“Busyet, dilihatin terus deh, itu muka.”
Ucapan yang bernada melecehkan.
Julian yang mendadak muncul dan duduk di depan teras kamar Vino, menggeleng-gelengkan kepala. Diperlihatkannya ekspresi mencemooh.
Vino tak peduli ucapan Rekan yang satu tempat kost dengannya itu.
“Nggak sekalian, pajang itu fotonya di wallpaper telepon genggam elo? Biar total.”
“Belum. Mungkin sebentar lagi,” sahut Vino kalem.
“Vin,Vin! Kali ini naksir sungguhan atau seperti biasa?”
Vino mengedikkan dagu dua kali.
“Seperti biasa apa?”
Julian tersenyum miring. Dia memasang wajah seolah hendak muntah karena melihat sesuatu hal yang menjijikkan.
“Pakai tanya segala. Berlagak bloon deh. Nah situ kan Player.”
“Player apaan? Badminton player? Football player? Atau apa? Coba diperjelas, Pak Julian yang terhormat.”
Julian menonjok bahu Vino.
“Sok polos. Yang model Situ mah, mana mungkin olah raga yang berat-berat. Pasti takut lecet. Takut cedera. Paling-paling angkat dumble. Jogging keliling kompleks. Es Ka je, alias Senam kesehatan Jasmani sama lompat tali macam Anak cewek. Muka aja tuh, diurusin sampai licin dan glooming, nyaingin Oppa Korea.”
Iseng , Julian menyentil pipi Vino sampai memerah. Vino mengelus-elus pipinya karena rasa panas yang diakibatkan sentilan Julian barusan.
“Hush! Sembrono. Ini asset, tahu! Wah, sampai ada bekas siapin ganti rugi ya!!”
Julian mencibir.
“Asset buat memikat dan membuai Para Cewek mapan dan selanjuitnya didekati, dipacari untuk morotin uangnya mereka, iya kan?”
Vino mendelik.
“Yang morotin Siapa, ya?”
Orang mereka yang dengan suka rela ngasih, kok. Ngasih hadiah, ngasih uang, ngasih kenikmatan, aha! Jawab Vino dalam hati. Seulas senyum bangga membayang di bibirnya.
Julian mendengkus.
“Apa? Mau menyangkal? Kenyataannya begitu. Gila deh lo! Dari jaman kuliah sampai kerja, nggak berubah malah makin parah.”
“Berubah, dong.”
“Berubah apa? Berubah semakin ganas dan semakin kalap cari Mangsanya. Lihai banget lagi kalau pas memprospek Target. Jangan begitu Vin. Cukup deh catatan hitam yang dulu-dulu. Itu Asisten Dosen yang seksi plus montok, Si Mbak Karin, dulu juga elo dekati supaya bisa lulus mata kuliahnya dengan nilai A.”
Vino menggeleng protes.
“Hei! Hei! Nggak begitu ceritanya, ya! Memang faktanya otak gue encer. Makanya gue layak buat lulus.”
“Sombong! Mau otak encer kalau banyakan bolos tetap deh, berat buat lulus dengan nilai A.”
“Yang penting akhirnya lulus, kan? c*m laude pula.”
“Kambuh deh sombongnya.”
Julian kembali bermaksud untuk menonjok bahu Vino. Tetapi kali ini Vino tampaknya dalam keadaan siaga. Dia lincah berkelit. Alhasil, tonjokan itu hanya menerpa angin saja. Julian menggertakkan gigi.
Vino membalas dengan gerakan serupa. Untuk menambah kesan dramatis, dia sengaja mengejek dengan berkacak pinggang pula.
Bahasa kedekatan dua kawan lama.
“Vin, elo mau sampai kapan sih begini?” cetus Julian kemudian.
“Begini gimana?”
“Ya jadi Anak bandel.”
“Sialan. Sopan banget itu mulut.”
“Ya apa namanya kalau bukan Anak bandel? Elo itu sudah pas kuliah selalu deketin Cewek-Cewek dengan azas manfaat, pas kerja elo ulangi pula. Keterusan deh. Hati-hati Vin, elo itu punya Dua Adik Cewek. Entar yang ada Adik elo itu kena karmanya, lho.”
“Oh, bagus malahan kalau mereka pada kena karmanya. Biar Mamanya dia mikir. Itu sedikit bonus karena sudah merebut kebahagiaan Mama gue. Dan nyaris merebut masa depan gue juga. Dasar Perempuan kurang ajar itu Mamanya mereka. Malah kalau bisa Mamanya juga bayar karmanya berkali lipat,” sahut Vino enteng lagi lancar.
Julian menampar lengan Vino.
“Hei, hei, jangan keterlaluan. Yang salah itu kan Papa elo dan Mama Sambung elo. Jangan Adik-adik Sambung elo yang jadi kecipratan getahnya dong. Nggak salah itu mereka berdua. Wong barangkali kalau bisa milih juga nggak akan mungkin milih Ibu yang jadi Selingkuhannya Papa elo dan jadi Perusak Rumah Tangga Orang.”
“Cih! Nggak ada Sambung-menyambung. Emangnya pulau sambung-menyambung? Buat gue, mereka berdua itu Orang paling b******k sedunia. Sorry aja pakai istilah Adik Sambung. Enggak sudi gue. Itu Betina, Makhluk paling busuk sedunia. Bayangin, dia itu Orang kepercayaan Mama gue. Datang dari kampung, dekil, Kumal, kurang gizi, sudah nggak punya Keluarga, ditampung sama Mama gue. Dikasih tempat tinggal yang nyaman, dicukupi semua kebutuhannya. Diajarin Mama gue cara masak, diajarin cara menjahit, banyak tuh pekerjaan Cewek. Dilesin bahasa Inggris juga karena katanya sudah nggak mau lagi kuliah. Sampai-sampai diajarin juga buat merawat badan dan memperhatikan penampilan. Siapa yang sangka, dia itu malah mengincar Papa gue. Dan Papa gue ternyata mata keranjang. Nggak tahu diri itu Betina! Itu kalau kata Orang Jawa, ditulung malah mentung!” kata Vino berapi-api.
Julian terbungkam. Sebagai teman kuliah Vino, dia cukup mengenal Keluarga Vino. Dia juga sangat mengenal Bu Astri, Mamanya Vino yang menurutnya terlalu baik lantaran menganggap semua Orang pada sadarnya adalah baik.
Semestinya, Keluarga Vino adalah Keluarga yang bahagia dan harmonis. Mamanya Vino telah memberikan Sepasang Anak untuk Papanya Vino, yaitu Linda, Sang Kakak yang terpaut usia 6 tahun dari Vino dan telah menikah serta tinggal di rumah yang bersebelahan dengan kediaman Orang tuanya, serta Vino. Dulunya Helmi, Suami Linda memang sengaja membeli kavling kosong di sebelah rumah Calon Mertuanya ketika hubungannya dengan Linda semakin serius. Dan begitu dia melamar Linda, dia langsung memulai proses pembangunan rumah mungil mereka. Rumah mungil dengan halaman yang luas, sesuai impian dari Linda, Istri yang sangat dicintainya. Bahkan Linda juga telah memberikan Seorang Cucu Laki-laki yang menggemaskan serta menambah semarak suasana di rumah mereka yang dikoneksikan dengan sebuah pintu penghubung dengan kediaman Orang tuanya.
Namun apa hendak dikata. Wanita yang ditolong oleh Bu Astri, yang sejatinya masih merupakan Tetangga dari Neneknya Vino di kampung halaman sana, yang berkata bahwa dirinya datang untuk mengadu nasib di Jakarta, justru kemudian ‘mengadu domba’ antara Bu Astri dan Suaminya.
Vino tertawa getir bila teringat kisah pahit tersebut. Walau semua telah terjadi beberapa tahun yang silam, tepatnya di kala dirinya masih duduk di bangku kuliah dan akhirnya dijadikannya alasan untuk bertindak seenaknya, tetap saja d**a Vino masih terasa membara setiap kali mengingatnya.
“b******k ya itu Betina! Setan! Mama gue sih, terlalu percaya sama dia. Pakai disuruh antar makanan buatan Mama gue ke kantor Papa gue setiap kali Mama gue nggak sempat. Dan brengseknya, pas pulang dari kantor Papa gue, selalu memfitnah Papa gue. Bilang Papa gue lagi menggoda dan bergenit ria sama Sekretarisnya lah, bilang Papa gue kecentilan colek-colek dan pegang tangan Sekretarisnya lah..., bilang Papa gue celamitan karena cari-cari kesempatan buat meraba badan Sekretarisnya. Ujung-ujungnya dia sendiri yang mau ngembat Papa gue. Ada ya makhluk busuk macam itu. Gue nggak habis pikir sama cara busuk dia menjebak Papa gue. Setan banget memang,” umpat Vino emosi.
“Hei, hei. Sorry, sorry, gue jadi bikin elo teringat sama itu semua.”
Vino tak menyahut. Baginya semua sudah kepalang tanggung. Toh bagaikan sebuah jangkar, luka lama itu seperti baru saja dikait kembali. Rasa pedih itu masih ada. Dan begitu dalam. Mungkin takkan pernah terobati. Selamanya.
Dia terkenang penuturan Sang Sekretaris dari Papanya, yang justru mengatakan yang sebaliknya. Sekretaris Papanya yang sengaja diundang oleh Sang Mama ke rumah kala itu malahan berkata bahwa Santi, ‘Sang Penggoda’, justru pernah kepergok olehnya sengaja berlagak hendak jatuh sehingga dijangkau oleh Papanya Vino. Dan pernah pula, Sang Sekretaris memergoki Santi duduk di atas pangkuan dari Papanya Vino. Dan bagaimana mungkin Mamanya dapat menyangkal kenyataan, bila yang bicara kemudian bukan hanya Sang Sekretaris, tetapi juga beberapa pegawai Wanita yang sudah sangat mengenalnya?
“Papa gue juga b******k. Seleranya rendahan begitu. Yang kasihan tuh Mama gue. Kurang setia apa Mama gue. Dari Papa gue masih miskin sudah berjuang bersama. Mama gue juga yang menuruti kemauan Papa gue untuk nggak lagi aktif di kantor bantuin dia. Mama gue setuju jadi Ibu Rumah Tangga sepenuhnya dan mendampingi gue sama Kakak gue sehari-hari. Padahal semakin gue sama kakak gue beranjak Remaja, Mama gue itu mulai kesepian di rumah karena gue dan Kakak gue lebih asyik dengan Teman-teman sebaya di luar rumah. Kakak gue juga mulai sering diajak main ke rumah Pacarnya, Mas Helmi. Dan buat membunuh sepi, Mama gue mulai iseng buka usaha catering, yang sebenarnya juga bukan buat mencari untung. Itu karena Teman-teman Mama gue bilang masakan Mama gue enak,” kenang Vino.
Dan itu pula alasannya mengapa Papa gue selalu makan masakan Mama gue biarpun di kantor. Semua yang berawal dari saat masih susah itu akhirnya jadi kebiasaan, makan masakan Mama gue terus setiap siang. Ah! Andai Mama nggak pernah mengiakan tawaran si Betina Santi untuk mengantarkan makanan ke kantor, mungkin keadaannya nggak akan seperti sekarang. Huh! Tapi Siapa yang tahu? Orang kalau dasarnya punya mental bejad, ya bakal ketemu aja jalannya, sambung Vino dalam hati.
Julian menatap dengan prihatin.
“Selemah-lemahnya imannya Papa gue, mustinya mikir dong. Itu yang menggoda dia itu umurnya dia aja cuma lebih tua satu tahun dari gue. Gatel banget itu Betina. Gue nggak bunuh dia sudah bagus, tahu nggak? Gila, gue masih muak setiap kali ngebayangin, rapi banget mereka menyimpan perselingkuhan mereka yang entah sudah berapa lama. Jadi kalau di rumah berlagak sok formal. Tapi setiap kali dia antar makanan ke kantor Papa gue, hah! Sambil bobok-bobok siang! Pantesan lama. Dan pantesan suka nolak untuk diantar sama Supir. Selalu mau pakai taksi. Terus alasan mau sekalian beli ini, mau sekalian beli itu biar Mama gue nggak curiga. Kadang gue geregetan sama Mama gue, kenapa enggak dicakar dan dicabik-cabik aja itu muka si Betina itu!” papar Vino, menumpahkan unek-uneknya.
Julian terpekur. Dia sepertinya menyesal telah menguak kembali luka lama di hati Vino.
Luka lama yang yang terjadi kala Vino baru saja duduk di semester II dan seketika menjadikan dirinya bersikap mencari perhatian. Hampir saja Vino memutuskan untuk berhenti kuliah kala itu, jika saja Julian tidak terus menerus menyemangatinya.
Vino memang benar-benar terpuruk kala itu. Di usia yang belum lagi memasuki kepala dua, hantaman rumah tangga Orang tuanya membuat dirinya merasa dendam pada Papanya. Dia tak dapat melupakan betapa Sang Papa menciumi kaki Mamanya dan meminta maaf atas kekhilafannya. Dia menyaksikan sendiri bagaimana Mamanya menyepak kepala Sang Papa dengan berurai air mata.
...
Badan Bu Astri gemetaran saking menahan marah.
Dia tidak pernah menyangka meski satu kali saja, bahwa kebaikan hatinya untuk menampung Orang yang membutuhkan bantuan karena kisruh rumah tangga dari Orang tua Santi yang berujung perceraian sehingga Santi terlantar dan hidup berkekurangan baik dari segi perhatian yang semetinya dia dapatkan di masa yang rawan maupun secara finansial, akhirnya menjadi bumerang bagi keutuhan rumah tangga yang telah dibinanya puluhan tahun lamanya.
Dia tak pernah mengira, rupanya di balik sikap manis Santi kepadanya, yang mau membantu pekerjaan di dapur dan bahkan mau ikut mengantarkan pesanan catering khusus dari Para Langganan yang tak lain merupakan Para teman dekat Bu Astri, ternyata menyimpan rencana yang begitu busuk. Rencana yang tertata begitu rapi setelah menginjakkan kaki di rumah Sang Penolong yang tanpa pamrih tersebut.
Kepala Bu Astri sudah terasa teramat pusing. Tetapi Bu Astri menyembunyikan rasa pusing itu. Jauh di lubuk hatinya, Dia begitu takut tekanan darahnya melonjak akibat mendengar pengakuan dari mulut Pak Danang. Pengakuan yang memberikan jawaban atas pertanyaannya mengapa Santi mendadak bersandiwara kepadanya satu bulan yang lalu, dengan mengatakan bahwa dirinya sudah tak enak hati tinggal di rumah tersebut dan menjadi beban sekian lamanya. Santi pamit dan mengatakan tak mau dicurigai sudah menjalin hubungan gelap dengan Suami dari Orang yang menolongnya.
Yang lebih membuat Bu Astri menyesal adalah lantaran pemikirannya yang masih terlalu polos. Saat Santi hendak pergi saja dia masih mencegah dan mengkhawatirkan kalau Santi takkan baik-baik saja hidup di luar sana. Padahal sudah jelas dia agak curiga mendapati tubuh Santi yang sepertinya berubah. Tubuh Santi tampak lebih mekar ketimbang biasanya. Dan anehnya, Santi seperti sengaja mengaburkan keadaan tersebut dengan memakai pakaian yang agak longgar.
Tidak pernah terpikir oleh Bu Astri, bahwa kepergian Santi yang malah masih dibekalinya dengan sejumlah uang dan banyak pesan positif, ternyata bukan untuk kembali ke kampung halaman. Santi ternyata telah dibelikan sebuah rumah oleh Pak Danang, secara diam-diam, tanpa sepengetahuannya.
“Santi..., perutnya sudah semakin besar, Ma. Maukah Mama memberikan ijin ke Papa untuk menikahinya? Papa nggak mau Anak itu menjadi Anak haram..,” pinta Pak Danang hati-hati.
Vino yang baru saja pulang dari rumah Julian terperanjat mendengarnya. Tangannya langsung mengepal. Rasanya dia ingin mendobrak kamar tidur Orang tuanya, lantas ikut memaki Sang Papa saat itu juga. Bila perlu, ingin dihajarnya Sang Papa yang telah menyakiti hati Mamanya tercinta.
“Papa keterlaluan. Aku harus kasih tahu Mbak Linda,” gumam Vino lalu segera melangkah melewati pintu penghubung antara rumah Orang tuanya menuju kediaman Linda.
Namun baru saja dirinya melangkah ke pekarangan rumah Sang Kakak, yang terdengar olehnya adalah tangisan Lando, bayi Linda yang baru berusia dua bulan. Sepertinya Cucu kesayangan Sang Oma merasakan lara hati Neneknya, dan menjadikan dirinya rewel.
Langkah Vino terhenti seketika. Dia segera berbalik, kembali ke rumahnya.
“Pergi! Pergi dari rumah ini! Sana, tinggal dengan Perempuan itu! Ceraikan Mama!” teriakan Bu Astri yang lantang terdengar, kala Vino memasuki rumahnya kembali. Dia menyaksikan Dua Orang Asisten Rumah Tangga yang segera masuk ke kamar tidur mereka untuk menjaga perasaan Sang Empunya rumah.
Vino tak tahu harus bersyukur atau marah atas tindakan spontan Kedua asisten Rumah tangganya itu.
Lantas yang terdengar oleh Vino adalah Suara barang-barang dibanting. Disambung dengan suara isakan.
“Pergi! Keluar! Mama muak melihat muka Papa!” teriak Bu Astri lagi.
Kemudian yang terdengar oleh Vino adalah suara pintu berdebam. Rupanya Sang Papa telah keluar dari kamar dan Sang Mama segera membanting pintu itu.
Tatap mata Vino tertaut dengan tatap mata Sang Papa. Ada sesal mendalam dalam bila mata Sang Papa.
Vino membuang muka.
“Vino..., Papa minta maaf.”
“Aku nggak Sudi memaafkan! Papa jahat! Papa bejad! Papa itu kalau mau selingkuh lihat-lihat, Pa! Yang model betina jalang siluman iblis begitu diembat juga. Jangan-jangan nafsu Papa juga nafsu binatang!” caci Vino dalam geram.
“Kurang ajar kamu Vino! Papa ini tetap Papamu!”
Tangan pak Danu terangkat.
Vino membusungkan dadanya. Bersikap menantang.
“Apa? Mau tampar aku? Dengar ya, Pa! Aku menyesal menjadi Anak Papa! Kalau saja bisa, aku tukar Papa sama Gembel di jalanan saja. Hati mereka lebih bersih. Dan otak mereka bukan otak m***m seperti Papa!” maki Vino lagi.
“Vino! Jangan keterlaluan kamu!”
Tangan Pak Danu melemas.
“Siapa yang keterlaluan? Aku, yang asalnya dari benih Laki-laki Tukang Selingkuh, atau si Tukang Selingkuh yang seleranya rendah ini?” tantang Vino.
Sama seperti halnya Bu Astri tadi, badan Pak Danu juga gemetaran hebat menahan marah.Marah yang bercampur rasa sedih dan sesal.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $
Fan page B!telucy