Vino diam dan berpikir.
Dengan otak cerdasnya yang mempunyai perhitungan cukup teliti, Vino menimbang baik-baik untung dan ruginya sesaat.
Otaknya yang sangat terlatih untuk hal-hal menyangkut material itu lekas menjalankan tugasnya dengan baik, mengkalkulasi secara cermat. Kalau sudah begini, otak analisa yang dimiliki Linda maupun Bu Astri tampaknya mendapat rival berat.
Hasilnya tak mengecewakan. Dia bagai mendapatkan sebuah titik terang setelahnya.
Seolah-olah hatinya menghasut dirinya, “Sekali tepuk, dua target terengkuh. Tuntaskan sekarang juga!”
Di a menyeringai.
“Hm. Siapa bilang begitu? Aku kan sudah kangen berat sama kamu. Mana mungkin aku melewatkan kesempatan buat menemani kamu di akhir pekan ini?” ucap Vino dengan suara yang mendayu-dayu. Jurus standard Seorang Vino dalam memikat hati Para Wanita, yang sampai dengan detik ini masih teruji keampuhannya. Belum pernah gagal.
Akibatnya, Klara terpengaruh. Seketika hati Gadis itu bagai melambung tinggi. Tiada tercegah lagi. Dan Klara memang tak hendak menyangkal alangkah dia senang mendengar rayuan gombal Vino. Diam-diam dia malah semakin terkagum pada Sosok Vino.
Vino ini sungguh Cowok yang fokus dalam bekerja. Karenanya, aku maklumi semua ‘kealpaan’nya yang mengabaikanku begitu saja beberapa hari ini. Padahal aku sempat bertanya-tanya sendiri, kok bisa-bisanya dia seperti itu? Setelah mendapatkan kesempatan mencium pipiku pula, lalu main langsung menghilang begitu saja? Tapi semua jadi termaafkan setelah aku tahu alasannya. Ternyata dia memang sibuk bekerja. Nggak apa. Aku sendiri toh juga hampir mirip ritme kerjanya dengan dia, jadwalnya seringkali nggak bisa ditentukan kapan luangnya, kapan padatnya. Bukan sepenuhnya tergantung faktor internal soalnya, pikir Klara.
“Klara Sayang, jadi bagaimana? Apa masih berlaku undangannya tadi buatku?” tanya Vino.
Klara sedikit terkejut.
“Tentu saja masih berlaku, dong. Tapi kamu bagaimana nanti untuk atur waktunya?”
Ada bias kecemasan dan perhatian yang mendalam pada suara Klara.
Vino merasakannya. Dan dia sangat menikmatinya dalam rasa puas.
Rasanya dia ingin menandak kegirangan, bagai Seorang Tukang pancing yang mendapati umpan di kail nya sampai ke sasaran.
Kena deh kamu! Kata Vino tanpa suara.
“Apa sih yang nggak bisa, buat kamu, Klara Sayang? Gampang, nanti aku atur-atur. Aku bakal kebut semua pekerjaanku di hari-hari ini. Tapi aku mau minta bayaran nih,” ujar Vino.
Sebuah senyum nakal tersungging di bibir Vino.
“Hah? Bayaran? Maksudmu bagaimana, Vin?”
Pertanyaan Klara demikian serius. Dipikirnya Vino juga serius mengatakan soal bayaran, dalam konteks sebagai Pekerja di bidang media.
“Hm. Aku kan sudah bersedia menemanimu di akhir pekan nanti. Nah, kalau hari Minggu Siang sampai sorenya, bagaimana kalau gantian kamu yang menemaniku?”
“Mau ke mana? Soalnya aku pasti nggak akan menunda untuk melakukan review. Mungkin minggu paginya. Selama ini sedapat mungkin aku membiasakan hal itu, supaya nggak ada yang terlewat, demi mempertahankan kualitas pelayanan terhadap Para Klien.”
Vino sengaja mendesah kecewa.
“Ya sudah deh kalau begitu.”
“Lho, aku kan belum bilang bahwa aku nggak bisa. Kamu kan bilang Minggu siang sampai sore? Benar, nggak? Untuk kemana? Aku pikir, aku mau melakukan review atas event itu pada Minggu paginya. Aku berharap, siangnya sudah selesai,” sahut Klara diiringi dengan tawa renyah.
“Hm, kamu ya Sayang. Mulai pintar balas aku, ya?”
Terdengar suara tawa renyah Klara.
“Jadi, mau kemana?”
“Aku pengen quality time saja sama kamu. Kangen, tahu nggak!”
Klara tertawa lepas.
“Kok malah ketawa lagi? Bisa, kan?”
“Boleh deh. Jadi hari Minggu ketemu di mana?”
“Kenapa langsung hari Minggu? Sabtunya bagaimana? Aku jemput kamu di kantor, atau kita ketemu di tempat event saja?”
“Pasti harus ketemu di tempat event. Karena aku harus datang jauh lebih awal untuk memastikan semua pekerjaan tim aku beres. Kamu pasti bakalan bosan kalau menungguiku. Lagi pula kamu kan sedang banyak pekerjaan.”
“Oke kalau begitu. Tapi aku juga pasti akan mengusahakan untuk datang agak awal. Siapa tahu ada yang bisa aku bantu di lokasi nanti. Kamu nggak usah bawa kendaraan ya. Pulangnya aku antar kamu ke apartemen.”
“Oke.”
“Nanti hari Minggu juga aku jemput kamu di tempat kamu kasih briefing.”
“Boleh. Bye.”
“Bye, Klara sayang. Aduh, aku sudah nggak sabar buat menunggu sampai hari Sabtu datang.”
Klara kehabisan kata-kata.
Jauh di lubuk hatinya, Klara mengakui bahwa dirinya juga sudah sangat rindu untuk bertemu dengan Vino.
*
“Ma, jadi terakhir kalinya Klara ketemu sama Si Randy itu pas misa dalam rangka peringatan tujuh hari kepergian Tante Virny?” tanya Irene sembari mengunyah potongan rujak di piringnya dengan nikmat.
Bu Ellen memerhatikan mimik muka Putri Pertamanya yang tampak demikian menikmati rujak yang sengaja dipersiapkan oleh Asisten Rumah Tangga mereka kala mengetahui bahwa Irene akan singgah untuk makan siang di rumah.
“Kamu ini, ini masih dalam rangka mengidam, ya?” olok Bu Ellen.
Irene menghentikan sesaat gerakan tangannya mencocol potongan mangga muda ke sambal kacang. Ditatapnya wajah Sang Mama.
Dia sedikit cemberut ketika mengucapkan, “Jawab dulu kenapa, Ma? Jangan komentar soal lain dulu."”
Bu Ellen menepuk pundaknya dengan lembut dan berkata, “Iya. Sepertinya begitu. Tapi Mama senang, melihat kamu makan rujak dengan lahap. Kamu sudah nggak mengalami mual lagi, kan?”
“Masih. Terutama kalau pagi. Tapi Si Baby ini benar-benar pengertian, kalau sesudah mandi dia nggak begitu lagi. Jadinya, aku tetap diijinkan untuk berangkat kerja sama Dhika.”
Bu Ellen tersenyum.
“Mama senang mendengarnya. Jauh lebih senang dibandingkan saat mendengar bahwa kamu mulai terlambat datang bulan dan setelah melakukan pemeriksaan ternyata hasilnya kamu positif hamil.”
Irene membalas senyum Sang Mama.
“Untung saja Mama nggak seheboh Mamanya Dhika. kalau sama, aduh Ma, bisa pusing aku. Apa-apa dilarang sama Mamanya Dhika begitu tahu aku hamil. Malah aku diminta untuk nggak kerja dulu. Uh, enak saja. Dhika juga ikut-ikutan tuh jadinya. Makanya aku senang, Si Baby benar-benar bisa bekerja sama dengan baik deh. Dia nggak terlalu merepotkan. Malahan termasuk santai, Ma, hamilnya, kalau kata Orang. Aku cuma lebih gampang capek dan suka pusing mendadak saja. Dan soal itu, aku tahu diri untuk nggak bekerja dengan kecepatan dan bobot seperti sebelumnya.”
Bu Ellen mengelus kepala Irene. seolah dirinya amat takjub lantaran Putri yang dulu dia lahirkan, kini sudah dewasa dan tengah menjadi Calon Ibu.
Dia tersadar betapa waktu begitu cepat berlalu.
“Padahal menurut Papa kamu istirahat dulu atau bekerha dari rumah juga nggak apa, lho. Tunggu sampai kondisimu lebih stabil, baru kalau mau kerja lagi boleh-boleh saja. Papa kan bisa mengalihkan pekerjaanmu ke Orang lain.”
Irene menggeleng tegas.
“Ih! Nggak mau! Bisa tambah pusing aku kalau di rumah seharian. Mau ngapain? Nanti yang ada Mamanya Dhika malahan bisa datang terus, nyuruh aku minum vitamin ini, vitamin itu supaya kandungannya kuat lah, inilah, itulah. Disangkanya kalau lerja dari rumah itu bisa sambil tidur-tiduran dan main+main, tanpa target. Malas ah, Ma. Pusing aku diperlakukan seperti Orang sakit. Hamil kan bukan penyakit, Ma. Lagi pula kasihan Papa, nanti jadi repot.”
Bu Ellen menatap Sang Putri Sulung secara intens.
Mama tahu kok, alasan utamamu. Kamu itu kan agak sulit dalam mendelegasikan pekerjaanmu. Kamu juga agak sulit untuk memercayai bahwa Orang lain bisa mengerjakan apa yang kamu kerjakan persis seperti caramu mengerjakannya. Dengan kondisi macam itu, ya mana mungkin kamu rela pekerjaanmu diambil alih sama Orang lain? Yang ada ya seperti sekarang ini, kamu memaksa diri untuk kuat. Dan untungnya Bayi dalam kandunganmu juga bisa diajak kompak, batin Bu Ellen yang sengaja mengingatkan kepada Sang Suami untuk menyediakan satu sofa bed yang nyaman di ruangan kerja Irene sebagai antisipasi kalau Putrinya itu merasa lelah atau mengantuk tetapi berkeras tidak mau pulang ke rumah.
Bu Ellen tersenyum dan mengelus lagi kepala Irene.
Irene meresapinya.
“Waktu cepat sekali berlalu. Perasaan Mama, baru kemarin Mama gendong kamu di tangan Mama. Eeeeh..., sekarang kamu sudah mengandung. Mama sudah tua, ya, sebentar lagi sudah nenek-nenek,” ucap Bu Ellen dengan pandangan menerawang.
“Mama...”
Irene langsung terbawa perasaan. Matanya berkaca-kaca.
Bu Ellen panik dan segera menepuk pipi Irene.
“Hei..., jangan nangis dong, Sayang.”
Irene tersenyum. Dia sungguh menikmati ketika Sang Mama membelai-belai rambutnya bak Anak kecil.
“Aku nggak nyangka deh, Ma, Dhika sama Papa dan Mamanya bisa sesenang itu sewaktu tahu bahwa aku hamil.”
“Papa sama Mama juga. Bahkan Klara. Dia sampai menjerit kegiatan.”
"Masa sih?"
"Iya."
“Nah, itu dia! Rara!”
Suara Irene yang cukup keras dan tiba-tiba itu membuat Bu Ellen terkejut. Suasana haru yang sempat terasa sebelumnya, seketika lenyap tanpa bekas.
“Kenapa dengan Rara?”
Irene tersenyum miring.
“Hm. Gara-gara Mama nih. Pertanyaanku nggak langsung dijawab malah bahas ini itu kesana kemari, hampir kelupaan kan ,jadinya.”
Bu Ellen tersenyum.
“Kamu itu, Sayang. Nggak hamil saja suasana hati kamu begitu cepat berubah. Ya apalagi dalam keadaan hamil begini, ya,” olok Bu Ellen.
Irene mengerucutkan bibirnya.
“Godain terus, Ma! Ejekin terus sampai puas.”
“Lho, Mama itu bicara kenyataan, Sayang. Kenapa, kenapa? Ada apa dengan Rara?”
“Itu Ma, kalau dia sama Randy belum juga ketemu, berarti sudah lumayan lama, ya?”
“Ya habis harus bagaimana?”
“Papa sama Om Suwandi nggak ada ngomong apa-apa?”
“Sayang, Om Suwandi juga masih dalam keadaan berduka. Biar saja dulu.”
“Itu dia. Semestinya Rara itu sering-sering ke restaurant Om Suwandi.”
“Hah? Nggak mungkin dia mau.”
“Lho, kenapa, Ma? Kan keluarga kita sama keluarganya Om Suwandi akrab. Lagi pula, aku tahu sesuatu lho, Ma. Baru tadi pagi. Aku yakin Mama belum tahu.”
“Apa?”
“Aku nggak sengaja mendengar pembicaraan Papa sama Om Suwandi di telepon.”
“Soal apa?”
“Aku nggak terlalu jelas mendengarnya. Karena sepotong-sepotong. Tapi intinya, sampai dengan detik-detik menjelang kepergiannya buat selamanya, Tante Virny itu katanya masih mendambakan Rara sebagai Menantu idamannya lho, Ma.”
“Masa? Mama malah belum tahu.”
Irene langsung memasang tampang super serius.
“Nah, kan? Aku yakin Papa belum ngomong ke Mama. Makanya, hari ini aku sengaja makan siang di sini. Selagi Papa ada jadwal makan siang sama salah satu Klien-nya.”
“Kamu ini memang penyampai pesan yang paling awal, ya. Nggak heran kadang informasinya bisa keliru karena terburu-buru dan belum diuji kebenarannya. Contohnya, sewaktu kamu kasih tahu soal jadwal pemakaman Mendiang Tante Virny,” kata Bu Ellen pelan.
Irene mencebik.
“Terus deh Ma, ejekin terus. Tapi Mama ngaku deh, kalau bukan dari aku, Mama bakal dengar dari mana, hayo? Dari Papa? Aah...! Bisa nanti malam atau besok-besok. Itu juga kalau Papa menganggap serius.”
Sang Mama tertawa geli.
“Irene, sekarang ini kamu harus lebih memerhatikan dirimu dan Bayi yang ada dalam kandunganmu. Jangan merepotkan dirimu dengan hal lainnya dulu. Termasuk, urusan Rara.”
“Hal lain, oke. Aku setuju. Tapi enggak kalau menyangkut Randy dan Rara.”
“Memangnya ada apa sih kok kamu begitu semangatnya?”
“Mama ini bagaimana sih? Mama sama Mendiang Tante Virny itu akrab. Papa da Om Suwandi juga. Kurang cocok apa coba kalau Randy segera berjodoh sama Rara?”
“Ya tapi kan enggak harus sekarang dibicarakan.”
“Kenapa, Ma?”
“Waktunya belum tepat. Kamu tahu sendiri dong, Rara itu sedang sibuk. Dia banyak mendapatkan kepercayaan untuk menangani event penting. Dia saja nggak kunjung nongol ke rumah, kok belakangan ini. Tapi Mama maklum akan kesibukan dia. Yang penting dia sehat terus dan bahagia. Itu sudah lebih dari cukup buat Mama.”
“Ih, Mama ini. Jangan di los dong Ma. Nanti kalau dia terus keasyikan kerja terus lupa untuk cari Pacar, bagaimana?”
Bu Ellen mesem dan menjawil hidung Irene.
“Kamu ada-ada saja, Irene! Sudahlah, yang penting bukan sekarang saat yang tepat buat membicarakan hal itu.”
“Memangnya Mama nggak suka sama Randy? Padahal aku cukup suka lho sama dia. Orangnya itu baik, Ma.”
“Ini bukan masalah suka atau nggak. Biarkan saja mengalir. Jangan didorong-dorong terus. Kan Randy juga kabarnya sedang sibuk, nggak hanya Rara.”
“Ya justru itu. Karena mereka berdua sama-sama Orang sibuk, kita Ma yang harus bantu mempertemukan mereka.”
Bu Ellen menepuk lembut pundak Irene.
“Sambil dihabiskan rujaknya. Kamu kalau sudah keasyikan bergosip, wah..., keterusan deh..”
“Ih! Siapa juga yang bergosip? Ada yang penting yang mau aku sampaikan, Ma.”
Sang Mama menyipitkan matanya dan bertanya, “Apa?”
Irene memasang tampang super serius, lebih dari yang tadi. Ini membuat hati Sang Mama berdebar dan bertanya-tanya dalam diam. Sudah bukan rahasia lagi, Irene ini mempunyai kelebihan sebagai Seseorang yang paling cepat dalam mendapatkan informasi di dalam Keluarganya. Hanya saja kelemahannya, sering kali dia terlalu terburu-buru untuk segera meneruskannya kepada Orang lain sebelum memastikan akurasi atas informasi itu, atau bahkan mengetahui secara keseluruhan dan kebenaran dari informasi tersebut.
Kira-kira Irene mau bilang apa? Dan perlu langsung aku tanggapi atau nggak? Batin Bu Ellen pula, mengingat perangai Irene yang gemar menciptakan suasana heboh itu.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $