Motivasi Yang Keliru? (3)

2005 Words
Untung saja, semenjak mereka menikah dulu, Bu Astri bukanlah type Wanita Pencemburu yang gemar mengecek telepon genggam Sang Suami. Seolah telah ada kesepakatan non lisan di antara mereka untuk tetap memberi sedikit ruang untuk privasi masing-masing dan saling percaya satu sama lain. Bu Astri hanya menampakkan kecurigaan belakangan ini saja, seiring dengan berhembusnya kabar tak sedap bahwa Pak Danang mempunyai hubungan gelap dengan Orang kantor. Sesuatu yang tidak kunjung terbukti. Namun meskipun begitu, Pak Danang sudah menganggap apa yang dilakukan oleh Santi sangat keterlaluan. Istrinya sangat mungkin terjaga kapan saja, dan akan memergoki ekspresi gelisah di wajahnya lantas mencari tahu apa penyebabnya. Rupanya, Santi mengulanginya lagi pada esok malamnya karena merasa aksinya diabaikan oleh Pak Danang. Di dalam video kedua yang dikirimkannya, Santi bahkan dengan berani menuliskan pesan, “Nikahi aku, Mas Danang. Atau aku akan nekad memberi tahukan tentang kehamilanku ke Mbak Astri. Tidak akan lama lagi, perutku pasti sudah mulai menyembul. Aku rela menjadi Istri kedua. Tapi aku nggak sudi tinggal di sini selama kehamilanku nanti. Aku sudah bisa membayangkan pasti akan diperlakukan buruk sama Anak Lelakimu itu. Itu nggak baik untuk kesehatan emosional ku dan Calon Anak kita nanti.” Sungguh bukan ancaman yang ringan, meski siang harinya mereka sudah bersambung raga di hotel dan Pak Danang telah mengatakan takkan mungkin memenuhi rengekan Santi untuk dinikahi. Sangat mustahil baginya untuk menduakan Bu Astri, apalagi meninggalkan wanita yang telah mendampinginya dalam suka dan duka, bahkan sebelum dirinya menjadi apa-apa seperti sekarang. Dan sungguh tak mungkin baginya untuk meninggalkan Bu Astri yang telah memberikannya Dua Orang Anak itu. Malam itu Pak Danang menelan ludah dan memeriksa dengan saksama seberapa lelap tidur bu Astri. Dia sampai memeluk tubuh Sang Istri dan mencium kening Bu Astri untuk tahu reaksi Sang Istri. Ternyata Bu Astri diam saja, tak bergerak. Ini membuat Pak Danang yakin Sang Istri tengah dibuai mimpi indah. Dia menarik napas lega, sehati-hati mungkin. Setelah memastikan keadaan aman dan kondusif, pelan-pelan dia mengendap keluar dari kamar. Dia sudah nekad, hendak menemui Santi di kamarnya. Pak Danang dapat menarik napas lega karena seisi rumah sepertinya sudah tertidur. Dia sengaja membawa serta telepon genggamnya agar dapat meminta santi membukakan pintu kamar. Tetapi yang terjadi sungguh di luar dugaannya. Sebelum Pak Danang mengirimkan pesan teks untuk dibukakan pintu, ternyata Santi sudah membuka pintu kamarnya lebar-lebar, seolah sudah tahu bahwa Pak Danang pasti akan mendatanginya. Dan begitu melihat bayangan berkelebat, Santi yang sengaja sudah mengenakan lingerie super tipis dan tak mengenakan pakaian dalam lagi, sudah melongok di ambang pintu. Dia menarik tangan Pak Danang dan segera menutup pintu. Begitu pintu tertutup, dia mencium bibir Pak danang dengan ganas dan mendorong Pak Danang ke atas tempat tidur. Pak Danang memejamkan mata, mengingat kejadian malam itu. “Santi, kamu jangan gila. Ini di rumahku. Kamu mau seisi rumah tahu?” Suara Pak Danang tertahan kala menyatakan protesnya ini. Tetapi Santi sama sekali tidak peduli. Dia bahkan langsung beraksi. Diciuminya leher Pak Danang, sementara tangannya meraba-raba ke bagian bawah tubuh Pak Danang. Pak Danang benar-benar berjuang keras menahan hasratnya agar terkendali. “Santi, jangan gila kamu!” bisik Pak Danang setengah memohon. “Biarin!” kata Santi yang menghentikan sesaat ciumannya tetapi tidak dengan gerakan tangannya. Pak Danang jadi gelap mata. Dicekalnya tangan Santi dengan keras. “Hentikan, kataku!” Dia tahu sekali bahwa sebentar lagi pertahanannya akan runtuh kalau tidak segera bertindak. Santi ini walau baru dalam hitungan dua bulan mengenalnya, tetapi sudah mampu menyeretnya ke atas ranjang, memuaskannya, dan tahu benap titik-titik lemah dari tubuhnya. “Mas! Sakit!” keluh Santi. “Makanya, diam kataku.” “Lepaskan tanganku Mas. Mas tega menyakitiku. Ingat ya Mas , aku sedang mengandung Anakmu!” “Nggak akan aku lepaskan sebelum kamu berhenti mengirimkan video-video itu.” “Kalau begitu puaskan aku sekarang.” “Kamu jangan sembarangan. Ini di rumah.” “Masa bodoh. Anak ini kangen sama Bapaknya. Dia minta ditengokin, Mas,” rengek Santi manja. “Nggak bisa Santi. Ini di rumah.” “Kalau begitu, belikan aku rumah. Atau setidaknya, sewakan rumah secepatnya. Makin lama akan makin sulit untuk menyembunyikan hubungan ini dan juga perut ini.” Pak Danang menatap dengan pandangan putus asa. “Santi, ayolah. Gugurkan saja. Selagi masih sempat. Nanti aku carikan klinik aborsi yang aman dan nyaman buatmu.” “Enggak. Aku akan bilang semuanya ke Mbak Astri. Sekarang juga.” Pak Danang tertekan. Tanpa tuntutan dari Santi pun, sebenarnya dia sudah mulai merasa mencintai Wanita di depannya ini. Dan dia tahu dia tak dapat melepaskan Wanita ini. Dia butuh kehangatan tubuh Wanita ini. Dia butuh pelukan hangatnya. Dia butuh kulitnyabergesekan dengan kulit kencang dan kenyal Wanita itu. Dan terutama, tentu saja bagaimana hebatnya milik Santi mencengkeram miliknya. Santi yang dipujinya memiliki jurus pamungkas yang selalu diisyaratkannya untuk dilakukan pada akhir permainan panas mereka. Ah! Rasanya dia takkan rela untuk kehilangan itu semua. Hal itu pulalah yang telah membuat dirinya nekad untuk membeli sebuah rumah mungil dan sederhana sebagai bakal tempat tinggal Santi kelak. Rumah yang dipikirnya akan dapat melindungi Wanita yang semakin kelihatan keras kepalanya itu. Wanita yang kian berani menuntut dan mengancam akan membocorkan rahasia mereka. Bukan rumah yang ideal sejatinya. Sebab rumah itu dibeli secara terburu-buru, juga lantaran Sang Pemilik mengiklankan dengan embel-embel sebagai berikut : Dijual cepat, sedang sangat butuh uang. Rumah yang terletak agak jauh di pinggiran kota dan hanya terdiri dari satu kamar tidur utama dan satu kamar pembantu. Rumah yang letaknya juga cukup jauh dari Tetangga karena lokasinya yang tepat di pinggir jalan, sementara di sebelah kanannya adalah parit. Di sebelah kirinya adalah area kosong, sedangkan di bagian belakang berbatasan dengan kebun singkong kepunyaan Sang Pemilik rumah yang konon tengah terbelit hutang yang banyak. Tetapi lantaran dia mulai menengarai bahwa Santi ini adalah type wanita yang tidak ada puasnya, maka sengaja dia belum mengatakan hal ity. Dia tak mau ada tuntutan lainnya lagi dari Santi, yang hanya akan semakin menyulitkan posisinya yang sudah kian terjepit sekarang ini. “Mas...,” rengek Santi manja. Pak Danang mengembuskan napas dengan berat. “Sudah. Nanti aku coba atur. Astri bisa curiga kalau dia bangun tidur dan nggak menemukan aku di sebelahnya.” “Biar saja. Mbak Astri harus membiaskan dirinya berbagi Suami.” “Jangan cari gara-gara, Santi.” “Makanya, kasih aku tempat tinggal. Mas kan bisa menikahi aku secara diam-diam. Nggak usah menunggu persetujuan dari Mbak Astri. Bisa keburu melahirkan, akunya kalau begitu. Nanti kalau Mbak Astri sudah setuju, ya tinggal diresmikan saja.” Pak Danang mendesah kesal. Wanita di depannya ini benar-benar membuat kepalanya pusing tujuh keliling. “Nanti aku coba bicara. Kamunya jangan buat aku pusing. Jangan lagi mengirimi aku video. Bersikaplah yang biasa. Sebagimana selama ini. Jangan sampai Astri curiga.” Santi merengut. “Sudah, aku pergi sekarang.” Pak Danang hendak pergi, tetapi Santi menangis. Dalam panik, Pak Danang lekas membekap mulut Santi. “Kamu mau apa lagi? Jangan buat aku bertambah stress, Santi,” pinta Pak Danang setengah berbisik. Santi menurunkan telepak tangan Pak Danang yang menutup mulutnya. “Aku lagi kepengen, Mas...,” rengeknya mengiba. Pak Danang mengernyitkan alis. “Hah? Pengen apa? Kamu ngidam? Aduh Santi, tolong aku Santi. Jangan buat aku pusing tujuh keliling dong. Ini nggak mungkin dilakukan, Santi. Kamu sama saja minta aku bunuh diri di depanmu,” ucap Pak Danang dengan nada putus asa. “Mas ini, cuma mau enaknya saja. Cuma mau buatnya. Tapi nggak mau peduli sama aku ” Pak Danang menghela napas panjang. “Ya sudah. Kamu kepengen apa? Besok aku coba belikan. Aku harus kembali ke kamar Santi. Sekarang juga. Ini sudah terlalu lama lho aku berada di sini.” “Mas...., aku kepengen Mas puasin, sekarang..” Pak Danang terperanjat. “Hah? Ngaco kamu. Yang itu jelas aku nggak bisa. Kamu minta yang lain,” tepis Pak Danang. Santi tak berpikir panjang. Rupanya meski nafsu birahi telah menguasainya, masih sedikit terpikir olehnya, akan sulit bagi Pak Danang untuk kembali ke kamarnya dan langsung berlaku seolah tidak melakukan apa-apa dengannya. Yang ada dia malah ketiduran di sini saking keenakan. Bakalan lebih gawat. Bisa diusir aku, kalau Mbak Astri tahu bahwa selama ini aku bohong, pikir Santi. “Mas nggak usah. Yang penting akunya. Ayo Mas, kalau nggak dituruti, nanti Anakmu ileran, baru tahu rasa kamu,” rajuk Santi cepat. Usai berkata begitu, Santi yang sudah merasa darah naik ke kepalanya dan nyaris pusing, langsung merebahkan diri di atas pembaringan dan menarik ke atas lingerie-nya. Dia langsung membuka lebar kedua kakinya, berpose mengangkang. Pak Danang sampai memalingkan wajah, takut tak mampu menahan hasrat. Santi yang merasa sudah tak perlu lagi dengan segala macam pemanasan, langsung menarik tangan pak Danang. Sekejap saja Santi sudah membenamkan kepala Pak Danang ke bagian bawah tubuhnya. Pak Danang yang sudah tahu apa yang dimauinya Santi langsung ‘melakukan tugas’nya. Bibir dan lidahnya segera beraksi, menjelalah, membuat santi mengerang dalam kenikmatan yang menderanya. “Santi, tahan suaranya!” ucap Pak Danang khawatir, lalu menunjuk ke bantal. Untung saja Santi menurutinya. Dia menutup mulutnya dengan bantal, menahan suaranya erangannya. Apa boleh buat, lantaran situasi darurat, kali ini semuanya hanya dapat dilakukan serba cepat dan tidak semaksimal yang diharapkan Santi. Itu pun, Pak Danang harus berjuang keras agar tidak turut jebol pertahanannya. Hal yang tentu saja membuat kepalanya pusing dan nyaris ingin marah. Pun begitu, ketika dia meningggalkan Santi, dia sempat mencium kening Wanita itu. Di situ lah dia merasakan ada getaran di dadanya. Dia sadar, dia memang mencintai Wanita ini. Dan Wanita ini tengah mengandung Anaknya. Buah dari perbuatan terlarang mereka. Itu fakta yang tak dapat dibantah. Dengan tergesa namun tetap berhati-hati, Pak Danang kembali ke dalam kamarnya. Dia tidak segera ke pembaringan kala dapat menutup pintu tanpa adanya kecurigaan Sang Istri yang masih tampak terlelap. Dia menuju kamar mandi. Dia perlu mendinginkan sesuatu yang sudah telanjur panas. Dan saat pagi harinya hasartnya kembali menyapa, dia memeluk erat tubuh Sang Istri. Dia melakukannya dengan Sang Istri, memesrai Istri yang telah amat setia kepdanya, tetapi dalam bayang-bayang fantasi bahwa dirinya tengah memuaskan Santi, menebus 'permainan tanggung' mereka. Pak Danang tertunduk, mengenang semuanya. Rasa bersalah menguasai benaknya. Ma, maafkan Papa. Papa juga nggak tahu semenjak kapan Papa benar-benar jatuh cinta sama Santi. Semuanya terjadi begitu cepat, dan mengalir begitu saja. Dan saat Papa berterus terang, maksud Papa adalah untuk sekaligus meminta maaf. Papa hanya minta diijinkan untuk menikahi Santi secara resmi ke Mama. Ma, kasihan status Anak itu nanti. Papa nggak mau cerai sama Mama. Enggak Ma. Nanti kita atur ke depannya, Papa di sini setiap hari apa, dan bersama Santi setiap hari apa. Papa yakin, Mama tadi hanya sedang marah dan terguncang saja, kan? Papa akan pergi, supaya Mama juga bisa berpikir jernih dan kita bisa bicara baik-baik. Papa nggak mau menceraikan Mama, selamanya. Nggak, Ma. Papa sudah janji untuk mendampingi Mama sampai maut meisahkan kita, kata Pak Danang dalam diam. Pak Danang tak melihat lagi keberadaan Vino. Sepertinya, Vino sedang menemui Sang Mama. Pak Danang tidak berpikir panjang. Ia segera meninggalkan rumah tersebut, tanpa membawa apa-apa. Dia tahu, baik Anak maupun istrinya sedang dalam puncak kemarahan kepadanya. Belum lagi kalau nanti Linda serta Suaminya tahu. Dia tak dapat membayangkan akan seperti apa respons mereka. Pak Danang cukup gentar untuk membayangkan akan seheboh apa situasi di rumahnya setelah apa yang terjadi barusan. Karenanya, dia memilih untuk menghindar sementara. Dia tak ingin keadaan menjadi semakin runyam. Lantas yang terdengar setelah itu hanyalah deru mesin mobil yang kian menjauh. Vino mendengkus. “Dasar Pengecut! Bagus tahu diri dan pergi! Jangan pernah menginjakkan kaki lagi di rumah ini!” gerutu Vino. Lantas, ia mengetuk pintu kamar Orang tuanya. Satu kali, tiada jawaban. Dia memgulaginya. Dua kali, tiga kali, sama saja. Tiada suara dari dalam sana. Vino jadi bingung. “Ma, Vino masuk ya Ma,” katanya untuk meminta persetujuan. Tetap tidak ada sahutan. Hati Vino mulai berdebar. Sebuah pemikiran buruk, tak tercegah melintas. Enggak. Nggak mungkin. Mana mungkin Mama bertindak nekad? Mama bukan Wanita lemah seperti itu! Pikir Vino. Ia berusaha menenangkan diri, namun tak urung rasa cemas mengganggunya juga. Pikirnya, Wanita adalah Makhluk yang lebih sering mengandalkan rasa dibandingkan dengan logika. Dengan apa yang baru saja diketahui nya, pasti Mama terguncang hebat. Jangan-jangan Mama....? Oh, jangan sampai! jerit Vino dalam hati yang gundah. Dengan keras didorongnya pintu kamar di depannya. Dan Ia tercengang begitu pintu kamar itu terkuak. “Mama!” * $ $ Lucy Liestiyo $ $ Fan page B!telucy
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD