Penghalang (1)

1772 Words
        “Apa? Kamu mau menempatkan dia di cabang Jalan Kerinci?” Suara Pak Suwandi terdengar meninggi.           Randy diam sesaat.          “Pa, bukan sekarang. Tapi untuk ke depannya.”           Suara Randy melunak.           Tetapi tidak deikian halnya dengan Sang Papa.           “Mau sekarang mau nanti, Papa tetap nggak setuju.”          Randy menelan ludah.           “Pa, tapi...”           “Apa? Kamu mau menghancurkan usaha kebanggaan Mama-mu itu? Kamu sengaja mau melakukannya?”           “Nggak mungkin, Pa.”           “Lalu maksudmu apa mengusulkan dia?”           Randy menggaruk kepalanya.           “Pa, sebenarnya mengapa Papa sangat membenci Ros?”           “Kenapa kamu mengalihkan pembicaraan?”           “Papa menolak usulanku, dasarnya itu apa? Hanya karena nggak suka, kan? Pa, Ros itu juga mempunyai passion yang sama dengan Mendiang Mama.”           Pak Suwandi tampak gusar mendengar nya.          “Jangan sekali-kali kamu menyetarakan dia dengan Mama-mu. Kurang ajar itu namanya. Kamu tahu sendiri betapa Mama nggak menyukai dia. Dari pertama kali kamu bawa dia ke restaurant, sudah sangat terbaca bahwa dia itu bukan Wanita yang baik. Mama sampai tidak habis pikir, bagaimana bisa kamu nggak menyadari hal itu?”          Randy mengurungkan niatnya untuk menyahuti tatkala melihat gelagat Sang Papa masih hendak melanjutkan ucapannya.           Dia tidak pernah lupa betapa Sang Mama terlihat terpaksa ketika menyambut kedatangan Rosalia di restaurant milik mereka dan menyahuti salam perkenalan dari Rosalia sewajarnya saja, tidak seakrab yang diperlihatkan oleh Rosalia.          Itu adalah kedatangan Rosalia yang pertama kalinya, setelah beberapa kali Randy sendiri meminta untuk menunda. Waktu kedatangan Rosalia itu juga hanya berselang kurang dari lima bulan sebelum Sang Mama berpulang untuk selamanya. Randy dan Rosalia juga sebetulnya belum terlalu lama saling mengenal. Tepatnya, diperkenalkan oleh Salah Satu Kawan Randy yang juga sudah terlampau lama tidak saling bersua. Itu juga terkesan kebetulan. Prasetyo nama Kawan Randy itu. Usianya terpaut lumayan jauh di bawah Randy, yakni sekitar 5 tahun.          Bisa dikatakan, Prasetyo juga sebenarnya kenal sambil lalu dengan Randy lantaran mereka berdua tiga empat kali bersua di sebuah kafe.           Saat itu, Randy masih kuliah, sementara Prasetyo tampak begitu percaya diri ‘menyembunyikan’ jati dirinya sebagai Pelajar Sekolah Menengah Atas dengan cara hanya melapisi seragamnya dengan jaket saja agar boleh diijinkan masuk ke kafe. Wajahnya yang 'agak boros' mendukung hal itu. Obrolan yang terjadi di antara Randy dengen Prasetyo juga obrolan biasa saja. Setelah merampungkan kuliahnya, Randy nyaris tak pernah lagi mengunjungi kafe tersebut. Apalagi dia juga segera larut dalam keasyikan baru, dunia usaha. Akan tetapi ketika dirinya mulai merasa tidak nyaman dan sulit mengelak dari ‘rongrongan’ Sang Mama yang kian gencar kepadanya untuk mendekati Klara, dia merasa kehabisan alasan. Terlebih, Sang Papa juga terlihat mendukung Sang Mama. Maka alasan yang dikemukakannya untuk menghindari ‘kewajiban’ untuk menghubungi Klara dan mengajak Gadis itu sekadar keluar makan berdua dengannya setelah sempat dua kali mereka berdua ‘didudukkan’ dalam acara makan bersama antar dua keluarga. Satu kali atas undangan Bu Virny yang sengaja memasak sendiri semua hidangan yang disajikan di rumahnya, yang kemudian dibalas dengan undangan makan malam bersama di kediaman Bu Ellen.          Ketika itu mereka hanya makan malam berenam setelah mencocokkan keleluasaan waktu yang dimiliki oleh Klara. Sementara Randy, lagi-lagi dikondisikan oleh Sang Mama untuk mengikuti waktu luang tersebut.          Da yang terjadi kemudian adalah..          Di saat ada dua pasang Orang tua yang mengobrol dengan akrab, ada Sepasang Anak Muda yang sungguh-sungguh berjuang untuk melenturkan otot-otot di sekitar mulut mereka, tersenyum terpaksa, demi mencapai tujuan tidak terlihat sedang menekuk muka.          Dan sebagai kelanjutan dari dua kali makan malam bersama itu, Bu Virny terus-menerus mendesak agar Randy segera menindaklanjuti dengan menemui Klara dan mendekati Gadis itu sebagaimana seharusnya Seorang Laki-laki. Hampir setiap hari Bu Virny menanyakan mengapa Randy belum juga bertindak dan hanya diam saja. Sejauh itu, Randy dapat berkelit dengan segala macam alasan yang berkaitan dengan kepadatan kerjanya serta sejumlah urusan lain.         Pun begitu, toh Bu Virny tidak menyerah, walau hari berganti ke minggu, minggu menuju bulan, sampai akhirnya hitungan bulan hampir mendekati tahun.          Yang Bu Virny tahu saat itu, Randy belum mempunyai Pacar atau teman dekat. Lalu yang terpenting, dirinya sendiri juga memantau perkembangan Klara dan berusaha untuk menjaga komunikasi dengan Gadis yang dikaguminya itu, mengabaikan fakta bahwa Klara kadang canggung ketika menerima panggilan telepon darinya.          Seperti itulah.          Bu Virny tak bergeming.           Seakan dia tak ingin kehilangan Seorang Klara.          Dia telah menandai Klara. Randy menarik napas panjang mengenang masa itu. Masa di mana akhirnya Sang Papa juga dengan sengaja mengurangi beban kerjanya, menyebabkan dirinya agak sulit mengelak dari ‘kewajiban’ menghubungi Klara         . “Ran, masa kamu harus diajari sih? Sekadar telepon Klara, tanya dia sedang di mana, sedang sibuk apa, kan bisa? Biar kalian berdua nggak kaku gitu, lho. Kalau percakapan kalian berdua sudah mulai cair, nah kamu coba deh, muncul di kantornya, atau di tempat dia menangani event. Jemput dia atau bagaimana. Kamu juga bisa menunjukkan perhatian kamu dengan mengirim makanan atau semacamnya lho.., Cewek senang dengan perhatian kecil macam itu,” itu yang sering kali diucapkan oleh Bu Virny kala itu.           Dan biasanya kalau sudah begitu, Randy akan berusaha untuk membelokkan topik pembicaraan. Jika itu tidak berhasil, dia akan menghindar dari pura-pura sibuk atau hendak mengerjakan sesuatu yang mendesak. Bahkan pernah suatu malam dia juga sengaja berkendara untuk sekadar ‘mencari udara segar’. Lalu kalau aksi protes terselubungnya itu dirasakan oleh Sang Mama sebagai permintaan tak terucap agar tidak mengejar-ngejar dirinya untuk mengontak Klara, maka Sang Mama akan melakukan semacam gencatan senjata. Untuk kurun waktu tertentu, Sang Mama akan menahan diri dan tidak mendesaknya dulu. Sayang seribu sayang, itu tidak berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Bak penyakit kambuhan, ada kalanya Sang Mama kembali mengingatkan agar Randy mengontak Klara dan bahkan menuntut agar Randy berani mengajak Gadis itu untuk makan malam berdua. Lantaran pusing kembali didesak-desak lagi dan restaurant juga bukan suatu tempat baginya untuk dapat ‘menyembunyikan’ diri dari kejaran tuntutan Sang Mama,          Sampai pada suatu titik, Randy merasakan kepenetannya sudah mencapai puncaknya.           Pergilah dia ke kafe yang telah sekian lama tidak pernah dikunjunginya.           Bak kebetulan, di sana dia kembali bertemu dengan Prasetyo.          Lucunya, mereka mengobrol dengan akrab, jauh lebih akrab jika dibandingkan pada masa bertahun yang lampau. Dan ujung-ujungnya, dengan berani Prasetyo menanyakan apakah Randy sudah menikah.          Randy ingat betul saat itu.           ...         “Menikah dari Hong Kong! Sibuk kerja. Cari waktu buat pacaran juga agak susah. Yang ada nanti Ceweknya nggak pengertian, bubar dua-duanya. Ya bubar urusan pekerjaan, ya bubar hubungannya sama itu Cewek. Dobel-dobel susah hatinya,” sahut Randy lalu terbahak. Prasetyo menatapinya dengan pandangan yang sulit dimengerti.          Prasetyo dengan akrabnya menonjok bahu Randy.         “Eh gila! Sesibuk itu? Katanya kerja sama Orang tua sendiri. Ya masa nggak bisa atur-atur waktu? Tadi pertama kali lihat itu malahan kirain sudah punya buntut.”          “Sembarangan! Memangnya setua itu?”           Prasetyo diam dan mencermati penampilan Randy yang menurutnya kurang mencerminkan bahwa dirinya adalah Anak dari Pemilik Usaha kuliner terkenal dan bahkan sedang dalam persiapan untuk mengembangkan usaha kuliner besutannya sendiri. Penampilan Randy dinilai terlalu sederhana, terlalu formal, dan bahkan sedikit jadul di matanya. Alangkah berbanding terbalik dengan dirinya yang hanya Pegawai kecil tetapi berani untuk menyediakan pos tertentu untuk menunjang penampilan dan gayanya. Pos yang sesekali juga bocor, sejatinya.           Sebuah gagasan mendadak membersit di pikiran Prasetyo.           “Aku kenalkan sama Temanku saja, mau nggak? Anaknya baik. Dan nggak banyak tuntutan deh. Ya, kenalan dulu nggak ada salahnya lho. Cantik juga lho anaknya. Kalau cocok, kan bagus. Kalau nggak cocok nggak ada salahnya juga. Hitung-hitung tambah kenalan,” kata Prasetyo tiba-tiba.           Randy tertawa lepas. Pikirnya, di rumah dia harus menghadapi Sang Mama, di luar rumah ada pula Orang yang sekian lama tak berjumpa, sekali berjumpa menawarkan mau memperkenalkan Seseorang.          “Aku sibuk. Nanti kasihan Ceweknya.”           Maksud Randy hanyalah beralasan.           Namun reaksi Prasetyo sungguh tak terduga. Prasetyo tertawa terbahak-bahak sampai memegangi perutnya. Seolah-olah baru mendengar bahwa Randy membanyol di depannya.          Dia baru berangsur meredakan suara tawanya ketika Randy menepuk bahunya dengan keras.         . “Hoyyy! Lihat itu! Orang satu kafe sepertinya terganggu. Nggak merasa ya, dipelototin?” tegur Randy.           Prasetyo tak peduli.           “Tahu nggak kenapa aku sampai ketawa segitunya? Gini lho Bro, coba ya, jadi Orang itu nggak usah over confidence. Belum-belum sudah bilang kasihan Ceweknya. Belum tentu itu Cewek juga mau sama situ.”           “Sialan!” umpat Randy lalu tertawa geli.           Diam-diam dia membenarkan pendapat Prasetyo tersebut. Prasetyo geleng-geleng kepala. Lantas percakapan mengalir lagi. Sampai kemudian tercapai kesepakatan untuk kembali menyambangi kafe tersebut.          “Jadi oke, ya, minggu depan deh, ketemu lagi di sini. Aku bakal ajak dia,” kata Prasetyo di penghujung pertemuan mereka.           Randy mengangkat bahu, tidak terlalu mengharap.          “Terserah,” ucapnya santai. Rencana pertemuan sempat batal dua kali. Yang pertama lantaran Randy mendadak harus mengurus sesuatu. Yang kedua, disebabkan Prasetyo sedang kurang sehat. Entah itu pertanda atau bagaimana. Tetapi yang jelas, setelah itu mereka kembali bertemu walau tidak janjian, di kafe yang sama, dan mengatur ulang untuk mempertemukan Randy dengan 'Teman' dari Prasetyo itu. Dan pertemuan yang digagas itu terwujud.           Tapi Siapa sangka, semenjak pertemuan pertama dengan Rosalia di kafe tersebut, dia merasa sikap Rosalia begitu hangat.          Rosalia yang diperkirakannya seusia atau sedikit lebih muda dari Prasetyo itu ternyata sangat ceria dan gemar berceloteh. Rosalia juga dengan semangat menceritakan tentang kegiatannya yang baru saja mencicipi dunia kerja. Karena sepertinya Prasetyo sudah banyak berkisah tentang Randy, Rosalia juga menyebutkan bahwa dirinya sangat suka memasak, terutama membuat kue. Dia bahkan menyebut pula cita-citanya untuk mempunyai toko kue sendiri, walaupun kecil-kecilan saja.           “Malahan aku sempat berpikir, mau bantu Orang tuaku di kampung dengan membuat kue cubit, kue pancong, serabi, dan kue semacamnya. Itu kan nggak butuh tempat yang besar. Tapi kalau ditekuni cukup menjanjikan,” ungkap Rosalia dengan tatapan mata menerawang, seperti tengah menebarkan mimpi.          Randy memergokinya.          Dan hatinya tersentuh.          Dia teringat dengan mimpi dari Sang Mama, yang tidak terkendala oleh perkara dana di dalam mewujudkannya. Diam-diam dia merasa kasihan. Dan bermula dari sana, Randy dan Rosalia jadi terlibat obrolan seru. Obrolan yang membuahkan sebuah janji untuk kembali bertemu lagi. Sikap Rosalia yang tidak malu-malu itu justru membuat Randy salut, terkesan dan menaruh respek.           Dia nggak curigaan. Nggak jaga gengsi juga. Nggak sok mandiri. Dari awal juga dia nggak ragu mengakui keadaannya. Dari awal juga dia nggak malu mengakui kekurangannya.  Pokoknya dia benar-benar apa adanya. Tapi di luar itu semua, walau dia bilang Orang tuanya tinggal di kampung, dan berasal dari keluarga sederhana walau dia bilang pekerjaannya pekerjaan nya di kantor  hanya sebagai Pegawai rendahan saja, toh dia tetap menarik. Selera fashion-nya lumayan. Dia nggak ragu untuk berekspresi. Dia itu apa adanya. Dan aku suka sikap yang begini, Nggak pura-pura. Huh! Beda jauh sama Si..., pikir Randy.          Bayangan paras Seseorang melintas begitu saja. Tanpa diundang.         *          $ $ Lucy Liestiyo $ $    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD