Negosiasi? (1)

1801 Words
Setengah harian itu Vino uring-uringan bagai Seorang Cewek yang sedang berada di masa PMS. Dari semenjak dirinya tiba di kantor hingga menjelang sore hari. Alhasil, wajah tampannya jadi terkesan kusut bagai lembaran pakaian yang belum diseterika. Sangat tidak sedap dipandang. Kurang tidur serta suasana hatinya yang masih saja buruk menjadi penyebab utamanya. Perasaan hati Vino begitu buruk, dan tidak bisa terobati dengan dua cangkir kafein yang sudah masuk ke lambungnya. Padahal sejatinya dia bukan Seseorang yang termasuk penggemar kopi. Rasa kesal yang masih mengendap di hati Vino juga tak dapat terusir dengan senyuman manis Sang Reseptionist yang menyapanya dengan riang ketika dirinya sampai di kantor siang itu. Bahkan kiriman makan siang dari Nindya, Seorang Talent baru yang membintangi program acara bincang-bincang dan sepertinya menaruh hati kepadanya juga diabaikannya begitu saja. Dia tak tahu saja, Nindya sudah berusaha mencari tahu menu favorit Vino dari koleganya. Tentunya Nindya berharap Vino akan terkesan dan membalas perhatiannya. Mana Nindya tahu kalau situasi tengah tak berpihak kepada dia. Lalu lebih parah dari itu, Vino yang tengah dilanda kesal juga ‘lupa’ untuk mengirimkan kalimat rayuan kepada Klara dengan voice note berisikan ucapan Selamat Pagi serta harapan agar Gadis incarannya itu mengalami hari yang indah hari ini, dengan suara yang dibuat mendayu-dayu, sebagaimana biasanya. Vino juga abai memperlihatkan perhatiannya dengan mengingatkan agar Klara tidak terlambat menyantap makan siangnya. Untuk hal yang kedua ini sejatinya dia ingat, hanya saja enggan melakukannya. Malas. Nggak mood. Nanti kalau aku mengirimkan pesan dan dia yang aku tahu pasti sudah aku dapatkan hatinya membalas pesanku, akhirnya bakalan panjang dan bersahut-sahutan. Biar saja, sesekali biar dia jadi penasaran dan memperlihatkan sisi yang serupa sama Para Cewek lainnya, yang nggak ragu buat menghubungi dan mengejar-ngejar perhatianku. Huh. Klara, Klara, kamu itu hanya sok alim dan sok kalem saja menurutku. Kamu hanya sedang menjaga image yang kamu buat atas dirimu itu di depanku, kan? Memangnya kamu pikir aku bisa lupa ekspresi malu-malu yang kamu perlihatkan sewaktu aku mencium pipi kamu. Hm, kamu senang dan ketagihan, kan? Mau yang lebih, pastinya? Kebaca sekali betapa sudah begitu lama kamu nggak punya Pacar. Anyep pasti hidupmu tanpa belaian dan perhatian dari Laki-laki. Agak aneh sih, buat Cewek secakep dan secerdas kamu, apalagi yang prospek-nya juga cerah, pikir Vino enggan. Baru saja beberapa jam tiba di tempat kerja, Vino sudah meluapkan rasa kesal di hatinya dengan memarahi Siapa saja yang bisa dimarahinya. Sejumlah agen asuransi sampai sales pinjaman daring yang menghubunginya berturut-turut, Satpam yang dinilainya terlalu lambat melakukan screening ketika dia akan memasuki gedung, sampai Mariska, Salah Satu tim kreatif yang menurutnya bekerja asal-asalan dengan mengemukakan gagasan yang ketinggalan jaman, jauh dari kata fresh. Vino langsung mencela dan mengatakan kalau hanya sebatas itu usulannya, maka tidak perlu diucapkan oleh Seseorang yang ada di tim kreatif. "Preman mabok di pinggir jalan yang nggak tahu apa-apa soal pekerjaan di stasiun televisi juga bisa ngomong begitu," dumal Vino tadi. Dan sepertinya itu belum cukup. Vino masih terus menyudutkan MAriska dan bahkan menuduh bahwa Gadis itu hendak melakukan sobatase atas program acara yang dipercayakan kepadanya, lantaran iri hati dan alasan pribadi lainnya. "Mau menyingkirkan aku, mungkin?" Itu gumaman Vino yang kemudian sampai ke telinga Mariska. Saking keterlaluannya kata-kata yang diucapkan oleh Vino, Mariska yang cukup perasa itu menangis. Dan sialnya, pada saat dia menangis, atasan Vino yakni Nando, memergokinya. Pasalnya, Mariska yang berlari meninggalkan Vino itu tidak melihat keadaan jalan. Yang dia pikirkan hanyalah agar secepatnya dirinya mencapai rest room. Dia ingin meluapkan kekesalan hatinya serta menangis tanpa ketahuan Siapa-siapa di dalam sana. Ibarat kata pepatah malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, Mariska yang kurang hati-hati bertabrakan dengan Nando. Saking kerasnya tabrakan itu, Mariska sampai refleks menggayut di lengan Nando untuk menghindari kemungkinan dirinya bakal terjatuh. Dia terkejut kala menengadahkan wajahnya. “Eh, maafkan saya Mas Nando. Maaf  barusan saya jalan nggak lihat-lihat,” kata Mariska sambil berusaha menyembunyikan matanya yang mulai memanas. Gadis itu melepaskan pegangannya pada lengan Nando. "Maaf," ucap Mariska sekali lagi. Nando hanya tersenyum tipis kemudian mengamati wajah murung Mariska yang berdiri di depannya. Hatinya seketika tergelitik. “Riska, kamu kenapa? Ada masalah?” tanya Nando penuh selidik. Mariska merasa tak nyaman ditatap dengan pandangan seperti itu. Ia lekas menggeleng dan spontan menundukkan kepalanya. Dia takut tangisnya keburu pecah di depan Nando karena diberi perhatian pada saat perasaannya sedang sensitif begini. “Nggak. Nggak ada apa-apa, Mas. Maaf, saya mau ke sana dulu. Saya permisi,” jawab Mariska sambil menunjuk ke arah rest room. Gadis itu tidak menunggu lagi jawaban dari Nando. Dia takut, jika dia berada terlalu lama di dekat Nando, perasaannya tidak sanggup lagi dia kontrol. Dia takut tangisnya benar-benar akan pecah. Nando mengernyitkan dahinya. “Aneh. Kenapa Anak itu?” gumam Nando lalu melanjutkan langkahnya. Ketika berpapasan dengan Vino, kembali Nando terheran. Dia melihat wajah Vino yang tampak demikian keruh. “Lho, kamu juga. Kenapa, Vin?” tanya Nando. “Nggak, Mas. Nggak kenapa-napa,” tepis Vino. “Kamu bukannya sudah ijin karena ada urusan keluarga? Saya malahan menawarkan supaya kamu nggak masuk saja hari ini, kan?” “Ada pekerjaan yang nggak bisa saya tinggalkan, Mas. Lagi pula tadi saya cek pekerjaan Mariska juga kacau.” “Kacau bagaimana maksudnya?” “Nggak sesuai dengan yang seharusnya. Jadinya saya kesulitan untuk mensinkronkan.” Nando mulai meraba-raba permasalahan apa yang tengah terjadi. “Kita bicara di sana sebentar,” kata Nando sambil menunjuk ke ruang duduk. Vino menurutinya. “Pertama, saya mau tanya, urusan keluarga yang kamu bilang sudah selesai belum?” tanya Nando begitu mereka berdua duduk berhadapan di ruang duduk. Vino tak segera menjawab. “Saya simpulkan, artinya belum,” sela Nando. Vino terdiam mendengarnya. “Kamu tadi bertengkar dengan Mariska?” tanya Nando pula. “Eng.., sedikit, Mas.” “Pantas.” Vino menatap Nando. “Mariska mengadu pada Mas Nando?” Vino balik bertanya. “Dia enggak perlu mengadu. Tapi saya bisa melihat sendiri dari reaksinya barusan. Apa kamu mengatakan hal-hal yang di luar batas ke dia?” tanya Nando lagi. “Eng..” Nando berdecak tak sabar. “Kamu tahu bahwa program acara yang kalian tangani itu adalah kerja tim, kan?” “Iya, Mas.” “Dan kamu tahu juga kan, bahwa Mariska itu bukan Orang yang mudah terbawa perasaan, sebetulnya?” “Eng..” “Dia sedang over load pekerjaannya, karena harus mengerjakan tugas Marlena yang sedang cuti untuk acara lamaran di kotanya. Sementara itu, dia juga tetap harus mengerjakan tugas regulernya sendiri. Sudah dua hari Mariska nggak pulang. Dia tidur di ruang istirahat untuk Pegawai. Kamu tahu itu, kan?” “Ya, Mas.” “Ada kendala apa yang mungkin saya bisa bantu?” tanya Nando kemudian. Baru saja Vino hendak menyahuti Sang Produser, telepon genggamnya berbunyi. Vino melirik sesaat. Sang Kakak, Linda yang menghubunginya. Vino mengabaikannya. Namun rupanya Sang Kakak tidak kenal lelah, masih menghubungi dan menghubungi dirinya lagi. Dan entah mengapa, Vino jadi sedikit cemas. Dia takut kalau-kalau ada perkembangan yang buruk menyangkut kesehatan Sang Papa. “Maaf, Mas Nando. Boleh saya terima sebentar panggilan teleponnya. Ini dari Kakak saya. Takutnya penting.” Nando menggerakan tangannya, memberi isyarat bahwa dirinya tidak keberatan membiarkan pembicaraan mereka sedikit terjeda lantaran Vino harus menerima panggilan telepon. Vino tidak bisa terlalu menjauh dari ruang duduk. Dia hanya dapat memperkecil volume suaranya. “Apa lagi, Kak? Aku sedang bicara sama Atasanku,” tanpa basa-basi atau mengucapkan kata ‘Hallo’ lagi, kalimat itulah yang dilontarkan oleh Vino. “Kamu kerja, hari ini?” Berbeda dengan tadi pagi di rumah sakit, suara Linda sekarang terdengar lembut. “Ya kerja, lah. Pakai tanya segala. Ada apa? Aku sedang nggak punya banyak waktu.” Linda menghela napas panjang dan berusaha untuk menahan rasa marahnya. Rupanya setelah dia menyempatkan untuk meminta pendapat dari Helmi, dia mendapatkan sedikit pencerahan. Kata-kata Vino ketika dirinya dan Mamanya menyantap sarapan di kafetaria Rumah Sakit dan membiarkan Santi menunggui Sang Papa beberapa waktu lamanya, kini terngiang kembali di telinganya. ... “Kalian berdua itu lagi sama-sama emosi. Ya meskipun tindakan Vino juga keterlaluan. Kamu juga terpancing emosi. Akhirnya jadi nggak ada titik temu yang baik. Tapi coba deh, kamu juga bicaranya baik-baik ke Vino. Kamu sudah tahu perangai dia toh? Jadi kamu yang harus lebih mengalah. Coba turunkan dulu tensinya. Kamu buat tenang hati kamu dulu,” itu yang disarankan oleh Helmi ketika Linda mengadukan pada Helmi akan apa yang diperbuat Sang Adik kepada Santi, serta kekerasan hati Vino yang menolak keras untuk membantu. Keterangan Linda juga diperkuat oleh Sang Mama yang tampak tak setuju dengan sikap Vino yang dinilainya kurang ajar. “Mama juga nggak pernah mengajari Vino begitu. Ke Linda juga, kan? Mama kecewa dan malu sekali sama sikapnya tadi,” tandas Bu Astri. Linda mengangguk mengiakan. "Iya. Linda ingat Mama selalu bilang bahwa Papa itu berselingkuh ke Mama, tapi nggak ke kami. Ya meskipun, tetap saja nggak mudah sih Ma, buat menerima akibat dari perbuatan Papa. Jujur saja, sesekali Linda masih berharap bahwa Santi itu nggak pernah ada di antara Papa dan Mama." Bu Astri mengelus tangan Linda. "Mama mengerti. Mama juga melalui proses yang panjang untuk bisa menerima keadaan. Dan proses itu masih terus berlanjut sampai sekarang, Linda. Lagi pula, menurut Mama, Papa sendiri juga sudah terhukum dengan apa yang diperbuatnya. Demikian pula halnya dengan Santi. Kamu lihat sendiri betapa takutnya dia sama Vino dan kamu, kan?" Linda merangkul Bu Astri yang duduk di sebelahnya. "Mama hebat. Hati Mama seluas samudra." Bu Astri menatap Linda melalui ekor matanya, lalu memberi isyarat agar Putrinya itu menyantap hidangan di depan mereka. Linda manggut kecil dan melepaskan rangkulannya pada Sang Mama. "Tadi Mama sempat berbicara dengan Papa setelah Vino pergi. Mama nggak menyangka, ternyata semakin kemari, Papa justru semakin menunjukkan sikap yang sabar dan pemaaf. Tadi itu Papa justru yang meminta agar Mama tidak terlalu keras bersikap kepada Vino." "Oh, ya?" Bu Astri mengiakan. "Papa bilang, Vino akan semakin menjauh kalau dikerasi. Dan Papa nggak mau hal itu terjadi. Kata Papa justru kita harus berusaha untuk merangkul dia terus agar jangan sampai kehilangan dia." Linda mendesah. "Papa juga bilang supaya kita nggak terlalu mengkhawatirkan mengenai kesehatan Papa dan kemungkinan terganggunya operasional kantor. Papa meyakinkan bahwa Papa bakal segera sembuh dan bahkan bisa tetap mengelola perusahaan dari rumah sakit atau rumah, di masa pemulihannya." Linda mengembuskan napas dan berkata, "Kasihan juga sih, dengarnya. Papa itu sebenarnya sangat bertanggung jawab." "Ya. Papa sampai berjanji ke Mama, akan segera sembuh katanya." Bu Astri membuang tatapannya ke arah luar kafetaria lantas bergumam lirih, "Seandainya Vino bisa sedikit saja menunjukkan empatinya di saat seperti ini." Gumaman lirih Sang Mama menyulut kembali rasa sebal Linda. “Nah, itu dia, Ma. Lagi pula, dia kan Anak Lelaki dalam Keluarga ini, yang semestinya mengambil tanggung jawab lebih besar,” keluh Linda sebal. Helmi yang paham dengan situasi, menatapi wajah Sang Istri dan membelai punggung Linda. *  $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD