Menatap Harapan

2242 Words
“Hai,” sebuah sapaan terdengar. Rosalia memutar kepalanya ke belakang. Dia semakin gugup saja kala mendapati Siapa yang kini berdiri di dekatnya. “Kamu baru saja sampai, Sayang?” Sekarang Rosalia berbalik badan juga, memosisikan dirinya berhadapan dengan Sang Penyapa. Jantung Rosalia bagai hendak meloncat dari tempatnya. Ia kebingungan harus bersikap bagaimana. “Jangan bingung begitu. Aku baru saja dari pantry, makanya ada di bawah sini. Yuk, kita langsung ke atas saja, ke ruanganku.” Melihat sebuah senyum terulas di bibir Cowok Yang menyapanya, sebuah rasa lega menyusup di benak Rosalia. Dilepaskannya prasangka buruk yang ada. Semoga dia nggak sempat melihat apa yang aku lakukan tadi. Dan seandainya dia melihat juga nggak apa deh. Sekalian saja aku keluhkan apa yang selama ini membuat aku serasa mengalami tekanan batin. Memangnya enak, dicuekin, nggak dianggap, dan seperti ingin dihindari terus? Pikir Rosalia. Rosalia mengangguk dan berkata, “Yuk.” Sang Cowok memencet tombol lift dan mempersilakan Rosalia utnuk masuk terlebih dulu. “Kamu bawa apa itu, Sayang?” tanya Sang Cowok ketika pintu lift telah tertutup sempurna dan dirinya telah memencet nomor lantai yang mereka tuju. “Ini?” Rosalia menunjukkan dua tas karton yang dia bawa serta. “He eh...., apa lagi memang?" “Wilton bakery.” Sang Cowok membaca tulisan yang tertera pada tas karton. Sepertinya tadi dia tidak segera mengenali dikarenakan toko kue tersebut memang baru saja mengganti logo, bentuk, hingga warna tas karton. Yang sekarang tampilan warna tas kartonnya lebih muda dan pucat warnanya untuk membuat merk dagang yang tertera lebih menyolok. “Oooh..., identitas baru akhirnya diluncurkan. Pasti buntut kisruh internal mereka,” kata Cowok itu akhirnya. Rosalia mengangguk dan berkomentar, “Serem juga ya, yang namanya usaha kuliner itu, Ran.” “Ya, begitu deh. Itu pasti kamu bawakan buat aku, ya. Sini,” kata Sang Cowok pula. Rosalia mengangsurkan keduanya sekaligus. Saat itulah, pintu lift di depan mereka terbuka. Mereka berdua keluar dari lift. “Kenapa harus terpisah begini? Sama-sama beli di satu tempat juga." Rosalia te senyum kecut. “Tadi maksudku satu untuk Papa kamu, satu buat kamu. Tapi seperti biasa, Papa kamu menolak. Katanya, titip ke kamu atau Mbak Helena saja. Bahkan sewaktu aku sarankan untuk dinikmati di dalam perjalanan juga nggak mau. Nggak sempat, katanya,” keluh Rosalia. “Itu sebabnya tadi kamu sampai memonyong-monyongkan mulutmu segala?” Rosalia terkesiap. Mati deh. Ternyata dia sempat melihat. Tapi mau ngomong apa? Sudah, aku luapkan saja semua kejengkelanku yang sudah sekian lama aku tahan-tahan, pikir Rosalia yang merasa tersudut. “Pak Randy, tadi ada telepon dari Mbak Dewi,” kata Annete ketika mereka berdua tiba di depan pintu ruangan kerja Randy. Annete adalah Asisten Pribadi Randy. “Dewi mana, Net? Dewi cabang Juanda atau..?” tanya Randy, menyebut nama Manager yang menangani cabang restaurant-nya di jalan Juanda. “Kok tumben, dia nggak telepon ke ponsel saya saja,” tambah Randy setengah bergumam. Didorongnya pintu kaca dan mempersilakan Rosalia untuk masuk terlebih dulu ke ruangan kerjanya. “Bukan, Pak. Mbak Dewi toko kue.” “Oooh. Oke, kamu telepon balik dia sekarang dan sambungkan ke extention saya.” “Baik, Pak.” “Dan kasih ini ke Mbak Helena. Ini punyanya Papa. Dari Ros.” Diulurkannya salah satu tas karton di tangannya yang segera diterima oleh Annete. “Siap, Pak.” Randy langsung masuk ke dalam ruangan kerjanya dan meletakkan tas karton yang diberikan oleh Rosalia di atas meja. “Mau aku ambilkan piring nggak? Mau dimakan sekarang kan Ran?” tanya Rosalia sambil bangkit dari duduknya. Randy menggoyangkan telapak tangannya. “Nanti dulu. Aku mau telepon Dewi dulu.” Baru saja Randy duduk, pesawat telepon dia tas mejanya terlah berbunyi. Randy memencet tombol ICM yang menyala. “Pak Randy, Mbak Dewi di line dua. Saya sambungkan sekarang.” “Oke.” “Hallo, Dewi.” “Hallo Pak Randy.” “Ada apa? Tadi kamu cari saya?” “Betul, Pak.” “Soal apa?” “Soal Chef pastry kita, Pak. Sejalan dengan penjualan yang cenderung meningkat belakangan ini, dia meminta Seorang Asisten.” “Meningkat?” Randy bagai tak percaya mendengarnya. Ini sungguh di luar perkiraannya. Semula dirinya berpikir, dengan kepergian Sang Mama menghadap Sang Pencipta baru-baru ini, maka akan langsung berpengaruh buruk terhadap toko kue dan roti tersebut. Dia sangat khawatir karena sebelumnya praktis Sang Mama yang mengurusi nyaris semua yang menyangkut toko yang awalnya dibuka hanya untuk menyalurkan kesenangan Bu Virny menjamu Kawan-kawannya dengan acara minum teh ditemani kue-kue kecil. Dulu semasa hidupnya, Bu Virny memang selalu memburu kue-kue yang berpenampilan cantik, mempunyai kualitas rasa yang baik untuk disajikannya kepada Kawan-kawannya. Tak jarang dia memotretnya lalu mengunggah di akun medsos yang dia miliki dan memancing banyak komentar dari Kawan-kawannya.  Dirinya sendiri memang tidak terlalu menguasai tentang cara membuat kue walau sesekali mencoba resep dan hasilnya juga tidak mengecewakan. Bu Virny lebih piawai bila memasak hidangan utama. Tetapi selanjutnya oleh Seorang Kawan, dirinya disarankan agar mengikuti kursus singkat membuat kue. Dia tidak menolak. Malahan Bu Virny juga tidak hanya belajar dari satu tempat kursus. Hasilnya sangat positif. Dia tak sekadar mendapatkan kemampuan baru, tetapi juga lingkungan pergaulan yang lebih luas dan berkenalan dengan sejumlah Chef pastry yang telah teruji kepiawaiannya. Justru dari sana pula, akhirnya timbul ide untuk membuka toko kue dan roti. dia berpikir, toh bidang usaha ini masih 'nyambung' dengan bidang usaha yang digeluti bersama Sang Suami, sama-sama kuliner dan menurutnya bisa saling mendukung. Senyum Randy mengembang mengingat awal mula dibukanya ‘Virny Cake And Bakery’ tersebut. Mulanya kecil saja, dan Bu Virny hanya menggandeng satu Orang Chef pastry yang tak lain adalah Kenalannya sendiri, yaitu Chef Intan. Tapi siapa nyana, diuntungkan oleh lokasi yang strategis, interior yang membuat Pengunjung merasa nyaman, cita rasa yang pas di lidah, tampilan menarik serta harga yang terjangkau, toko kue itu mengalami kemajuan.  Itu juga tidak lepas dari usulan Randy yang mengatakan alangkah baiknya menampung juga saran dan kritik dari Para Pelanggan. Alhasil Bu Virny sampai sempat menambah variasi produk, terutama dengan harga yang lebih terjangkau untuk dapat memenuhi selera pasar yang baru, yang lebih diarahkan untuk Para Anak Muda. Bu Virny juga rela membuka satu cabang yang baru di dekat area kampus. Tentu saja, dia menyesuaikan pula suasana dan tampilan toko roti agar lebih mirip dengan kedai sehingga dapat menampung mereka yang ingin menikmati kue di tempat, bukan dibawa pulang. Bu Virny menyulap seperempat area parkir dengan menempatkan beberapa kursi taman bagi mereka yang ingin menikmati makan kue di luar. Sementara di dalam toko kue, ada area dengan tampilan minimalis namun tetap nyaman dan bersih, khas Anak muda yang senangnya makan di tempat sembari mengobrol. “Benar Pak, meningkat lumayan. Terutama yang di dekat kampus. Seperti Pak Randy tahu sendiri, yang di sana kan dari dulu kita lebih ke main jumlah jual karena harga produk yang lebih rendah dari pada yang di sini. Permintaan pengiriman dari cabang yang di sana meningkat terus, dan memang selalu habis. Malah katanya tiga hari ini yang di-display saja sampai habis satu setengah jam sebelum jam toko tutup. Kan agak kurang baik ya, Pak, dilihatnya. Nanti Para Pelanggan jadi kecewa dan bertanya-tanya, ini toko sebenarnya jam operasional sampai jam berapa?” uraian Dewi selanjutnya demikian rinci, membantu Randy untuk lebih memehami permasalahan yang terjadi. “Tiga hari? Mengapa laporannya begitu terlambat? Laporan itu kan harusnya datang satu hari setelahnya, Dewi,” tegur Randy. “Soal itu, saya mohon maaf, Pak. Saya mengaku salah. Sebab saya juga berusaha untuk memecahkan persoalan ini dengan menambah beban kerja Chef Pastry. Dan sebetulnya, kapasitas produksi juga sudah ditambah. Dan saya, sebetulnya juga sudah mengirimkan laporan penjualan harian kepada Bapak, sebagaimana saya kirimkan ke Mendiang Ibu dulunya.” Randy tertegun. Dia baru tersadar bahwa dirinya kurang memperhatikan angka-angka yang disajikan oleh Sang Manager. Pasalnya, saat Sang Mama masih ada, dia tidak terlalu turut serta memantau perkembangan Virny Cakery And Bakery. Lagi pula, kesibukannya membantu Sang Papa di restaurant juga tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Ya, mereka memang tidak mempunyai waktu yang terlalu lama untuk terlarut dalam kesedihan dan duka setelah Bu Virny berpulang. Mereka tidak mungkin mempercayakan segala urusan usaha kuliner mereka kepada Para Pegawai saja, di dalam jangka waktu yang lama. Sesuai perkataan Orang, memiliki usaha kuliner itu ibarat mempunyai Anak kecil, tidak bisa ditinggal-tinggal begitu saja tanpa pengawasan. Maafkan aku, Ma. Aku lalai. Sedangkan Papa, juga nggak mungkin untuk mengalokasikan waktu mengurusi usaha yang Mama tinggalkan itu, batin Randy penuh sesal. “Oke, Dewi. Kalau lain kali ada hal seperti ini, kamu harus lebih rajin mencari saya untuk menyampaijsn secara lisan. Bisa saja saya belum sempat membaca laporan harian kamu, kan? Dan telepon langsung ke nomor ponsel saya ya, kalau misalnya telepon ke restaurant nggak tersambung ke sata. Kamu tahu sendiri bahwa saya juga sering mobile.” “Iya, Pak. Maafkan saya.” “Oke, Dewi. Tapi pekerjaan kamu masih tertangani, kan?” “Masih, Pak.” “Kamu tahu faktor penyebab lainnya atas peningkatan angka penjualan ini?” “Jadi begini Pak, menjelang kepergian Ibu, Ibu kan juga gencar promosinya. Nggak hanya melalui Kawan-kawannya Ibu, tapi meminta saya menunjuk admin juga untuk akun promo itu. Nah, mungkin sekarang ini kita menuai hasilnya. Selain itu, di kampus memang sekarang ada kelas malam, Pak. Menurut Yang berjaga di toko, banyak Pelanggan baru juga yang datang.” “Bagus. Kalau yang di situ, bagaimana situasinya?” “Meningkat juga, Pak, walau nggak sebanyak yang di area dekat kampus. Kelihatannya konflik internal yang terjadi di Wilton Bakery karena perpisahan Pemiliknya lalu saling klaim itu sedikit mempengaruhi juga. Ada yang bilang, cita rasanya agak berbeda. Entah maksudnya yang mana, yang milik Istrinya dan mengklaim sebagai Pemilik Wilton Bakery yang asli, ataukah yang baru, yang merupakan milik Si Mantan Suami dengan Istri barunya. Ya soal ini saya belum tahu pasti. Tetapi Pelanggan kita memuji, cita rasa kue dan roti di tempat kita itu nggak kalah dengan mereka. Tetapi dengan harga yang lebih ramah di kantung.” Randy melirik tas karton yang tadi dibawa oleh Rosalia. Kini Ia terdorong untuk memerhatikannya dengan lebih saksama. Pantas saja. Akhirnya ganti logo dan bentuk huruf juga. Ini pasti Si Ros beli di toko asli yang merupakan milik Si Istri. Soalnya Si Mantan Suami ngotot dan tetap memakai logo yang lama, dengan alasan dirinya yang mulanya mencetuskan ide untuk membuka toko kue dan membesarkan namanya sementara Sang Istri baru belakangan ikut serta dalam pengelolaannya. Dan soal resep, malah dia berani mengklaim bahwa sebagian besar resepnya adalah kreasinya, pikir Randy sembari manggut-manggut. “Kalau begitu, kamu buka lowongan kerja saja.” “Sudah, Pak. Bahkan ada yang sudah saya pertemukan dengan Chef-nya kita. Sudah diuji pula. Tapi belum ada yang cocok.” “Chef Pastry kita pasti punya banyak Kenalan. Biar dia sendiri yang cari, supaya cocok bekerja sama dengan dia.” Rosalia memasang telinganya lebar-lebar mendengar Randy mengucapkan instruksi ini. “Sudah juga, Pak. Masih dalam proses sekarang ini. Tetapi kan mereka juga sedang bekerja. Karenanya, untuk sementara ini malah Chef mengambil Salah satu Anak buahnya di tempat kerja yang dulu, untuk bekerja paruh waktu di sini. Anak buahnya itu sedang melanjutkan kursus untuk memperdalam keterampilannya setelah toko kue tempatnya bekerja tutup.” “Oke, lalu?” “Tetapi ini sifatnya sementara. Dan jadwalnya juga agak terbatas. Karenanya, kalau sekiranya Pak Randy atau Pak Suwandi mempunyai referensi, kami akan sangat terbantu. Sebab kami berencana untuk menggenjot juga angka penjualan ke depannya. Jadi tidak selesai sampai di situ saja.” “Dari saya untuk sementara waktu ini belum ada. Nanti coba saya tanyakan ke Papa saya. Tapi kalian coba lebih aktif untuk mencari Kandidat yang sesuai.” “Tentu Pak, terima kasih sebelumnya.” “Ada lagi yang mau disampaikan?” “Ini sebenarnya usulan, Pak.” “Apa, Dewi?” “Kita memang mempunyai sistem Central Kitchen, alias semua produk disiapkan di sini. Tetapi ke depannya, apakah memungkinkan kalau untuk produk tertentu, khususnya yang memang dipasarkan di outlet itu saja, kita siapkan di cabang saja? Sebab terkadang kemacetan di jalan juga menjadi kendala, Pak.” “Itu nanti saya diskusikan dengan Papa saya lalu kita adakan rapat dengen Chef dan kamu. Masalahnya, kalau kita tidak pakai sistem Central Kitchen, nanti ada pergeseran cita rasanya, lalu kita juga butuh satu Chef lagi untuk di cabang. Kalau Kitchen-nya sendiri sih nggak terlalu masalah. Kita sudah ada kok, malah belum difungsikan selama ini.” “Benar Pak, rencananya untuk produk yang hanya dijual di cabang itu saja. Itu mengarah ke yang cabang di dekat area Kampus, Pak. Kan jumlah yang harus disiapkan lumayan banyak. Dan harganya kita arahkan untuk yang terendah saja, Pak untuk mengurangi resiko keluhan daari Pelanggan.” Randy merenung sesaat. “Saya mengerti. Dan meski harganya juga banyak yang ekonomis, bukan berarti kita bisa asal dalam mengambil Chef untuk ditempatkan di sana. Ini jadi saya ambil kesimpulan, kita perlu dua Orang Chef baru, ya? Satu untuk di Central Kitchen, satunya lagi untuk di cabang yang dekat area kampus, kan?” “Benar, Pak.” “Kamu utamakan untuk yang di Central Kitchen dulu.” “Baik, Pak. Sementara itu dulu.” “Oke, terima kasih.” “Selamat siang dan terima kasih, Pak.” Begitu Randy meletakkan gagang telepon, Rosalia mendekat dan memanggilnya dengan mesra. “Sayaaaang...,” ucap Rosalia manja. Ia bahkan tak ragu untuk melingkarkan kedua tangannya di leher Randy. Randy sedikit terusik. “E eh eh..., jangan begini Sayang. Ini di kantor. Nanti kalau mendadak Annette masuk atau malahan Papa yang masuk, bagaimana?” ucap Randy pelan. Rosalia merajuk. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD