Motivasi Yang Keliru (5)

2849 Words
Tifa mempersilakan Vino untuk minum. Dia sendiri juga meneguk minuman sebelum bercerita, seakan hendak mengisahkan sesuatu yang berat dan akan menguras energi. “Vin, sejujurnya ya, saya itu sempat sakit hati sama Ibu.” “Paham,” sahut Vino cepat. Dia tahu benar rasanya dituduh padahal tidak melakukan apa-apa. Tuduhannya nggak main-main pula, menyelingkuhi Suami Orang, yang notabene adalah Bos-nya sendiri. “Soalnya saya ini kan termasuk Orang lama di perusahaan itu. Ibu juga tahu bahwa saya pernah batal menikah, tahun lalu. Terus umur saya juga sudah lumayan begini. Jadi itu memperberat tuduhan yang ditujukan ke saya. Orang akan beranggapan keliru tentang diri saya. Kesannya saya ini kegatelan dan asal nabrak Laki-laki mana saja. Dan kalau saja saya nggak ingat semua kebaikan Ibu dan nggak berpikir panjang, rasanya sudah kepengen mengajukan surat pengunduran diri saja waktu itu. Saya sempat berkeluh-kesah ke Ibu saya. Untung saja Ibu saya memberikan pendapat dan menyabarkan saya. Jadinya, sampai saat ini saya masih menyimpan surat pengunduran diri itu.” “Hah? Disimpan? Jangan disimpan dong. Kan masalahnya sudah beres. Dibuang saja.” Bibir Tifa melengkung ke atas sedikit. “Ya, sekarang sudah jauh lebih lega. Jatuhnya malahan kasihan, kalau saya keluar dari Perusahaan sekarang." "Betul, Mbak Tifa kan Orang lama. Pasti berat untuk perusahaan kalau sampai kehilangan Mbak Tifa." Tifa tidak berkomentar. Dia teringat hal lain yang hendak dia sampaikan. "Apa Vino dan Ibu tahu, Bapak sedang sakit saat ini? Bapak sudah tiga hari tidak masuk kantor. Tapi kelihatannya Bapak tidak dirawat di rumah sakit. Bapak istirahat saja di rumah. Soalnya tadi dan kemarin juga ada kurir yang mengantarkan surat yang butuh tanda tangan Bapak. Tentu saja seijin Bapak.” Vino tak bereaksi. Bertanya di mana Sang Papa tinggal juga tidak. Pikirnya, sakit apa pun biar saja, kan ada Selingkuhan nya di dekatnya. Lagi pula menurut Vino, apa saja jenis sakit Sang Papa tidak ada artinya jika dibandingkan dengan sakit hati yang ditorehkan Sang Papa ke Istri dan kedua Anaknya. Acuh tak acuh ya Vino membuat Tifa sepertinya mengurungkan niat untuk membahas lebih jauh tentang sakitnya Pak Danang. “Vin, oke, kembali ke masalah tuduhan, ya.” Vino manggut kecil. “Sebenarnya sekarang di kantor sudah mulai berkembang cerita, ada apa-apa dalam keluarga Ibu dan Bapak. Ya jelas Bapak saja pindah rumah yang sangat sederhana begitu. Kurir yang cerita ke saya biarpun rasa takut-takut. Memang sebagian bilang, itu gara-gara Si Santi. Tapi banyak yang kasihan juga sama Bapak. Mereka sampai bilang, kenapa Si Santi itu nggak dihempas saja sejauh mungkin sehingga Keluarga Bapak dan Ibu bisa harmonis lagi sebagaimana dulu.” Vino mendesah enggan. Dia tak tertarik membahas tentang kemungkinan itu. “Vin, Vino tahu kan, kepemilikan perusahaan atas nama Siapa? Kan Bapak sama Ibu. Ada dokumen yang harus ditandatangani sama Bapak, ada juga yang bisa tanda tangan Bapak atau Ibu, dan ada yang pelu tanda tangan Keduanya. Tetapi untuk sementara waktu, biarpun kami nggak tahu pasti apa yang terjadi, kami sepakat untuk nggak mengganggu Ibu dulu. Dalam hal ini, memang kami yakin Ibu menjadi Pihak yang tersakiti. Aduh Vin, saya..., geregetan sekali kalau ingat semua kelakuan Si Santi setiap kali datang ke kantor.” “Dia masih datang ke kantor?” Tak sadar suara Vino meninggi. Tifa lekas menggoyangkan tangannya. “Oh, bukan sekarang. Maksudnya saya ya saat dia menebar jaring untuk menjerat Bapak. Aduh Vin, nggak pantas sama sekali. Kamu pasti sudah pernah dengar pergunjingannya.” Vino menggeleng. "Masa?" Vino mengiakan. “Yang sempat aku dengar malah dia itu gosok-gosok Mamaku melulu. Aku mendengar sambil lalu. Katanya..., maaf. Mbak Tifa lah dipangku sama Bapak di ruangan Bapak pas dia lagi antar makanan. Terus lain kali, Bapak juga suka genit sama Pegawai Wanita yang lainnya. Dibilang colek-colek, pegang tangan, main mata sampai menggoda dengan candaan yang menjurus. Yang terparah nih, dia bilang ... ini maaf lagi. Mbak Tifa katanya kalau kasih dokumen atau atau apa, sengaja nyenggolin ... eng itu.... b*******a , ke lengan Papa.Terus dibilang bahwa Mbak Tifa juga dibilang selalu pakai blus yang lehernya rendah. Sempat dengar sih, dia bilang ke Mama kalau Mbak Tifa sama Papa lagi pegangan tangan sewaktu dia datang. Pernah juga dia bilang bahwa Mbak Tifa malah kesenangan pas dielus pinggulnya. Ya, yang semacam itu deh.” Tifa menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jahat banget ya si Santi itu. Mulutnya benar-benar minta ditampar. Sumpah Demi Tuhan, itu nggak benar, Vin. Mana mungkin saya menggoda Bapak. Nggak berani dan nggak tega saya. Teman-teman di kantor juga nggak ada yang seperti itu. Kami sangat respek sama Ibu. Kami mengenal Ibu sebagai Seorang Wanita yang hatinya mudah tersentuh untuk menolong Siapa saja. Orang kalau lihat ada Pengemis ngorek sampah untuk cari makanan saja Ibu langsung kasih makanan dan minuman apa saja yang ada di dekatnya. Kenapa sih Si Santi malahan memutarbalikkan fakta? Padahal..., dia sendiri yang melakukan itu semua.” Dahi Vino mengernyit. “Berbuat m***m di kantor? Ck ck ck! Harus dibersihkan dan dilakukan ritual tolak bala itu kantor biar nggak sial. Tempat buat usaha lho itu, mana boleh dikotori sama kelakuan laknat begitu. ” Vino lantas menatap Tifa. “Mbak, atas nama Mama saya, saya minta maaf ya. Biasa deh. Mama itu gampang percaya sama keluguan dan kepolosan yang ditampilkan Si Jalang itu.” “Nggak apa Vin. Saya sudah memaafkan Ibu. Dan soal si Santi, lugu? Lugu yang bagaimana makudnya Vin?” “Lho, memang kalau datang ke kantor bagaimana? Bukannya mustinya sama dengan sehari-hari di rumah, pakai tampang lugu seperti orang yang punya hati baik? Sok manis? Sok sopan? Sok rendah hati, sok ringan tangan dengan menawarkan apa yang bisa dia bantu?” Tifa tersenyum pahit mendengarnya. “Yang ada justru kebalikannya, Vin. Dia datang ke kantor gayanya petentang-petenteng. Lagaknya sudah seperti Istri Bos saja. Cara dia memandang ke Para Pegawai itu kesannya merendahkan kami semua. Dan lugu? Ah! Dia malah terkesan mau memamerkan kedekatan dia sama Bapak, kok. Seperti mau memperingatkan kami bahwa Bapak itu ada dalam pengaruh dia. Padahal Bapak saja terlihat sungkan. Biasanya kalau dia datang, suka menemani Bapak makan di ruangan. Terus mereka pergi. Pulangnya Bapak sendiri, setelah beberapa jam. Sampai ada yang nyeletuk, barangkali bobok-bobok siang. Maaf ya Vin, jadi vulgar.” “Kenyataan kok. Nggak apa. Dibilang saja.” “Bapak itu masih menjaga wibawa. Mencoba bersikap biasa. Tapi kita juga tahu kok, perkembangannya. Pertama kali datang ke kantor, kelihatannya masih belum terlalu bertingkah. Tapi iya, dia langsung menunggui Bapak makan, melayani ambil minum dan ini itu. Setelah itu pulang bawa rantang makanan yang kosong. Entah hari ke berapa datang, sudah mulai tuh, pangku-pangkuan.” “Hah?” Tifa menutup mulutnya. “Eng..., itu nggak sengaja Office Boy baru yang melihat. Soalnya dia memang agak sembrono tuh, main masuk ruangan Bapak, disangkanya dia Bapak lagi di luar kantor. Langsung dia nutup pintu dan nggak enak sendiri. Tapi sudah tahu begitu, bisa-bisanya lain kali dia sembrono lagi. Ketuk pintu memang, tapi beberapa kali nggak disahut, main buka saja dan mau bawain minum. Rasain dia. Kali itu yang dia lihat lebih parah. Jadi nggak enak sendiri kan dia.” “Apaan?” “Nggak ah! Nggak tega buat ngomongnya.” “Payah Mbak Tifa ini. Sudah tanggung nih.” “Saya mau bilangnya saja malu.” “Halah. Bilang saja terus terang. Mereka berdua sudah kebelet, sampai melakukannya di kantor? Di mananya? Di sofa? Atau di atas meja?” cerocos Vino mangkel. “Ih Vino! Kamu tuh! Parah!!” “Beneran? Gila, jadi beneran tuh, bisa sial lho itu kantor. Dijadiin tempat m***m sih.” “Ya nggak separah itu juga kayaknya deh Vin.” “Ya apa?” kejar Vino. Tifa menggeleng resah. Namun akhirnya dia berkata juga, “ Kata itu Office boy, pas dia dorong itu pintu, dia lihat Bapak lagi duduk bersandar di kursi. Tapi..., eng..., dia lihat ada kepala Cewek di bawah meja.” “Wueeek. Dasar sampah! Dia itu benar-benar p*****r murahan.” “Maaf ya Vin.” “Nggak ada yang perlu dimintain maaf. Ada lagi yang mau dibicarakan?” “Ya itu, masalah kepemilikan perusahaan tadi. Ini kan sekarang di kantor jadi kami agak was-was. Jujur kami was-was sama masa depan perusahaan, yang bisa jadi ya masa depan kami juga. Kami takut sih kalau konflik ini berkelanjutan, dan sesuatu terjadi..., maaf nih, bukan ngomong atau mengharapkan yang buruk..., kalau tidak saling mengambil jalan tengah..., aduh, maaf, saya kok jadi mencampuri urusan rumah tangga Orang. Kami agak bingung akan seperti apa perusahaan kalau hal ini berlarut-larut. Enggak..., maksudnya..., kami di kantor sih masih sangat berharap supaya Bapak bisa bertobat dan Ibu bisa memaafkan Bapak.” Vino langsung berdiri. Di bagian 'harapan' Tifa agar Kedua Orang tuanya dapat saling memaafkan, Vino langsung merasa gerah. “Saya pulang ya Mbak. Oh ya, minta alamat Papa. Bisa-bisanya tahu-tahu dia sudah membelikan rumah untuk Si Betina jalang itu.” Tifa jadi gugup. “Bu... buat apa? Kamu nggak akan berbuat yang macam-macam kan, di sana?” tanya Tifa bimbang. Vino mengembuskan napas dengan kesal. “Saya rasa Mbak Tifa masih belum lupa, kan, kalau saya ini, meskipun jijik sama kelakuan itu Laki-laki b***t, tetap saja Anaknya. Masa Papanya sakit Anaknya nggak boleh tahu? Jangan-jangan nanti telanjur dikasih racun tikus sama Si Betina jalang itu. Wah... hati-hati..., jangan-jangan beberapa harta perusahaan sudah mulai diganti nama lagi,” ucap Vino dalam kemangkelannya. Alasannya terdengar cukup meyakinkan.  Tifa terhenyak. Dan setelah beradu argumen beberapa saat lamanya, akhirnya Tifa memberikan juga alamat rumah yang ditempati oleh Sang Papa. “Thanks, Mbak. Setidaknya kalau sekarang Papa saya sedang disodori racun mematikan, Siapa tahu saya sempat mencegahnya,” ucap Vino seenaknya, lantas segera pamit. Tidak membuang waktu sedikitpun, Vino langsung mengarahkan sepeda motornya menuju alamat yang diberikan oleh Tifa kepadanya. Mulanya, dia tak percaya Papanya sanggup tinggal di rumah yang tampak darurat dan sederhana itu. Dia tak habis pikir apa kira-kira yang ada di kepala Kurir kantor saat mengantarkan surat untuk ditandatangani oleh Sang Papa. Kemungkinan terbesar mereka merasa prihatin. Dan sudah pasti setelahnya mereka saling bergunjing. Bisa jadi mereka beralih memihak Si Laki-laki b***t ini ketimbang Mama. Huh! Paying victim! Pikir Vino muak. Dan kala dia melihat kendaraan Sang Papa terparkir di depan rumah sederhana itu, dia jadi yakin alamat yang diberikan kepadanya benar. Kendaraan Sang Papa jadi tampak sedikit kontras dengan kesederhanaan yang terpancar dari rumah itu. Vino terpaku. Sekarang dia jadi bingung dan mempertanyakan sendiri pada dirinya, apa yang hendak dibuatnya di sini? Begitu tatap matanya terbentur pada banyaknya batu yang ada di depan rumah, niat jahil melintas di kepalanya. “Sepertinya bakalan seru nih. Lumayan buat hiburan,” gumam Vino sambil mengambil beberapa. Mulanya, dia melempar kaca jendela. Terdengar suara KROMPYANGGG. Itu membuat semangatnya bagai tersulut. Dilemparnya batu yang kedua. Masih ke arah jendela. Lalu jendela di sebelahnya. Saat itulah, terdengar suara teriakan nyaring dari dalam. “Massss...! Ada yang melempari rumah kita!” Tepat! Itu adalah Suara dari Wanita yagn paling dibenci oleh Vino. Kepalang tanggung, dia memukul-mukul pagar dengan keras, menimbulkan suara berisik dan nyaring, Seperti Penagih hutang yang kalap saja. Tak cukup dengan itu, Vino terus berulah. Lalu dilemparkannya lagi sebuah batu.  “Massss! Aku takut! Itu Siapa? Aku minta pindah dari sini Mas! Rumah ini nggak layak huni! Nggak aman! Lama-lama aku bisa keguguran kalau begini!” terdengar teriakan dari dalam rumah. Vino semakin bersemangat memukuli pagar. Suara panik Santi bagaikan vitamin saja untuk Vino. Saat itulah, dia mendengar derit suara pintu dibuka. Wajah Sang Papa yang agak pucat, terlihat olehnya. Sedikit di belakangnya, berdiri Santi yang memegangi tangannya. “Vino! Kamu yang melempari batu dari tadi? Apa maumu?” tanya Sang Papa, yang mati-matian menekan amarahnya. Vino tersenyum miring. Dia juga bingung mau berkata apa. Mendadak saja sebuah pemikiran terlintas di kepalanya. Pemikiran sesaat. “Apa mauku? Jangan mengulur waktu. Lekas ceraikan Mamaku. Atau..., sengaja mau memindahkan segenap asset perusahaan dulu, diganti nama ke Binatang buas dan p*****r laknat yang ada di sebelahmu itu? Hah?” bentak Vino. “Maaaas! Aku takut!” rengek Santi  lagi, membuat Vino makin sebal. Santi lalu bertindak dramatis, memegangi perutnya sebagai gerakan refleks Seorang Calon Ibu yang ingin melindungi Calon Buah hatinya, ingin rasanya Vino merangsek masuk dan memukul perut wanita itu keras-keras. Namun kemudian terpikir olehnya, seluruh tubuh Wanita itu teramat najis dan menjijikkan dan dia tak rela tangannya ternoda lantaran bersentuhan secara fisik. Maka dia sengaja meneror dengan cara lain. Kembali dia memunguti batu-batu besar dan melempari semua kaca. “Vino! Hentikan! Kamu bisa dilaporkan ke Polisi kalau begini caranya.” “Mau melaporkan aku? Ayo, silakan. Telepon Polisi sekarang. Suruh tangkap aku. Biar sekalian aku bongkar semua aib Keluarga. Mau?” tantang Vino garang. Sang Papa menghela napas panjang. Dia menatap putus asa pada pecahan kaca yang berserakan di lantai. “Vino, ayo masuk. Kita bicara baik-baik. Papa sedang kurang sehat. Nggak bisa berdiri terlalu lama begini. Pusing kepala Papa,” ujar Pak Danang dengan nada rendah, kemudian. Sepertinya dia tahu, tak bijak menghadapi kemerahan dengan kemarahan. Juga karena dirinya tak punya cukup energi untuk meladeni kebrutalan Vino. “Maas..., jangan! Aku takut! Nanti kalau dia menyakiti aku bagaimana? Usir dia Mas!” Amarah Vino meledak. “He Setan jalang! b***k nafsu! Iblis betina! Aku juga nggak sudi masuk ke tempat najis ini. Aku sumpahi supaya kamu akan mendapatkan banyak penderitaan selama hamil dan melahirkan. Semoga kamu mati mengenaskan saat melahirkan nanti. Dan Anak harammu itu juga mati! Kalian bertiga. Mati semua!” umpat Vino dengan wajah merah padam. "Vino, jangan begitu." “Maaasss..” “Santi, diam kamu. Jangan buat situasi tambah keruh! Jangan bciara macam-macam. Vino ini Anakku. Dia berhak ada di sini. Masuk sana!” tegur Pak Danang. Vino tersenyum miring. Ia berjongkok dan memunguti segenggam kerikil. Lantas dengan sekuat tenaga. Dilemparkannya kerikil itu tepat ke perut Santi. “Mampus!” “Aduh! Mas, perutku, Mas! Perutku sakit! Bagaimana nanti kalau terjadi sesuaty sama Anak ini? Hu hu hu..” Santi langsung menangis histeris. Vino memukul pagar lagi. “He Jalang! Diam! Jangan main drama!” “Vino, jangan begitu. Santi itu sedang hamil. Kalau kamu mau marah, marahlah ke Papa. Bukan ke Wanita hamil.” Vino meludah. Lalu dia menunjuk wajah Sang Papa. “Ingat baik-baik! Untuk setiap penderitaan Mama yang disebabkan sama si Jalang ini, aku akan membalasnya dua kali lipat ke Kalian!” Lantas Vino menaiki sepeda motornya. Dia sengaja membuat bunyi berisik macam Orang sedang kampanye, sebelum berlalu. Celakanya, apa yang dibuatnya itu bukanlah mendapat pujian dari Sang Mama kala dia tiba di rumah dan menuturkan nya dengan pongah. “Apa-apaan ini Vino?” tegur Sang Mama sambil menunjukkan foto-foto kerusakan rumah yang dikirimkan oleh Pak Danang kepada Bu Astri. “Kamu merusak rumah Orang. Jangan begini, Vino.” “Rumah itu benda mati. Dengan mudah bisa diperbaiki. Si Jalang itu merusak rumah tangga Mama.” Sang Mama menyandarkan punggungnya ke dinding. Tampak putus asa. “Vin, Orang hamil itu perlu ketenangan. Kamu membuat dia menderita kalau kamu teror begitu. Jangan lakukan lagi Vino. Cukup.” Vino berdecak kesal. “Mama! Please wake up! Dia itu bukan Manusia. Dia lebih rendah dari binatang. Dia layak untuk penderitaan yang lebih hebat. Dan apa yang dia terima hari ini, tidak ada seujung kuku pun dengan penderitaan yang dia akibatkan ke Mama.” Mata Sang Mama memerah. “Cukup, Vino, cukup. Jangan ngomong apa-apa lagi. Semakin kamu bicara, semakin sesak d**a Mama." ... Vino mengakhiri lamunannya. Mama itu sebenarnya baik atau naif sih Ma? Ah sudahlah, aku saja yang jawab. Mama naif. Mama bodoh. Kalau nggak bodoh, Mama pasti sudah bertekad bulat bercerai dari Papa. Biar saja Papa dan Betina Piaraannya itu menjadi gembel dan berkeliaran di jalan, keluh Vino di dalam diamnya. “Hei, ngelamun terus sih jadinya.” Suara Julian terdengar lagi. Vino menengadahkan wajahnya. “Gue jadi bingung, kenapa di dunia ini ada Wanita yang begitu lemahnya, seperti Mama gue. Mau-maunya berbagi Suami. Jijik tahu nggak sih, ngebayanginnya. Mana ada istilah adil. Yang sebelah sana nebeng hidup dan borosin duit doang.” Julian menatap kesal. Dia tahu, ini pengaitnya. “Vin, gue tahu elo sebel banget sama Si... sudah gue nggak usah sebut lah. Pakai istilah apa juga elo pasti marah. Tapi Vin, jangan karena elo benci sama satu Wanita yang elo anggap merusak kebahagiaan Mama elo, terus jadi elo membalasnya dengan cara mempermainkan Cewek yang sama sekali nggak ada hubungannya sama kasus elo. Ingat deh. Sudah berapa kali elo bikin Orang patah hati. Elo pikat, elo dekati, elo manfaatkan, terus setelah bosan, main elo tinggal seenaknya.” “Biarin. Biar mereka nggak ada potensi untuk merusak kebahagiaan rumah tangga Orang. Jadi gue kasih pelajaran pahit dulu.” “Elo salah kalau begitu.” Vino mengedikkan bahu. “Dan itu tadi, target baru lagi? Duh, elo tega deh. Itu kalau nggak salah, Si Event Organizer yang pernah elo ceritain ke gue kan? Elo mau apain dia? Janganlah Vin. Elo bilang sendiri, profile dia begitu bersih, jejak digitalnya juga terpuji. Terus latar belakang keluarganya juga oke. Dan yang terpenting, Orangnya baik. Jangan cari masalah deh gue bilang.” Vino mengulum senyum saja. Senyum yang penuh makna. Dan hanya dirinya saja yang tahu arti senyuman tersebut, sementara Julian, yang menatap tajam padanya, sibuk menerka-nerka di dalam diam. * $ $   Lucy Liestiyo  $
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD