Sekarang saatnya berangkat ke toko buku yang ingin kutuju, mumpung masih pagi. Pengunjung juga masih belum banyak dan memang suasana seperti itu yang kusukai ketika berada di toko buku.
"Ya sudah, berangkat dulu ya Zah ... Assalamualaikum," ucapku sembari beranjak menggeber sepeda motor matic ku.
"Waalaikumussalam ka Rani, hati-hati." Jawabnya singkat seraya kembali melemparkan senyum manis bak lemparan shuriken ninja yang mematikan. Aku yang walaupun sudah memakai helm dengan kaca hitam ini pun—tetap tidak bisa menyembunyikan perasaaan canggung dan salah tingkahku karena senyumnya.
Aku hanya mengangguk sekejap sebagai balasan.
"Insha Allah! Pasti hati-hati kok Zah."
Sembari beranjak pergi, kutengok ke kaca spion sebelah kananku dan melihat Zahra masih menatapku dari belakang. Aku pun sebenarnya masih bingung, bertanya-tanya, sebenarnya Zahra itu menganggapku ini sebagai apa? Kakak, teman diskusi, tetangga atau apa? Bukannya aku laki-laki yang tak peka dengan perasaan Zahra, hanya saja aku belum pernah berani untuk menduga-duga perasaannya padaku selama ini. Rasa-rasanya ... aku terlalu lancang jika menebak-nebak hal tersebut.
***
Sesampainya di sebuah toku buku terbesar di jalan veteran—aku pun langsung masuk menuju bagian rak buku-buku teologi. Mau coba melihat-lihat dulu sebelum mencari buku buruanku. Kali saja ada yang bagus. Aku memang biasa suka gemetar semacam girang penuh euforia layaknya seorang anak kecil yang dibawa ke sebuah toko penuh permen dan mainan jika menyangkut toko buku. Entah sejak kapan dan mulai umur berapa minat baca dan literasiku selalu tinggi dan memuncak seperti ini. Apalagi ketika berhadapan dengan buku-buku bagus, aku bisa langsung kalap memborong banyak buku tanpa mengingat lagi isi kantong.
Bisa dikatakan, mungkin mengidap Bibliomania. Sikap antusiasme terhadap buku dan media bacaan.
Di rumah saja aku memiliki perpustakaan kecil sendiri tempat aku biasa mengumpulkan buku-buku bagus koleksiku. Mungkin sudah ada sekitar 120 lebih buku dari berbagai macam genre dan lintas disiplin ilmu. Aku menyebutnya "Mini Al Qarawiyyi"
Perpustakaan Al Qarawiyyi sendiri katanya merupakan perpustakaan tertua di dunia yang berada di kota Fez, Maroko. Dibangun oleh seorang sarjana perempuan muslim progresif bernama Fatima Al Fihri sekitar tahun 850an Masehi. Di perpustakaan inilah terdapat berbagai macam bentuk kitab klasik Islam serta ribuan manuskrip kuno yang menarik terkait literatur hukum dan kesejarahan dari agama Islam. Koleksi paling penting dari perpustakaan ini konon adalah kitab suci Al-Qur'an dari abad ke 9 Masehi yang ditulis dalam kaligrafi huruf Kufic serta kitab Sirah Nabawiyah, yakni biografi Nabi Muhammad yang diklaim sebagai yang tertua di dunia yang pernah dipunya.
Aku mulai berkeliling rak buku. Masalah dan dilema ketika aku berada disini adalah—kebingungan dalam menyeleksi buku mana yang ingin kubeli. Aku harus fokus mencari buku yang aku butuhkan saja saat ini. Jangan sampai buku-buku menarik lain yang tidak sesuai konteks mengalihkan perhatianku. Sialnya hari ini aku menemukan buku yang selama ini sudah kucari-cari dan kudambakan cukup lama dan terbilang sangat sulit didapat yaitu Structure and Quranic Interpretation: A Study of Symmetry And Coherence In Islam's Holy Text karya Raymond Farrin, seorang muallaf dan pengajar kajian arab di American University of Kuwait.
Sebuah buku luar biasa yang berhasil menemukan susunan simetris dan konsolidasi ayat yang mengagumkan dari kitab suci Al-Quran. Buku yang akan menyadarkan kita, bahwa kalam ilahi seperti Al-Quran merupakan sebuah keajaiban dan mengandung banyak pesan-pesan terstruktur dan tersembunyi tanpa kita sadari. Tetapi buku yang sedang kucari saat ini adalah buku berjudul An Ocean Without Shore : Ibn Arabi. The book and The Law karya Michel Chodkiewicz. Buku yang membahas betapa kontroversialnya sosok Ibnu Arabi di mata sarjana dan ulama Islam dunia. Dalam buku tersebut ditulis bahwa dalam dunia Islam, ternyata keberpihakan dan pledoi terhadap Ibnu Arabi jauh lebih banyak ketimbang mereka yang mengkritik dan menyesatkannya.
Syeikh Ibnu Arabi, seorang ulama mahsyur peletak batu pertama bagi tawasuf falsafi—mungkin adalah pemikir dan ulama paling kontroversial yang pernah ada yang muncul di paruh kedua era keislaman dimana buah pemikirannya paling banyak disorot, dihujat, dikagumi, ditelaah, dipelajari serta direnungi oleh ratusan juta manusia lintas generasi dan zaman.
Bagi sebagian kalangan, beliau merupakan sosok arifbillah yang menyeruak ke permukaan, tampil dalam pentas perang pemikiran atau gazwul fikri dan berhasil menyumbangkan sebuah konsep revolusioner yang berbeda dan tersendiri dalam kemasan produk filsafat tingkat tinggi. Konsep yang unik, penuh misteri dan mengandung pesan falsafah teramat mistikus yang berlaku secara ijmali atau global.
Itulah yang membuat aku menjadi salah satu pengagum karya-karya Ibnu Arabi dan memutuskan membuat tesis komprehensif tentang beliau untuk tugas akhirku saat ini. Bagiku yang telah hampir membaca sebagian besar jilid dari karya monumentalnya yakni Al Futuhat Al Makkiyah yang berjumlah 37 jilid buku itu—terdapat bahasa simbolik, syatahat, dan paradoksal, yang sukar dimengerti namun membuka cakrawala pengetahuan akan ayat-ayat ilahi. Syeikh sendiri konon memohon dan bermunajat kepada Allah Swt ketika beliau berada di kota suci Mekkah Al Mukarromah. Memohon dan meminta akan pembukaan pengetahuan rububiyah dan uluhiyah sehingga konon sejak saat itu, terilhamlah berbagai tabir ghaib pengetahuan kepada beliau sehingga beliau menamakan karyanya itu Al Futuhat Al Makkiyah, yang bermakna jamak pembukaan dari nilai-nilai termistik kota Mekkah. Mekkah sendiri merujuk pada kota paling suci, kiblat seluruh umat, tempat kelahiran nabi, sekaligus representasi dari perjuangan dan awal mula kenabian Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam itu sendiri. Tempat dimulainya wahyu-wahyu Tuhan.
Apa yang dialami oleh Syeikh Ibnu Arabi termasuk juga pernyataan kontroversial beliau pada kitab Fushus Al Hikam mutiara hikmah 27 nabi—karya lain beliau yang juga tak kalah mengundang kontroversi—bahwa klaimnya beliau didikte dan diilhamkan sendiri oleh malaikat Jibril. Menurutku secara pribadi klaim tersebut tidaklah bertentangan dengan apa yang Al-Qur'an sampaikan sendiri. Bahwa manusia, bisa menerima ilham, penglihatan, pengetahuan serta pengajaran dari Tuhannya selain daripada wahyu yang hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan utusan-Nya saja. Sebagaimana ada termaktub dalam surah Asy Syuara ayat 51.
"Dan tidaklah Allah berfirman kepada manusia, kecuali melalui wahyu, dari balik tabir atau Ia mengutus utusan (malaikat), lalu ia mewahyukan apa yang ia kehendaki dengan izin-Nya. Sesungguhnya Dia Maha tinggi lagi Bijaksana."
Hal tersebut juga pernah dijabarkan oleh KH. Abdulhaq terkait pembukaan tabir ghaib pengetahuan kepada manusia-manusia pilihan Allah. Inilah gerbang intip para wali akan banyaknya rahasia-rahasia ilahi. Beliau mengatakan bahwa nubuwwah atau wahyu kenabian memang sudah tertutup, di segel oleh kedatangan nabi terakhir dan yang paling agung nan mulia yakni Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam yang bergelar Khatamam Nabiyyin atau The Seal Of Prophets. Termaktub dalam surah Al Ahzab ayat 40.
"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi."
Ayat Al Ahzab 40 tersebut membicarakan The Seal Of Prophets sebagai penutup tirai pewahyuan. Bahwa setelah beliau Shalallahu Alaihi Wasallam tidak akan pernah ada lagi Divine Guides atau pembimbing ilahi bagi dunia. Akan tetapi Divine Guidance atau bimbingan ilahiah kata KH. Abdulhaq—akan selalu diberikan kepada para Arif dan para waliyullah yang telah bermusyahadah dan mencapai taraf saleh. Manusia yang telah mencapai maqom Riyadoh atau diridhoi oleh Allah. Syeikh Ibnu Arabi menyebutnya sebagai tahapan Nafs Mulhamah atau jiwa yang telah terilhami. Sebagaimana Qur'an juga membicarakan akan sebentuk pengilhaman kepada manusia dalam surah Al Anfal 29.
"Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqan (pembeda benar dan salah)."
Serta dalam surah Al Balad ayat 8 sampai 10.
“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir? Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebenaran dan keburukan).”
Betapa sulitnya mencerna berbagai konsep dan buah pemikiran liar sang Ibnu Arabi yang menjadikan sebagian kalangan terutama yang ortodoks, menyebutnya sesat dan jauh menyimpang dari Al-Quran. Berbeda dengan pentolan tasawuf amali yakni Imam Al-Ghazali, yang mampu secara filosofis mengkompromikan antara dogma, fikih dan akidah islamiyah dengan nilai-nilai tasawufnya sehingga pemikiran-pemikiran ulama sufi yang satu ini lebih dapat diterima dan ditolerir oleh masyarakat Islam kebanyakan terutama di kalangan cendekia. Karya monumentalnya yaitu Ihya Ulumuddin, dipandang sebagai salah satu karya terbaik filsuf Islam oleh sebagian besar orientalis barat selain daripada Ibnu Rushd tentu saja, walaupun keduanya tidak jarang sering dicompare dan dibenturkan oleh para orientalis itu.
Buku yang sedang kucari pun tak kusangka akhirnya kutemukan disini. Aku cukup beruntung ternyata buku itu tersedia disini karena aku tipe orang yang sangat malas jika harus memesan sebuah buku secara online. Selain daripada kualitas bukunya yang tidak bisa kita cek langsung kondisinya, waktu tunggu dan estimasi pengiriman barangnya pun biasanya lama.
Saat ini aku membawa uang cash 210 ribu sedangkan harga bukunya 185 ribu. Alhamdulillah, tidak semahal yang aku bayangkan.
Ketika hendak bersiap mengantarkan buku yang hendak kubeli ke kasir, tiba-tiba aku melihat seekor anjing di luar toko. Ukurannya lumayan besar. Anjing tersebut berwarna coklat kemerahan dan ia duduk sambil menatapku dengan tatapan tajam namun sangat memelas dari luar sana. Aku menatap balik anjing tersebut yang memperhatikanku dari kaca luar pintu masuk toko. Aku bertanya, apa yang sedang hewan itu lihat dariku? Anjing tersebut benar-benar fokus menatapku. Matanya seakan menyiratkan sebuah ketakutan dan kesedihan. Lidahnya sedikit menjulur keluar seyogyanya seekor anjing. Kulihat di sebelah kaki kiri belakang dari anjing tersebut terikat dengan seutas tali tambang kecil yang lumayan panjang.
Ada apa dengan anjing itu? Gumamku bertanya dalam hati.
Kulihat seorang satpam penjaga toko buku ini tiba-tiba memburunya, menyuruhnya untuk segera beranjak dari pintu masuk toko karena sebagian pelanggan dari luar terlihat enggan dan takut untuk memasuki toko karena ada anjing tersebut yang bertengger di depan etalasi kacanya. Dengan isyarat tangan sang satpam seperti menakut-nakuti hendak memukul sang anjing. Anjing itu tetap tidak beranjak dan masih fokus menatapku. Sesekali kudengar ia menggonggong tepat kearahku. Beberapa kali. Sampai pada akhirnya satpam itu sedikit geram dan benar-benar memukulnya, membuat anjing itu terpaksa menjauh dan berlari namun sesekali ia kembali menoleh kebelakang, kembali menatapku dan menggonggong.
Ketika anjing itu berjalan sambil sedikit berlari, kulihat seutas tali lumayan panjang itu masih menjuntai dari kaki belakangnya. Karena merasa kasihan, kuletakkan buku yang hendak kubeli tadi di muka meja kasir dan bersegera lari keluar. Aku ingin membantu anjing tersebut menanggalkan seutas tali panjang yang mengikat salah satu kaki belakangnya. Kurasa cukup berbahaya baginya jika harus berjalan dengan jeratan tali seperti itu apalagi ini dekat jalan raya. Kudekati perlahan anjing tersebut yang duduk tegap di sebelah tiang listrik, masih dalam kawasan parkiran toko buku. Kuambil sapu tangan berkendaraku dari dalam tas. Kurogoh bagian dalam tas ransel yang sedari tadi kutenteng, untung saja aku memiliki sapu tangan ini. Ya, walaupun sehabis ini akan langsung aku cuci sesuai tuntunan fikih bab najis anjing.
"Sabar ya kawan, aku akan coba melepaskan tali itu." Ucapku sembari coba perlahan mendekati anjing itu untuk melepaskan tali di kakinya. Aku pun memasang kewaspadaan yang tinggi. Jujur saja aku sangat takut dan berhati-hati ketika melepaskan talinya mengingat aku belum pernah berhadapan dengan yang namanya anjing sama sekali. Apalagi ini anjing liar. Anjing ini sebenarnya lumayan bagus dan cukup cantik. Anjing dari jenis spesies Canis Lupus Dingo atau yang sering dikenal sebagai Warrigal.
Anjing ini tidak bergeming, terus menatapku ketika aku melepaskan talinya. Entah kenapa aku bisa merasakan dari tatapan kedua matanya, sebuah kegundahan dan kesedihan mendalam. Raut wajahnya seakan memelas dan mulai berbicara padaku. Aku serasa tidak tega ketika terus menatap ke dalam mata dari anjing liar ini.
"Nah, sudah! Kau bisa pergi sekarang!" kataku yang telah selesai membuka tali yang tadi menjeratnya.
Tiba-tiba saat itu juga datang seorang pria sedikit gemuk dengan kepala agak plontos, rambutnya jarang-jarang sambil menenteng sebuah pisau daging besar dan langsung menghampiriku.
"Jangan, jangan ... itu punya saya!" teriaknya padaku. Sontak aku kaget dan menatap pria tersebut.
"Anjing ini milik bapak?" tanyaku.
"Iya dek ... ini anjing tadinya mau dijagal dirumah p********n anjing sekitar situ, terus dia malah lari." Jawab pria itu sambil menunjuk ke suatu kawasan.
Tidak heran di kawasan jalan veteran ini ada tempat p********n anjing karena memang merupakan tempat sentralnya untuk mencari makanan-makanan non halal dan eksotis seperti babi, anjing dan hewan-hewan unik lainnya seperti daging buaya, ular, kura-kura atau biawak. Memang tidak sampai seekstrim di pasar Tomohon, Sulawesi.
Di kawasan Veteran ini juga banyak terdapat tempat ibadah dan sekolah agama lain seperti vihara, sekolah kristen, dan klenteng.
Kutatap kembali anjing tersebut. Matanya lagi-lagi menyiratkan sebuah ketakutan yang besar. Aku sekarang paham kenapa anjing ini memiliki kesedihan di sorot matanya sedari tadi. Aku tiba-tiba saja merasa sangat iba kepadanya, hatiku tak kuat melihat wajah takutnya. Mungkin ia melihat sendiri bagaimana anjing-anjing lain dieksekusi dan dijagal. Namun sebesar apapun rasa ibaku—aku tetap tidak bisa berbuat apa-apa. Anjing itu dipegang kuat-kuat dan dipasangkan kalung penjerat oleh sang pria penjagal tersebut sehingga anjing itu tidak bisa lari lagi. Ketika anjing malang itu mulai diseret secara paksa karena ia enggan untuk berjalan—ia kembali menoleh ke arahku, lagi-lagi melontarkan beberapa kali gonggongannya. Apakah anjing itu ingin aku membantunya...? Membebaskannya dari tiang eksekusi? Begitu pikirku.
Tatapan mata dari seekor anjing malang yang entah kenapa menggerakkan hatiku untuk mau membantunya. Sesuatu yang tidak seharusnya aku lakukan karena tidak ada untungnya bagiku tapi terasa wajib kulakukan. Bagaimanapun juga dia tetaplah makhluk ciptaan Allah yang memiliki hak untuk hidup. Hak untuk berbahagia dan menikmati sebuah kebebasan layaknya makhluk-makhluk lain. Seketika terlukis dalam benak bagaimana entitas penindasan makhluk yang lemah dari makhluk yang lebih kuat dan berkuasa. Mau tidak mau inilah hukum alam. Seperti inilah mekanisme kehidupan di alam bekerja. Anjing itu tidak memiliki kuasa apa-apa untuk menentukan pilihannya sendiri.
Tatapan itu pun akhirnya membuatku melakukan sesuatu. Suatu tindakan yang sebenarnya tidak pernah kulakukan sepanjang hidupku.
Menolong sesama makhluk ciptaan Allah Swt.