Vino : Menolak Lupa! (2)

1615 Words
Tetapi rupanya Vino tak semudah itu menyerah. Bukan, bukan lantaran dia tak peduli akan Sang Mama. Melainkan rasa dendamnya kepada Santi yang tiada terobati hingga kini. Dan apa saja yang menyangkut tentang kebaikan untuk Santi, membuatnya harus berpikir ulang atau mengabaikannya saja. Faktor lain adalah nomor sekian baginya. Apa-apan nih, kenapa jadi aku yang disudutkan begini? Memangnya maunya aku, Papa sampai mengalami kecelakaan? Pikir Vino dalam sebal. “Mama itu bukan Wanita materialistis. Orang dari hasil catering yang tampak iseng-iseng saja Mama masih bisa hidup kok. Dan aku juga bisa kok, meringankan beban Mama, untuk bantu-bantu bayar apa sekiranya diperlukan,” bantah Vino. “Nggak begitu dong Vino. Jangan seperti itu cara pikirnya. Ingat, di perusahaan itu juga ada sejumlah Orang yang butuh penghasilan. Mbak itu nggak minta waktu kamu terlalu banyak. Sistemnya kan sudah ada, Vin. Sekadar kamu hadir di sana, dan sekiranya ada hal penting dan mendesak, yang perlu keputusan, mungkin kamu bisa minta pendapat Papa untuk mengambil keputusan, lalu kamu yang memutuskannya. Kamu bisa mewakili Papa yang nggak bisa hadir secara fisik. Itu juga nggak harus setiap hari, Vin. Kamu juga nggak mau kan, kalau Papa absen terlalu lama, terus ada Sebagian Orang yang memanfaatkan untuk melakukan kecurangan karena kurangnya pengawasan?” Linda sungguh-sungguh menekan suaranya. Vino ikut-ikutan bersedekap untuk menunjukkan sikap defensif nya. Dia enggan menyahut. Gantian Linda yang berusaha menurunkan tensim “Vin,” bujuk Linda, tak kenal lelah untuk melembutkan hati Adiknya. “Si w***********g itu nggak bisa bantu-bantu sedikit, apa? Lalu apa gunanya dia dalam keadaan seperti ini? Bisanya hanya merepotkan dan menghabiskan uang saja. Ngapain dia hidup di dunia ini? Membantu bisnis Selingkuhannya nggak bisa. Bisanya cuma merusak keharmonisan rumah tangga Orang, dan menyakiti hati Mama. Bisanya cuma merebut kebahagiaan Mama dan mengambil apa yang menjadi hak Mama.” Linda menggeleng dengan perasaan penat. Dia merasa menemukan jalan buntu. Ingin benar dia mengoreksi kata ‘Selingkuhan’ yang diucapkan oleh Sang Adik barusan. Betapapun dirinya memang tidak setuju dengan kehadiran Santi dalam kehidupan Sang Papa, tetap saja pada akhirnya dia harus mengakui bahwa Sang Papa telah menikahi Santi secara resmi, dan seijin Mamanya pula. Itu berarti posisi Santi sudah sebagai Istri Kedua, bukan lagi Selingkuhan. Linda juga selalu ingat bahwa Sang Mama, dalam gempuran sakit hati yang dideritanya, senantiasa berusaha menanamkan hal-hal yang baik bagi dirinya dan Vino, setelah sanggup bangkit dari keterpurukannya. Linda ingat, tidak pernah Sang Mama menjelek-jelekkan Papa mereka. Bahkan setiap kali Vino atau dirinya berkata buruk tentang Sang Papa, dengan sabar Sang Mama mengoreksi pendapat mereka dan mengulang hal yang sama, “Kalian nggak boleh seperti itu. Benar, Papa memang menyelingkuhi Mama pada awalnya. Tapi itu dulu. Setelahnya, Mama sudah menerima semua yang terjadi dan memang sudah tidak mungkin di undo kembali. Mama berusaha, demi kebaikan semuanya. Ingat, Papa nggak pernah menyelingkuhi Kalian berdua. Papa kalian tetaplah Papa yang baik buat Kalian. Dan justru karena hal itu pula, Papa juga bertanggung jawab atas Anak yang saat itu dikandung oleh Santi. Anak itu tidak bersalah dan tidak semestinya menanggung kesalahan Orang tuanya.” Kini perkataan Sang Mama bagai terngiang-ngiang lagi di telinga Linda. Perkataan yang semakin dia resapi, semakin dirasanya mengandung kebenaran. Dia ingat, Sang Papa memang tidak meninggalkan kewajiban terhadap Anak-anaknya. Dan seingat Linda, Papanya itu juga telah cukup banyak mengalah, menghadapi reaksi Vino yang selalu saja memusuhi dan berkata kasar. Linda juga ingat, betapa Sang Mama menenangkan dirinya saat dia mengungkapkan rasa gelisahnya karena takut Sang Suami akan mengikuti jejak Papanya, yakni tergoda dan berselingkuh. Dia takut apa yang diperbuat Sang Papa berefek pada kehidupan rumahtangga nya dengan Helmi. “Vino,” panggil Linda lembut. “Aku mau istirahat. Semua sudah tertangani, kan?” kata Vino tak peduli. Linda merangkul Sang Adik. Vino tak sempat mengelak lagi. “Vin, kamu mau sampai kapan memelihara rasa benci ini? Hidup kamu pasti nggak damai jadinya. Hati kamu nggak bisa bahagia karenanya. Mbak memang pada awalnya benci sekali sama perbuatan mereka. Tetapi sedikit demi sedikit Mbak mencoba untuk menerima bahwa apa yang telah terjadi memang sudah nggak bisa kita ubah lagi. Ya meskipun, sampai saat ini juga Mbak masih belum sepenuhnya bisa menerima kehadiran Santi sebagai Ibu sambung kita. Memanggil dia saja masih pakai namanya.” “Ibu sambung kita Cih! Ambil saja buat Mbak Linda. Aku nggak sudi. Aku hanya punya satu Ibu, yaitu Mama. Nggak pernah ada yang namanya Ibu sambung. Aku nggak mau disambung-sambungin sama dia. Najis! Buatku, dia tetaplah Orang luar. Titik.” Linda merasa pikirannya demikian penat. Sepertinya dia tahu akan sia-sia membujuk Vino dalam keadaan seperti ini. Terlebih, Vino juga dalam keadaan lelah karena semalaman tidak tidur seperti dirinya. Bisa-bisa malah dia memusuhi aku nanti, pikir Linda. “Ya sudah, kamu pikirkan saja dulu. Kamu sekarang pulang ke kost dan istirahat. Biar diantar sama Supir ya. Tadi kan kata Mas Helmi kamu itu disetiri sama Tomo. Nanti kalau pikiran kamu sudah lebih segar, kita bicarakan soal ini lagi.” Vino mengedikkan bahu. “Menurutku, keputusanku sudah final, Mbak. Aku nggak bisa. Titik.” Kemarahan Linda yang sejak tadi ditahan-tahan, akhirnya meledak juga. “Dasar kamu ini keterlaluan. Kamu egois. Kamu hanya mementingkan diri kamu sendiri dan mengejar kesenanganmu semata.” Vino meradang mendengar nada suara Linda yang mulai meninggi. “Ngomong apa sih Mbak?” Vino bersungut-sungut. “Ngomong apa? Dari tadi itu kurang jelas di mananya? Aku hanya mnta sedikit kesadaran kamu. Kamu sadar nggak Vin, kamu ini Anak Laki-laki. Kamu yang seharusnya paling bertanggung jawab atas perusahaan saat ini. Kamu yang semestinya menggantikan pekerjaan Papa.” “Kenapa jadi aku yang disalahin? Yang merusak tatanan dengan merangsek ke hubungan harmonis sebuah keluarga itu Siapa? Dan semestinya dia yang jagain itu perusahaan,” kata Vino tak peduli. “Kamu lupa? Kamu yang paling keras menuntut supaya Santi nggak dilibatkan dalam urusan perusahaan. Kamu yang paling ngotot soal itu, supaya hak-hak Mama dan kita terlindungi. Dan dia menerima semua itu. Papa juga menuruti persyaratan tersebut. Papa sudah nggak mau ada keributan lagi.” Vino bertepuk tangan dan tertawa sinis. “Hm. Bagus! Bagus! Bagus! Si w***********g itu pakai dukun dari mana ya? Sekarang Mbak Linda juga sudah ada di Pihak dia, di bawah pengaruhnya? Wah...! Sudah beres dicuci otak rupanya. Hati-hati kalau dia kasih makanan atau minuman, pasti sudah ada jampi-jampi yang membuat Mbak Linda nurut apa kemauannya. Lama-lama dia bisa membunuh kita semua.” “Vino, jangan keterlaluan kalau ngomong.” “Aku ngomong sesuai kenyataan. Itu sebabnya aku menjaga jarak supaya jangan sampai pas aku lengah, dia melancarkan serangan untuk meneluh aku.” Linda jadi jengkel dengan kekerasan hati Sang Adik. “Sudah. Percuma ngomong sama kamu. Kalau kamu memang nggak mau kasih waktu dan pikiranmu sedikit saja untuk kepentingan Keluarga, nggak apa. Padahal tadi itu, Mbak sudah berpikir, mungkin kita bisa gantian. Mungkin kamu bisa seminggu dua atau tiga kali ke kantor dan itu juga nggak perlu seharian. Jadi kamu bisa tetap mengerjakan pekerjaanmu. Tadi Mbak sudah bilang kan? Tapi sudahlah. Biar Mbak nanti gantian sama Mama.” “Jangan libatkan Mama lagi!” sentak Vino kesal. Saking kesal, ucapannya tak terkendali. Begitu lantang. Itu memancing rekasi Linda untuk bicara sama kerasnya, “Lalu kalau Mbak yang setiap hari berkantor, nggak apa? Itu maksudmu? Iya?” “Aku nggak bilang begitu!” Hening sekian saat. Lalu terdengarlah suara pintu kamar perawatan yang terkuak. Wajah Santi muncul dari sana. Vino yang semula menatap ke arah daun pintu yang terkuak, bergegas membuang muka. Seolah baru melihat sesuatu hal yang menjijikkan. “Mbak Linda, Mas Vino, saya mohon maaf. Saya minta tolong, suaranya boleh agak dikecilin nggak? Biar Bapak bisa istirahat. Soalnya Bapak curiga jangan-jangan kalian berdua sedang bertengkar,” pinta Santi sopan dan takut-takut. Dia tetaplah memanggil Vino dan Linda dengan kata ‘Mbak’ dan ‘Mas’ terutama semenjak Anak Pertamanya lahir. Ya, dia membahasakan itu untuk Anak-anaknya. “Nggak sadar ya Siapa yang jadi pangkal keributan? Siapa Si Setan Api yang membakar hangus kebahagiaan sebuah Keluarga harmonis?” sindir Vino. Mendadak Santi berlutut di depan Vino. “Saya tahu saya salah, Mas Vino. Saya tahu sulit buat Mas Vino untuk memaafkan saya. Tetapi bagaimanapun, sekarang ini saya sudah menjadi Istri sahnya Bapak. Suka atau tidak, kita semua sudah menjadi satu keluarga sekarang.” Vino meludah ke lantai. Nyaris mengenai Santi. “Cih? Siapa yang sudi jadi satu keluarga sama w************n sepertimu?” Vino sudah akan berlalu, tetapi Santi dengan berani menjangkau sebelah kakinya. Vino jadi kesal dan terpaksa menendangnya walau tidak sekuat tenaga. Maksud Vino sekadar untuk melepaskan cekalan tangan Santi di kakinya. Namun mungkin lantaran keadaan emosionalnya sedang labil, Santi terjengkang. Linda sigap menangkapnya. “Vin! Kamu keterlaluan. Bagaimana pun, jangan pernah kasar sama Perempuan!” kata Linda gusar. Dia benar-benar tak bisa memaklumi ulah Sang Adik. Dan betapapun dua benci pada Santi, saat ini yang ada di hati Linda adalah rasa kasihan sebagai sesama Wanita, sesama Ibu muda. Santi menatap penuh terima kasih pada Linda yang membantunya berdiri. Tetapi dasar bandel, Santi masih berusaha untuk berlutut lagi dan menjangkau kaki Vino. “Jangan sentuh kaki aku. Najis tahu kalau disentuh sama tangan kotormu!” bentak Vino. Dia berkelit dan masuk ke ruang perawatan, meninggalkan embusan angin yang besar. Vino segera menghampiri sisi ranjang Papanya. “Cepat sembuh, Pa. Jangan lama-lama sakitnya. Kasihan itu di depan ada yang perlu dikasih nafkah.” “Vino!” bentak Sang Mama. Vino mendekati Sang Mama dan berkata pelan, “Aku pulang dulu Ma. Kepalaku pening kelamaan di sini.” Lalu katanya kepada Sang Kakak Ipar, “Aku duluan ya, Mas Helmi.” Vino tak lagi mengatakan apa-apa. Bahkan dia tak mau memeluk Sang Mama sebagaimana biasanya. Sang Mama hendak memarahinya, tetapi Pak Danang mencegah dengan isyarat tangannya. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD