Chapter 9 : POV Rissa

1229 Words
Keesokan harinya.. Aku tersenyum sambil memeluk Azhar dengan penuh rasa bersyukur. Akhirnya putraku sudah di perbolehkan pulang setelah di opname selama 4 hari. Hari ini aku masuk sift malam. Jadi sebelum bekerja, aku menyempatkan waktu menjemputnya ke rumah sakit. "Kak.." "Hm?" "Serius Kakak sudah dapat kerja." "Menurutmu?" "Sudah sih." "Yaudah nggak usah banyak tanya." "Kok sewot amat sih jawabnya. Lama-lama kalau tegang bisa cepat tua loh!" "Biarin. Itu lebih baik supaya nggak ada lagi cowok yang dekatin aku." Saat itu juga kami sama-sama terdiam. Adikku terkejut dan aku pun juga merasakan hal yang sama. Astaga. Kok malah keceplosan begini sih? Dasar bodoh kamu Rissa... Bisa-bisanya aku berkata urusan pribadi di depan adikku sendiri. "Serius Kak? Syukur deh kalau Kakak bakal nikah lagi. Setidaknya biar aku nggak repot jagain Azhar mulu." "Heh! Gitu-gitu keponakanmu ya!" "Iya sih, tapi kalau di suruh jagain terus kapan aku bebasnya? Masa iya aku harus menghabiskan masa bujangku jagain bocil. Kalo di gaji sih, okelah ya.." Saat itu juga aku refleks memukul jidatnya. Tak perduli kalau dia sampai protes. "Kak!" "Kalau mau dapat gaji cepat cari kerja sana! Nggak malu apa jadi laki-laki males kerja?!" "Dih, siapa bilang aku pengangguran. Gini-gini aku kerja loh Kak." "Kerja apa? Ngepet?" "Sembarangan! Ada deh!" "Awas loh ya kalau sampai aneh-aneh. Siap-siap aja bakal aku tendang dari rumah." "Kakak pikir aku takut? Sorry ya, malahan aku berharap cepat di usir supaya nggak di suruh jagain Azhar. Lagian, di luar sana masih banyak janda kaya yang bakal siap mengadopsi bujangan kayak aku." Aku kembali memukul kepalanya. Tetapi secepat itu dia menghindar dan pergi. Aku menghela napas. Dia benar-benar adik yang durhaka! Tetapi aku nggak bisa menepis dengan semua ucapannya. Kalian percaya kalau adikku yang baru lulus sekolah SMK itu benar-benar jago dalam mengurus anak kecil? Bahkan dia bisa memandikan Azhar, memasak makanan khusus Azhar, menyuapi, bahkan mengganti pampersnya. Walaupun kita tahu sendiri biar bagaimana dia tetaplah anak laki-laki yang tidak sesempurna seorang ibu yang lebih handle dalam mengurus anak. Aku menggendong Azhar sambil melangkahkan kaki menuju bagian farmasi untuk mengambil obat lanjutan rawat jalan. Sesampainya disana, aku terkejut begitu melihat Si buaya darat, Ayahnya Azhar. Ya ampun.. Dia lagi dia lagi.. Kenapa sih hidupku harus bertemu dengan pria dajjal macam ginian? Kalau nggak dia, ya si mantan itu. Benar-benar miris. "Ini obatnya.. " Aku terkejut. Bisa-bisanya dia menyerahkan obat Azhar padaku. Bahkan sejak kapan dia ada disini? "Makasih!" "Eittsss.. " Dia tersenyum angkuh ke arahku sambil menarik kembali obat yang dia pegang. Maksud dia apa coba?! "Aku tidak ada waktu meladenimu. Berikan obatnya." "Aku Ayahnya. Seharusnya tidak masalah kalau aku yang memegang obat ini." "Ayah katamu? Sejak kapan kamu menganggap dirimu seorang Ayah? Ck, percaya diri sekali." "Dengar ya.." Aku meringis kesakitan. Tiba-tiba dia menarik lenganku dan meremasnya dengan kuat. "Jaga bicaramu kalau hidupmu tidak ingin sengsara." "Kamu pikir aku takut? Bahkan hidupku sudah sengsara sejak dulu karena ulahmu." "Berani sekali kamu-" Tiba-tiba Azhar menangis. Dengan cepat pria buaya ini mengambil alih putraku. Aku langsung marah dan menatapnya dengan tajam "Apa yang kamu lakukan? Kembalikan Azhar!" "Tidak. Dia putraku juga." "Kembalikan-" Dalam sekali dorongan aku terjatuh ke lantai. Dia tega melakukan hal itu padaku. Aku berusaha menahan air mata. Tidak ingin terlihat lemah. Tiba-tiba dia melangkah pergi sambil menggendong Azhar. "Azlan!" "Azlan! Kembalikan putraku!" Tetapi dia tidak perduli dan terus melangkah pergi. Aku berusaha mengejarnya dan menyamakan posisinya. Dengan cepat aku menghadang jalannya. "Azlan!" Aku melihat dia tersenyum angkuh padaku. Seolah-olah seperti menganggap aku lemah. Tidak ada cara lain selain akhirnya mengalah. "Please, dia lagi masa pemulihan. Kalau kamu pisahkan kami maka-" "Ah begitu ya. Oke oke, aku ngerti. Maka putra kita akan rewel dan mencari Ibunya. Iya kan?" "Kalau begitu kembalikan putraku." Ansel sedikit menjauh dariku. Dia malah memberi senyum seolah-olah dialah pemenangnya. Sementara aku tertindas. "Kamu sadar kalau dia membutuhkan Ibunya. Kenapa masih mau bekerja?" "Apa maksudmu?" "Kamu pasti mengerti. Aku tahu kamu tidak sebodoh itu." "Ansel.. " "Berhenti bekerja dengan mantanmu atau Azhar tidak akan kembali padamu!" "Dan kamu tidak punya hak untuk-" "Mengaturmu? Ck, kamu lupa kalau aku masih suamimu?" "Suami?" Aku tertawa sumbang. Padahal sebenarnya mataku sudah memerah. Tetapi masih berusaha keras menahan air mata biar nggak netes. "Suami dzolim maksud kamu?" Lagi, sekarang malah dia yang tertawa. Bahkan aku muak melihatnya. "Ah sangat menyenangkan melihatmu tersiksa. Sudah aku katakan bahwa aku akan terus membuatmu menderita." "Ansel, please. Kembalikan Azhar. Dia-" "Dan ini tidak seberapa dengan apa yang di lakukan oleh Ayahmu yang b******k itu. Karena ulahnya, orang tuaku sampai bercerai. Dan kamu harus menanggung akibatnya!" "Ansel.. " "Bagaimana rasanya berpisah dengan anak? Rasanya pasti sakit." Detik itu juga dia pergi membawa Azhar. Aku menatap punggungnya semakin menjauh. Tetapi aku tidak bisa berhenti untuk membiarkannya. "Ansel!" "Ansel!" Bahkan ketika aku menggedor kaca mobilnya, dia tetap tidak perduli dan terus berjalan hingga mobilnya bmenghilang dari pandangan mataku. Hidup memang pilihan. Tetapi kenapa pilihannya begitu sulit sampai-sampai aku tidak sanggup memikirkan keputusan yang tepat? Tidak semudah itu melepas pekerjaan yang gajinya lumayan sedangkan si buaya itu malah menyiksa keadaanku dengan membawa Azhar. Berhenti bekerja dan Azhar bersamaku atau sebaliknya. Ponselku berdering. Nama panggilan "Jangan Diingat" Tiba-tiba terpampang jelas di layar ponselku. Aku ingin mengabaikannya, tetapi aku sendiri tidak bisa melakukannya. Kalau aku masih menganggapnya masalalu, rasanya ingin terus menghindar. Tetapi sepertinya mulai sekarang aku harus merubah pola pikirku untuk menjadikannya sebatas lingkup pekerjaan. Dia boss dan aku pekerja. Itu saja.. Aku mengatur nafasku dan nada bicaraku agar terdengar baik-baik saja. "Halo?" "Assalamu'alaikum Rissa. Hari ini kamu sift malam kan?" "Wa'alaikumussalam. Iya Boss betul." "Maaf sebelumnya. Kalau saya minta tolong jam kerjamu di percepat sekarang apakah bisa?" "Sekarang ya?" "Iya sekarang. Bisa kan?" Aku langsung terdiam. Padahal tadinya aku ingin mengejar Azhar. Tetapi si Boss malah.. "Rissa? Kamu baik-baik aja?" "Maaf Boss. Iya, oke saya kesana sekarang." "Oke. Saya tunggu di parkiran ya.." "Maaf?" "Arah jam 3." Dengan cepat aku menurut dan melihat ke arah jam 3. Astaga, dia benar-benar ada disana. Tanpa di duga si Boss malah mendekatiku. Sampai akhirnya langkahnya berdiri tepat didepanku. Aku yang terdiam masih merasa terkejut tak percaya. "Boss kenapa anda-" "Kenapa saya kesini?" Aku mengangguk pelan. Bahkan saat ini tatapannya terlihat mengkhawatirkanku. Keenan.. Tatapanmu.. Tatapan itu kenapa tidak pernah berubah sejak dulu? Tiba-tiba hatiku terasa di remas. Seperti di paksa untuk kembali merasakan masalalu itu. Aku mencoba untuk menepisnya. Aku tidak ingin tenggelam ke dalam rasa yang pernah membuatku nyaman dan berakhir luka.. "Saya kesini karena saya tidak ingin membuatmu sedih, Rissa." Nggak Keenan, enggak.. Stop kembali membuatku jadi ketergantungan sama kamu. "Boss, please. Anda jangan bersikap begini." "Jangan pernah mencegah saya Rissa. Saya ingin kamu berhenti dari rasa kesedihan itu dan belikan saya Nasi uduk paket komplit sama semur jengkol." "Ha?" "Nasi Uduk paket komplit sama semur jengkol." "Boss.. Kenapa anda.." Aku langsung terdiam. Tidak jadi melanjutkan ucapanku. Kenapa dia malah ngomong gini sih? Situasi lagi melow-melownya dia malah bahas jengkol sama nasi uduk! Tadinya aku pikir perasaan dia ke aku seperti.. "Jadi gini loh, tiba-tiba siang ini saya pengen makan nasi uduk dan semur jengkol. Makanya saya kesini datangin kamu sekalian mau minta tolong di beliin. Memangnya kamu pikir tadi apa?" Satu detik.. Dua detik.. Tiga detik.. Dan akhirnya aku langsung paham. Iya kalian bener.. Dia nggak salah kok. Cuma ekspetasi aku aja yang terlalu ketinggian. **** ??? Udah serius eh malah gagal wkwkw Makasi ya udah baca. Moga suka sama chapter kali ini With Love, Lia Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD