Chapter 10 : POV Keenan

826 Words
Aku terdiam sambil mengingat kejadian beberap jam yang lalu di rumah sakit. Tanpa sengaja aku melihat Rissa dan si b******k itu di sana. Awalnya aku kesana karena ada keperluan menjenguk temen yang lagi sakit. Begitu aku pulang, malah kembali di lihatkan drama rumah tangga mereka. Dengan jelas aku melihat bagaimana si b******k itu membawa paksa putra mereka. Hanya melihatnya, perasaanku jadi nggak tega. Ibu mana yang tidak sedih kalau di hadapkan keadaan seperti itu? Shafira berpisah dengan kematian Ibunya saja dia menangis sedih. Bagaimana dengan Rissa yang berpisah dengan putranya karena keegoisan suaminya? Ternyata julukan b******k untuk laki-laki seperti dia memang benar-benar tepat. Lihat saja, bahkan dia tega membuat Rissa menangis. Eh bentar. Bukannya 10 tahun yang lalu aku pernah bikin Risa nangis juga ya? Berarti aku sama aja dong brengseknya? Ah tidak. Kata b******k cocoknya buat dia aja. Jangan aku hehe. "Assalamu'alaikum Boss." "Wa'alaikumussalam." Aku melihat pintu terbuka setelah dia yang kupikirkan sejak tadi akhirnya terlihat di depan mata. Dia masuk sambil membawa dua kantong kresek berisi pesananku. Nasi uduk dan semur jengkol "Ini pesanannya Boss." "Memangnya saya pesan apa?" "Loh. Katanya tadi nasi uduk sama semur jengkol pedes?" "Perasaan saya nggak pesen itu deh." "Boss jangan bercanda." "Saya nggak bercanda. Justru saya serius sama kamu." Yang tadinya Rissa terlihat sibuk sambil melirik ke dalam tas kresek yang dia pegang tiba-tiba langsung menatap ke arahku. Aku menarik sudut bibirku sengaja berkata hal seperti itu. Apalagi pakai sering bahasa yang ambigu sama dia. Ya gak apa-apa sih, emang lagi pengen aja. "Boss!" Akhirnya aku tertawa. "Oke, mana pesanan saya?" Dia menyerahkan pesanan nasi uduk itu ke atas mejaku. Tiba-tiba aku saflok sama jari-jari tangannya. Tidak ada cincin pernikahan disana. Apa iya Rissa benar-benar sudah pisah sama si b******k itu? "Ini Boss." "Trimakasih." "Sama-sama.." "Ayamnya bagian d**a kan?" "Iya Boss. Bagian dada." Aku langsung membuka nasi uduk ini dan mengerutkan dahiku. "Kok kecil banget ya dadanya. Gak asik nih kalau di pegang." "Makan aja Boss. Nggak usah cerewet. Di luar sana masih banyak orang yang nggak bisa makan." "Saya tahu. Masalahnya saya suka sama d**a itu yang besar. Dadamu lebih besar. Pasti lebih puas kalau di rasain." "Jaga ucapan anda ya! Bicaranya terlalu ramah sekali." "Lah emang kenyataannya begitu. Yang saya maksud dari tadi itu d**a ayam. Kan kamu tahu sendiri sejak dulu saya paling suka d**a besar. Memangnya kamu pikir apa?" "Nggak usah ngeless!" Aku menarik sudut bibirku dan tersenyum sinis. " Jangan-jangan pikiran kamu yang nggak ramah." "Sorry saya masih waras dan positif thinking." "Sambelnya nggak di pisah kan?" "Nggak, tenang aja." "Soalnya saya nggak suka apa-apa itu di pisah. Termasuk lauk dan sambel. Apalagi sampai pisah ranjang segala." "Boss. Anda jangan ngadi-ngadi kalau bicara!" Aku kembali tersenyum santai. Kalau lagi gabut itu emang paling seneng becandain mantan sampai dia marah. Kalian tahu kenapa? Karena kalau Rissa marah, wajahnya itu makin cantik dan nggemesin. Titik! Lalu akhirnya dia menyerahkan sisa uang kembalian padaku. "Ini kembaliannya." "Berapa?" "65.000" "Ambil aja kembaliannya." "Eh jangan boss. Ini banyak banget." "65 itu bagi saya nggak ada apa-apanya. Kecuali 69." Brak! Suara meja yang baru saja di gebrak akhirnya terdengar nyaring. Bukannya kaget aku malah ketawa. Kan sudah aku bilang, aku emang sengaja bikin dia marah. Apalagi sudah 10 tahun lamanya aku nggak lihat dia seperti itu. "Boss!" "Kamu kenapa sih, dari tadi sensi banget sama saya. Kalau laper ya makan bareng sini." "Nggak akan! Saya mau balik ke depan buat kerja." "Jangan nentang tawaran boss kamu. Pamali." "Pamali apanya?! Dah ah, saya mau keluar." "Duduk sekarang atau saya seret ke KUA." "Boss!" Aku tetap memberinya perintah melalui daguku. "Duduk situ." Akhirnya dia mengalah. Dalam hati aku senang. Bukannya apa, aku bersikap begini karena hanya ingin memastikan dia makan siang. Apalagi jam kerjanya aku majukan 2 jam sebelum waktunya. "Hati ayamnya nya mana?" tanyaku lagi. "Loh Boss pesan hati ayam juga? Bukannya tadi enggak ya? Jangan bikin saya makin emosi dan bolak balik ke warung nasi uduk ya!" "Tiba-tiba saya pengen hati ayam." "Jadi Boss mau hati ayamnya sekarang?!" "Kalau sekarang saya mau ganti dengan hati kamu boleh?" Rissa mengepalkan kedua tangannya didepanku. Wajahnya sudah memerah karena menahan amarah. Rasanya sangat menggelikan. Akhirnya dia meminum tandas air mineral yang tadinya sempat dia buka. Setelah itu membungkus sisa makanannya. "Makan sama anda bukannya enak malah jadi hambar!" "Jadi kalau makannya bukan sama saya malah jadi enak, begitu?" "Tau! Kesel saya, permisi." Aku tertawa dan cukup terhibur dengan gombalan menyenangkan ini. Rissa pun berdiri dan langsung menuju pintu. "Rissa.." "Apalagis sih Boss!" Aku menatap Rissa sejenak. Kali ini aku menatapnya dengan serius. "Saya yakin kalau suatu saat makanan yang tadinya hambar di lidahmu, akan berubah menjadi nikmat begitu dimakan bersama saya." Dia terdiam sejenak. Kami saling menatap satu sama lain. Sampai akhirnya dia menatapku dengan tatapan curiga. "Maksud Boss apa?" Aku menarik sudut bibirku. "Kamu akan tahu nanti... " **** Keenan be like ??? Halo makasih udah baca. Jangan lupa nantikan chapter 11 POV Rissa ya. With Love, Lia Instagram : lia_rezaa_vahlefii
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD