Qalb Dan Kalb

2241 Words
Tanpa pikir panjang aku pun melakukan suatu tindakan. Aku memanggil pria yang sedang menyeret anjing tersebut. "Pak, tunggu...!" kataku, menghentikan pria itu. "Itu anjingnya mau digorok pakai pisau itu ya?" "Oh, nggak kok Mas, pisau ini buat motong daging yang sudah dikuliti. Kalau penjagalannya sendiri dimasukin ke karung terus dipukul-pukul." Jawabnya santai sedikit tersenyum. Ada ternyata manusia yang kuat—harus melihat atau bahkan melakukan setiap hari—p********n terhadap hewan non unggas yang malang seperti anjing liar ini. "Bagaimana kalau saya beli saja anjing itu Pak? Berapa harganya?" tanyaku. Pria itu sontak langsung heran menatapku. "Untuk apa Mas? Mas nya ini muslim bukan? Kan haram hewan ini. Dipelihara nggak bisa dimakan juga nggak bisa." Kata pria tersebut tertawa geli. "Kasihan ya?" tukas pria itu kembali, seperti dapat membaca isi pikiranku saat ini. "Iya Pak, saya mau beli aja. Berapa?" "Mahal Mas! Ini harga anjingnya pas 200 ribu. Memang ada duit segitu? Udahlah Mas, ngga usah pakai kasihan segala. Lagian ngga ada gunanya juga kan muslim seperti Mas ini ngebeli anjing ini." Pria itu memang ada benarnya juga, tidak ada gunanya bagiku membeli anjing itu. "Ini Pak! Saya ada uangnya ... tolong jual anjing itu sama saya ya." Kataku sembari menyodorkan uang 50 ribuan 4 lembar ke pria itu. "Nggak Mas, anjing ini nggak dijual. Kasihan Masnya, kan ini hewan haram. Nggak usah kasihan-kasihanan lah Mas, ini sama kok seperti kalau Masnya konsumsi unggas misal ayam atau itik." Tegas pria itu menolak tawaranku seraya membuat analogi yang sebenarnya tidak apple to apple. "Please Pak, jual anjing itu ke saya ya." Aku terus memohon pada pria itu. Sementara pria itu pun seperti bimbang mau jual atau tidak anjingnya. Mungkin bapak ini malah balik kasihan padaku mengingat kalau kubeli anjing itu pun juga buat apa. "Percuma Mas. Ini kan hewan haram bagi orang Islam. Nggak ada gunanya buang-buang uang segitu. Emang mau Mas pelihara?" tanyanya. Orang ini ada benarnya namun juga salah mengerti. Islam mengharamkan anjing untuk dimakan dan itupun hanya mengharamkan air liurnya saja terkecuali ikhtilaf antar mazhab yang juga mengharamkan seluruh badannya seperti Mazhab Syafi'iyah. Islam tidak menganjurkan dan membenarkan menyiksa atau melakukan kekejian terhadap hewan apapun bahkan mengharamkan untuk membunuhnya termasuk pada anjing. Aku hanya ingin berwelas asih kepada makhluk ciptaan Allah yang satu ini. Aku teringat akan sabda Nabi Muhammad yang berbunyi : "Kasihilah yang ada di bumi, maka yang di langit akan mengasihimu." Anjing pun memiliki hati, layaknya makhluk-makhluk ciptaan Allah lainnya. Hati anjing yang dikenal setia itu bahkan dalam falsafah mistik yudaisme dijadikan sebuah ungkapan : "Jadikanlah hati kita bagai seekor Kelev (Anjing) dihadapan Tuhan sebagai hamba yang setia" Kelev dalam bahasa Ibrani ini sinonim dengan kata Kalb dalam bahasa Arab yang sama-sama memiliki arti anjing. Dan hanya beda satu huruf dengan Qalb atau hati. Sehingga oleh kalangan mistikus sufi, sabda nabi yang berbunyi : "Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada anjing" Diartikan sebagai sebuah ungkapan metaforis bahwa janganlah menjadikan rumah kita yaitu hati atau Qalb—sarang dari sifat-sifat najis dan sifat-sifat buruk hewani yang dimetaforakan sebagai seekor anjing atau Kalb, sehingga malaikat enggan memasuki relung hati atau sanubari kita. Dimana hati sendiri adalah bait atau rumah bagi Allah. Qolbul mukmin baitullah, begitulah bunyi salah satu sabda dari Rasulullah. Malaikat akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada Allah. "Benar Pak! Itu anjingnya saya mau pelihara." Jawabku terpaksa berbohong agar pria itu mau menjual anjing itu padaku. Pria itu nampak menghela nafasnya dan menyerah dengan kekeras-kepalaanku. Ia pun akhirnya mau menjual anjing itu kepadaku dengan harga awal yakni 200 ribu rupiah. Setelah aku membayar dengan harga yang disepakati, pria itu pun menyodorkan tali kekangnya padaku dan langsung beranjak pergi. Tidak berselang begitu lama tiba-tiba seorang kasir perempuan keluar dari toko buku dan menghampiriku sambil membawa buku yang telah dibungkus dengan plastik putih berlogo toko buku tersebut. "Mas, ini tadi bukunya, harganya 185 ribu tapi didiskon jadi 180 ribu aja." Ucapnya. "Maaf Mbak, saya nggak jadi beli bukunya. Maaf ya Mbak. Maaaf—banget," Aku merasa sangat bersalah. Tapi mau gimana lagi, uangku juga sudah habis untuk membeli anjing ini dan hanya menyisakan 10 ribu saja sekarang. "Yah, jadi ini gimana Mas? Nggak jadi...?" "Iya Mbak, sekali lagi maaf ya, bener-bener minta maaf!" Aku tak henti-hentinya memohon maaf, merasa tak enak. Mbak kasir itu bersungut-sungut wajahnya. Nampak kesal dan marah karena aku tidak jadi membeli buku tersebut. "Padahal sudah dimasukin ke barcode harga juga," gumamnya menggerutu sembari kembali masuk kedalam toko membawa bukunya. Aku masih bisa mendengar gerutu kesalnya samar-samar. Aku menghela nafas dan menatap buku dalam plastik yang ditenteng masuk kembali oleh mbak-mbak kasir tersebut. Demi seekor anjing yang aku pun tidak tahu mau ku apakan nantinya, aku harus merelakan buku yang sedang kucari-cari dan sangat kubutuhkan saat ini. Tapi aku harus merelakannya untuk sementara. Masalah baru kemudian muncul. Mau ku apakan anjing ini? Kalau kulepas dan kubiarkan saja ia berkeliaran di sekitaran sini, itu sama saja. Hanya masalah waktu sampai anjing liar ini kembali diincar dan ditangkap lalu dijagal. Aku harus membawanya jauh dari sini. Aku pun teringat ada sebuah shelter anjing dan kucing terlantar yang dikelola oleh komunitas pelindung dan penyayang hewan yang berada di jalan H. Syarkawi, dekat dengan rumahku. Masalah pertama kelar, masalah kedua pun muncul. Bagaimana caranya aku membawa anjing sebesar ini kesana dengan motor? Anjing ini memang sepertinya jinak dan tidak akan berontak jika dibawa berkendara. Aku mengetahui hal itu ketika tadi hendak melepaskan tali dikakinya. Anjing ini sebenarnya mudah dibawa berkendara tapi masalahnya adalah, aku tidak bisa menyentuh anjing sembarangan. Akan makin merepotkan ketika tubuhku bersentuhan dengan anjing itu selain karena nantinya aku harus mencuci baju dan celana, aku juga harus mandi atau membasuh tubuh tujuh kali salah satunya dengan debu atau tanah sesuai yang telah disyariatkan oleh Baginda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam. Karena aku bermazhab Syafi'iyah dan berhukum dengan rumusan yurisprudensi fikih Syafi'iyah dimana Imam Syafii menajiskan seluruh tubuh anjing dan bukan hanya air liurnya saja. Berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah atau kalangan Hanafiyah yang hanya mengharamkan air liurnya saja akan tetapi tidak dengan tubuh dan bulunya serta Imam Malik atau Malikiyah yang memiliki pendapat jauh lebih revolusioner dan moderat terkait hal ini yakni bahwa tubuh anjing sama sekali tidak najis. Aku pun bingung ... apakah harus secara ijtihadi bahwa khusus untuk hari ini saja aku menjadi seorang Malikiyah untuk perkara yang satu ini dan membawa anjing itu tanpa takut najis. Masalahnya akan ada keragu-raguan ketika nanti aku hendak menunaikan ibadah seperti sholat dan keragu-raguan tidaklah bagus untuk kualitas ibadah dan bisa membatalkan syarat sahnya ibadah. Apakah ada Rukhsah (keringanan) untuk perkara ini? Begitu pikirku bimbang sembari mengingat-ingat ayatnya dan kutemukan dalam surah Al-An'am ayat 119 yang berbunyi : "Allah telah menjelaskan dengan rinci segala sesuatu yang Dia haramkan untuk kalian, kecuali jika kalian terpaksa." Tapi sungguh, pertolongan Allah itu memang amat dekat. Dalam kebimbangan dan kebingunganku saat ini, Allah memberikan sebuah jalan keluar. Aku melihat wajah yang kukenali di seberang jalan sana, seorang teman lama. Aku kemudian menyapanya dengan lantang sampai ia menoleh. Aku melambai-lambaikan tangan kananku. Dia langsung sumringah tersenyum lebar. Rupanya dia langsung mengenali aku siapa. Dia adalah Santa Teresa Trifena Lubis. Teman sekelasku sewaktu kelas tiga di SMPN 9 Banjarmasin dahulu. Sebenarnya yang menjadi teman akrabku itu kakak laki-lakinya yaitu Ezekiel Luther Lubis, mereka memang adik kakak yang sama-sama berada dalam satu kelas yang sama yakni di kelas 3H. Unik memang, mereka berdua beda setahun mungkin dari segi umur tapi malah sekelas. Teresa kemudian membalas melambaikan tangan dan bersegera menyebrang jalan menghampiriku. "Lama ya tidak bertemu, Rani." "Iya, apa kabar kamu? Sekarang lagi sibuk apa?" tanyaku. "Lagi sibuk jadi guru pengajar matematika di bekas SMP kita dulu. Masih honorer sih," "Masa? Aku baru tahu itu." Aku terkejut mendengar bahwa Teresa menjadi guru bahkan sekarang mengajar di sekolah kami dahulu. "Nah, kamu sendiri sibuk apa sekarang Ran?" "Baru mau merampungkan tesis S2 ku San," "Hebat dong, usia 24 sudah akselerasi ke S2 aja. Kampus mana Ran?" "UIN Antasari...!" Santa Teresa mengangguk. Dia menolehkan pandangan matanya ke bawah, tepat kearah anjing Warrigal itu berdiri tegap di sampingku sambil menjulurkan lidahnya. "Ini anjing siapa?" tanyanya sangat heran. "Nggak mungkin kan anjingmu ...." "Sebenarnya ... secara teknis iya! Dia sekarang anjingku." "Hah?!" Santa Teresa sangat terkejut. "Tadi barusan aku mau beli buku, terus kulihat anjing ini mau dieksekusi. Ya karena kasihan, aku beli aja." "Kamu ini dari dulu memang nggak berubah-rubah Ran, aneh sekaligus baik." Ucap Santa Teresa cekikikan. "Tapi daging hewan yang satu ini enak loh!" lanjut Santa Teresa menggodaku sambil tertawa kecil. Telinga anjing liar disampingku itu pun bergeming mendengar kelakar Teresa barusan dan mendengus ketakutan. Aku hanya tertawa kecil. "Bisa aja kamu San. Oh iya, kamu masih pelihara anjing? Mau pelihara anjing ini nggak?" "Aku sih mau Ran. Anjingnya juga nampak bagus dan cantik tapi, dirumah sudah banyak punya anjing soalnya. Ngurusnya repot." "Gitu ya? Ya udah, soalnya aku juga saat ini mau bawa anjing ini ke shelter. Bisa bantu nggak?" pintaku ke Teresa. Syukurlah, Santa Teresa dengan senang hati mau membantu setelah kujelaskan panjang lebar rencananya. Ia memahami karena kepercayaanku memang agak ketat terkait sentuh menyentuh anjing. Santa Teresa sendiri adalah seorang kristen protestan HKBP walaupun namanya sendiri berbau biarawati katholik Bunda Teresa, biarawati terkenal asal Calcutta, India. Tokoh yang mendapatkan nobel prize bidang perdamainan dunia. Seorang agamawan sekaligus aktivis kemanusiaan berdarah Albania-Macedonia. Rencananya aku dengan sepeda motorku membawa anjing tersebut dengan Teresa duduk di belakang sambil memegangi anjingnya. Sepeda motor miliknya sendiri di parkir dan dititipkan di sebuah toko di jalan veteran. Kami berdua kemudian berangkat menuju shelter hewan yang dituju. "Maaf San, jadi merepotkan gini." Kataku merasa sangat tidak enak hati dengan Santa Teresa. "Nggak apa-apa kok. Aku dengan senang hati malah membantumu. Apalagi niatmu ini sungguh baik. Aku tersentuh!" katanya sembari memegang erat-erat anjing tersebut di belakang. "Oh iya, dari tadi aku belum menanyakan kabar Ezekiel. Apa kabar dia sekarang? Katanya sudah jadi tentara ya? Sudah nikah juga." "Iya, sekarang dia tinggal bersama istrinya di kota Tanjung." Kami berbincang selama perjalanan dan setelah cukup lama sekitar empat puluh menit kami pun sampai di penampungan hewan terlantar atau shelter PAWS Unity di jalan H. Syarkawi. sesampainya disana aku diminta untuk mengisi formulir dan membayar biaya administrasi 40 ribu. Aku yang hanya membawa uang sisa 10 ribu pun jadi kelimpungan. Teresa yang dari jauh menangkap raut wajah bingungku, mulai mendekatiku dan bertanya ada apa. Aku pun menjelaskan bahwa ada biaya administrasi yang harus kubayar untuk biaya konsumsi si anjing selama satu minggu pertama sampai mereka menemukan adopter. Aku berencana ingin pulang kerumah sebentar mengambilkan sisa uangnya tapi Teresa bilang tidak usah, dia mau membayarkan biayanya. Aku tentu saja menolaknya. Aku sudah cukup merepotkannya dengan mengajaknya kesini, apalagi sekarang jika dia harus keluar uang untuk itu. "Nggak usah San," kataku langsung menolak tawaran Teresa. "Nggak apa-apa Ran, aku ikhlas kok. Aku ingin terlibat dalam kebaikan ini juga." Ucapnya sambil mengelus-elus anjingnya. "Ya udah deh, alhamdulillah kalau begitu. Makasih banyak ya San!" kataku sembari tersenyum. Setelah selesai semua urusan administrasi. Aku dan Teresa pun berniat kembali ke tempat semula, mengantarkan Teresa ke tempat ia memarkir sepeda motornya. Namun sebelum itu, aku kembali menatap anjing yang telah meludeskan habis uang bukuku. Berbahagialah dan baik-baiklah disini sampai kau menemukan pemilik baru, tentu yang tidak berniat memakanmu, gumamku dalam hati. Anjing itu balik menatapku dengan tatapan yang jauh lebih damai dan tenang, tidak seperti tadi. Seakan anjing ini telah mengetahui, bahwa jiwanya telah terselamatkan. Sungguh ironi yang lucu. Hari ini aku menolak membonceng wanita yang bukan mahromku yaitu Zahra. Tapi demi seekor anjing, aku malah melakukan tindakan sebaliknya. Semoga Allah mengampuni segala kekhilafan dan kesalahan-kesalahanku. Sebagaimana Abu Yazid Al-Busthami yang diberi pelajaran berharga oleh seekor anjing karena kesombongannya. Kisah dimana Abu Yazid mengangkat tinggi-tinggi jubahnya karena takut terkena tubuh anjing. Anjing itu pun dengan izin Allah kemudian berbicara kepadanya : "Jika hanya untuk najisku engkau bisa mencucinya dengan air tujuh kali, namun kesombonganmu itu tidak bisa dicuci dan dibersihkan walau dengan air sebanyak tujuh samudra sekalipun." Begitu kata sang anjing. Sang Sufi pun meratapi dan menyesali kekeliruannya. Ia mendapat pelajaran berharga dari salah satu makhluk Tuhan yaitu anjing yang dihinanya. Bahwa jubah kesombongan, akan menjauhkan seseorang dari rahmat Allah Swt. Sesampainya kembali di jalan veteran, aku pun meminta pamit kepada Teresa. Kukatakan bahwa aku senang hari ini bisa berjumpa dengan teman lama. Aku juga titip salam kepada Ezekiel dan memintanya datang ke rumahku jika nanti ia sedang berada di Banjarmasin. Teresa mengatakan akan menyampaikan salamku dan juga izin untuk pulang. Kami pun berpisah dan pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah segera saja kutanggalkan baju, celana dan jaket hoddie-ku. Kubersihkan dengan air sebanyak tujuh kali dan menggunakan debu atau tanah satu kali. Hari ini aku tidak mendapatkan apa yang aku cari. Malah ujung-ujungnya membantu seekor anjing yang menurutku patut untuk dikasihani. Aku memohon semoga niat dan tindakanku ini lurus dan diridhoi sebagaimana riwayat dari hadist nabi tentang seorang p*****r yang masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang sedang sekarat dan kehausan. Ya Allah, semoga aku senantiasa bertobat dan selalu berada di jalan lurus-Mu. Menjadi manusia yang berkasih sayang sebagai mana engkau yang maha penyayang. Hari ini aku bergerak dengan hati, tulus lillah karena Allah untuk menolong salah satu ciptaan-Nya. Semoga dengan sedikit perbuatan kecil pada seekor Kalb, maka Qalb-ku dibersihkan dari segala sifat keburukan dan najis hati yang mampu menjauhkan dari nilai-nilai Allah dan Rasul-Nya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD