Vino tidak habis pikir, mengapa keadaan begitu cepat berubah. Dan bukan hanya keadaan, tetapi juga suasana hatinya. Tepat, suasana hatinya, dan posisinya!
Beberapa saat yang lalu, Linda, Kakaknya memeluknya dengan hangat dan mengucapkan terima kasih berkali-kali lantaran menganggap dirinya berjiwa besar, mau menyumbangkan darah buat Sang Papa. Saat itu Linda mengacak-acak rambutnya dengan sayang dan memujinya. Beberapa saat lalu dia juga tersenyum puas mendapati Santi yang tampak tahu diri, menjauh dari Keluarganya dan memberi ruang yang cukup bagi mereka.
“Bagus deh w***********g itu tahu diri juga. Dia memang nggak layak ada di sini. Harusnya dia pergi jauh-jauh. Ke neraka saja sekalian,” kata Vino tadi.
Vino hanya dapat mengira-ngira, tentunya Sang Mama dan Kakaknya telah menasehati Santi begitu lama. Hampir saja ada selintas iba menyapa hati Vino ketika melihat ekspresi takut di wajah Santi yang sudah tak karuan, kala tatapan mata mereka tidak sengaja bertemu. Dan hampir saja dia merasa kasihan lantaran melihat mata Santi begitu bengkak karena kebanyakan menangis.
“Huh. Dia pasti lebih takut kehilangan sumber penghasilan. Bukan karena benar-benar sayang sama Orang yang secara biologis harus aku panggil Papa,” dumal Vino tadi, yang berbuah injakan lembut di kakinya. Injakkan kaki dari Linda. Juga tepukan lembut di punggungnya dari Sang Mama.
Sementara Tomo terlihat mengobrol dengan Kakak Iparnya, Helmi.
Dan baru beberapa saat lalu, dia merasa dirinya berharga karena melihat ada tatap bangga pada sorot mata Sang Mama atas apa yang dia lakukan. Dia juga merasakan betapa Sang Mama tak mau melepaskan genggaman tangan kepadanya di kala menanti kabar tentang perkembangan kesehatan Sang Papa. Mereka sekeluarga, bahkan Tomo, Temannya yang tinggal satu pondokkan dengannya, duduk berdekatan. Sementara Santi, berdiri agak jauh, berusaha keras tidak menatap ke arah mereka. Santi lebih banyak menunduk, menatap lantai yang ia pijak.
Lantas beberapa saat lalu juga, mereka mendapatkan kabar yang melegakan dari Dokter, bahwa operasi yang dilakukan pada kaki Sang Papa berhasil dengan baik. Dokter juga memberitahu bahwa Sang Papa memerlukan waktu untuk pemulihan kesehatannya sebelum diijinkan kembali ke ruang rawat inap.
Setelah itu, ketika Sang Papa telah kembali ke ruang rawat inap, Vino melihat Sang Mama dan Kakaknya bercakap-cakap. Santi tetap tak berani mendekat. Vino juga menyarankan Tomo untuk segera kembali ke tempat kost karena fajar telah menyingsing sementara dirinya sendiri sudah meminta ijin kepada Sang Produser, untuk tidak masuk kerja hari ini. Saking Vino enggan menguak terlalu jauh tentang keluarganya, dia lebih memilih alasan bahwa dirinya sakit ketimbang mengatakan absennya dia dikarenakan urusan yang menyangkut diri Sang Papa.
Vino hanya mengatakan bahwa jika kondisinya membaik, dia akan tetap masuk walau menjelang sore hari. Dan Sang Produser tidak mempermasalahkannya. Sang Produser sepertinya paham, belakangan ini memang Vino sering bekerja lembur. Malahan Sang Produser berkata sebaiknya dia beristirahat saja agar tidak jatuh sakit.
“Supaya kondisimu fit dan besok bisa bekerja secara optimal,” demikian pesan dari Sang Produser kepadanya tadi.
Seperti itulah.
Semua tampak serba lancar bagi Vino. Tomo juga tidak banyak bicara ketika meninggalkan rumah sakit dan berpesan pada dirinya agar tidak ragu menghubungi Tomo bila memerlukan bantuan. Dan jawaban Vino hanya satu, “Nggak usah ngomong apa-apa ke Anak-anak, ya. Gue enggak kepengen mereka pada menengok Bokap gue.”
Tomo sudah ingin memprotes dengan mengatakan, “ Termasuk Julian?”
Dan jawaban Vino tegas tadi itu, “Ya. Bahkan dia nggak perlu tahu gue nggak sedang di tempat kost sekarang.”
Semua tampak lancar dan sesuai dengan kemauan Vino. Tomo yang tidak membantah. Keadaan yang dinilainya serba mendukungnya. Dia sudah berpikir setelah ini keadaan akan normal kembali. Dia melanjutkan hidupnya, demikian pula Keluarganya.
Sayangnya, harapannya meleset jauh.
Kini segalanya berbalik.
Dan dia curiga, itu adalah hasil pembicaraan Sang Mama dengan Kakaknya, serta sesekali ditimpali anggukan oleh Kakak Iparnya. Dia juga curiga, jangan-jangan hasil ini akibat hasutan dari Santi.
Dia sudah curiga ketika Sang Kakak menariknya keluar dari kamar perawatan.
Apalagi tatap mata Sang Kakak juga ditengarainya ‘ada maunya.’
“Kenapa, Mbak Linda?” tanya Vino tak sabar.
Dia sudah mendapatkan kepastian bahwa kondisi Papanya baik-baik saja. Sang Papa juga sudah menatapnya dengan tatapan penuh terima kasih.
Ada keharuan di wajah Sang Papa, yang tak tersembunyi kan. Sepertinya Sang Mama sudah sempat membisikkan ke telinga Sang Papa akan perbuatan baik yang telah dia lakukan. Jelas, Vino ingin lekas pulang ke tempat kost. Dia mau istirahat. Dia mau tidur beberapa jam sehingga dapat tetap berangkat bekerja sore hari nanti.
“Vin, Mbak bangga atas apa yang kamu lakukan.”
“Sudah Mbak. Basi. Nggak usah dibahas terus. Lebay,” elak Vino enggan.
Linda berdecak.
“Kamu itu,” kata Linda pelan.
“Mbak tadi sempat berdiskusi sama Mama. Mas Helmi juga setuju sama pertimbangan Mbak. Vin, boleh kalau Mbak minta tolong lagi?”
Perasaan Vino sudah mulai tidak enak mendengarnya.
“Minta tolong apa lagi? Mau suruh aku memaafkan Si Jalang itu?”
Linda menepuk pundaknya.
“Jangan marah-marah terus. Cepat tua nanti kamu,” kata Linda dengan nada rendah. Pertanda bahwa dirinya sudah lebih lega sekarang. Beda sekali dengan kepanikannya ketika mengabarkan tentang kecelakaan yang dialami oleh Pak Danang. Setidaknya, Vino senang semua itu telah berlalu.
“Kamu kapan bisa cuti? Sudah punya hak cuti kan, Vin?” tanya Linda.
Dahi Vino mengernyit seketika.
“Apa nih maunya? Mau suruh aku menjaga Papa di sini? Itu kan ada Si Jalang. Suruh dong dia yang merawat sampai sembuh. Jangan maunya pas lagi sehat dan bisa diporotin uangnya doang. Awas ya kalau aku sampai tahu justru Mama yang lebih banyak di sini untuk merawat. Itu nggak adil. Pas sehatnya sama Siapa eh pas sakit sama Siapa,” kecam Vino.
“Bukan itu. Soal itu sudah diatur. Nggak ada masalah. Kan ada Anak buah Papa juga. Bisa lah.”
“Terus apa?”
“Vin..., boleh nggak untuk sementara waktu...,” Linda menjeda kalimatnya. Dia tampak ragu mengutarakan apa yang ada di pikirannya.
“Apa sih? Aku sudah mengantuk ini Mbak. Aku kepengen pulang ke kost.”
“Sabar.”
“Cepetan makanya.”
Linda menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya. Dia tampak ragu sendiri membayangkan akan seperti apa reaksi Sang Adik setelah dia mengungkapkan hasil kesepakatan dirinya dengan Sang Mama tadi.
“Vin.”
“Cepatan, Mbak. Nggak usah kelamaan.”
Linda berdeham.
“Jadi begini, Mbak sangat berharap, kamu sudah bisa mengambil cuti sekarang. Nggak usah lama, mungkin satu minggu. Atau dua minggu tapi selang-seling. Mbak butuh bantuan dari kamu.”
“Yang jelas kalau ngomong, nggak usah muter-muter khas Cewek,” gerutu Vino.
Linda menyabarkan dirinya.
“Vin, Papa itu kan sudah agak umur, ya. Kemungkinan besar pemulihan kesehatannya nggak akan secepat Orang muda.”
“Ya terus?”
“Akan cukup lama kalau menunggu sampai Papa kembali berkantor. Sementara kita tahu, yang mengatur operasional kantor kan hanya Papa.”
Vino membuang muka. Dia sudah mulai tahu arah pembicaraan Linda akan kemana.
“Aku nggak bisa. Aku punya tanggung jawab di kantorku. Aku ini Pegawai biasa. Lagi pula aku nggak begitu tahu soal operasional kantor itu,” elaknya cepat.
Linda mengembuskan napas.
“Vin, Mbak nggak minta supaya kamu berada di kantor itu setiap hari. Lagi pula Papa itu Seorang Pekerja keras. Mana mungkin sanggup berlama-lama pemulihan di rumah? Papa juga pasti segera kerja, meskipun dari rumah. Yang Mbak perlukan itu...”
“Sudah Mbak. Aku nggak mau. Nggak sudi aku, kerja untuk si Jalang itu,” potong Vino secepat angin.
“Apa sih kamu tuh? Kok sampai ke sana mikirnya?”
“Ya itu jelas. Dengan menggantikan fungsi Papa, walaupun sekadar mengawasi kegiatan operasional, aku kan keluar keringat. Menghabiskan waktu, mengabaikan kepentinganku dan menghasilkan pendapatan untuk perusahaan. Kemana uangnya mengalir? Sebagian pasti ke Si Jalang itu, kan? Juga ke Anak-anak dia. Huh! Nggak sudi aku menafkahi dia dan hasil perbuatan nafsu binatang dia walau secara nggak langsung!”
Linda mulai kehilangan kesabaran.Terutama karena kata-kata Vino sangat kasar.
Aku tahu sih Vino muak sama Santi. Tapi tetap, dendam kesumat dia itu nggak ada bagus-bagusnya buat dia. Yang ada hati dia sendiri yang judeg. Mana mulutnya makin rusak saja Anak ini, keluh Linda tanpa suara.
Linda bersedekap dan menarik napas panjang sebelum akhirnya melempar kalimat ini, “Vin, itu artinya kamu nggak mau menafkahi Mama juga? Kamu tahu kan, pendapatan perusahaan juga merupakan pendapatan Mama? Kamu tahu Mama masih memiliki bagian terbesar di perusahaan itu?”
Vino terbungkam.
Apa yang diungkapkan oleh Linda seumpama pukulan telak buatnya. Dia tak berkutik. Tak kuasa untuk mengingkari kenyataan itu.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $