Negosiasi? (2)

2431 Words
        Sang Mama menatap wajah Linda secara intens. Dia merasa perlu meluruskan pandangan Putri Sulungnya itu.         Lantas Sang bertutur dengan suar lembut.          “Lin, kamu jangan merasa cemburu begitu ya. Seolah kami berdua memperlakukan kamu dan Vino secara berbeda,” kata Bu Astri lirih.          Kalau menuruti kata hati, ingin benar Linda berkata, “Ya kenyataannya memang begitu. Aku yang Anak Perempuan harus memikirkan lebih banyak tentang apa-apa yang terjadi dalam Keluarga ini. Padahal secara logika, Seorang Anak Perempuan yang telah menikah itu kan justru harus berbakti juga ke pihak Keluarga Suaminya. Ini Keluarga Mas Helmi sudah begitu baik ke aku, nggak menuntut aku untuk tinggal dekat mereka malah Mas Helmi yang mengalah, tinggal dekat rumah masa lajangku. Sementara dia, yang Anak Lelaki bisa seenaknya memikirkan hanya kepentingan dan kesenangan dirinya saja. Pakai keluar rumah sebelum waktunya pula. Sungguh nggak adil.”          Namun seolah Helmi dapat membaca apa yang tengah dipikirkan oleh Sang Istri lantaran terlalu mengenal Linda yang lumayan lama dipacarinya sebelum mereka menikah, dia kembali berinisiatif untuk menengahi. “Coba besok kamu hubungi dia dan usahakan bicara dari hati ke hati sama dia.”Baru membayangkan saja Linda sudah terpancing untuk mendesah lelah.         Dan rupanya Helmi belum usai berkata-kata.          “Dan ingat, kamu jangan marah-marah ke dia. Jadi untuk sekarang, kamu tenangkan dulu pikiranmu.” “Itu benar, Linda. Yang dikatakan sama Helmi itu sungguh tepat,” sela Sang Mama.          Linda berusaha menekan rasa sebalnya agar tak terpancar di wajahnya.“Lin, kamu jangan khawatir. Mama bisa kok, untuk mengatur waktu. Mama masih bisa untuk membantu pekerjaan Papa untuk sementara waktu ini. Walau hanya sebagian kecil saja. Sisanya...” Sang Mama tidak melanjutkan perkataannya.         “Aku tahu. Maksud Mama, aku tetap harus terlibat. Iya, kan?” potong Linda.          Helmi menatap Sang Istri dan menyabarkannya.          “Hei. Jangan terlalu menganggap hal ini sebagai beban, Linda. Anggap saja ini pengobat rasa rindumu yang telah lumayan lama tidak bisa bekerja kantoran lantaran sibuk mengurus Lando. Tenang, nanti sesekali aku juga bisa atur-atur waktu aku. Aku bisa mengerjakan beberapa pekerjaanku dari rumah. Jadi bisa sambil membantumu mengawasi Si Kecil. Kamu agak berat kan, kalau membiarkan dia hanya dengan Asisten Rumah Tangga dan Baby Sitter di rumah? Dan kamu juga bisa sesekali ajak dia ke kantor bersamamu, kalau pas aku bisa menjemput kalian dari kantor. Atau..., kamu mau sesekali aku temani di kantor Papamu?” tanya Helmi, mengemukakan sejumlah opsi untuk menyemangati Linda.         Linda terdiam, seperti tengah memikirkan usulan Sang Suami.          Akan tetapi yang kemudian terucap olehnya adalah...         “Lama-lama aku pikir omongan Vino tuh benar juga. Si Santi itu benar-benar Parasit! Dia nggak bisa sedikit saja membantu dalam hal ini. Nggak ada gunanya,” keluh Linda tiba-tiba.          Sang Mama memejam mata.         “Sudahlah, Lin. Jangan membahas itu terus. Nggak ada yang bisa kita lakukan kecuali menerima keadaan,” cetus Sang Mama dengan suara super pelan.          Sepertinya Bu Astri juga tahu, posisi Santi juga maju kena mundur kena akibat perbuatannya di masa lalu. Linda merengut.          Helmi menatap Sang Istri dengan tatapan sayang.          “Itu benar, Sayang. Jangan disesali terus apa yang telah terjadi. Yang ada nanti hati kamu jadi nggak damai,” tambah Helmi.          “Terus bagaimana, Mas?” sahut Linda. Helmi menarik napas panjang dan mengembuskannya.              “Seperti yang aku bilang. Kamu bicara baik-baik ke Vino. Buat dia mengerti akan situasinya dan cari tahu dia bisa membantu di mananya. Jangan kamu yang mendikte dan menentukan. Karena dia akan merasa disuruh-suruh jadinya. Itu bisa membuatnya bersikap defensif. Sebaliknya, kalau kamu sedikit merendahkan hatimu, bicara dari hati ke hati sama dia, berdiskusi, meminta pendapat dia, mengorek minatnya, rasanya dia akan menyambut baik. Syukur-syukur kalau dia mau mengalokasikan waktu lebih banyak. Nah, sisanya, baru kamu tutupi. Jadi beban Mama juga berkurang. Jangan khawatir, kalau itu dirasa masih berat, tawaranku masih berlaku. Aku akan usahakan membantu sesuai kapasitas ku,” saran Helmi.          Bu Astri ikut manggut-manggut mendengarkan solusi yang diberikan oleh Sang Menantu.          Dalam hati dia memuji ucapan Helmi yang cukup memberi solusi. Jelas dia bersyukur memiliki Menantu sebaik Helmi.          Tapi tanggapan Linda belum sesemangat Sang Mama. Linda hanya mengangkat bahu dan berkata, “Nanti aku coba dulu deh.”          Helmi mengelus lagi punggung Sang Istri dan berkata,   “Ingat ya. Jaga bicaramu! Jangan bawa-bawa emosi.”             “Iya.”          “Dan sejujurnya, jangan juga terlalu berharap akan hasilnya.”          “Mas Helmi ini bagaimana sih,” protes Linda lirih, merasa dirinya diombang-ambingkan oleh peraktaan sang Suami.         “Kalau kamu terlalu berharap, nanti pada saat kamu menemui fakta yang mana hasilnya berbeda dengan apa yang kamu harapkan, akhirnya kamu malah jadi kecewa. Makanya, sebaiknya kamu bersikap nothing to loose saja. Dengan begitu Vino juga nggak akan terlalu merasa didesak dan diatur-atur. Seperti mengobrol saja,” saran Helmi, memperjelas maksudnya         . Linda menerjemahkan sendiri dalam diam ucapan Sang Suami tersebut menjadi, "Kerahkan semua usaha terbaikmu, boleh berharap hasil yang baik tetapi tetap siapkan diri untuk kemungkinan yang terburuk."          Karenanya Ia berkata, "Iya nanti aku coba deh.” Kemudian Linda mengembuskan napas panjang, bagai berusaha melepaskan beban serta sisa-sisa rasa kesal yang masih bersarang di hatinya.         ...          Linda berusaha untuk tak terpancing rasa sebal mendengar ucapan Vino yang menyerupai keluhan itu.          Pesan dari Sang Suami terngiang di telinganya.          “Maafkan kalau aku sudah mengganggumu. Kamu sempatnya kapan? Aku mau bicara sebentar,” kata Linda sembari menekan agar suaranya serendah dan sewajar mungkin.          Vino mendengkus kesal. “Sudah telanjur, Mbak. Sudah telepon ya bilang saja, maunya apa,” kata Vino dengan sedikit menyentak.          Dia sampai tak sadar bahwa Nando memasang kuping, mendengarkan percakapannya tersebut.          “Oke, aku langsung ngomong sekarang, ya.”          “Cepat, Mbak. Banyak pekerjaan yang sedang menungguku.”          Nando menggeleng-gelengkan kepala tanpa setahu Vino. Di seberang sana, Linda sendiri juga berjuang untuk tidak marah.          “Vin, aku benar-benar mau minta tolong. Aku nggak meminta kamu terlalu banyak.”          “Soal apa? Soal tadi pagi lagi? Aku nggak bisa! Kurang jelas apa? Aku kan sudah berulang kali menegaskan ketidak sanggupanku.”          Linda menyabar-nyabarkan dirinya sendiri.          “Vin, jangan begitu. Tolong lah, bantu sedikit, sebisamu.”         Sampai di sini, hampir saja Linda lepas kendali. Nyaris.dia tak mampu menahan kegusarannya..         “Aku kan sudah bilang alasanku, Mbak. Aku ini kerja dengan Orang lain. Hari ini juga aku sudah datang siang padahal kerjaanku sedang banyak-banyaknya. Terus mana bisa aku seenaknya minta ijin lagi untuk membantu di sana walau sementara waktu? Aku nggak bisa. Lagi pula, aku nggak sudi!”           “Vinooo...! Ingat Mama saja. Pikirkan Mama. Bukan yang lainnya. Kamu tahu perusahaan ini awalnya dari usaha dan modalnya Keluarga Mama,” bujuk Linda selembut mungkin.          Vino tampaknya sedikit terpengaruh. Belum pernah rasanya dia mendengar Linda sampai berbicara selembut itu, apalagi setelah kejadian tadi pagi.          “Ya aku tahu itu untuk kepentingan Mama juga. Tapi pekerjaanku sedang banyak-banyaknya. Aku yakin nggak akan diijinkan sama Atasanku. Tahu nggak, tadi saja ada Kolega yang salah mengerjakan sesuatu aku sampai naik darah. Ini jadi nggak enak suasana kerjanya,” ucap Vino bernada keluh.          Nando yang menguping jadi semakin paham akan masalahnya, walau belum sempat mengorek lebih jauh dari mulut Vino.          “Aku mengerti. Tapi tolong sedapat mungkin usahakan buat membantu, ya.”          Vino menepuk jidatnya.          “Membantu bagaimana lagi maksudnya, Mbak? Masa dari tadi aku ngomong berulang kali Mbak masiiihhh saja mendesak? Katanya paham situasi yang aku hadapi. Gimana sih! Kalau berhubungan dengan waktu, aku jelas nggak bisa. Aku nggak bisa berada di dua tempat secara bersamaan. Aku ini masih manusia. Bukan hantu.”          Beberapa detik keduanya saling diam.          Tiada percakapan.          “Ya sudah deh, kalau begitu.”          “Itu saja? Aku tutup teleponnya ya.”          “Sebentar Vin!”          “Apa lagi?”         “Aku mau kamu berjanji sesuatu hal ke aku.”          Vino mendengkus kesal.          “Ya ampun! Apa lagi? Ini aku membuat Atasanku menunggu aku, tahu nggak?”           “Cobalah untuk membicarakan dengan Atasanmu.”          “Enggak! Enggak akan! Aku nggak pernah tertarik untuk membicarakan tentang latar belakang keluarga di perusahaan tempat aku bekerja. A big no! Nggak ada manfaatnya.”          Dalam keadaan macam itu untung saja Vino masih ingat satu hal : Dia tak mau orang-orang di tempat kerjabya mengenal lebih jauh tentang Keluarganya. Suara Vino jelas dipelankan dengan sengaja, namun bagai berbisik.          Mujur, Linda mendengar walau susah payah.          “Vino...”          “Sudah ya, Mbak? Itu saja, kan? Daaah...” Vino tak memberi kesempatan lagi kepada Sang Kakak untuk menyahutinya.          Dia segera menutup pembicaraan melalui telepon itu.          Dan meski kemudian telepon genggamnya kembali berdering, dia sengaja mengabaikannya.          “Vino!” Suara Nando yang bernada menegur itu singgah di telinganya.          Vino segera menoleh.          “Maaf, Mas Nando. Lama, ya? Maaf. Itu tadi Kakak saya terlalu cerewet.”          Nando mengibaskan tangan dan menyuruh Vino agar kembali duduk di hadapannya.          “Justru itu yang mau saya bahas,” kata Nando setelah mereka duduk berhadapan.          Vino merasa bagai disengat lebah.          “Vin, kamu itu sedang ada masalah dengan keluargamu, kan?”          “Eng...”          Nando menggoyangkan telapak tangannya.          “Saya nggak meminta kamu untuk menyebut apa masalahnya. Saya juga nggak akan meminta kamu menjelaskan latar belakang keluargamu. Itu yang kamu mau, kan?” kata Nando cepat.          Vino terkesiap. Dia tak menyangka, ternyata  Nando mendengar juga ucapannya di bagian itu, yang menurut dirinya sudah amat pelan.          “Eng..., Mas Nando..., saya...,” kata Vino terbata-bata.          “Saya hanya mau bertanya, apakah masalah keluarga yang belum usai itu yang membuat sikapmu jadi uring-uringan?” tanya Nando sabar.          Vino tidak segera menjawab.          “Saya..., minta maaf, Mas.”          “Bukan itu yang ingin saya dengar. Kamu jawab saja, iya atau tidak.”          Vino tak dapat lagi menghindar untuk menjawab.         Dengan berat hati dia berkata, “Eng..., iya, Mas.”          “Kalau begitu, lekas selesaikan. Saya nggak mau suasana di tempat kerja jadi buruk. Akibat nya bisa merembet kemana-mana.”          “Saya mengerti, Mas, masalahnya...,” Vino tampak ragu untuk melanjutkan perkataannya.          “Apa masalahnya?”             “Eng..., Kakak saya meminta saya untuk membantunya. Tapi kan nggak mungkin. Saya akan kesulitan mengatur waktu. Sementara saat ini beban pekerjaan saya ksn sedang sangat banyak.”          Nando tampak menyimak.          “Lalu, apa rencanamu?” tanya Nando.          “Ya, bekerja lembur, tentunya Mas. Sama seperti beberapa tim Kreatif yang sampai menginap di sini.”          Nando tertawa kecil.          “Dan kamu berpikir pekerjaanmu bisa terselesaikan dalam keadaan suasana hatimu yang buruk?” tanya Nando.          Pertanyaan yang sungguh telak. Vino terdiam karenanya.          “Kamu sebaiknya ambil cuti saja beberapa hari. Pastikan urusanmu selesai dulu.” Vino jelas terperangah.          “Hah? Cuti, Mas?”          “Iya. Kurang jelas apa perkataan saya?”          “Pastikan suasana hatimu membaik dulu sebelum kembali bekerja,” kata Nando lagi.          “Mas, tapi...”          “Tapi apa?”          “Begini Mas, boleh saya sedikit ungkapkan yang menjadi tuntutan Kakak saya? Karena hal itu sangat tidak mungkin terselesaikan dalam beberapa hari. Karenanya..," Vino menggantung ucapannya.         Nando mulai memasang ekspresi kesal di wajahnya.          Anak ini! Kesempatan sekali dia! Sudah ditawari untuk cuti, masih mau minta lebih! Apa dia pikir dia masih sebegitu didengar sama Si Bos. Salah banget. Rasanya itu dulu, saat Si Bos melihat potensi di diri dia dan mau men-challenge dia. Tapi kan ide dia itu cenderung ke high cost. Ya ujungnya mentok. Sudah tahu ini teve yang terbilang baru, mau boros-boros jor-joran. Masih jauh lah. Target iklan saja belum terlampaui, pikir Nando.          “Mas Nando..,” panggil Vino dengan nada permohonan.          Dia tak mau disuruh mengambil cuti untuk ‘menyelesaikan urusannya’. Dia tahu sendiri dia tidak terlalu ingin membantu Linda, apa pun alasannya. Tetapi dia tahu sendiri bagaimana Nando. Bila Nando sudah mengatakan dirinya sebaiknya cuti, memang sulit untuk menentangnya tanpa harus mengungkap tentang jati dirinya serta keluarganya. Hal yang sejauh ini masih bisa ditutupnya rapat-rapat demi kenyamanan dirinya sendiri.          Ya. Sejauh ini nggak ada yang perlu tahu sebenarnya aku nggak terlalu membutuhkan pekerjaan ini untuk sekadar mendapatkan penghasilan, apalagi untuk bertahan hidup. Mama masih mengirimi aku uang setiap bulannya walau aku mati-matian nggak mau menyentuhnya. Dan kalau sekadar uang? Huh! Jangankan Para Tante kesepian itu, yang hanya dipuji-puji sedikit atau ditemani makan malam dan dielus-elus sedikit lalu langsung mentransfer sejumlah uang tanpa aku minta, Para Cewek mapan yang sok mandiri itu juga begitu murah hati memberikan aku banyak hadiah. Jam tangan lah, kaca mata, ini itu yang sangat bisa aku jual. Heh! Malah ada yang tahu-tahu mengirimi aku motor balap ke kost. Untung saja semakin kemari aku semakin nggak suka kebut-kebutan dan enggak suka sama itu Cewek, jadinya otomatis aku kembalikan. Itu mereka belum sampai dipuaskan di atas ranjang. Apalagi kalau sudah..., wah! Bisa-bisa apa yang aku dapatkan melebihi Si Santi! Apa? Santi! b******k! Dasar Wanita bejad! Aku jelas berbeda. Aku nggak seperti dia. Aku kan nggak pernah ada niat buat mengganggu rumah tangga Orang. Aku hanya sesekali membantu menemani mereka yang kesepian gara-gara kurang kasih sayang, perhatian serta belaian dari Lelaki. Tapi aku juga cukup Pemilih. Nggak sembarangan! Kutuk Vino dalam hati.          Dia kesal karena mendadak teringat apa yang telah dilakukan oleh Santi kepada Keluarganya. Dan alangkah lucunya, dalam keadaan yang semendesak itu, selanjutnya Vino justru terkenang pada Seseorang yang lainnya. Seseorang yang sejatinya dapat dikatakan tengah dekat dengan dirinya sekarang ini.          Tapi ngomong-ngomong soal hadiah, sejauh ini aku jadi teringat, Si Klara kok nggak ada ya kirim apa begitu ke aku? Padahal kalau soal uang, pasti dia punya banyak. Dan aku juga sering menyebut bahwa aku hanya Pegawai rendahan. Mestinya dia paham dong ya arahnya kemana. Jangankan mengirimi aku banyak makanan atau hadiah seperti yang dilakukan Cewek lainnya. Seingatku, kalau kebetulan makan bersama saja kami bayarnya bergantian selama ini. Apa karena dia pelit? Ah! Tapi memang bukan itu yang aku butuhkan dari dia, kok. Aku butuh yang lain dari dia. Hanya saja, tampaknya Cewek yang satu ini agak lambat dan menghabiskan banyak waktu untuk bisa dipengaruhi kalau dibandingkan dengan Para Cewek lainnya, pikir Vino kemudian.          Bayangan wajah Klara mendadak membersit. Enggan terlarut terlalu dalam memikirkan Klara, Vino segera menghalau bayangan wajah Klara yang seolah tengah tersenyum manis kepadanya.           “Jadi bagaimana? Maumu apa?” pertanyaan Nando mengejutkan Vino yang tengah berdialog dengan dirinya sendiri di dalam diam.          Alhasil dia dihadapkan kembali ke sebuah dilema. Dia benar-benar tak mau membeberkan tentang keluarganya. Lagi pula, selama dia memberikan sekat yang jelas antara Keluarga, Teman Kost serta urusan Pekerjaan, dia merasa semuanya ‘berjalan sebagaimana mestinya.’ Vino merasa aman karena menganggap tingkah lakunya yang mendekati Para Wanita untuk memperoleh keuntungan tidak diketahui oleh Keluarganya. Kini Vino merasa tenggorokannya bagai tersekat. Dituntutnya otaknya untuk bekerja keras agar dapat menghasilkan sesuatu sebagai 'win win solution'.          Apa boleh buat. Sudah telanjur, pikir Vino akhirnya.          “Mas, bagaimana kalau..,” ucap Vino.         Nando mencermati Vino.      “Kalau apa?” tanya Nando.          *          $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD