkan ucapannya karena merasa sudah separuh jalan.  Padahal dalam hati diam-diam Vino menyumpah-nyumpah, “Sial Sial! Ini gara-gara panggilan telepon dari Mbak Linda tadi! Dan terutama, ini gara-gara Si w***********g itu! Ya dia awal dari semua kekacauan dalam Keluargaku! Kalau nggak karena tinggal sama Si Jalang itu, pasti Papa nggak akan kena teguran dengan mengalami kecelakaan segala. Jadi terimbas kan aku nih, jadi ikutan repot!”  “Kalau Mas Nando mengijinkan, bagaimana jika..., dalam satu minggu satu meminta ijin satu hari kerja secara penuh? Maksudnya saya, sepanjang hari? Atau..., dalam satu minggu saya meminta ijin dua kali, masing-masing selama setengah hari kerja? Jadi paginya saya bisa ke tempat Kakak saya dulu, lalu setelah makan siang saya kemari. Kebetulan jarak dari kantornya kemari masih memungkinkan untuk saya tempuh dengan memanfaatkan sebagian jam makan siang.”  Nando belum menanggapi ketika Vino kembali mengemukakan usulan yang berbeda, “Atau sebaliknya? Bagi saya sama saja. Saya..., berharap, semua urusan ini bisa tuntas maksimal tiga minggu lamanya. Harapan saya sih lebih cepat. Dan kalau Mas Nando tidak keberatan, semua waktu yang saya pakai untuk urusan di luar urusan pekerjaan dan tanggung jawab saya di sini, saya sangat berterima kasih. Saya rasa, jatah cuti saya masih banyak,” ucap Vino.  Nando tidak pikir panjang dan mengatakan, “Tidak masalah. Tetapi dengan satu syarat.”  “Syarat apa Mas?”  “Kamu perbaiki sikap kamu kepada Kolega kerjamu, dan pastikan tidak ada pekerjaan yang tertunda. Dan, zero mistakes. Kamu bisa jamin itu kan?.”  “Siap Mas. Baik kalau begitu. Tetapi...”  “Apalagi?” “Saya juga terpikir, saya tidak mengambil ijin saja, pekerjaan begitu banyak. Kalau Mas Nando mengijinkan saya mengambil cuti, nanti bagaimana?”  “Nanti saya yang atur. Saya akan meminta bantuan dari Tim lain untuk jangka waktu tertentu. Seperti yang selama ini, Tim kita juga sering diperbantukan untuk menutup kekurangan kru mereka pada waktu load kerja sedang banyak atau ada kru yang sakit.”  “Baik kalau begitu. Terima kasih banyak sebelumnya, Mas.” “Lalu kamu sendiri lebih memilih yang mana? Cuti seharian atau setengah hari?”  “Bagi saya tidak ada bedanya. Terserah arahan dari Mas Nando saja.” Nando berpikir sejenak. “Hm. Begini saja Vino.”  “Ya, bagaimana Mas?”  “Saya memberi kamu kelonggaran maksimal satu setengah bulan untuk mengurusi hal ini, tetapi tidak berturut-turut. Dan saya sarankan lebih baik kamu mengambil cuti dua kali dalam satu minggu, masing-masing setengah hari.”  “Baik, Mas Nando, tidak masalah.”  “Kamu tahu mengapa?” Vino menggelengkan kepalanya karena pikirannya memang mendadak buntu. Dia juga memang sedang enggan untuk memeras otak. Sekarang dia bagai terjebak dengan usulan yang dikemukakannya sendiri. Dengan adanya persetujuan dari Nando, lantas mau diapakan waktu cuti yang bakal dia punyai itu?  Masakan aku harus bermalas-malasan di tempat kost? Atau memanfatkan waktu tersebut untuk mengincar ‘Buruan’ yang baru? Mana mungkin mengincar Target yang baru bisa ditentukan jadwal waktunya masing-masing setengah hari? Yang ada aku malah jadi nggak fokus? Dan memangnya Para Cewek itu begitu bodohnya dan nggak curiga kalau aku ‘menempel’ mereka dengan jadwal tertentu? tanya Vino dalam hati.  Rasanya dia ingin mengumpat dirinya sendiri karena telah melakukan sebuah kebodohan yang pada akhirnya menyebabkan kesulitan bagi dirinya sendiri. “Kembali ke soal bidang pekerjaan di sini. Seseorang yang hanya meminta ijin selama setengah hari itu berbeda dengan seharian. Artinya pada hari tersebut dia dapat tetap hadir di sini dan mengerjakan tugasnya.” “Saya mengerti, Mas Nando.”  “Dan ingat, pastikan kamu tetap bisa dihubungi sama Rekan kerja kamu walau kamu belum datang di kantor atau sudah meninggalkan kantor.”   Ya elah Mas Nando, yang begitu pakai disebut segala. Memangnya selama ini nggak begitu? Kadang aku baru sampai tempat parkir saja sudah mendapatkan telepon lagi. Ujung-ujungnya juga aku naik lagi ke atas membereskan apa-apa yang nggak mau aku tunda, ejek Vino tanpa suara. “Oh, pasti, Mas. Nggak ada yang berubah.”  “Oke, kamu segera tentukan harinya. Nanti kamu buat ijin cutinya lewat aplikasi. Saya akan menyetujuinya secara online.”  “Baik. Terima kasih banyak, Mas.  “Oke. Sekarang kamu tunggu apa lagi?” tanya Nando. Vino tergeragap. “Eng, maksud Mas Nando, pembicaraan kita sudah selesai?” tanya Vino sopan. “Belum,” jawab Nando kalem. “Oh. Silakan dilanjutkan kalau begitu, Mas.” “Memangnya apa yang kamu tunggu?” tanya Nando lagi. Vino jadi bingung.  “Maksud Mas Nando bagaimana?” tanya Vino yang mulai bingung karena tak mendapatkan petunjuk, hendak ke arah mana topik pembicaraan Nando ini. “Telepon Kakakmu sekarang juga. Katakan bahwa kamu bisa membantunya. Sekalian sebutkan jadwal pastinya. Dengan begitu. Urusannya bisa terselesaikan.” Vino merasa tertohok.   Mampus deh!  Kena nih. Ini namanya kejeblos ke lubang yang digali sendiri. Kenapa akhirnya jadi begini? Keluh Vino dalam diam.  “Tunggu apa? Kamu tahu pasti saya dan kamu bukan sedang kebanyakan waktu kan? Nah, urusan menghubungi Kakak kamu saja masih kamu tunda?” desak Nando. Seolah dia juga ingin memastikan, Vino benar-benar memanfaatkan sebaik mungkin solusi yang ia berikan. Vino yang merasa mati langkah tidak mempunyai pilihan lain. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menghubungi Sang Kakak. Bagaimanapun, dia cukup bersyukur karena tak perlu mendapatkan selaksa pertanyaan tak penting yang harus dia jawab, yang berkatian dengan urusan Keluarga-nya. Panggilan telepon dari Vino segera disambut oleh Linda yang sempat tercengang. Itu terlalu mengejutkan. Juga terlalu cepat baginya. Namun Linda menebar harapan baik di hatinya. Dijawabnya panggilan telepon dari Vino.  “Hallo Mbak Linda,” sapa Vino begitu mendengar Linda mengucapkan kata ‘Hallo’.  “Iya Vino. Bagaimana? Kamu sudah punya waktu untuk bicara sekarang?”  Hampir saja Vino berubah pikiran. Masiiih saja, cara jawabnya mengesalkan, batin Vino jengkel.  Vino langsung ke intinya dengan berkata, “Begini Mbak Linda. Atasanku sudah menyetujui untuk memberikan aku ijin. Tapi aku hanya bisa dua kali datang ke kentor sana untuk mengecek ya, dalam setiap minggu. Kalau nggak pagi, ya setelah jam makan siang. Nggak bisa di luar waktu itu.” Linda terkejut luar biasa mendengarnya. Ini lumayan melebihi ekspektasi nya. “Kamu serius kan, Vin?” “Ya.” “Terima kasih banyak, Vino,” ucap Linda tulus.  Vino tak tahu harus menjawab apa.  “Kamu tahu nggak? Itu sempurna sekali. Lumayan bisa membantu aku dan Mama. Jadi aku sama Mama juga bisa bergantian datang ke kantornya. Istilahnya memonitor kegiatan sehari-hari di kantor. Sekali lagi, terima kasih banyak. Teknisnya nanti kita bahas, ya. Supaya kalau ada sesuatu hal yang mendadak, bisa kita tangani segera.”  Vino enggan mendengar rinciannya. Dia segera menegaskan sesuatu hal.  “Tapi aku hanya diberikan kesempatan maksimal selama satu setengah bulan, ya. Aku harap urusan di sana sudah selesai bahkan dalam hitungan minggu,” kata Vino cepat.  “Iya. Iya. Kita berharap Papa segera sembuh.”  “Oke, Mbak. Itu saja ya. Daagh!”  “Daagh!”  Hm. Akhirnya, Si w***********g itu bakal menikmati juga hasil keringatku. Apa boleh buat. Hitung-hitung aku lakukan ini untuk Mama sama Mbak Linda, dan terutama supaya terbebas dengan keruwetan urusan dengan Mas Nando, kata Vindo tanpa suara. Bersamaan dengan waktu Vino menutup hubungan telepon dengan Sang Kakak, terdengar suara Nando, “Oke. Silakan kembali bekerja. Bicara baik-baik dengan semua Kolega.”  “Baik, Mas. Maafkan apa yang sempat terjadi.” “Jangan lupa minta maaf pada Mariska.”  “Siap, Mas,” ucap Vino selekasnya.  Dia sadar benar bahwa dirinya tidak punya pilihan lain. Apalagi yang lebih baik dari itu.   Ya sudah deh. Apa salahnya sih, meminta maaf? Memang aku salah kan ke dia? Dan dia sendiri juga mungkin lagi baper. Baru diancam putus sama Pacarnya karena keasyikan kerja melulu, mungkin, pikir Vino ringan, seringan hatinya yang bagai baru terbebas dari suatu himpitan yang mengganggu.  Nando mengacungkan ibu jarinya.  *  $ $ Lucy LIEstiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD