Surat Dari Langit

2546 Words
Sore ini aku pulang dari pertemuan dengan dospem dan mendapati Zahra sedang duduk di depan rumah. Dia menenteng satu map amplop besar berwarna coklat di tangannya. Zahra memandangku dengan senyuman manis nan hangatnya seperti biasa. Tanpa kusadari, jika kuingat-ingat kembali—cukup sering Zahra ini berada di depan rumahnya ketika aku pulang—entah pulang dari suatu tempat atau pulang kuliah. Seakan-akan seperti aku merasa bahwa Zahra memang sengaja menungguku pulang terkecuali jika saat dia sibuk keluar, kuliah atau pergi entah kemana. Ujung-ujungnya setiap kali Zahra ada di depan rumahnya kami pun selalu mengobrol panjang lebar. Dan kalau malam, ketika aku sesekali keluar teras rumah untuk mencari angin segar maka Zahra biasanya juga pasti akan ikut keluar rumah. "Kak Rani, ini ada surat untuk kakak!" Zahra menyodorkan sebuah amplop besar coklat yang dari tadi ia tenteng di tangan. Aku memicingkan mataku menatap amplop besar itu. Surat apa? Pikirku penuh tanya. "Apa ini Zah? Siapa yang antar?" tanyaku ke Zahra seraya mengambil amplop tersebut. "Emm ... nggak tahu juga. Tadi ada petugas Fedex Indonesia yang memberikan ini Kak. Katanya untuk Ahmad Rizalul Qur'ani," Zahra menenggelamkan kedua bibirnya. "Fedex? Untukku? Tapi siapa yang ngirim?" gumamku seraya menerawang amplop besar di tanganku tersebut. Agak berat. Isinya nampak berkas yang lumayan banyak. Tidak ada alamat dan nama sang pengirimnya. Aku mendadak penasaran dengan isi dari amplop ini. Kurasa-rasa amplop ini isinya memang kumpulan beberapa berkas di dalamnya. Bisa kurasakan. "Makasih ya Zah," ucapku berterima kasih pada Zahra yang sengaja menungguku dan mau menerima surat itu. "Anu ... maaf Kak, Zah tadi ngaku sebagai istri kakak, karena petugas pengirimnya bersikukuh ingin minta tanda tangan dari si penerima atau minimal keluarga si penerima." Ucap Zahra kembali mingkem dan memicingkan matanya. Ia tersenyum simpul dan menyatukan kedua telapak tanganya sebagai isyarat meminta maaf. "Eh...?!" Aku terkesiap, "gngaak ... nggak apa-apa sih Zah." Sahutku tiba-tiba gagap. "Surat apa itu Kak? Kak Rani melamar kerja dimana lagi?" tanya Zahra. "Bukan Zah, bukan surat kerja atau apa. Aku pun tidak tahu isi surat ini apa dan siapa yang mengirim." "Kata kurir Fedex-nya tadi, ini paket khusus dikirim dari luar negeri," tukas Zahra. "Luar negeri...?" Kurogoh kantong celanaku untuk mencari kunci pintu rumah. Aku ingin segera masuk dan membuka amplop besar ini. Namun tiba-tiba Zahra mencegatku. "Kak ... emm ... bisa kita ngobrol dulu sebentar?" pinta Zahra segan. "Sudah lama kita tidak bicara berdua seperti biasanya. Maaf kalau permintaan Zah egois dan tidak memperdulikan betapa capeknya mungkin tubuh kakak hari ini. Apa tidak apa-apa?" "Oh, iya. Nggak apa-apa kok Zah." Kataku langsung duduk di salah satu kursi di depan rumah. "Sini, ayo duduk Zah," ajakku meminta Zahra duduk di kursi bangku yang satunya. Jam-jam segini kawasan rumah kami memang masih lumayan rame oleh aktifitas warga jadi tidak apa-apa kurasa bila berduaan dengannya jika hanya untuk mengobrol saja seperti biasa. Malam hari dulu juga kami biasa santai ngobrol berdua. Toh cuma di depan rumah. "Mau bicara apa?" tanyaku. Zahra lalu membicarakan tentang kuliahnya. Ia membicarakan beberapa mata kuliah prodinya dan meminta saran serta pendapatku untuk beberapa kasus. Dan yang paling mengejutkan saat ini, Zahra juga menceritakan bahwa ada dua teman laki-laki di jurusannya yang naksir sama dia. Katanya namanya si Riyadi sama Alfian. Mendengar ada laki-laki yang naksir Zahra, aku sendiri tidak kaget lagi. Toh tanpa sepengetahuan Zahra, di kampus dia memang gadis populer dan banyak disukai oleh para pria. Salah satu temanku saja yang bernama Zakir, terang-terangan mengatakan kepadaku kalau ia menyukai Zahra. Dan karena mengetahui rumah sewaku bersebelahan dengan rumah Zahra, si Zakir ini sering titip salam padaku untuk Zahra. Biasanya memang aku sampaikan amanah ini. Kubilang temanku titip salam. Jawaban Zahra biasanya selalu sama, hanya datar dan kata "Oh" semata terlontar darinya. Apakah harus kuanggap bahwa aku ini jauh lebih beruntung ketimbang si Zakir? Karena bisa bersebelahan rumah dengan Zahra dan bisa mengobrol berdua dengannya seperti sekarang ini. Yang jelas dan pasti, keberuntunganku adalah biaya sewa rumah ini yang memang begitu murah perbulannya dikarenakan dua rumah dempet bersebelahan ini adalah milik orangtua Zahra. Kepada Zahra lah biasanya aku menyerahkan uang sewanya setiap bulan. Ayah Zahra yakni bapak H. Iskandar Mukhtar M.Ag yang memang mengenaliku sejak kecil, sengaja memberikan biaya sewa yang teramat murah ini padaku. Aku sangat bersyukur kepada beliau telah begitu baik padaku. Sekarang ini beliau dan istri yaitu ibu Zahra, tinggal di kota Balikpapan. Sementara kakak perempuan Zahra tinggal bersama anak dan suaminya di Singapura. Tanpa terasa kami berdua telah mengobrol satu jam lebih. Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore pas. Sebentar lagi Maghrib. Aku pun izin pamit masuk untuk mandi dan bersiap untuk menunaikan sholat Maghrib ke musholla. Zahra juga biasanya selalu ada disana tiap Maghrib dan Isya. Kami bahkan tidak jarang sering pulang berdua. "Masuk dulu ya Zah." Kataku sembari membawa amplop besar tersebut masuk. Aku letakkan amplop coklat tersebut di atas tempat tidurku dan kutinggal untuk mandi. Selepas mandi, aku bergegas pergi ke musholla Darut Takwa untuk menunaikan sholat Maghrib dan Isya berjamaah disana. Aku tidak pulang dari sana kecuali jika sudah selesai sholat Isya. Biasanya waktu jeda antara Maghrib dan Isya kupakai untuk wirid, melantunkan dzikir dan istigfar lalu membaca surah-surah Al-Qur'an minimal lima lembar. Setelah sholat Isya selesai aku pun bergegas pulang. Aku teringat kembali bahwa paket amplop tadi belum dibuka sama sekali dan belum sempat kulihat apa isinya. Kupercepat derak langkah kakiku ketika berjalan pulang. Dari belakang Zahra nampak lari-lari kecil mengejarku sambil menenteng mukena dan sajadah yang dibawanya sendiri dari rumah. "Kak Rani ... tunggu!" panggil Zahra sembari menghampiriku. "Kak Rani sudah makan?" "Sebenarnya sih belum Zah. Terakhir makan tadi sore lepas Ashar," jawabku. Aku memang suka berkata jujur dan tidak terbiasa berkata bohong kecuali jika memang ada satu dan lain hal yang mengharuskanku berbohong demi alasan yang dibenarkan. Mirip seperti taqiyyahnya orang-orang syiah. "Nah, kebetulan Kak! Tadi Zah masak sup iga sama ikan patin bakar. Kak Rani mau ya cobain?" tanyanya bersemangat. Perutku tiba-tiba saja malah berbunyi, menggelora dan bergetar hebat atau biasa yang disebut dengan keroncongan. Pas sekali ketika aku belum menyiapkan apapun untuk makan malam, Zahra menawariku makanan. Alhamdulillah! "Memang sengaja bikin banyak atau apa Zah?" tanyaku. "Iya, Zah tadi bikin banyak. Pas lah buat kakak sama Zah. Tadi Zah sambil eksperimen juga membuat bakaran ikan dan sup iga—jadi ... kalau agak gak enak, maafin ya Kak Rani." Sahutnya. Zahra memang suka bereksperimen membuat makanan yang dilihatnya dari televisi, majalah atau video di youtube. Mungkin sudah menjadi hobinya untuk memasak. Zahra memang biasa mengantarkanku makanan hasil eksperimen buatannya dan kuakui biasanya memang selalu enak kok. Gadis ini memang pintar memasak. "Alhamdulillah kalau memang ada lebihan untuk kakak, terima kasih banyak ya Zah." Ucapku, Zahra mengangguk senang, kembali melemparkan sebuah senyum simpul dan puasnya. Sesampainya di rumah, Zahra mengambilkanku rantang tingkat berisi sup dan ikan bakar patin buatannya tersebut. "Nasinya ada kak Rani?" "Ada kok Zah. Sekali lagi makasih ya! Zahra sendiri sudah makan?" "Alhamdulillah Zah sudah makan, tadi sempat pulang dulu setelah Maghrib." "Alhamdulillah kalau begitu. Zahra memang tipe tetangga yang baik yang menerapkan tuntunan Rasulullah dalam bermuamalah dan adab bertetangga. Jika Rasulullah mengatakan minimal dengan kuahnya, maka Zahra selalu memberi dengan sajian utamanya. Semoga Allah membalas segala kebaikanmu ya Zah." Aku melempar senyum terbaikku kepada Zahra yang telah begitu baik selama ini. "Nggak gitu kok Kak. Zah cuma mau kakak ikut merasakan makanan buatan Zah aja." Balasnya terlihat sekarang agak malu. "Ya sudah kakak masuk dulu ya. Terima kasih sekali lagi Zah. Besok rantangnya kakak balikin," ucapku sembari menenteng masuk rantang dua tingkat itu. "Selamat makan Kak Rani." Kata Zahra sambil tersenyum. Terlihat jelas gurat wajah kepuasan dari wajahnya. Aku senang jika dapat membuat Zahra bahagia dengan menerima niat baik dan tulusnya ini. Semoga jadi amal dan ibadah muamalah baginya. Di dalam rumah, kubuka rantang atas yang berisi ikan patin bakar, sedikit tumis sayur-sayuran di sampingnya plus ditambah sambal terasi ulek yang lumayan banyak. Zahra memang sangat mengetahui bahwa aku termasuk tipe orang yang mencintai makanan-makanan pedas dan sulit makan jika tidak ada sambal ulek atau sambal pedas. Seperti sudah sangat adiktif dengan unsur capcaisin dalam kandungan cabe. Zahra ternyata sangat mengenalku. "Alhamdulillah...!" gumamku sembari melihat sajian dalam rantang itu. Aku pun mulai memakan makanan buatan Zahra yang terkenal enak ini. "Bismillahirohmanirrohim," Basmallah memulai suapan pertamaku. Alhamdulillah ya Allah, begitu nikmatnya! Makanan buatan tangan Zahra memang selalu enak seperti biasa. Sungguh beruntung kelak suaminya, tidak perlu lagi makan di luar atau sekedar nyari warteg di pinggir jalan, jika setiap hari selalu dijejali suguhan seenak dan selezat ini. Ikan bakarnya pun telah habis, hanya menyisakan sebagian daging dan tulang kepala yang sengaja kusisihkan di satu tempat khusus untuk nanti kuberikan kembali pada siapa saja kucing yang lewat. Sup iga-nya pun masih bersisa dan kutaruh dalam kulkas kecilku. Alhamdulillah sekarang perut ini sudah terisi dan merasakan kenyang. Selepas mencuci piring dan rantang bekas makanku tadi, kubuka sebentar televisiku. Aku pun teringat kembali dengan paket amplop yang dikirim dengan nama pengirim yang masih misterius itu. Amplop yang belum kubuka. Kumatikan televisiku dan langsung bergegas mengambil amplop atau map besar berwarna coklat yang tergeletak di atas kasur tidurku sedari tadi. Kira-kira berkas apa ini? Siapa yang mengirimnya? Perlahan kubuka segel lem yang merekat kuat di amlopnya. Aku benar-benar tidak tahu siapa pengirimnya apalagi ini katanya tadi dikirim dari luar negeri. Di dalamnya ternyata memang ada beberapa berkas seperti brosur, surat dan lampiran invitation. Ada salah satu surat yang mencolok dan bertuliskan tangan berbahasa Inggris namun di atas surat itu tertulis sebuah pesan yang memakai bahasa Indonesia berhuruf kapital, "SURAT DARI LANGIT" begitu bunyi tulisannya. Hanya itu yang bertuliskan bahasa Indonesia, sisanya menggunakan bahasa Inggris. Aku pun langsung menatap fokus dan membaca surat tersebut. Bunyi suratnya seperti ini : SURAT DARI LANGIT Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh. Yang terhormat, saudara Ahmad Rizalul Qur'ani. Perkenalkan, namaku adalah Prof. Dr. Avendis Yerkinkov Demircyan atau lebih dikenal sekarang sebagai Prof. Dr. Abdul Rashied Imanullah. Aku seorang muallaf dan juga adalah dosen antropologi, seorang budayawan, arkeolog serta teolog asal Armenia. Aku saat ini sedang mengajar ilmu antropologi serta tafsir dan pengantar ilmu Al-Qur'an di Marmara University, Turki. Aku telah banyak membaca karya-karya tulismu, salah satunya sebuah jurnal ilmiah yang pernah kau tulis dan diterbitkan oleh British Asociation of Islamic Studies (BRAIS). Setelah mengetahui tentangmu, aku merasa sudah saatnya kita bertemu. Aku ada sebuah pesan untukmu dan momentumnya pun tepat. Dalam surat ini juga kusertakan sebuah undangan khusus seminar dunia bagi para scholars berprestasi yang diadakan oleh PBB beserta perangkat akomodasi dan brosur guides lengkap perihal acaranya. Acara seminar itu akan diselenggarakan di kota Yerusalem, Palestina. Kota suci ketiga umat Islam! Pesan yang akan kusampaikan disana nanti sangat penting. Terkait senjata paling kuat di dunia. Sebuah Mystical Device yang akan membawa kejayaan dan kemenangan bagi siapapun yang memilikinya. Tabut Perjanjian! Temukanlah itu! Aku mendapat visi penglihatan, bahwa kau lah orang yang akan menemukannya. Aku harap kau bisa membawa kembali Sakinah, ketenangan yang telah lama hilang di bumi Palestina yang telah Allah karuniakan kepada manusia. Melalui pengetahuanmu, salah satu umat Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam, aku akan mendapatkan sakinah itu. Aku yakin kamulah orangnya. Sang Theos Intelegensia! Kita akan segera bertemu disana...! *** Di akhir suratnya, beliau mengutip bagian terakhir ayat 282 dari surah Al Baqarah. Wattaqullah, Wayu'Allimukumullah .... Bertakwalah kepada Allah. Maka Allah sendiri yang akan membimbingmu dan mengajarkan pengetahuan padamu. Aku seketika menenggak air liur dan sedikit tercekak setelah membaca surat ini. Apa yang ditulis oleh orang ini? Siapa beliau? Prof. Dr. Abdul Rashied Imanullah? Aku bahkan tidak tahu dan tidak pernah mengenal beliau sebelumnya. Lama kucerna isi surat tersebut sembari menghela nafas. Apa yang ingin disampaikan oleh Prof. Abdul Rashied dalam suratnya ini? Menemukan Sakinah? Senjata terkuat? Pikiranku tak henti-hentinya tertuju pada sebuah legenda alkitabiah dalam teks perjanjian lama. Tabut Perjanjian! Aku memang pernah menulis terkait hal itu dalam salah satu bab di buku keduaku, Al-Furqan : Torah and Qur'an Essentials. "Ini pasti bercanda." Gumamku sembari tertawa geli. Seketika karena kedatangan surat ini, aku langsung merasa seolah-olah menjadi tokoh layaknya Robert Langdon dalam n****+-n****+ bertema konspirasi karya Dan Brown. Menemukan Tabut Perjanjian? Benda bertuah paling dicari dan paling mitos dalam sejarah permitosan barat. Mencari Tabut Perjanjian itu sama saja seperti mencari keberadaan keris empu gandring jika dalam skala jawa atau mencari dimana tepatnya atlantis yang legendaris itu berada. Sembari melihat-lihat berkas invitation eksklusif yang begitu banyak dan tercantum logo PBB. Ada beberapa brosur dan buku panduannya juga. Acara ini akan diadakan bulan depan di Yerusalem. Diselenggarakan oleh UNESCO (United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization.) badan khusus PBB yang bergerak dibidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Acaranya sendiri bertajuk "Resolution Of Knowledge For Change And Peace" sebuah seminar internasional yang digagas akan menjadi agenda tahunan dan bertujuan untuk misi perdamaian di Palestina dan dunia yang lebih baik. Begitu yang aku baca dari selebaran-selebaran di tanganku ini. Ada sebuah amplop yang bahkan berisi puluhan lembar uang 100 dollar sebagai uang akomodasiku nanti disana. Totalnya ada 3500 dollar. Aku terkejut mendapati uang akomodasinya saja sebesar ini. Ditambah sebuah tiket pesawat yang telah tersedia dengan tanggal waktu penerbangannya. Dikatakan bahwa acara tersebut diadakan selama tiga hari berturut-turut. Dan dari sebuah surat tambahan yang k****a, Prof. Abdul Rashied telah mendaftarkanku sebagai kontingen dari Indonesia yang akan ikut serta menghadiri seminar itu dan beliau mengatakan akan menemuiku disana. Acara tersebut sengaja dijadikan momentum pertemuan untuk mengundangku bertemu dengan beliau. Baiklah! Karena ini merupakan invitation resmi. Aku akan pergi kesana. Menghadiri acara skala internasional merupakan suatu kebanggaan bagiku. Kebetulan aku belum pernah melalangbuana ke luar negeri sama sekali. Memang ... ini adalah Palestina, sebuah daerah rawan konflik. Terlebih dalam dua minggu terakhir ini, konflik antara otoritas Israel dan Hamas Palestina kembali memanas. Begitu yang aku lihat dan dengar dari berita di televisi dan berbagai platform media. Ini adalah sebuah kesempatan besar, tak mungkin aku lewatkan. Terlepas dari apa maksud dari Profesor ini mengandalkanku untuk menemukan Tabut Perjanjian yang hilang atau semacamnya. Lantas apa pula maksudnya surat dari langit yang beliau tulis dalam bahasa Indonesia di surat ini? Nanti aku akan menanyakannya langsung disana dan akan menemukan jawabannya dari beliau. Aku tak habis pikir ketika menatap surat ini. Profesor Abdul Rashied Imanullah? Sepertinya aku pernah sesekali mendengar nama beliau. Ya, aku ingat sekarang. Beliau merupakan penulis beberapa buku arkeologis Islam yang cukup terkenal. Aku pernah menemukan dan membaca salah satu buku karangan beliau di perpustakaan kampus kami. Semoga saja aku tidak akan bernasib sama seperti Langdon, sang Simbolog yang malang. Harus berpacu dengan waktu, bahaya dan peluru. *** Beberapa hari kemudian aku pun juga diberitahu oleh pihak kampus. Mereka juga dihubungi terkait acara seminar internasional tersebut. Bahwa aku diundang secara khusus dan termasuk ke dalam salah satu mahasiswa yang cukup beruntung bisa ikut kesana mewakili almamater. Aku kemudian diminta untuk mengurus dan melengkapi berkas-berkas keberangkatannya. Sisanya, sebagian besar telah diurus oleh panitia. Ternyata ada beberapa lagi mahasiswa Indonesia dari berbagai perguruan tinggi di Jawa dan Sumatra yang diundang. Dan yang kutahu kami secara rombongan akan pergi kesana dari Jakarta di waktu dan tanggal yang sama sebagaimana yang telah ditetapkan. Aku benar-benar excited terkait hal ini. Satu bulan dari sekarang! Banyak waktu untukku membuat dan mengurus segala keperluannya termasuk membuat passport dan keperluan lainnya di kantor keimigrasian. Sementara untuk visa, katanya pihak panitia yang akan mengurusnya di Singapura. Peserta akan menerima visa setelah berkumpul di Jakarta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD