Motivasi Yang Keliru? (2)

2008 Words
Mendapati Sang Papa terdiam, Vino semakin merasa dirinya tengah di atas angin. Dia tak mau menyia-nyiakan momen itu, semata demi membela kepentingan Sang Mama. “Nggak dengar apa kata Mama tadi? Kurang jelas? Kalau begitu aku saja yang perjelas sekarang. Cepat pergi! Aku tahu sendiri sejarah rumah ini. Dulunya Opa yang membelikan tanahnya sebagai hadiah pernikahan Mama. Ya kan? Opa juga memberikan tumpangan selama Laki-laki yang mengkhianati kesetiaan Mama ini menumpang di Pondok Mertua Indah, alias rumah Opa. Opa juga membantu biaya pembangunan rumah inipada awalnya. Huh!kalau sekarang rumah ini bisa sebesar ini, itu juga tak lepas dari bantuan Mama. Mama juga bekerja membanting tulang, di saat awal Laki-laki Tukang Selingkuh ini baru berhenti bekerja dan memulai usaha. Karenanya kalau cukup punya malu, mestinya nggak hanya pergi dari rumah ini, tapi juga angkat kaki dari perusahaan. Itu modal awalnya Siapa yang dukung? Ya Opa juga! Siapa lagi!” Vino menunjuk-nunjuk wajah Papanya dalam gusar. “Vino, kamu!” Wajah Pak Danang tampak merah padam lantaran berang. Vino membuang muka. “Aku nggak habis pikir, Mama yang begitu tulus dan baik hatinya, bisa-bisanya disakiti seperti itu. Dan Saingan Mama? Astaga! Betina jalang yang kampungan dan norak itu! Masih mendingan kalau selingkuh sama penghuni rumah b****l sekalian.” “Vino! Kamu ini memang kurang ajar! Nggak pantas kamu berkata macam itu kepada Orang tuamu!” “Kalau aku kurang ajar, lantas Laki-laki Tukang Selingkuh ini sebutannya apa? Otak m***m? Pengkhianat? Malu aku, punya Orang tua yang seperti ini! Aku kasih tahu ya, kalau saja Opa masih ada, bisa-bisa ada yang diseret ke sel, sekarang juga. Opa pasti menyesal pernah mempercayakan Putri Tunggalnya ke tangan Manusia hina seperti ini!” Pak Danang merasa bagai tertampar keras. Tangan Pak Danang mengepal. Vino menatap dengan sikap yang lebih menantang lagi. Pandangan matanya sungguh meremehkan Sang Papa. “Apa? Mau pukul aku? Dasar b******k! Nggak tahu malu! Mama saja terlalu polos, terlalu percaya sama dua Iblis yang pernah tinggal bersama di rumah ini. Oooh! Pantas! Pantas saja aku beberapa kali memergoki sikap rikuh Kalian berdua kalau berada di rumah ini, Pasangan yang hobby berzinah! Itu saja sudah lebih dari suatu bukti bahwa Kalian berdua sudah berselingkuh cukup lama!” Vino meluapkan rasa kesalnya. Sampai di sana, Vino bahkan berpikir tempat tinggal mereka perlu diadakan ritual khusus untuk membersihkan aura buruk yang diakibatkan perzinahan Pak Danang dengan Santi.Hanya saja hal itu belum terucap olehnya. Sementara Sang Papa yang merasa dirinya memang bersalah, mau tak mau terbungkam. Kesempatan ini dipergunakan dengan baik oleh Vino untuk menumpahkan segala kecurigaannya selama hampir setengah tahun terakhir. Dia yang pertama kali mendapatkan firasat tak enak, di saat kedatangan Santi dari kampung. Dia pula yang memandang sebelah mata pada sikap sok manis wanita satu itu. Dia tak tahu pasti apa alasannya, hanya saja dia tak suka. Dia kurang setuju ketika Sang Mama justru memintakan ijin kepada Pengurus Lingkungan supaya Santi bisa menetap di rumah mereka. Pun begitu, Sang Mama yang dikenal sebagai Sosok yang welas asih di lingkungan tempat tinggalnya, tetap saja melakukannya. Sangat wajar bila Vino tak suka dengan Santi. Menurutnya, sikap ramah Santi itu tampak dibuat-buat. Dia paling sebal jika Santi menyodorkan diri kepada Sang Mama untuk membantu-bantu mengirim makanan, terutama ke Sang Papa di kantor, dan kepada sejumlah Pelanggan catering Sang Mama. Bukan itu saja, ketika Santi mulai mengadukan situasi di kantor dan memfitnah Tifa, Sekretaris Pak Danang, Vino sempat mendengarnya selewatan. Kala itu dia sedang mengambil minuman kaleng di kulkas dan mendapati Santi tengah berbicara super pelan kepada Sang Mama, sesekali mengelus lengan Bu Astri dan menghibur Wanita itu. Vino menengarai Sang Mama terlalu mendengarkan apa saja perkataan Santi. Dan dia tak bisa lupa, mulai ada kebekuan di meja makan semenjak itu. Vino tak tahu pasti apa yang terjadi, apakah Sang Mama sekadar menyimpan kecurigaannya, ataukah langsung menuduh Sang Papa berbuat serong. Yang jelas, sesekali Vino menyaksikan sikap Sang Mama berubah kepada Papanya. Hanya saja, sejauh itu Vino belum bertindak. Vino merasa kemarahan Sang Mama bagai api dalam sekam. Tinggal tunggu waktunya meledak. Dan itu bisa kapan saja. Vino masih ingat, pernah juga dia membentak Santi karena saat dirinya baru keluar dari kamar mandi di pagi hari, dia melihat Santi sedang berada di kamarnya. Alasan Santi adalah membawakan pakaian keringnya yang sudah diseterika. Dan saat dia meributkan hal itu kepada Sang Mama, Sang Mama justru membela Santi dan memuji Wanita itu, yang dianggap rajin membantu mengerjakan pekerjaan rumah juga. “Dia itu memang nggak bisa diam, Orangnya. Anaknya rajin. Kalau saja dia mau kuliah, Mama sudah mau membayari biaya kuliahnya dia. Tapi memang dia sukanya bantu-bantu pekerjaan di rumah ini. Belajar masak juga dia cepat bisanya, Vin. Kamu itu jangan berburuk sangka terus sama dia. Mungkin dia hanya nggak mau menunda pekerjaan jadi membawa pakaian keringmu ke kamar pagi-pagi. Mama sudah tanya kok ke dia, katanya dia sudah mengetuk pintu kamar kamu berkali-kali. Dan karena pintu kamar kamu itu sedikit terbuka, jadi dia masuk. Saat itulah, kamu keluar dari kamar mandi. Sudah Vino, yang begitu jangan dipermasalahkan,” itu yang diucapkan oleh Sang Mama kala mendengarkan protesnya. “Kenapa harus dia yang mengantarkan? Dia mau jadi Asisten Rumah Tangga juga di rumah ini? Biasanya juga pakaian keringku itu diantar ke kamar, aku nggak pernah tahu waktunya kapan. Si Mbak pasti memasukkannya sewaktu aku di luar kamar atau sedang di rumah Teman. Tapi kenapa Si Jalang satu itu masuk ke kamarku sepagi itu kalau bukan mau menggoda? Ma, mama tentu tahu dong, dan nggak lupa? Anak Mama ini Laki-laki! Mama tahu kalau pagi-pagi Anak Lelaki itu nggak bangun tidur sendirian, tapi Junior-nya juga ikut bangun, kan? Bagaimana kalau dia sampai melihat gundukan di celanaku? Nggak pantas, kan? Dia itu Orang lain!” cerocos Vino pula, saat itu. Dia tak sadar saja, ada semburat merah di leher dan wajahnya kala dia melontarkan hal itu, yang dipergoki oleh Sang Mama. Dan Sang Mama malah tertawa ringan sembari mengelus pundak Vino lalu berkata,”Ha ha ha! Ngerti, ngerti. Anak Mama sudah dewasa sekarang. Tapi nggak usah terlalu kesal begitu, nanti Mama kasih tahu supaya khusus untuk pakaian kamu, dia nggak usah menyentuhnya lagi.” Vino yang masih tak puas, saat itu ngeloyor pergi dan menggerundel tak jelas, “Kalau cuma itu sih aku sudah bilang sendiri, Ma. Yang aku mau, dia itu nggak usah deh tinggal di sini. Saudara bukan, Teman juga bukan, ngapain tinggal kelamaan di sini? Tinggal gratis kok malah buat yang punya rumah nggak nyaman. Kalau cuma numpang barang tiga empat hari masih nggak masalah. Hitung-hitung nolong Orang susah. Nah ini, sudah lebih dari dua minggu! Bayarin kost aja deh. Di sekitar sini juga bolwh. Cariin dia kerjaan. Atau anggap saja dia kerja pulang hari bantu-bantu masak di sini, tinggal bayar gajinya. Beres.” Merunut semua kejadian yang telah lalu, Vino meradang. “Dan apa yang aku pergoki sekitar datu setengah bulan lalu semestinya sudah merupakan sebuah warning keras buatku. Pantas saja Kalian berdua berbicara berbisik-bisik di halaman belakang. Aku pikir karena si Iblis betina itu mau kembali mengompori, menggosok-gosok dan mengatakan bahwa Mama menegur Tifa, Sekretaris yang sudah lama bekerja di kantor karena aduan dia sendiri. Ternyata aku keliru, ya? Huh! Bisa jadi saat itu Si Iblis betina sudah mulai menuntut pertanggung jawaban atas perbuatan terkutuk Kalian berdua!” Pak Danang benar-benar terpojok. Andai saja dalam keadaan biasa, sudah pasti dia akan balas memaki Sang Anak. Sayangnya, kali ini dia tak hanya menyadari telah berbuat salah, namun juga menyesali perbuatannya sendiri. Pak Danang merasa terjerat. Di satu sisi, tentu saja dia tak akan sanggup untuk membandingkan Bu Astri dengan Santi. Sangat jauh berbeda. Bu Astri adalah Wanita yang dulu dipacarinya cukup lama, karena status ekonomi keluarga merkea yang berbeda. Pak Danang perlu bekerja keras untuk dapat menghadapi Bu Astri dengan rasa percaya diri. Mama, maafkan Papa. Papa memang salah. Entah apa yang ada di pikiran Papa saat melakukannya dengan Santi untuk pertama kalinya. Tapi Ma, Santi memang menarik. Dan meski usianya masih begitu muda, dia mau melakukan apa saja untuk memuaskan Papa. Dia begitu lihai dan tak malu-malu melakukannya, Ma. Bagaimana bisa Papa bertahan dengan godaan yang nyaris setiap hari disodorkan sendiri sama Mama? Mama kan tahu sendiri, Laki-laki itu cenderung rentan. Dengan Para Staf Wanita di kantor juga sengaja Papa menjaga jarak. Mama tahu itu, kan? Nggak lupa, kan dengan kesepakatan kita? Banyak di antara mereka juga adalah pegawai lama, yang kenal dengan Mama. Dan Mama malahan mengirimkan Santi ke kantor. Mama sadar, kan, dia begitu muda? Dia begitu atraktif, sementara kita sudah semakin jarang melakukan hubungan Suami Istri? Keluh Pak Danang dalam hati. Pak Danang menggelengkan kepalanya. Tidak pernah terpikir olehnya, bahwa semuanya akan seruwet ini. Semula ketika dia tahu sulit untuk menghindari godaan Santi, dia hanya berpikir tentang kenikmatan sesaat saja. Pak Danang senang karena Santi membuatnya serasa muda kembali. Dia juga senang karena Santi adalah type Wanita yang ‘cepat panas’ dan piawai mengimbangi permainannya, sehingga sangat cocok untuk menjadi ‘hidangan penutup’nya yang tak terlupakan, di waktu istirahat siang. Santi dengan segala desahannya, ekspresi wajahnya, liukan tubuhnya, sanggup membuat gairah Pak Danang tak sekadar bangkit, namun juga terpuaskan dengan sempurna. Bak Seorang Pekerja Seks Komersial, Santi sama sekali tidak canggung, bahkan sejak pertama kali mereka berdua melakukannya. Lantas ketika dirinya mulai ketagihan dengan ‘pelayanan istimewa’ dari Santi, yang sanggup membuatnya menggeram dalam puncak kenikmatan di atas ranjang yang dihangatkan oleh tubuh Santi dan merasakan otaknya bagai berceceran, dia mulai ‘bermain cantik’ dan melakukan sandiwara dengan Wanita itu. Ya, Pak Danang ingat sekali bagaimana dirinya sempat membuat perhitungan. Jelas dia tak mau ada masalah besar ke depannya. Dia tak mau ‘meninggalkan jejak’. Dia mulai memakai pengaman. Celakanya, itu sudah amat terlambat. Sudah ada benih yang berkembang di rahim Wanita itu. Hal yang membuatnya panik adalah, karena Wanita itu tak mau menggugurkannya. Wanita itu menangis meraung-raung dan mengatakan tak mau menjadi Seorang Pembunuh dari bayi yang tidak berdosa. Bayi yang juga tidak pernah meminta untuk dibuah oleh mereka. Pak Danang kalut. Karena dengan memaksa hasilnya hanyalah sia-sia belaka, dia berusaha memakai cara lain. Dia pernah mengajak Santi untuk makan siang di luar, dan mengabaikan begitu saja masakan Sang Istri yang dibawa oleh Santi. Santi, yang tidak tahu rencana Pak Danang justru berpikir lebih jauh. Dia tetap hendak menyembunyikan hubungan gelap mereka dan tak mau ada mulut yang mengadukan ke Bu Astri. Dia membawa masakan tersebut dan memberikannya kepada Satpam yang bekerja di restaurant yang mereka tuju. Ketika Pak Danang tahu apa yang dipikirkan Santi, diam-diam dia memuji kecerdasan Wanita itu. Tetapi itu tak menyurutkan dirinya untuk tetap melancarkan rencananya. Ketika Santi pergi ke toilet, Pak Danang segera memasukkan serbuk penggugur kandungan ke dalam minuman Santi dan mengaduknya dengan cepat. Sesuai iklannya, serbuk itu mudah larut, tak berwarna dan tak berbau, jadinya tidak menimbulkan kecurigaan. Serbuk penggugur kandungan itu dibelinya secara daring karena banyak yang memberikan review bintang 5. Dia menanti reaksinya, bukan saja sewaktu mereka makan, tetapi hingga melepas kepergian Santi dengan menyetop taksi. Dia sudah bersiap-siap menunggu kabar dari Santi. Namun hingga malam harinya dan bahkan esok paginya, tidak ada ‘keluhan’ apa pun yang dilontarkan oleh Santi. Rasanya Pak Danang ingin menyumpah-nyumpah. Dia merasa dibohongi oleh Para Pembeli yang memberikan review bintang 5 untuk produk tersebut. Sepertinya bukan hanya fisik Santi, tetapi janin di dalam kandungan Wanita itu juga terlalu kuat. Dan ada satu hal lagi yang terjadi seiring dengan kehamilan Santi. Wanita itu tidak mengalami mual-mual sebagaimana Para Wanita yang tengah hamil muda. Hanya saja, dia sedikit lebih sensitif. Dia begitu mudah tersinggung. Namun yang jelas, Santi jadi lebih panas di ranjang. Dan Santi lebih manja, itu pasti. Santi agak berubah sekarang. Dia jadi lebih haus seks dibandingkan dengan sebelumnya. Dia juga berani melanggar ‘kesepakatan’ antara dirinya dengan Pak Danang untuk bersikap sewajarnya di depan Bu Astri. Santi tidak malu-malu mengirimkan video dirinya yang tengah melakukan m********i di kamar, ke nomor telepon genggam Pak Danang. Pada tengah malam, pula! Saat-saat di mana bu Astri terbaring di sisi Pak Danang. Bagaimana bisa jantung Pak Danang bisa baik-baik saja? * $ $ Lucy Liestiyo $ $ Fan page B!telucy
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD