Penghalang (2)

2254 Words
Hanya beberapa kali pertemuan saja, tetapi Randy merasa telah lama mengenal Rosalia. Gadis itu juga menarik di matanya. Hari lepas hari, Randy merasa semakin terbiasa dengan kehadiran Rosalia yang memberikan warna baru di dalam hidupnya yang semula bagaikan monokrom, putih dan hitam. Semenjak ada Rosalia, serasa dia melihat banyak warna lain.Dia merasa hidupnya lebih hidup. Rutinitasnya tidak hanya berkutat pekerjaan dan pekerjaan saja. Dia merasa perlu menyapa dengan panggilan telepon kepada Gadis itu. Dia juga kerap menerima panggilan telepon dari Gadis itu, malahan mungkin saja jumlahnya jauh melebihi panggilan teleponnya kepada Rosalia. Dan dia suka. Bagi Randy, Rosalia itu adalah pribadi yang unik. Ada saat-saat di mana Rosalia bersikap perhatian dan begitu dewasa dengan mengingatkan dirinya supaya tidak terlambat makan siang dan tak lupa sarapan sebelum menjalani aktivitas hariannya. Tetapi ada juga saat di mana Rosalia dengan cerewet menceritakan hari yang dianggapnya menyebalkan karena dia merasa diremehkan oleh Rekan sekantornya lantaran pakaian yang dikenakannya ‘itu-itu melulu’. Ada pula yang lebih membuat Randy merasa dirinya sebagai Lelaki dibutuhkan, itu adalah ketika mereka berdua menikmati makan berdua di sebuah kafe baru pilihan dari Rosalia, lalu telepon genggam Rosalia terjatuh dan pecah. Kala itu Rosalia terlihat menangisi telepon genggamnya yang disebutnya dibelinya dengan gaji pertamanya. Randy menghiburnya dengan mengatakan akan membelikan yang baru dan bahkan lebih bagus dari itu. Dan sebagai reaksinya, Rosalia tak ragu merengek kepadanya, meminta dibelikan saat itu juga. Randy hanya tertawa dan mengatakan tidak ada masalah sama sekali. Dia senang, sangat senang dengan spontanitas Rosalia. Jadilah, mereka berdua mempercepat makan mereka dan segera menuju ke lantai lain dari gedung perbelanjaan itu yang khusus menjual telepon genggam. Randy tidak keberatan ketika Rosalia memilih telepon genggam keluaran terbaru yang merupakan edisi terbatas dan sudah pasti harganya wow. Telepon genggamnya yang pecah tadi tidak ada seujung kuku bila dibandingkan harga dan kualitasnya dengan telepon genggam yang dipilihnya ini. Namun Randy tidak terganggu sama sekali. Dia malah merasa bangga karena bisa memenuhi keinginan Rosalia. Rosalia melonjak gembira. Lalu sebagai ucapan terima kasih, Rosalia memeluknya dengan erat dan mendaratkan kecupan di bibirnya saat mereka baru saja masuk ke dalam mobil dan Randy hendak mengantar Gadis itu menuju ke tampat kost-nya. “Terima kasih ya, Randy sayang. Aku nggak pernah menyangka kamu baik banget. Kamu murah hati. Itu mahal banget lho harganya. Ya ampun Ran, aku agak menyesal.” Randy yang masih agak salah tingkah dengan reaksi Rosalia yang dinilainya amat berlebihan, tergelitik mendengar pernyataan Rosalia. “Kenapa menyesal?” “Ini harganya mahal sekali, Sayang. Kalau misalnya suatu saat aku membutuhkan uang, aku jual nggak apa, ya?” Randy mengernyitkan keningnya. “Lho, jangan dijual dong. Kalau kamu butuh sesuatu, ya bilang ke aku saja. Kalau aku bisa penuhi, pasti aku kasih. Tapi kalau nggak bisa, ya ditunda dulu. Nanti sama-sama dicari jalan keluarnya.” Entah Setan mana yang membimbing Randy untuk mengucapkan ‘janji’ macam itu. Dan dia mendapatkan ‘hadiah’ yang kedua. Rosalia mencium bibirnya. Lama. Dan tentu saja kali ini Randy membalasnya. Randy terkejut ketika menyadari Rosalia meneteskan air mata. “Kamu..., kenapa kok nangis?” tanya Randy khawatir. “Aku..., aku nggak nyangka kalau kamu sebaik ini sama aku. Aku ini kan bukan apa-apa. Aku ini hanya Anak dari Orang yang nggak punya. Sedangkan kamu adalah Anak Orang yang berada. Kamu kok nggak jijik berteman sama aku? Aku ini, kenalan dan berteman sama kamu saja rasanya seperti mimpi. Dan andai saja kamu adalah Pacarku, rasanya aku keterlaluan saja bermimpinya.” Randy langsung memeluk Rosalia. Dia bertanya-tanya dalam hati, apakah barusan itu dirinya yang justru ‘ditembak’ oleh Seorang Gadis yang jauh lebih muda darinya, ataukah bagaimana. Namun kemudian tatkala dia membelai rambut Rosalia, dia merasakan adanya kepasrahan dalam sikap Rosalia. “Kalau begitu kamu jadi Pacarku saja. Tapi jangan marah ya, kalau kadang-kadang aku terlalu sibuk dan mungkin terasa mengabaikanmu. Tapi yang jelas, aku akan berusaha untuk memberikan waktu dan perhatian ke kamu dan nggak akan mengecewakanmu.” Ucapan Randy yang spontan itu berbalas tangisan haru Rosalia. “Ros, Ros, jangan menangis dong. Kamu bikin aku panik tahu nggak,” pinta Randy serius. Rosalia tak peduli. Tangisnya malah semakin kencang. “Bilang aku nggak mimpi, kan? Bilang kamu nggak bercanda, kan? Kamu benar-benar sayang sama aku dan mau menjadikan aku Pacar kamu, kan?” ucap Rosalia di antara isaknya. Hati Randy langsung lumer bagaikan coklat batang yang dijemur di bawah sinar matahari di siang hari. Dia bahkan menyangka, banyak sekali kesedihan yang telah dialami oleh Rosalia. Pemikiran yang mendorongnya untuk melindungi Gadis itu. Maka kurang lebih semenjak itu pula, mereka menjalin hubungan. Randy baru tersadar untuk mengucapkan terima kasih kepada Prasetyo yang dianggapnya telah menjembatani hubungannya dengan Rosalia. Anehnya, Prasetyo justru tak pernah muncul lagidi kafe tempat mereka bertemu. Nomor telepon genggamnya juga sepertinya diganti. Ketika Randy menyinggung hal ini ke Rosalia, Gadis itu tampak tenang-tenang saja. “Buat apa cari dia? Mungkin dia sedang sibuk dengan proyeknya yang baru. Pekerjaannya kan memang serabutan. Ya, namanya dia dengan aku itu sesama Orang susah,” ucap Rosalia. Randy merangkul pundak Rosalia. “Pertama, aku kepengen mengucapkan terima kasih ke dia, bahkan mau mentraktirnya atau mungkin mencarikan pekerjaan yang lebih baik buat dia. Berkat dia kita jadi ketemu. Kedua, jangan sekali-kali bilang kamu Orang susah. Nggak boleh,” kata Randy. Rosalia hanya mesem kecil. “Nggak usah khusus begitu. Dia Orangnya santai kok. Entar muncul, entar hilang. Sama, dengan aku juga begitu. Boleh dibilang kita jarang sengaja janjian untuk ketemu. Ketemunya itu lebih banyak nggak sengaja. Eh, tapi ada perkecualian.” “Apa?” “Sewaktu mau memperkenalkan aku sama kamu, baru itu pakai janjian. Jangan-jangan kita ber jod..,” Rosalia segera menggantung ucapannya, terkesanmemancing reaksi Randy. “Berjodoh, maksudmu?” tanya Randy. Dia tak menyangkal, ada sedikit kegamangan yang menyapanya. Bukan karena dia tak mempunyai rasa kepada Rosalia. Tidak. Dia sayang dan perhatian, juga merasa nyaman did ekat Gadis ini. Tetapi dia juga terusik dengan pemikiran rasanya masih terlalu dini membicarakan kemungkinan hubungan mereka sampai ke tahap itu. Dia juga belum sepenuhnya yakin apakah Rosalia dapat membawa diri dengan baik di depan Papa dan Mamanya. Rosalia mengibaskan telapak tangannya dan tersenyum malu. “He he he..., aku bercanda. Ini muka jangan terlalu serius dong. Kita jalani dulu saja, ya. Nikmati yang di depan mata dulu. Kalau kita cocok dan berjodoh ya bagus. Dan kalau misalnya enggak, ya Siapa tahu bisa jadi Saudara, atau Teman. Iya kan?” ucap Rosalia. Terdengar bijak. Randy sungguh tersentuh. Dielusnya pipi Rosalia. “Kamu tuh omongannya dewasa sekali. Kayak umurmu berapa sih,” goda Randy. “Bisa jadi karena aku sering nonton sinetron, ha ha ha,” sahut Rosalia ceria. Dan Randy terhibur yang sebenar-benarnya. Di matanya, Rosalia itu bagaikan oase di padang gersang. Dan dia sadar dirinya membutuhkan Rosalia. Karenanya, dia tidak menganggap bahwa Gadis itu berlebihan ketika mempertanyakan apakah boleh berkunjung ke restaurant. Gadis itu mengungkapkan hal yang sama beberapa kali. Permintaan yang sungguh membuat Randy pusing tujuh keliling. “Kalau dia ke restaurant, bakal terbongkar hubunganku sama dia. Sementara aku ingin menyimpan sebentar hubungan ini sebelum memperkenalkan dia secara resmi ke Papa sama Mama,” gumam Randy seusai menerima panggilan telepon dari Rosalia, sore itu. Rosalia berpamitan hendak menengok Orang tuanya dan mengatakan mereka tak bisa bertemu di akhir pekan depan. “Pasti aku bakal kangen berat. Tapi Orang tuaku katanya lagi nggak enak badan. Makanya aku mau melihat sendiri keadaannya. Kamunya jangan genit-genit dan menggoda Cewek di restaurant, ya,” pesan Rosalia tadi. “Kamu hati-hati di jalan, ya. Nanti aku transfer sedikit uang untuk kamu beli sedikit oleh-oleh buat Orang tuamu,” kata Randy pula. Tanpa diminta. Bahkan Rosalia sudah mengatakan tidak perlu. Toh, Randy mentransfer sejumlah uang pula. Dan hati Randy semakin senang saja, ketika pulang dari kampung, Rosalia membawakan pula oleh-oleh untuknya. Tidak hanya itu, dari Cianjur, kampungnya, Rosalia secara sengaja membawakan s**u sapi dan tahu untuk Randy, yang dikirimnya dengan ojek daring dari tempat kost-nya. Bagaimana Randy tidak tersentuh kala Rosalia mengatakan bahwa s**u sapi dan tahu itu adalah pemberian dari Orang tua Rosalia? “Itu dari tempat kerja Ayahku. Ayahku kerja di peternakan sapi, kan? Jadi sebetulnya setiap kali aku pulang, aku juga dibekali s**u. Sedangkan Ibuku, kerja di pabrik tahu. Tapi sekarang sedang istirahat dulu karena baru saja sembuh. Tapi kata Ayah dan Ibuku, terima kasih banyak karena kamu sudah perhatian sama mereka,” kata Rosalia ketika Randy menghubunginya untuk mengucapkan terma kasih atas kirimannya. Ucapan yang sederhana. Tetapi sanggup menggedor hati Randy. Randy tersadar, kalau Rosalia saja sudah berani berkisah kepada Orang tuanya perihal hubungan percintaannya dengan dirinya, mengapa dia tak melakukan hal yang sama kepada Gadis itu?  Dengan aku memperkenalkan Rosalia, malah bisa membebaskan aku dari desakan Mama yang mula terang-terangan mau menjodohkan aku sama Klara. Enggaklah, aku pilih Ros. Toh kalau Mama dan Papa tahu aku sudah punya Pacar, mereka akan berhenti berusaha mendekatkan aku sama Klara, pikir Randy kemudian. Namun harapan memang tak selamanya dapat sejalan dengan kenyataan. Sang Mama tampak kurang suka dengan Rosalia. Itu tepat seperti perkataan Sang Papa barusan. ... “Kamu tahu apa yang dipikir sama dia di otaknya, Randy? Dia itu mau memanfaatkanmu. Kamu saja yang nggak sadar, secara perlahan kamu itu sebenarnya disetir sama dia. Dia mau menguasaimu.” Benar saja, Sang Papa kembali berucap hal yang negatif tentang Rosalia. Randy tak berdiam diri. “Pa, jangan terus menuduh begitu. Apalagi, kali ini dia mendengar sendiri percakapanku di telepon dengan Dewi. Makanya dia mengajukan diri untuk membantu. Aku pikir juga nggak ada salahnya. Kita mendapatkan jalan keluar dari masalah kita. Dia sendiri juga mendapatkan kesempatan yang baik untuk mengaplikasikan apa yang telah dia pelajari di tempat kursus membuat kue.” “Menuduh? Siapa yang menuduh? Papa itu tahu apa yang dia pikirkan! Dia mengajukan diri? Apa kamu nggak ingat yang diperbuat dia sewaktu sok akrab dengan mendiang Ibumu, dengan seenaknya mengunjungi Ibumu di toko kue? Dia mengacaukan pekerjaan di dapur. Dia sungguh sok tahu. Ibumu sangat terganggu dengan sikapnya yang seolah merupakan Calon Pemilik toko kue itu di depan Para Pegawai. Padahal bertemu saja baru dua kali. Lagaknya seolah sudah jadi bagian Keluarga ini.” Randy tahu apa yang dimaksud oleh Sang Papa. Apalagi kalau bukan saat di mana Rosalia tak sengaja memasukkan baking soda ke dalam puding yang tengah dibuat oleh Sang Mama? Randy memandang hal itu hanya kesalahan yang tak disengaja, termasuk juga kedatangan Rosalia ke sana yang juga tanpa setahunya atau seijinnya. Dia menganggap itu hanyalah cara tulus Gadis itu untuk menunjukkan perhatian kepada Sang Mama, ya meski Papa maupun Mamanya sama sekali tidak memandang demikian. Toh ujung-ujungnya, dia membela Rosalia dengan berkata bahwa Rosalia memang senang membuat kue. Gara-gara kejadian itu pula, Rosalia merasa dirinya dipandang sebelah mata. Rosalia lantas mengatakan kepada Randy bahwa memang dirinya dengan Randy itu bagaikan bumi dengan langit. Jadi mau seberapa banyaknya usaha yang dia lakukan untuk menjembatani perbedaan mereka, tidak akan pernah ada hasilnya. Randy merasa sangat iba saat itu. Dan Rosalia melanjutkan unek-uneknya, “Aku memang hanya bisanya membuat kue-kue kampung. Kue rumahan. Mana mungkin aku bisa membuat kue modern dan yang keren seperti yang dijual di toko roti dan kue milik Mamamu. Ran, aku minta maaf, aku mau jual ponsel yang kamu kasih ya, untuk bayar kursus membuat kue. Nanti kalau kurang aku kasbon ke kantor saja. Nggak apa, kan?” Hati Randy yang lemah kala mendengar keluhan macam ini langsung tergerak. Randy langsung bertindak dengan mencarikan tempat kursus kue yang menurutnya terbaik. Dia pula yang membayari biayanya. Dan bukan satu jenis kursus saja, melainkan dua sekaligus.  Bukannya sekarang adalah saat yang paling tepat untuk dia mengimplementasikan kemampuannya? Namanya keahlian kan musti dipraktekkan. Kalau tidak, bakal menguap begitu saja. Makanya ada istilah NALO, NOT ACTION.LEARN ONLY, belajar melulu tapi nggak diaplikasikan. Percuma. Papa ini terlalu meragukannya, bukannya diberi kesempatan dulu, batin Randy. “Papa nggak akan membiarkan dia menghancurkan usaha peninggalan Mama-mu. Hanya itu yang dapat Papa sampaikan padamu. Sudahlah Ran, kita ini, terutama Papa, sebetulnya belum usai masa berkabungnya. Bisa nggak kalau kamu nggak menyinggung hal ini dulu?” pinta Sang Papa. Randy terdiam. “Tapi..., aku takut mengecewakan dia karena tadi terkesan berjanji,” ujar Randy lirih. Sang Papa tampak murka. “Jangan sekali-kali kamu membiarkan dia masuk ke dalam lingkaran usaha keluarga yang kita miliki, terutama urusan toko kue. Ingat itu!” kata Pak Suwandi. Ucapan yang tegas. Tampaknya bernada final, tak bisa ditawar. Randy menyandarkan punggungnya ke dinding di belakangnya. “Pa, aku minta maaf. Aku tahu kita berdua masih sama-sama sedih atas kepergian Mama. Tapi boleh nggak Pa, kalau aku minta ke depannya sikap Papa sedikit melunak? Kalau soal toko kue, nanti aku bicarakan dengan dia. Semoga dia mau mengerti,” kata Randy dengan nada rendah. “Kamu minta sikap Papa melunak? Sikapnya sendiri penuh dengan kepalsuan. Dan masalah dia mau mengerti atau tidak, itu urusan dia,” kata Sang Papa. Randy mendesah kecewa. “Padahal tadi saja dia masih mau membelikan kue dari toko Wilton, Pa. Itu kan caranya dia untuk memberi tahu bahwa dia peduli. Supaya kita dapat membandingkan cita rasanya. Juga sebuah pembuktian bahwa dia berpikir jauh. Dia itu punya potensi, Pa. Hanya saja dia butuh kesempatan. Dan kalau memang kita bisa memberikan kepadanya, kenapa enggak?” Sang Papa menggeleng-gelengkan kepalanya. “ Kamu ini benar-benar dibutakan oleh cinta, sampai secetek itu cara berpikirmu! Apa hasil didikan Papa di bidang usaha itu menguap begitu saja gara-gara kamu dekat sama dia? Terlalu kamu ini. Benar begitu, Ran?” tanya Pak Suwandi. Randy mengernyitkan kening. Dia benar-benar tak tahu maksud Sang Papa di balik perkataannya. Dan dia tersinggung, tentu saja. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD