Ada Yang Bersemi, Ada yang Terlupakan

2428 Words
“Serius nih, Klara, kamu nggak malu kalau makan siang sama aku begini?" Melihat tanya di mata Klara, Vino menyambung ucapan nya. "Soalnya aku ini cuma Pegawai kecil, lho,” ujar Vino merendah. Klara mengerling keji. Tak suka dia dengan ucapan Vino. “Kamu tuh kenapa sih selalu bilang begitu?” keluh Klara bernada protes. Vino mengangkat bahu. “Enggak. Aku hanya..., sedikit minder.” Bola mata Klara mau tak mau berputar. Mereka berdua memang tidak sengaja bertemu di food court ‘Esmeralda’ yang terletak di lantai dasar Plaza Orchids II beberapa puluh menit sebelumnya. Tadi itu, Klara baru saja membelikan sebuah produk skin care  pesanan Sang Kakak, yang konon hanya memiliki outlet di gedung tersebut. Gara-gara berbasa-basi melalui telepon tadi pagi, Irene jadi tahu kalau Sang Adik akan memiliki jadwal meeting di gedung Orchids I yang letaknya hanya berbatas area parkir dengan gedung Orchids II. Dengan gaya otoriternya, Irene langsung saja mentransfer sejumlah uang dan memaksa agar Sang Adik mampir sebentar untuk membelikan apa yang dia maui. Dan macam ‘Adik Yang Tertindas’, Klara sulit untuk menolak. Padahal dia sudah memberikan kode halus bahwa dirinya enggan berpanas-panasan melintasi area parkir yang membentang di antara kedua gedung, apalagi menjelang jam makan siang begitu. Tapi dasar namanya Irene, sudah jelas tidak kehabisan akal. Dia memakai gaya membujuk, lalu merengek yang campur memaksa. Dia juga berpromosi bahwa di food court Esmeralda banyak menyediakan hidangan yang luar biasa cita rasanya dan sungguh rugi kalau dilewatkan begitu saja oleh Sang Adik. Seperti itulah. Akhirnya Klara sampai juga di food court Esmeralda. Sewaktu tengah menunggu makanan pesanannya diantarkan, Klara melihat Seseorang yang memakai seragam khas Awak Teve dengan tulisan di punggung ‘Channel 789’ yang khas. Klara baru teringat, sejatinya salah satu studio dari Perusahaan media tersebut bertempat di Plaza Orchids II. Langsunglah pikiran Klara tertaut kepada Seseorang, yang dalam beberapa hari terakhir ini amat rajin mengiriminya ucapan standard, ucapan Selamat Pagi dan Selamat Beraktivitas disertai ikon senyum lebar. Dan Seseorang itu pula yang rajin mengiriminya teks menanyakan apakah dirinya sudah makan siang atau belum kala menjelang jam istirahat siang. Seolah dirinya adalah ‘Someone Special’ bagi Seseorang tersebut, Klara juga mendapatkan ucapan ‘Selamat Tidur. Selamat Beristirahat’ kala malam hari. Hal-hal kecil yang membuat dirinya tersanjung serta terbiasa. Begitu kru dari Channel 789 itu berbalik badan, Klara terkejut. Dia tak menyangka sama sekali. Rasanya seperti mimpi saja. Baru juga dipikirkan, tahu-tahu sudah muncul Sosok yang aslinya. “Vino! Kamu makan siang di sini juga?” seru Klara tadi. Yang disapa tidak hanya terkejut, namun juga bersemangat. Hampir saja posisi nampannya yang berisi makanan pesanannya bergoyang. Klara otomatis melambaikan tangan. Dan Vino jelas langsung menghampirinya. “Heiii...! Kamu sedang ada event? Ada ke Klien? Di gedung ini, Ra?” tanya Vino beruntun sesudahnya, yang berjawab gelengan kepala dari Klara. "Lho, terus? Masa sengaja kemari cuma untuk makan di sini?" Klara menggeleng lagi. “Tadi aku ada meeting di gedung satunya. Tapi setelah itu aku ambil pesanan Kakakku di gedung ini, jadi ya sekalian makan deh, sebelum balik ke kantor. Duduk, Vin. Kelihatannya mejanya rata-rata penuh,” ujar Klara sembari menatap sekelilingnya. Vino tampak ragu. Namun Klara membujuknya. Seperti itulah awal pertemuan mereka tadi, sebelum akhirnya percakapan yang sedikit absurd terjadi. Kini mereka sudah dapat bercakap akrab seraya menikmati makanan masing-masing. “Bagaimana kabar Keluarganya Kerabatmu yang waktu itu berkabung? Ini sudah..., hm..., sekitar satu minggu setelah pemakamannya kalau nggak salah, ya?” tanya Vino. Klara memuji dalam hati. Dia perhatian juga. Sampai dihitung, sama dia, pikir Klara yang takjub karena Vino ingat jelas hari pemakaman Ibunda dari Randy. “Ya, tiga hari lalu kamu baru saja menghadiri acara doa tujuh hari meninggalnya Tante Virny. Itu nama Kerabat kami. Suaminya sih tampak masih sangat berduka. Namanya ditinggal Pasangan hidup yang sekian lama mendampingi Beliau...” Vino manggut. “Paham. Nggak mudah kehilangan Seseorang yang sudah menjadi Pendamping hidup, ibarat kehilangan separuh nyawa rasanya.” Klara terusik dengan istilah yang digunakan oleh Vino. Dia ini melankolis. Dan hebatnya, dia nggak ragu untuk mengekspresikan perasaannya itu, pikir Klara. Diam-diam dia memuji kelebihan Vino dalam hatinya. “Iya. Kami berharap Keluarganya bisa segera move on dan melanjutkan hidup.” “Semoga.” Vino menyedot air minumnya melalui sedotan. “Ngomong-ngomong, usia Kerabatmu berapa, sewaktu berpulang?” tanya Vino. Klara berpikir sejenak. “Sekitar..., enam puluhan begitu, mungkin, ya.” “Ooooh...” “Tadi habis dari studio di atas, ya?” tanya Klara, mengalihkan pembicaraan. “Iya. Kok tahu Channel 789 punya studio di sini?” “Pak Johan pernah menyebutkan.” “Oh. Oke.” “Yang terdekat ada event apa, Ra?” “Event kecil saja. Seperti bazaar. Kalau yang sedang berjalan sekarang ada event pameran buku import.” “Wah. Keren. Ramai?” “Lumayan. Nggak nyangka Peminat buku import segitu banyaknya. Senang sih, ternyata minat baca mereka tinggi juga.” “Sepertinya sih tergantung dari yang membuat konsep acaranya, dan bagaimana penyelenggaraannya sendiri,” puji Vino. Klara tertawa kecil. “Kamu sendiri lagi menangani program apa sekarang?” “Program reguler saja. Soalnya sekarang sedang agak ketat sih, regulasi internalnya. Jadi agak sulit untuk berimprovisasi.” “Masa sih?” “Iya. Sejak..., sejak..” Klara lekas mengibaskan tangannya. “Kalau persoalan internal perusahaan jangan dibicarakan, lho. Kita ngobrolin yang lainnya saja.” Vino menebar senyum simpatiknya. “Kamu memang yang terbaik, deh. Juara.” “Lho, kok?” “Kamu Orangnya pantang ya, membuat Lawan bicaranya nggak nyaman.” “Eh?” “Sayang ya, rencana kerja sama waktu itu belum ada kelanjutan lagi. Ini karena campur tangan dari...,” Vino menggantung kalimatnya. “Hei..., kalau persoalan internal jangan dibicarakan.” Klara mengulangi peringatannya. Akibatnya Vino tersenyum dan mengacungkan jempolnya. Padahal sudah terbayang sama aku, kalau perhelatan itu jadi, wah..., bisa cetar luar biasa. Dan juga bisa menjadi jembatan buat aku supaya lebih dekat dengan Klara. Payah sih, Si Bos. Jadi kurang greget sekarang. Susahnya punya Bos yang terlalu dengar apa kata Istri yang nota bene ngurusin Keuangannya. Bagaimana bisa mempertahankan rating acara kalau nggak berani keluar uang yang sepadan untuk biaya produksi acara yang menarik? Keluh Vino dalam diam. “Tapi kan sekarang dengan sendirinya jalan kamu untuk dekat sama Cewek satu ini terbuka lebar. Ya dimanfaatkan dong!” Sebuah Suara bak hasutan seakan ditembakkan tepat ke gendang telinganya. Hampir sebuah seringai terbentuk di sudut bibir Vino karenanya. “Jangan suka memanfaatkan Orang. Kalau mau memulai sebuah hubungan itu, awali dengan niat baik. Entahkah itu hubungan pertemanan, hubungan bisnis, hubungan percintaan. Ayolah! Belum tobat, memangnya?” Suara yang lain hinggap di kepala Vino, seakan beradu pengaruh. Vino menggelengkan kepalanya. Dia tak sadar, Klara menamati gerakan kecil itu. Klara langsung berpikiran ada hal berat yang tengah ditanggung oleh Vino. “Bagaimana rasanya kerja di stasiun teve? Seru pasti , ya? Tantangannya, rutinitasnya, kolega kerjanya, belum lagi ketemu sama Talent yang oke punya. Pasti nggak ada bosannya, ya.” Vino terbahak. “Sama saja. Semua pekerjaan itu ada suka dukanya. Walaupun ada yang bilang, bekerjalah yang sesuai minat, sesuai hobby, biar lebih dinikmati. Itu memang ada benarnya. Tapi bukan berarti semuanya berjalan lancar tanpa kendala.” Klara meresapi perkataan Vino. Kenapa sih, kata-katanya Vino ini begitu dalam? Dan bijak. Tapi herannya, nggak berkesan tua, batin Klara. Terkesan dia. “Ngomong-ngomong, kamu sendiri sudah lama, menangani bisnis ini? Yang memperkenalkan Siapa? Dari Orang tua ataukah dari Teman?” Klara diam sejenak. “Hm. Kalau rahasia, jangan dijawab lho Ra.” “Enggak rahasia lah. Jadi sebenarnya aku belum terlalu lama menjajal bisnis ini.” “Serius?” tanya Vino. Jelas dia berpura-pura. Semenjak bertemu di bandara tempo hari, dia sangat rajin mengulik semua informasi tentang Klara. Dan secara garis besar, dia sudah tahu kapan dan bagaimana Cewek ini memulai bisnis event organizer-nya. “He eh.” “Hebat.” “Biasa saja kok.” “Cerita sedikit boleh dong. Bagaimana kamu bisa tertarik dengan bisnis ini.” “Boleh. Itu karena dulunya sewaktu sekolah dan kuliah aku itu sudah terbiasa diberikan tugas untuk menangani acara-acara yang di selenggarakan di sekolah maupun di kampus. Dan aku pikir asyik juga kalau ditekuni. Sewaktu kuliah juga, biarpun sedikit dilarang sama Kedua orang tuaku, aku sudah mulai bekerja paruh waktu. Aku sering menerima tawaran untuk menjadi kru kalau ada perhelatan. Dari situ aku mulai kenal beberapa Teman yang menjalankan bisnis serupa. Cuma begitu lulus kuliah memang aku belum punya nyali untuk langsung membuka usaha ini. Lagi pula, sebetulnya aku ini pas kuliah mengambil jurusan Akunting.” “Akunting? Serius?” “Ya.” “Kok bisa?” Klara mengedikkan bahu. “Papaku itu Seorang Akuntan. Mamaku juga memiliki latar belakang serupa. Aku dan Kakakku ya disekolahkan sesuai dengan ..., hm..., kamu tahu maksudku, kan?” Vino manggut. “Menuruti keinginan Orang Tua, ya? Kamu Anak yang berbakti.” “Wah. Nggak tahu deh. Aku hanya nggak mau mengecewakan mereka berdua. Dan sejujurnya, selama kuliah aku juga sering merasa, jalur itu bukan jalan hidupku nantinya. Tapi toh tetap aku selesaikan juga. Beda sekali dengan Kakakku. Dia sangat suka dengan angka-angka.” Dan suka menggerecoki kehidupan Adiknya, sambung Klara dalam hati. “Aku juga ya sedikit bantu-bantu pekerjaan Papaku sebetulnya saat menjelang kelulusanku dari bangku kuliah. Papa memang nggak memaksa. Hanya sifatnya memperkenalkan. Tapi semakin lama aku semakin merasa, accounting is not my cup of tea. Dan pada akhirnya begitu lulus kuliah, aku berterus terang mengenai hal ini kepada Papa dan Mamaku. Sekalian aku juga meminta pendapat tentang tawaran pekerjaan yang disodorkan kepadaku. Pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang aku suka. Bertemu Orang banyak. Bukan duduk berkutat di belakang benda persegi bernama laptop, menatap deretan angka-angka atau memencet kalkulator dengan super lincah tanpa melihat sedikit saja. Rasanya aku bisa mati bosan kalau harus menjalani kehidupan macam itu.” “Ha ha ha. Kebayang sih. Soalnya kamu itu energic Orangnya, ya. Bekerja di belakang meja, menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengumpulkan dan menganalisa data yang nota bene benda mati, bakal kurang asyik buatmu.” “Seperti itu kira-kira.” "Aku paham. Tapi Keluargamu juga mendukung keputusanmu. Bagus itu," “Waktu itu Kakakku sempat salah paham sih.” “Oh, ya?  Salah paham bagaimana?” Klara menimbang sesaat di dalam diamnya. Mendadak dia merasa tidak apa untuk berbagi cerita dengan Vino. Dia merasa nyaman berkisah begini. “Ya..., dia menganggap aku ini kok bukannya membantu usahanya Papaku, malahan bekerja sama Orang lain. Padahal Mama saja dulunya juga membantu Papa, sebelum mengambil keputusan untuk lebih banyak di rumah dan di yayasan saja.” “Wah. Keluarga hebat. Aktif semua sekeluarga.” “Kamu terlalu memuji. Kami hanya Keluarga sederhana. “Memangnya Orang tuamu usaha apa?” Klara mengulum senyum sebelum menjawab, “Papa itu punya kantor Akuntan. Jadi dulunya bermitra sama Salah satu Temannya dan Satu Orang lagi masih terhitung Kerabat jauh. Tapi kemudian, Temannya Papa itu pindah ke luar negeri. Papa nggak mencari Mitra baru sih, setahuku. Jadi sekarang kemitraannya ya hanya dengan Kerabat kami itu. Dulu Mama ikut mengurus bagian Pajak, sebelum memensiunkan dirinya sendiri.” “Wah..., Keluarga yang berpembawaan serius, ya pastinya. Dan pemikir. Lalu jadi unik, karena kamu mengerjakan sesuatu yang berbeda bidang. Malahan boleh dibilang sedikit bertolak belakang. Bagusnya ya seperti aku bilang tadi, mereka mendukungmu.” “Hm..., nggak seketika juga sih. Awalnya tetap masih tarik-tarikan kepentingan. Papa memang mengijinkan aku bekerja pada Orang lain, tetapi Mama agak keberatan. Mama agak khawatir terhadap kelangsungan Kantor Akuntan milik Papa. Tapi aku kemudian mendapat dukungan dari Saudara Sepupuku, yang juga mempunyai usaha di bidang jasa periklanan. Sebenarnya kan sama saja, usaha Papa juga di bidang jasa. Bukannya menjual produk.” “Iya. Iya. Sepertinya menarik untuk dihadirkan di acara bincang-bincang.” “Waaahhhh..., kamu berlebihan. Keluarga kami bukan Siapa-Siapa. Kami Orang kebanyakan.” “Siapa bilang? Aku malah jadi terpikir, akan menarik kalau ada program acara yang mengusung thema tentang pilihan pekerjaan atau usaha sesuai minat pribadi. Kamu pantas jadi Nara Sumber, kalau program ini bisa disetujui.” Klara tertawa geli. “Kamu penuh ide, ya. Nanti kalau usulan programmu ini disetujui, aku bakalan menonton, kok. Tapi aku belum layak untuk diundang sebagai Bintang Tamu.” “Kamu low profile banget. Sangat humble.” “Sepertinya dua hal itu lebih tepat ditujukan buat diri kamu. Aku tuh jadi ingat, kamu sepertinya sangat didengar sama Bos-mu, ya.” Vino buru-buru menggoyangkan tangannya. “Nggak. Nggak. Itu karena pilihannya ya itu-itu saja. Maklum, ini perusahaan baru. Jadi rangkap pekerjaan sudah biasa.” Telepon genggam Vino berdering. Vino melirik nama Peneleponnya. “Maaf, boleh aku angkat?” tanya Vino, meminta pendapat. “Silakan.” Vino langsung merespon panggilan telepon itu. “Ya, Mas Nando. Siap, Mas. Saya segera ke sana sekarang.” Vino mengakhiri komunikasi via telepon yang sangat singkat itu dan menatap Klara. “Sayang ya, ngobrol-ngobrolnya jadi terganggu. Aku harus menemui Produserku, sekarang.” “Nggak apa. Selamat bekerja, ya.” “Nanti malam, aku boleh telepon, kan?” Klara mengangguk kecil. “Aku pergi dulu ya. Senang ngobrol-ngobrol santai sama Klara. Kalau nggak keberatan, boleh dong, sekali waktu kita janjian makan siang bersama?” usik Vino. Rupanya dia tidak cukup konsisten. Baru beberapa saat lalu dirinya memeprtanyakan apakah Klara tidak malu untuk makan siang bersamanya karena adanya ‘perbedaan’ di antara mereka. Sekarang dia sudah begitu berani meminta janji untuk makan siang bersama. “Boleh,” sahut Klara ringan, tanpa beban. “Terima kasih banyak, Klara. Jadi merasa terhormat.” “Oh, batal saja deh kalau begitu. Habisnya kamu kumat begini berlebihannya.” Vino tertawa dan mengacungkan kedua jarinya secara bersamaan, jari telunjuk dan jari tengah. Lantas Vino segera mohon diri, dan tak lupa mengubah gerakan jarinya, kini menggerakan ibu jari dengan jari telunjuk, membentuk kode ‘LOVE’ ala Anak muda. Klara terpana dengan aksi spontan Vino. Dia sampai kehabisan kata-kata. Hingga punggung Vino lenyap dari pandangan matanya, Klara masih menatapi kepergian Cowok itu. Dia tahu, ada sesuatu yang ikut dibawa pergi oleh Cowok itu. Hatinya! Kurang dari satu jam pertemuan dan perbincangan mereka, dan rasanya memang demikian singkat bagi Klara. Betapa berbanding terbalik dengan saat-saat dirinya menghadiri acara doa untuk memperingati Tujuh Hari Meninggalnya Bu Virny. Bukan, bukan dia tak rela berada di sana. Tetapi berada di ruangan yang sama dengan Randy  dalam jangka waktu tertentu, mau tak mau menerbitkan sebuah rasa tak nyaman di hatinya. “Syukurlah hari ini aku ketemu sama Vino. Hm. Aku sampai lupa rasa nggak nyaman yang kemarin-kemarin menyerangku itu,” gumam Klara.  Bagi Klara, Vino memang Pengobat yang tepat untuk menetralisir sisa-sisa ketaknyamanan yang masih tertinggal di benaknya. Dan dia tak hendak membantah. * $ $  Lucy Liestiyo  $ $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD