Sakit hati Vino melihat apa yang terpampang di depan matanya.
Sang Mama tampak terbaring lemah di atas peraduan. Tangan Sang Mama terlihat diletakkan di kepalanya. Sontak rasa khawatir memenuhi benak Vino. Dia segera melangkah masuk dengan tak sabar.
Vino semakin mendekati tempat tidur Sang Mama. Dia begitu takut, melihat mata Sang Mama terpejam. Dia sangat takut kalau-kalau telah terjadi sesuatu yang buruk atas Mamanya.
“Ma, Mama,” panggil Vino lembut, sembari menyentuh lengan Bu Astri.
Dahi Bu Astri terlihat mengernyit, seperti Orang yang tengah menahan sakit.
“Mama kenapa?” tanya Vino khawatir.
Kelopak mata itu terbuka perlahan.
Bu Astri menggelengkan kepala.
Vino langsung duduk di sisi Sang Mama.
“Mama kenapa? Apanya yang sakit? Apa Papa melakukan kekerasan ke Mama, tadi? Papa memukul Mama? Ma?” tanya Vino super hati-hati.
Sang Mama menggeleng lemah.
“Kepala Mama agak pusing,” ucap Bu Astri akhirnya, setelah berusaha sekian lamanya memerangi dan mengalahkan rasa pening yang hebat di kepalanya.
“b******k! Ini gara-gara Papa!” kata Vino dengan gusar.
“Vino..,” terdengar Suara Bu Astri. Teramat pelan.
“Ya, Ma.”
“Tolong ambilkan obat Mama di kotak obat. Sepertinya tekanan darah Mama naik.”
Vino tampak ragu. Ia tidak segera merespons.
“Aku ukur dulu saja tekanan darah Mama, ya. Jangan langsung minum obat.”
Sang Mama mengangguk setuju.
Vino langsung mengorek laci meja rias Sang Mama.
“Di atas meja rias, Vin,” kata Sang Mama, mengetahui apa yang dicari oleh Vino.
“Oh, iya Ma.”
Langsung Vino menyambar alat yang dimaksud. Dipakaikannya ke tangan Sang Mama lantas menanti sejenak. Dia benar-benar berusaha untuk tenang dan sabar.
Fokusnya saat ini hanyalah Sang Mama.
Setelahnya, Vino melihat ke layar sempit itu.
“Tensi Mama memang agak tinggi. Mau dibuatkan jus timun atau jus seledri, Ma? Nanti aku suruh si Mbak, ya?” tanya Vino.
“Belimbing waluh saja.”
Vino langsung mengangguki Sang Mama.
Dia paham apa yang dimaksud Sang Mama. Artinya, dia harus memetiknya di halaman belakang dulu sebelum menyuruh Asisten Rumah Tangga mereka untuk membuatkan jus belimbing.
“Mama tunggu sebentar, ya. Boleh aku kasih tahu Mbak Linda?”
Bu Astri langsung menggoyangkan telapak tangannya.
Vino ingin protes, namun segera menelan keinginan itu. Dia memilih mengambilkan segelas air mineral untuk Sang Mama, lantas segera berlari ke halaman belakang.
Rasa marah kepada Sang Papa yang bercampur sakit hati melihat keadaan Sang Mama, hampir saja membuat tangisnya pecah.
*
“Ma, tadi itu apa yang terjadi sebenarnya?” tanya Vino setelah Sang Mama sudah relatif tenang.
Vino menyingkirkan gelas jus yang telah kosong.
“Tidak ada apa-apa,” dusta Sang Mama, yang menyangka bahwa Vino tidak mengetahui pertengkarannya dengan Sang Suami.
Vino menghela napas panjang.
“Nggak apa-apa kalau memang berat untuk Mama ceritakan sekarang. Tapi aku sudah bisa sedikit merabanya. Si Perempuan Jalang yang selama ini Mama percaya menusuk Mama dari belakang, kan? Ternyata dia yang berselingkuh dengan Papa, kan? Bahkan sampai menghasilkan Anak haram di dalam perutnya. Biar saja Ma, Orang jahat nanti pasti ada balasannya. Mama sudah bernar, mengusir Pengkhianat itu pergi. Dia memang nggak pantas tinggal di sini.”
Sang Mama memejam mata lantas bertanya, “Jangan berkata begitu Vino. Bagaimanapun, Papa tetaplah Papamu. Seberapa banyak yang kamu dengar?’
Dia tahu, tak mungkin lagi menyembunyikan fakta.
Maka Vino pun bercerita tentang apa yang dibicarakannya di luar dengan Sang Papa dan bagaimana akhirnya Papanya pergi.
Sang Mama tertegun. Dia tak menyangka Anak yang Disayangnya ini sanggup memperlakukan Sang Papa dengan begitu kasar.
“Mama sekarang istirahat saja ya. Dan jangan kasih dia pulang kemari. Sepertinya, ke depannya Mama harus kembali merebut perusahaan itu. Itu kan awalnya milik Mama, ya kan? Masih ada bagian saham atas nama Mama di dalamnya, kan? Jangan sampai jatuh ke tangan Si Betina Jalang itu!”
Sang Mama menatap dengan tatapan tak bersemangat.
Vino mengelus pundak Bu Astri.
“Yang penting, sekarang Mama tenangkan pikiran Mama dulu. Nggak usah mikirin yang lainnya.”
“Mama malu sama kelakuan Papamu. Bagaimana itu kalau sampai Helmi tahu? Mama nggak mau sampai Linda kenapa-napa dan terimbas perbuatan Papamu ”
Vino berdecak gemas.
“Harusnya Laki-laki laknat itu yang malu dan khawatir, bukannya Mama. Harusnya dia pikir panjang sebelum berbuat laknat.”
Bu Astri membuang napasnya dengan perasaan lelah.
“Sedapat mungkin dan selama mungkin, tolong nggak usah singgung hal ini ke Kakakmu ya, Vin. Mama takut kalau Helmi jadi berkurang respek ke Kakakmu.”
“Mama nggak usah pikirin soal itu. Lagi pula Mas Helmi bukan jenis Orang yang begitu. Mas Helmi itu sangat mencintai Mbak Linda. Dan jelas dia itu Laki-laki yang punya harga diri. Bahkan untuk membeli kavling kosong di sebelah saja pakai uangnya sendiri. Beda sama..”
“Vino..., nggak boleh begitu,” potong Bu Astri cepat. Dia tahu apa yang hendak diucapkan oleh Vino.
“Habisnya, geregetan, Ma. Mas Helmi ini type Suami yang mau membahagiakan Istrinya dan mengutamakan Keluarga. Dan Mbak Linda juga Orangnya pengertian. Padahal kalau mau, dengan tabungan bersama, mereka bisa membangun rumah yang lebih besar dari yang sekrang mereka tempati. Mas Helmi jug amenolak bantuan dari Orang tuanya maupun Mama dan Papa. Dia lebih memilih untuk membangun rumah yang mungil dulu, sesuai dengan anggaran yang ada di tangannya.”
Semoga Helmi tidak berubah. Semoga Helmi terus setia dengan Linda sampai maut memisahkan mereka. Semoga Helmi selalu menjaga Linda dan buah cinta mereka dengan baik, dan dijauhkan dari godaan Orang ketiga, harap Bu Astri di dalam diamnya.
“Ponsel Mama ada di meja situ nggak, Vin Coba tolong lihat.”
“Mama mau telepon Siapa?”
“Tifa. Mama harus meminta maaf sama Tifa. Waktu itu Mama sudah pernah meneleponnya dan mengata-ngatainya. Mama bilang dia tidak bisa dipercaya. Dan Mama bilang dia tega untuk menghancurkan rumah tangga Mama.”
“Besok saja ya Ma. Sekarang sudah malam. Sebaiknya Mama istirahat.”
Sang Mama akhirnya mengangguk.
Sepertinya, pikirannya sudah terlampau lelah, demikian pula perasaannya.
...
“Hei, elo malah jadi ngelamun, sih? Bro, sorry banget. Jadi keungkit lagi kisah lama,” perkataan Julian membuyarkan lamunan Vino.
“Ralat. Itu bukan kisah lama. Tapi kisah yang belum juga usai. Si b******k itu nggak kunjung mau menceraikan Mama gue kok. Nggak tahu dia itu pakai dukun dari mana, Mama gue akhirnya mau rekonsiliasi setelah tarik ulur selama dua tahunan. Mau-maunya nerima lagi Suaminya itu. Mau-maunya dimadu. Jijik banget gue. Muak gue ngelihat tampang dia di rumah.”
Julian menarik napas. Dia ingat benar, itu alasan Vino keluar dari rumah dan memilih tinggal di tempat kost menjelang akhir masa kuliahnya. Bahkan lebih parah dari itu, saat lulus kuliah Vino menolak untuk dipestakan oleh Sang Papa. Dia menolak keras saat dibujuk untuk kembali ke rumah dan segera berkarya di perusahaan milik keluarga.
“Cih! Nggak sudi! Mendingan gue kerja jadi tukang tambal ban sekalian. Ogah banget gue, ketemu sama itu Laki-laki b***t, ya di rumah ya di kantor. Belum lagi menanggung malu kalau melihat cara Para Pegawai menatap. Pasti di lubuk hati mereka itu nggak bisa melupakan apa yang pernah terjadi,” ujar Vina kala itu, saat Julian yang diketahui sebagai Salah Satu Teman akrab Vino juga mendapat tugas khusus dari Bu Astri dan Pak Danang untuk membujuk agar Vino kembali ke rumah dan segera belajar mempersiapkan diri untuk menerima tongkat estafet kepemimpinan perusahaan keluarga yang untuk saat ini tengah dipegang oleh Pak Danang.
Bukannya berhasil dengan misi yang diembannya, yang terjadi setelahnya justru Julian yang ikut kost di tempat tersebut, lantaran rumah Orang tuanya dijual dan mereka pindah ke kota lain, sementara Julian telanjur sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan. Lokasi tempat kerja Julian juga hanya sejarak empat puluh menit berkendara saja dari tempat kostnya ini.
“Iya. Gue tahu itu nggak mudah buat elo. Tapi namanya juga Orang tua, pasti ada pertimbangan sendiri. Demi Anak-anak, demi keutuhan kelurga. Yang penting, sekarang Orang tua elo rukun. Dan yang penting Papa elo bisa adil deh. Karena kan ada dua rumah tangga.”
“Wueeeek! Mau muntah gue dengarnya! Itu laki-laki b***t benar-benar nggak punya malu. Ya gue tahu banget, dia pasti takut kehilangan segalanya kalau bercerai sama Mama gue. Dia punya apa, memangnya? Cuma kelihaian menjalankan perusahaan? Huh! Soal itu, kalau dia hengkang, gue percaya Mama gue dibantu sama Mbak Linda, kalau diijinkan sama Mas Helmi untuk bekerja lagi, dan ditambah dengan gue, itu perusahaan bakalan baik-baik saja tanpa si Kunyuk itu!”
“Hoiii! Jangan kebangetan, ah! Itu Papa elo.”
“Secara biologis. Selebihnya nggak.”
“Dan tadi elo bilang soal adil? Adil apaan? Yang ada sekarang malahan hitungannya Mama gue kasih makan Anak-anaknya itu Betina Jalang. Itu Betina Jalang kan nggak bisa apa-apa? Bisa bantu pekerjaan apa dia? Bisanya cuma ngangkang sama bikin Anak. Awas aja kalau nanti ketahuan melendung lagi. Gue teror setiap hari biar keguguran. Kalau perlu biar dianya mati sekalian. Nanti Anak-anaknya, biar deh, titipin ke panti asuhan. Atau..., sebentar gue pikirin. Oooh! Gue sewain ke Pengemis jalanan boleh juga tuh. Lumayan menghasilkan, dari pada cuma menghabiskan beras sama susu.”
“Vin..., ayolah, dendam dan rasa marah itu hanya merugikan diri sendiri. Elo nggak akan merasa damai. Yang elo benci malahan bisa hidup tentram dan melanjutkan hidup.”
“Masa bodoh. Tapi serius, gue nih, kalau empat dengar si Betina jalang itu buncit lagi perutnya, kalau perlu gue injek-injek, biar mati dia.”
“Hush!”
Vino tak peduli. Apa yang barusan diucapkannya justru mengenangkannya pada sebuah peristiwa di masa yang telah lalu. Peristiwa yang terjadinya hanya terpaut sekitar satu bulan semenjak kepergian Sang Papa yang hanya membawa baju yang melekat di badan, dan tentu saja sebuah mobil yang disupirinya sendiri saat kepergiannya.
Vino tahu, selama itu pula Sang Papa berusaha untuk menghubungi Bu Astri, tetapi tidak kunjung mendapatkan respons dari Sang Mama.
Apa yang ditakutkan Bu Astri terjadi juga.
Linda dan Helmi akhirnya tahu apa yang terjadi. Helmi justru menyarankan kepada Linda untuk sering-sering bermain ke rumah ‘sebelah’ di siang hari agar dapat menemani Sang Mama. Helmi juga mengatakan, lebih sering menghabiskan waktu dengan Lando, Sang Cucu, tentunya akan dapat menghibur hati Bu Astri.
Para Asisten Rumah Tangga juga sangat supportif. Mereka tidak bergunjing tentang apa yang menimpa Keluarga dari Induk Semangnya. Mereka bahkan menggantikan untuk sementara pesanan masakan sederhana. Pasalnya, Bu Astri sempat mengutarakan untuk tidak menerima pesanan makanan dulu. Sepertinya dia tahu, keadaan hati yang kurang baik tentunya akan berpengaruh ke cita rasa masakan.
Saat itulah, Vino yang baru pulang kuliah berpapasan dengan Seseorang yang amat dikenalnya. Orang yang secara khusus datang ke rumah, menghibur Bu Astri yang meminta maaf melalui telepon.
Ingatan Vino melayang ke sana.
...
“Mbak Tifa, lagi ngapain?” sapa Vino sambil melipir.
Dia lantas membuka helmnya.
Yang disapa menoleh.
“Vino?”
Vino mengangguk.
“He eh. Mbak kok di sini? Pulang kerja?”
“Iya.”
“Kok jauh dari kantor.”
“Tadi singgah dulu beliin buku bacaan pesanan Keponakan. Tuh, di toko buku yang di lantai dasar.” Tifa menunjuk pada gedung yang berada sejarak tujuh puluh lima meter dari tempatnya berdiri.
“Terus, sekarang Mbak lagi ngapain berdiri bengong di sini?”
“Nunggu Ojek daring. Mobil saya masuk bengkel Vin.”
“Saya antar saua, mau?”
Tifa menatap penuh keraguan pada Vino.
“Pesannya pakai aplikasi saja deh. Mana tahu ada promo. Yang tadi dibatalin dulu,” canda Vino.
Tifa baru akan menyahut ketika dia melihat ke perangkat telepon genggamnya.
“Yang ada malah Ojek daringnya yang minta maaf dan membatalkan nih. Macet katanya. Takut nggak keuber.”
Tifa menunjukkan telepon genggamnya.
Vino menepuk jok belakangnya dan mengulurkan sebuah helm dari tempat penyimpanan helm.
“Nah, kan? Kode alam itu. Ayo, saya antar.”
Tifa masih ragu kala akhirnya dia berkata, “Aduh, bagaimana ini? Saya sudah trauma. Kemarin itu saya nggak ngapa-ngapain saja difitnah. Dibilang bahwa saya ada main sama Bapak. Padahal saya kerja benar. Ibu sampai marah besar karena saya nggak mau ngakuin sewaktu ditanya. Ya bagaimana mau ngaku, sayanya saja nggak melakukan apa-apa kok.”
“Ya terus?”
“Apalagi ini. Diboncengin sama Anaknya Bapak. Nanti saya dibilang menggoda kamu, Vin.”
Vino terbatuk-batuk.
“Saya senang dan tersanjung kalau digoda sama Mbak,” guraunya tengil.
“Nah, saya tambah takut dengarnya.”
“Ayo, cepat. Nanti keburu hujan,” paksa Vino.
Maka Tifa yang merasa tak mempunyai pilihan yang lebih baik akhirnya duduk di jok belakang sepeda motor Vino.
Tidak ada yang mereka percakapkan sepanjang perjalanan.
Tetapi ketika tiba di rumahnya, Tifa mengangsurkan kembali helm dan mengucapkan terima kasih, ia seperti ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu hal.
Vino mencermati hal itu. Dia terusik untu bertanya.
“Kenapa sih Mbak, seperti ada yang mau diomongin?”
Tifa meremas-remas jemarinya.
“Ada apa? Ada kejadian di kantor ya? Heboh, ya?”
“Kamu buru-buru nggak Vin?”
“Enggak.”
“Kalau misalnya saya mau cerita sesuatu, boleh janji untuk nggak marah?”
“Tergantung.”
“Kalau begitu saya nggak jadi cerita.”
“Ah! Resek! Bikin Orang penasaran. Oke, oke, saya nggak akan marah.”
“Sepeda motornya dibawa masuk dulu deh, kita ngobrol di teras.”
Berkata begitu, Tifa memutar anak kunci pagarnya.
“Boleh.”
Teras itu tampak sepi. Tifa memang hanya tinggal dengan Ibunya karena sang Ayah telah meninggal dunia. Kemungkinan besar Sang Ibu juga belum pulang dari tempat kerjanya. Sementara Kakaknya, tinggal di blok sebelah dengan Suami dan Anak mereka.
Vino duduk di kursi teras.
Tifa hanya sebentar masuk ke dalam rumah, yakni untuk mengambil minuman dingin untuk Vino.
“Diminum, Vin.”
“Ya. Terima kasih. Yuk, langsung cerita. Ini nggak enak, nih, nggak ada Siapa-Siapa kan, di rumah?”
“Itu dia. Makanya sengaja saya ajak ngobrolnya di teras. Biar kelihatan dari luar karena pagarnya kan bolong-bolong. Biar nggak ada yang berprasangka buruk.”
Vino manggut-manggut.
“Soal apa nih, Mbak?”
“Soal..., Santi.”
Vino hampir saja ingin berdiri dari tempat duduknya agar segera dapat meninggalkan rumah Tifa. Dia muak mendengar nama Perusak Rumah tangga Orang tuanya itu disebut.
Akan tetapi Tifa lekas mencegahnya.
“Tolong duduk, Vin. Ini masih ada hubungannya dengan kedatangan saya ke rumah waktu itu. Saya nggak tega saja untuk menceritakan ke Ibu. Saya datang waktu itu kan hanya sekadar untuk menunjukkan bahwa saya telah memaafkan dan memaklumi kesalah pahaman Ibu.”
Vino terdiam.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $
Fan Page B!telucy