Isabella Chapter 2

2129 Words
Star High School, New York. Jam beker berbentuk pikachu kecil berwarna kuning mencolok di atas nakas baru saja berdering, memekikkan telinga Isabella yang kini sibuk mengikat salah satu tali sepatunya. Isabella bukanlah penggemar karakter utama dari kartun pokemon yang terkenal itu, tapi jam beker yang Isabella pegang sekarang adalah hadiah ulang tahun dari Alisa ketika usia mereka menginjak sepuluh tahun. Netra biru Isabella menatap gamang benda kecil dengan banyak angka yang berbentuk memutar di tangannya itu, lalu meraba bagian atasnya dan dengan cepat, menekan tombol kecil di sana. Gadis bertubuh kurus itu lantas meletakkan kembali jam beker dan beranjak dari kamarnya menuju kelas. Ini adalah hari pertama Isabella. Kelas matematika. Ingin sekali Isabella berlari dari asrama dan menghindari mata pelajaran yang dibencinya itu untuk sekadar merokok di area parkir atau berjalan-jalan ke luar asrama;seperti yang selalu dilakukannya dahulu. Namun, gadis itu teringat akan tujuan awalnya, untuk mengungkapkan kebenaran di balik kematian Alisa--atau setidaknya, sedikit berusaha memperbaiki hidup demi kedua orang tuanya. Isabella masuk ke dalam ruang kelas setelah berhasil menanyakannya pada Paman Ben dan duduk di salah satu kursi yang ada di belakang ruangan. Semua mata jelas langsung menatap ke arahnya. Kecantikan Isabella yang bisa dikatakan di atas rata-rata dengan hidung mancung yang kecil, rahang tinggi yang tirus dan bola mata biru yang terang seperti langit, membuatnya menonjol di antara siswa lain yang berada di kelas itu. Menarik perhatian seluruh siswa yang ada di sekitarnya dengan tatapan takjub. Termasuk Chloe. Primadonanya sekolah. Ia menyeringai miring dan mengajak kedua temannya, Jessica North dan Cassandra Lee, untuk bangkit dari kursi mereka dan menghampiri Isabella yang duduk sendirian. Niat gadis berambut merah itu adalah untuk mengajak Isabella bergabung dengannya, alih-alih berteman dengan tulus, Chloe lebih suka jika ada gadis lain yang ingin menjadi pengikut setianya seperti Jessica dan Cassandra. Dan itulah yang diinginkan Chloe dari Isabella. Chloe menyodorkan satu tangannya kepada Isabella sehingga gadis itu mendongak. Membuat sang ratunya sekolahan itu dapat melihat dengan jelas ekspresi datar milik sang lawan bicara. "Chloe Winchester," sapanya. Chloe mengangkat sedikit dagunya ke atas, memamerkan garis hidungnya yang lurus dan tulang pipinya yang tak kalah tirus pada Isabella. "Apa kau anak baru?" Namun Isabella sama sekali tidak bersuara, ia hanya diam dan menatap tangan Chloe seperti jijik. Membuat Chloe berdeham dan buru-buru menarik tangannya dari gadis itu. "Ini Jessica dan Cassandra, mereka adalah teman-temanku. Kami hanya berteman dengan anak yang kaya dan cantik. Setelah melihat penampilanmu, kurasa kau bisa bergabung dengan kami." "Aku tidak mau," kata Isabella singkat. "Bisakah kalian meninggalkan aku sendirian?" Chloe tercenung. Ia tidak pernah ditolak sebelumnya. Matanya bahkan harus mengerjap beberapa kali hanya untuk membuatnya tersadar dan begitu menyadari situasinya, Chloe segera menatap kesal ke arah Isabella. Ia menggebrak meja sehingga seluruh siswa yang ada di kelas itu, memerhatikan mereka. "Kau sombong sekali!" Termasuk Bryan, yang baru saja terbangun dari mimpi indahnya karena keributan yang dibuat oleh Chloe. Ia mencebik dan menoleh ke sumber suara, lalu melotot seketika saat menemukan sosok Isabella di dalam kelasnya. "Kau pikir ada orang lain yang ingin berteman denganmu di sini?!" Jessica, gadis berambut pendek dengan bandana putih menghiasinya puncak kepalanya pun menarik tangan Chloe. "Sudahlah, Chloe. Anak-anak lain melihat," katanya menenangkan. Namun gadis itu belum mengeluarkan semua unek-unek di dalam dadanya. Ia menepis tangan Jessica dan menunjuk wajah Isabella dengan telunjuk kanannya. Masih dengan tatapan sinis, ia berseru, "Akan kupastikan kau akan menyesali perbuatanmu padaku!" lalu berbalik, kembali ke mejanya di jajaran terdepan. Sementara Jessica dan Cassandra mengekor seperti anjing yang setia pada sang tuan di belakang. Mereka kembali duduk dan tak berselang lama, seorang guru pun datang. Pria berusia dua puluhan akhir dengan kemeja abu-abu yang berbalut peacoat hitam dengan seluruh kancing yang tertutup. Mata cokelatnya yang gelap menyapu seisi kelas dengan pandangan serius. "Selamat pagi anak-anak," kata Zach memulai. "Aku Zach dan aku adalah guru pengganti yang akan mengajar di kelas ini sampai sebulan ke depan. Karena aku hanya menggantikan wali kelas kalian, aku hanya mengawasi kalian, sedangkan kelas akan tetap dipegang oleh guru masing-masing." Kebanyakan dari siswa perempuan di kelas itu langsung berdecak kagum dan memandangi sang guru dengan antusias. Siapa sangka bahwa guru yang akan menggantikan wali kelas mereka--karena Mr. Barley mengalami kecelakaan--adalah seorang pria gagah dan tampan. Secara tidak langsung, mereka tampak bersyukur atas musibah yang menimpa Mr. Barley. Tanpa anak-anak itu tahu, bahwa kehadiran Zach di sana semata-mata untuk menyamar dan menemukan kebenaran di balik kematian Alisa. Namun pandangan-pandangan takjub itu tak berarti apa-apa ketika ia menemukan Isabella yang justru mengalihkan pandangannya ke luar jendela kelas, memandangi lapangan olahraga yang sepi dengan tatapan sedih. Zach pun berdeham untuk menghentikan desas desus yang kian mengganggu di telinganya sekarang. Juga, untuk membuat pandangan Isabella beralih padanya. Meski pada akhirnya, gadis itu tetap tidak peduli. "Kudengar hari ini, kita akan kedatangan murid baru," ucap Zach dengan suara tenang, bak guru yang sudah profesional. "Untuk murid baru itu, bisakah kau berdiri dan memperkenalkan diri di depan teman-temanmu?" Isabella mengangkat kedua alisnya ketika menyadari bahwa seluruh mata kini tengah memandanginya, menunggu dengan tak sabar. Wajahnya yang seputih porselen itu lantas menoleh, sehingga netra birunya yang secerah langit bertemu dengan manik-manik cokelat milik Zach. Seperti biasa, gadis itu hanya menampilkan ekspresi datar di wajahnya, seolah tubuh itu bergerak tanpa nyawa, hidup tapi tidak memiliki jiwa. Isabella lalu menghela napas berat dan berdiri, membuat semua orang dapat melihatnya dengan jelas--termasuk Bryan dan Zach yang benar-benar penasaran tentangnya. "Aku ... Isabella Moore." Zach mengangkat satu alisnya heran. "Hanya itu?" karena meski sudah menunggu selama beberapa detik, Isabella tak kunjung melanjutkan perkenalan dirinya. "Bagaimana dengan sekolah lama atau latar belakang keluarga?" Isabella diam sebentar, sebelum akhirnya menjawab, "Aku tidak ingin memberi tahu hal-hal pribadi pada siapapun, termasuk tentang keluargaku." tanpa sedikitpun rasa bersalah. "Aku ingin berteman dengan orang-orang yang tidak memiliki alasan untuk berteman denganku." Beberapa siswa mulai berbisik, membicarakan sikap Isabella yang aneh. Sedangkan Zach, ia kembali mengangkat satu alisnya dan bersedekap. "Terdengar menarik. Tapi, apakah kau sungguh memiliki satu teman yang seperti itu?" "Ya, aku punya satu." Kedua mata Zach tampak membesar, takjub sekaligus tidak percaya. "Sungguh? Siapakah temanmu yang beruntung itu jika kami boleh tahu?" Isabella terdiam. Namun tatapannya beralih pada Chloe yang kini menengok ke belakang, ke arah Isabella. Sebelum akhirnya gadis berwajah dingin itu melanjutkan, "Dia adalah Alisa Harrison."  New York, beberapa bulan sebelumnya. Isabella mengambil sebuah batu kecil dari rerumputan di bawah kakinya, menggenggamnya sesaat, lalu melemparkannya kuat-kuat ke danau yang tepat berada di hadapannya. Matanya memicing, mencoba mencari tahu dimana titik batu yang tidak lebih besar dari ukuran jari kelingkingnya itu jatuh dari tempatnya berdiri sekarang. Sampai suara seseorang yang tak asing terdengar dari arah belakang. "Isa!" Gadis itu menoleh, sama sekali tidak terkejut dengan kehadiran Alisa yang tiba-tiba. Alisa mendekat sehingga Isabella dapat melihat dengan jelas bahwa sahabatnya itu masih menggunakan seragam sekolah, lengkap dengan dasi dan ransel di belakang pundaknya. Gadis itu lantas mengamati Alisa dari puncak kepala sampai ke ujung kakinya, menggelengkan kepala tak habis pikir dan berujar, "Kau pasti kabur lagi dari asrama." dengan nada sarkas. Namun Alisa sama sekali tidak menggubris sindiran Isabella yang ditujukan untuknya. Ia berdiri di hadapan Isabella dan bersedekap. "Apa kau serius, Isa? Kau berkelahi lagi?" Suaranya setengah memekik, terdengar kesal. Namun Isabella tahu bahwa Alisa tidak benar-benar marah padanya. "Kau ini perempuan, tidak sebaiknya berkelahi dengan laki-laki. Tubuh mereka lebih kuat darimu, kau bisa terluka." Isabella mendecih dan memutar kedua bola matanya dengan malas. "Mereka mulai lebih dulu, aku hanya membalas," dalihnya dengan santai, tidak peduli dengan eskpresi marah yang tercetak jelas di wajah Alisa. "Kalau kau terus berkelahi, kau tidak akan punya teman di sekolah." "Aku memilikimu," jawab Isabella singkat. Membuat Alisa tiba-tiba tersipu, pipinya memerah seperti tomat. Sedangkan Isabella justru duduk di sebuah bangku kayu di belakangnya, cukup panjang untuk dipakai oleh dua orang sekaligus dan gadis itu mengeluarkan rokok dari saku roknya. "Bukankah memiliki satu sahabat saja sudah cukup?" Alisa mencebik. Ia menghentakkan kakinya ke rerumputan dan menghampiri Isabella, lalu duduk di sisi kiri gadis itu sembari memandangi danau di hadapan mereka berdua. "Aku sudah punya pacar." "Oh ya?" Isabella menoleh, menatap Alisa antusias. "Seperti apa dia?" Meski dari nada suaranya, Alisa bisa langsung tahu bahwa Isabella tidak sungguh-sungguh penasaran tentang hubungan pribadinya. "Apa dia salah satu anak laki-laki di asrama?" Namun yang bisa dilakukan Alisa saat itu hanyalah berpura-pura tidak mengetahuinya. Ia mengangguk dan menoleh, membalas tatapan biasa-biasa saja yang tercetak jelas di wajah Isabella yang pucat. Sejujurnya, Alisa berharap banyak tentang reaksi Isabella mengenai kabar ini, tapi ia juga tidak bisa melakukan apa-apa. Isabella memang pribadi yang dingin dan tidak memiliki empati, Alisa tahu dia tidak dapat berharap banyak pada sahabatnya itu. "Ya. Kami ada di kelas yang sama," tukas Alisa. "Apa dia setampan Aston?" goda Isabella. Rona di pipi Alisa kini berubah merah, menjadi seperti tomat segar yang baru dipetik. Ia menunduk malu dan menyenggol lengan Isabella dengan lengannya, lalu tertawa kecil. "Pacarku lebih tampan dari Aston. Dia benar-benar lebih baik." Gadis yang menggerai rambut panjangnya ke punggung itu hanya menganggukkan kepala dan tersenyum kecil. "Terdengar bagus," ujarnya singkat. "Dia pasti sangat beruntung bisa memilikimu, Alisa. Berbahagialah." Alisa mengangkat kepala, menoleh ke arah Isabella dan memicing penuh selidik. "Kami hanya berpacaran, bukan menikah. Kau terdengar tidak senang dengan kabar ini, Isa? Apa kau cemburu bahwa akhirnya aku memiliki pacar lebih dulu daripada kau?" Isabella menarik tubuh Alisa dan mengapit leher gadis itu di bawah lengannya. Sembari tertawa lepas, Isabella mengacak-ngacak rambut Alisa dengan puas. "Sial! Sahabatku akhirnya punya pacar dan aku ditinggalkan sendirian! Benar-benar brengsek," candanya. Membuat Alisa ikut tertawa dan menghambur dalam suasana yang mendadak hangat di antara mereka. Setelahnya, Isabella melepaskan tangannya dari Alisa dan memberikan gadis itu waktu untuk merapikan rambutnya yang berantakan. "Omong-omong, seperti apa pacarmu?" Kali ini, Isabella terdengar sedikit penasaran dan serius. Sehingga Alisa pun menanggapinya dengan cara yang layak. Ia menggumam pelan dan menjelaskan, "Dia adalah Andrew Blake, siswa paling pintar di asrama. Dia tinggi dan tampan," dengan ekspresi kagum di wajahnya. "Andrew juga memiliki bahu yang lebar dan bibir yang menggoda." "Apa kau berencana mencium bibirnya dalam waktu dekat?" Isabella lantas mendorong bahu Alisa dan mendelik jijik ke arahnya. "Kau mesum sekali, Al." Yang membuat Alisa tertawa geli karenanya. "Aku hanya ingin memberi tahumu bahwa Andrew ini benar-benar luar biasa, Isa. Kurasa kau juga harus memperbaiki hidupmu dan mulai berkencan dengan seseorang," sarannya. "Aku ingin melihatmu bersenang-senang, selain denganku." Ada gumaman kecil yang keluar dari mulut Isabella. Ia lalu melipat kedua tangannya di dada dan mengerutkan dahinya dalam-dalam. "Apa kau bersenang-senang?" "Tentu saja," timpal Alisa semangat. "Aku berteman dengan gadis-gadis popular di sekolah. Apa kau tahu? Aku cukup dekat dengan Chloe Winchester, ratunya sekolah. Aku juga berteman dengan Lily, dia sangat popular di internet. Dia sudah seperti artis daring, Isa." Isabella hanya diam dan memerhatikan sahabatnya yang terus bercerita. "Dan kali ini, aku memiliki seorang pacar yang keren. Aku punya segalanya dan aku bersenang-senang, itulah alasan kenapa aku ingin kau melakukannya juga." "Apa sungguh semenyenangkan itu?" tanya Isabella tak yakin. "Bukankah kita berdua saja sudah cukup?" "Oh, ayolah, Isabella." Alisa mengangkat satu tangannya, meletakkannya di bahu Isabella dan senyuman manis tersungging di bibirnya yang merah muda. "Kau harus mulai bersosialisasi dengan orang lain. Akan sangat menyenangkan jika kau memiliki banyak teman." "Tapi aku tidak memerlukan banyak teman," bantah Isabella. "Aku hanya perlu satu teman yang setia, sepertimu. Aku tidak butuh berteman dengan orang lain yang tidak bisa kupercaya. Hanya buang-buang waktu saja." "Tapi pertemanan tidak seperti itu, Isa." Lagi-lagi Alisa mencoba untuk membujuk sahabatnya yang kini menyandarkan punggungnya ke puncak bangku. "Kau membutuhkan teman untuk sesuatu. Entah itu untuk hal yang baik atau hal yang buruk, kita akan hidup untuk saling memanfaatkan." Isabella beranjak dari bangku kayu itu dan menyimpan kembali puntung rokok yang daritadi berada di dalam genggamannya. Ia sudah kehilangan minat untuk merokok karena ucapan Alisa kepadanya. Lalu, dengan tatapan tak suka bercampur bingung, Isabella berkata, "Kenapa kau sangat naif, Alisa? Kau harusnya berteman dengan orang-orang yang tulus kepadamu. Bagaimana jika mereka hanya memanfaatkanmu? Bagaimana jika mereka hanya mengambil keuntungan darimu lalu pergi? Mereka bisa saja menendangmu jauh-jauh jika kau sudah kehilangan segalanya. Sebaiknya kau berhenti dengan orang-orang popular di asrama, firasatku buruk soal mereka." Alisa hanya tertawa di tempatnya duduk, tanpa sedikitpun peduli pada raut muka Isabella yang marah karenanya. "Kau berlebihan, Isabella. Aku baik-baik saja dan aku akan tetap berteman dengan gadis-gadis popular itu." Gadis itu kemudian berdiri, menatap sang lawan bicara lurus-lurus. "Aku lelah menjadi gadis yang tak menonjol sepertimu selama ini, bukankah seharusnya hidup itu berjalan dan berkembang? Jika aku hanya berteman denganmu, aku tidak akan bisa mendapatkan Andrew." "Apa kau bahagia karena berteman dengan mereka?" "Ya, tentu. Bukankah kau sudah lihat sendiri? Aku mendapatkan segalanya dan bersenang-senang." Isabella menutup mulutnya, wajahnya kembali datar seperti ruh baru saja meninggalkan raganya. Ia lantas membuang wajah, menatap air danau yang tenang dengan sorot kecewa di sana. "Kalau begitu, bersenang-senanglah. Setidaknya, aku sudah memperingatkanmu, Alisa." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD