Chapter 8 :POV Keenan

1096 Words
Mau heran tetapi ini anak-anak. Apalagi darah dagingku sendiri. Bisa-bisanya Shafira mau main dokter-dokteran bersama Rissa dengan cara Rissa menjadi Ibu pasien dan Shafira adalah anaknya. Konyolnya lagi, aku malah pengen ikut-ikutan jadi Ayahnya. Seolah-olah kami adalah keluarga kecil yang bahagia. Aku, Rissa, dan Shafira. Astaga.. Kenapa tiba-tiba aku jadi mikir begini sih? Nggak-nggak. Jangan. Soal ikut-ikutan bermain tadi aku cuma bercanda. Aku sudah dewasa. Jelas sekali aku tidak mau yang main-main atau pura-pura. Lagian aneh aja, hanya karena Rissa yang jadi ibu pasien, bisa-bisanya aku mau ikutan. Aku menghela napas.. Aku yakin pemikiran ini bisa muncul gara-gara efek kelamaan menduda. 4 tahun tanpa bersama pasangan hidup memang bukanlah waktu yang sebentar. Saat ini jam istirahat Rissa. Aku melihat Shafira bermain belajar bersama Rissa melalui ponsel yang di pegangnya. Dari sini aku bisa melihat bagaimana Shafira sedekat itu dengan Rissa. Mungkin karena lumrahnya seorang anak yang tidak pernah memiliki kasih sayanh seorang Ibu. Kalau boleh jujur, kenapa selama ini aku tidak pernah dekat dengan wanita manapun. Alasannya cuma satu. Aku menghargai perasaan Shafira. Itu saja. Padahal ada banyak wanita yang mendekatiku. Apalagi aku ini duda kaya. Sombong dikit wkwkw. Tetapi aku tidak mendekat balik ke mereka. Semua yang aku lakukan demi Shafira. Aku hanya tidak ingin Shafira merasa tidak nyaman melihat Ayahnya dekat dengan banyak wanita. Tetapi dengan Rissa. Ntah kenapa pengecualian. Padahal takdir kembalinya bertemu kami hanya sebatas partner kerja. Aku membutuhkan tenaganya dan dia membutuhkan upah hasil jerih payahnya. Tetapi kenyataannya, Shafira malah blak-blakan bilang kalau foto Rissa ada di dalam lemariku. Shafira.. Shafira.. Mau heran tetapi dia ini fitrahnya anak-anak yang memiliki rasa penasaran tinggi. Hingga akhirnya Shafira malah dekat dengan Rissa "Sayang, ayo waktunya makan siang." ucapku pada Shafira. "Ayah apa boleh Tante cantik ini tinggal bersama kita?" "Boleh." "Tidak." Aku dan Rissa, Sama-sama berucap meskipun beda jawaban. Aku bilang boleh sedangkan dia tidak. Aku tersenyum lebar. "Benarkah?" Shafira berbinar bahagia. "Wah bagus sekali Ayah! Sekarang kita tidak berempat lagi. Kalau ada Tante, kita bisa berlima." "Tidak semudah itu Fira." Aku mengajak Shafira untuk turun dari pangkuan Rissa. "Tante cantik ini punya rumah. Tetapi sayang rumah nya jauh dan kecil banget." "Apa? Kecil. Sekecil apa?" Aku menatap Rissa sebentar. Bahkan tatapannya kini terlihat tajam ke arahku. Jika tidak ada Shafira, mungkin aku bakalan di tendang sama dia. Memangnya aku bola pakai di tendang segala? Kalau gol sampai ke hatinya sih, it's oke lah ya wkwk. "Hmm... Sekecil kadang ayam?" "Ayah! Kita harus ajak Tante cantik ini tinggal sama kita. Kandang Ayam itu kan sempit banget. Tante nggak bakal muat." "Boleh. Tanya dulu, kalau dia tidak mau, hm sepertinya kita akan tetap berempat. Ayah, Fira, Mbak pengasuh dan Ibu pembantu." "Tante, ayo! Tinggal sama aku ya. Ya? Ayolah.." Aku berhasil mengerjai Rissa. Wanita sedingin dia emang paling enak di kerjain. Sudah lama sekali aku tidak jahil sama dia. Apalagi saat ini Rissa semakin menahan kesal terhadapku. "Em Shafira. Tante nggak bisa tinggal disana karena Tante tidak suka tinggal dirumah yang besar." "Jadi Tante sukanya tinggal di tempat yang kecil seperti kandang Ayam? Itukan jorok." "Tapi Tante suka. Kan tiap hari Tante yang bersihin." "Kok begitu sih?" "Ya iya. Tante ini kan rajin. Jadi Tante suka tinggal disana." "Kalau begitu Shafira mau ikut tinggal sama Tante. Shafira bosan tinggal di rumah yang besar." "Eh jangan. Nanti Shafira kesempitan." "Tapi Ayah bisa membuat rumah Tante jadi besar. Iya kan Ayah?" Aku bersedekap. "Tentu saja bisa. Mau sebesar istana pun Ayah bisa." "Kalau begitu mulai besok Shafira mau tinggal sama Tante!" Aku ingin tertawa dan mendengar ucapan Shafira benar-benar menggelikan. Aku melihat Rissa sedikit meminta pertolongan padaku melalui tatapan matanya. Meskipun sorotan tajamnya masih terpancar. Dengan santai aku mengusap daguku. "Fira yakin mau tinggal sama Tante?" "Fira yakin dan Fira mau." "Memangnya Fira nggak takut apa tinggal sama Tante Rissa?" "Tidak tuh. Tante Rissa kan orangnya baik. Sudah begitu cantik lagi. Memangnya Ayah nggak mau tinggal sama Tante Rissa?" "Tentu saja Ayah mau. Biar Ayah tidak sendirian lagi." Hanya mengucapkan hal itu saja, aku menatap Rissa dengan pandangan serius. Ketika awalnya hanya bercanda malah timbul perasaan yang tidak seharusnya. **** Sore harinya.. Aku menyempatkan waktu bersama putriku menuju sebuah pemakaman umum. Tempat dimana almarhumah istriku beristirahat dengan tenang. Aku menggandeng tangan mungil Shafira. Sementara sebelah tanganku memegang buket bunga mawar putih kesukaan mendiang. Sore ini begitu cerah. Tidak hujan seperti hari-hari sebelumnya. Sampai akhirnya langkah kakiku tiba di salah satu gundukan tanah dengan batu nisan bertuliskan Andara. Aku berjongkok sambil mengusapnya yang sudah berusia 4 tahua. Andara tewas setelah kecelakaan maut dan mobilnya masuk ke sungai. Andara hilang dan baru di temukan 2 minggu kemudian. Tetapi mirisnya, kedua ginjalnya dan organ jantungnya hilang. Aku curiga insiden yang menimpa Andara adalah kasus kecelakaan yang di lakukan secara sengaja sekaligus perdagangan organ. Tetapi sayang, kasusnya di tutup setelah 2 bulan penyelidikan. Alasannya karena tubuh Andara ketika hanyut di sungai murni di makan hewan air atau semacamnya. "Ayah?" "Hm?" "Shafira kangen Ibu. Apakah disana Ibu kangen Shafira?" "Ibu pasti kangen sama Fira." Aku melihat Shafira tersenyum sendu. Lalu tatapanku beralih ke arah kuburan anak kecil tepat di sebelah kami. Kalau di lihat tanggalnya kuburan ini ada sejak 8 tahun yang lalu. "Ayah ayo kita pulang." Aku pun akhirnya berdiri dan mengamit tangan Shafira. Sesampainya di depan parkiran mobil. Kami langsung terdiam. Ada Rissa yang baru saja memarkirkan motornya. "Tante Rissa?" Rissa terkejut bertemu dengan kami. Akupun sama. Sesaat, pandangan kami bertemu. Lalu secepat itu dia beralih menatap Shafira. "Hai Fira." "Tante mau ke kuburan siapa?" "Em.. Saudara Tante." "Oh ya?" "Iya. Tante pergi dulu. Assalamu'alaikum.. " "Wa'alaikumussalam Tante.." Lalu aku melihat kepergian Rissa. Ntah kenapa aku penasaran. Sejujurnya aku ingin bertanya saudaranya mana yang sudah meninggal. Karena waktu di masalalu hampir semua saudaranya aku mengenalnya. Baik di dalam kota maupun di luar kota. Apalagi hubungan kami terjalin sampai 3 tahun lamanya. Apa aku harus diam-diam mengikutinya? Ah tidak. Aku sudah berjanji untuk tidak mencari tahu di luar batas privasinya. Seperti syarat yang dia berikan agar mau bekerja denganku. "Ayah. Tas tante ketinggalan.." Aku kembali menatap putriku. Dia menunjuk ke arah tas tenteng yang ada di motor Rissa. Aku meraih tas itu. Sedikit melirik kedalamnya. Ternyata isinya.. "Maaf, tas aku ketinggalan." Tiba-tiba Rissa kembali dan langsung menarik paksa tas yang aku pegang. Kenapa dia terlihat seperti orang panik? Rissa mengangguk hormat padaku sebagai tanda bahwa dia akan pergi lagi. Setelah dia pergi, pikiranku malah terpusat sama isi tas yang dia pegang. **** Janji gak penasaran. Tetapi tetap aja pikiran si mantan jadi pengen tahu hehe? Makasi yaa udah baca. Sehat slalu buat kalian ✨ With Love, Lia Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD