Semenjak Sang Mama telah sepenuhnya melepaskan rutinitas yang berhubungan langsung dengan kegiatan operasional perusahaan, perubahan demi perubahan terjadi.
Pak Danang memulai terobosan baru demi kemajuan perusahaan yang lebih pesat. Sebab menurutnya, di masa sebelumnya yakni di kala Sang Istri masih banyak berperan, dia menilai Sang Istri terlalu banyak ‘bermain aman’ dan sekadar memastikan perusahaan tetap berjalan untuk mengayomi dan memberikan penghasilan rutin kepada segenap Pegawai mereka saja. Karenanya tak heran, banyak juga Pegawai Lama yang telanjur berada di zona nyaman dan enggan meningkatkan kemampuan mereka untuk menjadi Sosok yang lebih berguna bagi perusahaan, di mana ujungnya nanti tentu akan berbalik ke jumlah pendapatan mereka juga. Dalam pemikiran Pak Danang, kesejahteraan Perusahaan biasanya akan dibagikan juga ke Para Pegawainya, sebagaimana yang sudah-sudah.
Namun Pak Danang sebagai Seorang Pengusaha yang lebih berpikiran ke depan, tentu mendapatkan banyak kesempatan sewaktu Sang Istri sudah mundur dari hal-hal yang menyangkut kebijakan pengambilan keputusan. Dia lebih berpikir tentang keuntungan bagi perusahaan, termasuk di antaranya perbaikan dalam internal perusahaan dengan membuat berbagai terobosan baru termasuk menciptakan suasana persaingan sehat di antara Para Pegawai. Salah satunya, menetapkan Key Personal Indificate (KPI) dan adanya evaluasi secara berkala untuk mengukur performa Segenap Pegawainya. Dengan begitu, Siapa yang sungguh-sungguh bekerja dan yang bermalasan akan terlihat.
Rupanya, tidak semua Pegawai menyenangi kebijakan baru Pak Danang yang memang lebih tegas dibandingkan Sang Istri yang lebih memilih suasana kekeluargaan. Suasana kompetisi yang perlahan diterapkan oleh Pak Danang, membuat beberapa Pegawai Lama yang minim prestasi dan sudah enggan meningkatkan kemampuan diri, terusik.
Saat itu mulai ada sedikit selentingan tentang Sang Papa yang konon lebih cenderung menjalin kerja sama dengan Vendor yang merupakan Ibu Tunggal. Ada pula yang mengatakan bahwa Sang Papa kadang mengadakan jamuan makan malam dengan Vendor tersebut.
Tak hanya itu, ada satu dua Orang Pegawai Lama yang kemudian mengundurkan diri lantas berkarya di Perusahaan lain yang sejenis, juga menebar gossip tak sedap, bahwa Pak Danang itu mata keranjang dan cenderung memberikan kesempatan berprestasi kepada Pegawai Wanita. Si Pegawai lama tersebut juga mengatakan bahwa semakin lama, Pak Danang semakin ingin memilih Pegawai Wanita berdasarkan penampilan fisik, bukan kecerdasan dan pengalaman kerja mereka.
Toh sejauh ini, semua selentingan itu tidak kunjung terbukti. Dan menguap dengan sendirinya, tanpa Sang Papa harus sibuk mengklarifikasi.
Celakanya, segalanya berubah ketika Santi datang mengacak-acak tatanan yang telah terpelihara sekian puluh tahun lamanya. Di dalam waktu yang terbilang singkat, Santi yang begitu agresif langsung menyodorkan diri dan menebar jerat yang ketat dan rapat, sampai-sampai Pak Danang tak bisa lepas darinya.
Memikirkan tentang itu, membuat Vino merasa mual.
“Dan nanti gue harus ketemu sama si Jalang satu itu. Rasanya kepengan meludahi mukanya di depan semua Orang,” gumam Vino sebal.
Tomo mendengarnya.
Sebelah tangan Tomo melambaikan tangan kepada Sang Juru Parkir yang bertugas di dalam loket dan telah membukakan palang otomatis baginya sehingga dia bisa lewat.
“Kita sudah sampai. Mau gue drop dulu di depan IGD atau ikut ke parkiran? Yang pertama saja ya. Nanti gue temui elo di IGD,” kata Tomo.
“Nggak usah. Sama-sama saja,” tolak Vino.
Alis Tomo mengernyit, tetapi dia tak mau berdebat. Baginya, waktu benar-benar terlalu berharga untuk sekadar dihabiskan hanya untuk berdebat.
Apalagi berdebatnya sama Anak aneh yang satu ini. Nggak guna banget, pikir Tomo.
Beruntung, Tomo mendapatkan lokasi parkir tak jauh dari IGD.
Lalu dengan sedikit tergesa dia memarkirkan kendaraannya dan langsung keluar dari mobil.
“Heh! Ayo! Malahan lama lagi!” ujar Tomo setengah membentak pada Vino yang dinilainya terlalu lamban bergerak.
Dia tidak tahu saja, Vino sedang berperang dengan rasa enggannya. Terlebih, lantaran dirinya sudah separuh jalan, dan telah berada di rumah sakit. Amat sulit untuk berbalik kembali, sementara jika membayangkan sebentar lagi akan berhadapan muka dan bercakap-cakap langsung dengan Sang Papa yang tampak tak berdaya, dia sangat tidak siap. Apalagi kalau harus membayangkan, ada Sosok yang dibencinya pula, di sana, yang tak lain adalah Wanita yang merebut kebahagiaan Sang Mama dan dirinya. Dia curiga, bisa-bisa akan mual hebat dan muntah-muntah di depan semua Orang.
Selaksa pemikiran tersebut memberati kepala Vino.
Akhirnya, Tomo harus setengah menyeret Vino sampai mereka tiba di IGD.
“Vin, kamu datang juga akhirnya,” seru Helmi yang pertama kali melihatnya.
Linda yang mendengar hal itu langsung membisiki Sang Mama.
“Benar? Syukurlah,” ucap Sang Mama.
“Ini Teman Kostku, Mas. Tomo namanya. Tom, ini Kakak Ipar gue, Mas Helmi. Oh ya, Mama mana, Mas?” tanya Vino.
Pertanyaan Vino nyaris membuat kening Tomo mengernyit.
Nih Anak! Yang ditanyain bukannya Papanya duluan. Capek deeeh, keluh Tomo dalam hati, sembari menyalami Helmi.
Linda yang muncul di depan ruang IGD, segera menghambur memeluk Sang Adik.
“Syukurlah kamu sampai di sini Vin. Tom, terima kasih sudah menemani Vino, ya.”
Tomo hanya mengangguk santun.
Linda tak membuang waktu. Dia takut Vino telanjur berubah pikiran.
Oleh karena itu Ia menepuk pipi Vino dan berkata, “Ayo, mau lihat kondisi Papa? Kondisi Papa cukup baik. Ada Mama sama..., Santi, di situ. Nanti Mbak minta supaya Santi keluar dulu sebentar.”
Vino menggoyangkan tangannya dan berkata, “Nanti saja. Keadaannya baik-baik saja, kan? Nah, sekarang Mbak Linda temani Mama terus, jangan sampai dicakar sama Betina Jalang itu. Bisa kena rabies nanti.”
Linda menatap dengan kecewa.
“Terus kamu mau ngapain kemari kalau bukan untuk menengok Papa? Oh ya, Supirnya Papa juga sudah tertangani dengan baik. Mbak bersyukur karena ternyata Supirnya Papa hanya menderita luka-luka luar. Keluarganya juga sudah datang, dijemput sama Pak Asep tadi. Santi sedikit salah informasi tadi.”
Vino tersenyum sinis.
“Apa pernah ada yang benar dari Betina Jalang itu sih? Nggak ada! Dan Mbak Linda tanya aku datang untuk apa? Aku mau menyumbangkan darah. Masih diperlukan, nggak?” sahut Vino seenaknya.
Tomo menggeleng-gelengkan kepala.
“Vino, jangan begini dong. Dalam keadaan macam ini, lupakan sebentar rasa bencimu itu,” bujuk Linda lembut.
Vino mendengkus.
Helmi mengambil alih situasi.
“Lin, sebaiknya kamu temani Mama dulu. Biar aku antar Vino ke Perawat. Jadinya, Vino bisa menyumbangakan darahnya dan sebagai gantinya kita bisa mengambil persediaan darah di bank darah,” kata Helmi.
“Iya, Mas,” sahut Linda patuh.
Helmi menepuk bahu Vino.
“Ayo, Bro.”
Tomo membarengi langkah Helmi dan Vino. Mereka meninggalkan Linda.
“Mama tadi baik-baik saja kan, Mas? Nggak direpotkan sama sandiwara murahan Istri Mudanya Papa?” tanya Vino sembari melangkah.
Helmi tersenyum tipis. Berusaha menjawab sebijaksana mungkin.
“Mama baik-baik saja Vin,” kata Helmi.
“Kejadiannya bagaimana sih? Tabrakan sama apa?”
Helmi berdeham.
Kemajuan. Dia mau tanya berarti peduli. Semoga ini pertanda baik untuk cairnya hubungan Papa sama Vino, harap Helmi dalam hati.
“Kecelakaan tunggal, Vin. Jadi karena jamuan makan sama relasinya itu nggak jauh letaknya alias searah sama tempat kost-mu, Papa kabarnya mau coba-coba buat singgah. Papa nggak terlalu berharap kamu mau menemui Papa sih, hanya sekadar mau tahu kabar terkinimu. Papa senang sekali karena Asep memberikan kabar baik ke Beliau hari ini.”
Vino menerka-nerka apa maksud Helmi. Tetapi sebelum dia tuntas dengan acara menerkanya, suara Helmi telah telanjur terdengar.
“Tapi, sewaktu baru saja turun dari jalan layang, ternyata ada tumpahan oli yang bercampur sama tetes air gerimis. Supirnya Papa nggak cukup sigap untuk menghindari tumpahan oli itu. Dan karena laju kendaraan sewaktu kejadian juga dalam kecepatan sedang, akhirnya kehilangan kendali dan membentur tembok. Itu makanya, Supirnya Papa itu banyak mengalami luka luar dan memar. Sementara Papa yang duduk di jok belakang, pas kebetulan pnggak pakai seat belt. Akibatnya, kaki Papa jadi terjepit saat kendaraan direm. Papa ada luka memar juga di wajah. Makanya kita mau baik Papa maupun Supirnya diperiksa secara menyeluruh. Kita berharap yang terbaik ya ,Vin.”
Hening sesaat.
“Lando sama Siapa di rumah, Mas?” tanya Vino kemudian, mengalihkan pembicaraan.
“Sama Si Merry, Baby Sitter dia. Terus kan ada Mbok Jumi juga.”
Vino manggut-manggut.
*
Vino sudah merasa lebih segar setelah beristirahat beberapa saat. Dia telah menyumbangkan darahnya beberapa belas menit yang lalu.
Tomo, yang seperti masih meragukan kondisinya, menyodorkan padanya satu botol s**u uht yang dibelinya dari mini market yang buka 24 jam dan terletak tepat di sebelah bangunan rumah sakit Raharja Progress.
“Masih lemas, nggak?” tanya Tomo.
Vino menggeleng.
“Mas Helmi sudah balik buat menemui Tante Astri dan Mbak Linda. Mas Helmi juga mengurus administrasi untuk Supirnya Papa elo, takut ada tindakan yang perlu dilakukan. Makanya dia nitipin elo ke gue.”
“Oh, oke.”
“Sekarang mereka lagi urus operasi untuk Papa elo.”
“Oooh..”
“Mau ke sana sekarang? Sebelum Papa elo masuk ke ruangan operasi. Kasih semangat, begitu.”
Vino tampak ragu.
“Kenapa?” usik Tomo.
“Gue masih rada malas buat ketemu muka sama dia. Rasanya susah banget buat memaafkan apa yang sudah dia buat ke Mama gue. Dan juga..., gue! Gue benci banget, Tom. Rasanya...,” ujar Vino tersendat.
Tomo menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Dia tahu dia butuh cara lain untuk membujuk Vino.
“Itu susunya diminum dulu.”
Vino menurut dan duduk di tepi brankar. Dia lalu turun dari sana. Vino menangkap tangannya.
“Pelan-pelan. Nggak apa kalau elo nggak bisa langsung memutuskan. Gue mengerti.”
Vino mengerling.
Ini kenapa nih? Ganti strategi, dia? Tanya Vino dalam hati.
“Serius, elo sudah nggak pusing?” tanya Tomo kemudian.
“Iya, reseh lo! Sudah istirahat, di-dopping pula sama makanan kecil dan s**u. Jangan berlebihan deh!”
Tomo merangkulnya.
Vino menghindar.
“Jangan macam-macam. Nanti Orang berpikir kita Pasangan Sejenis!”
Tomo tertawa kecil.
Dipikirnya, jika mood Vino terus membaik seperti ini, tentunya akan lebih mudah baginya untuk membujuk Vino agar sedikit melembutkan hatinya dan menemui Sang Papa meski sebentar saja.
Semestinya ini bagian Julian nih. Karena setahu gue, Vino itu lumayan mau dengar saran dari Julian. Ya orang di tempat kost juga Julian itu cenderung didengar sama yang lain kok. Tapi dalam keadaan seperti sekarang, ya masa harus tunggu Julian? Nggak mungkin dong, batin Tomo.
Tomo tidak tahu saja, bahkan Keluarga Vino mempunyai rencana yang lebih dari itu. Rencana yang ketika diutarakan ke Vino nanti, akan membuat Vino berang.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $
Fan Page B!telucy