Star High School, New York.
Derap langkah kaki yang seirama terdengar bergegas setelahnya. Mereka adalah tim forensik lapangan di bawah naungan lembaga kepolisian kota New York yang diminta datang oleh Zach. Setelah dua dari mereka memeriksa lokasi kejadian, mengambil gambar, mencatat kondisi jasad yang telah memucat, mereka pun bergegas memindahkan tubuh Alisa yang tak lagi bernyawa ke dalam kantung jenazah. Satu dari mereka menutup resletingnya sebelum akhirnya ke empat pria dengan berseragam polisi itu bersama-sama mengangkat kantung jenazah tersebut.
Seluruh siswa yang mendengar kabar kematian Alisa langsung berkerumun, seolah insiden mengerikan ini adalah tontonan menarik yang jarang sekali mereka temui. Bahkan tidak sedikit dari anak-anak ini yang secara diam-diam mengambil gambar dengan ponsel mereka dan membagikannya di internet. Meski Paman Ben jelas sudah melarang mereka melalui pengeras suara yang terpasang di seluruh sudut koridor asrama.
Yang membuat kematian ini menarik adalah karena Alisa merupakan putri semata wayang William Harrison, seorang investor terbesar di asrama tersebut. Tidak ada yang menyangka bahwa gadis dengan hidup yang sempurna akan memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis. Rumor tentang keretakan hubungan orang tua Alisa pun menyebar. Desas desus mengenai adanya isu perselingkuhan yang sebelumnya telah meredup, kini kembali menjadi topik panas di seluruh stasiun televisi.
"Apa kau sudah memeriksa kamarnya, Nate?" Zach masuk ke dalam toilet perempuan yang sudah diblokade dengan garis polisi dan menghampiri Nathaniel. "Kondisi di sini tampak tidak membantu sama sekali."
Nathaniel menoleh ke sumber suara dan mengangguk setuju. Di tangannya, Nathaniel memegang sebuah jurnal kecil dan pena. Ia juga menuliskan kondisi di lokasi kejadian seperti yang biasa ia lakukan di TKP lainnya. Lalu, wajahnya tertunduk, menatap satu halaman yang dipenuhi oleh analisisnya. "Tidak ditemukan darah di kamar ataupun di jalanan selama aku menuju ke sini, aku juga tidak menemukan benda-benda tajam, alkohol atau obat-obatan di sana selain pisau buah yang digunakannya untuk mengakhiri hidup. Tampaknya kasus ini memang murni karena bunuh diri."
Zach mengernyitkan keningnya. "Bagaimana dengan tes luminol?"
"Sudah. Tidak ada darah sama sekali," katanya dengan lugas.
Lalu, pria berusia 27 tahun itu memicingkan matanya pada Nathaniel. "Sidik jari?"
Dan Nathaniel membalas pertanyaan itu dengan mengedikkan kedua bahunya. "Aku sudah memberikannya pada tim forensik lapangan, kita akan segera mengetahuinya jika hasilnya sudah keluar." Pria dengan syal abu-abu di lehernya itu kemudian menyimpan jurnal beserta penanya ke dalam saku jaketnya yang tebal dan kembali melihat Zach. "Omong-omong, kau terdengar tidak percaya padaku, Zach. Apakah ada sesuatu?"
Gumaman pendek keluar dari mulut Zach. Ia melihat titik dimana jasad Alisa ditemukan dan dahinya tampak mengerut dalam, lagi. Sebelum balik menatap Nathaniel. "Aku bukannya tidak percaya padamu, Nate," dalihnya. "Melihat sayatan yang dilakukan hanya dengan sekali percobaan dan perkiraan dalamnya luka, juga posisi sayatan yang berada di nadi kirinya, membuatku sedikit ragu untuk mengatakan bahwa ini adalah murni kasus bunuh diri."
Nathaniel menyilang kedua tangannya di dada dan menatap Zach penuh selidik. "Mungkin gadis itu cukup berani untuk memotong nadinya dalam satu kali percobaan. Anak zaman sekarang didukung oleh kemajuan teknologi yang pesat dan gadis itu bisa saja meniru adegan di dalam film atau mencari cara di internet. Tidak ada yang sulit di era modern seperti ini, Zach," kata Nathaniel dengan santai, berusaha menepis seluruh kecurigaan yang dibuat oleh rekannya sendiri. "Bukankah aku benar, Rekan?"
Zach mendelik tak suka dan mendesis kesal pada Nathaniel yang tampak pamer. Ia bahkan berani mengangkat kepalanya dan mengerling matanya jahil pada Zach yang bisa dikatakan sebagai seniornya di kantor. Nathaniel benar-benar arogan dan tidak tahu diri. "Tapi gadis itu menyayat nadi di tangan kirinya, Nate."
"Lalu kenapa?" Nathaniel menggeleng tak habis pikir dan mengangkat kedua tangannya di udara, melambai-lambai seperti seorang model yang datang ke sebuah acara penghargaan. Senyuman puas pun muncul di sudut bibir Nathaniel. "Bukankah semua kasus bunuh diri yang pernah kita tangani bersama juga sama? Mereka memotong nadi di tangan kiri mereka seperti mereka memotong buah-buahan. Lalu, apa masalahnya?"
Zach mendaratkan pukulan pelan di puncak kepala Nathaniel sehingga pria yang seumuran dengan Zach itu mengaduh kesakitan sekarang. "Itulah pentingnya melihat sebuah insiden dari segala sudut pandang." Kali ini, Zach lah yang terdengar menyombongkan dirinya. "Aku mungkin tidak akan ragu jika kasus ini melibatkan orang biasa. Tapi gadis ini, memotong nadi di tangan kirinya dan itu cukup janggal."
"Apa maksudmu?"
"Alisa adalah seorang gadis kidal, dia tidak biasa menggunakan tangan kanannya untuk melakukan sesuatu." Mata Nathaniel sontak membulat tak percaya. Ekspresi yang memang diharapkan oleh Zach karena Nathaniel sudah bertingkah angkuh di hadapannya. "Kau bahkan melihat sendiri jasadnya tadi. Dia tidak melakukan sayatan lain dan hanya melakukannya sekali.
Sobekan di kulitnya juga tampak lurus dan melihat dari darah yang tercecer di sekitarnya, lukanya bisa dibilang cukup dalam."
Tidak langsung menanggapi kesimpulan yang diciptakan oleh rekannya, Nathaniel kembali memicing curiga pada Zach. "Tapi bagaimana kau bisa tahu kalau Alisa sungguh kidal?"
Zach memutar kedua bola matanya yang cokelat dengan malas dan satu dengusan pendek keluar darinya. "Aku mendapatkan informasi ini dari saksi utama kita. Gadis berambut pirang yang menemukan jasad Alisa lah yang mengatakannya padaku, tampaknya mereka benar-benar dekat."
"Kau percaya begitu saja?"
"Aku sudah mengkonfirmasi pernyataan itu kepada sekertaris asrama," timpal Zach tak mau kalah.
"Bagaimana kau tahu hubungan mereka benar-benar dekat?"
Zach menghirup oksigen sebanyak-banyaknya dan mengembuskannya perlahan, membiarkan semua kekesalan itu terbawa bersama napas yang dikeluarkannya barusan. Dan dengan tatapan tajam, Zach kembali menghadapi Nathaniel. "Apakah kita sungguh harus berdebat karena hal itu, Nate?"
"Aku tidak keberatan."
"Kau ini sebenarnya teman atau lawan," cibir Zach.
Yang justru membuat Nathaniel tertawa pelan di tempatnya. Ia lantas menghampiri pria yang sedikit lebih tinggi darinya itu dan menepuk bahu kanannya dua kali. "Aku akan berjaga di depan sampai anak-anak itu pergi. Kau, pergilah temui orang tua Alisa untuk menjelaskan semuanya dan kabari aku jika hasil sidik jarinya sudah keluar."
Zach kembali mendengus pendek dan berkacak pinggang. "Apa kau baru saja mendikte pekerjaanku, Nate?"
"Tidak, uhm, sedikit," satu cengiran lebar menjadi akhir dari kalimat sarkastik yang dilontarkan oleh Nathaniel sebelum tubuhnya yang tinggi berlalu melewati tubuh Zach, meninggalkannya sendirian di dalam toilet perempuan asrama yang menjadi lokasi kejadian perkara.
Matanya yang cokelat lantas mengamati genangan darah di salah satu bilik toilet, tempat dimana seorang pewaris tunggal seluruh harta kekayaan keluarga Harrison memilih menghabisi nyawanya sendiri. Mungkinkah hidup yang tampak sempurna seperti dongeng itu hanyalah topeng? Mungkinkah semua harta dan kuasa yang dimilikinya tidak membuatnya benar-benar bahagia?
Zach penasaran dengan jawabannya. Dan itulah alasan, kenapa detektif muda itu memilih berbalik dan bersiap ke rumah sakit untuk menemui keluarga Alisa Harrison. Zach, akan menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Bukankah dia hanya perlu terus berjalan dan mencari tahu?
***
Halo semuanya,
I'm back.
Aku cuma mau mengingatkan bahwa nantinya, novel ini akan mengandung banyak unsur 18+ atau bahkan 21+
Karena genre dan subgenre yang aku ambil adalah thriller, misteri, suicidal bahkan dark romance.
Untuk kalian yang memiliki trauma atau anti sama cerita berbau pembunuhan ini, aku sarankan untuk mundur perlahan dari sekarang wkwkwk
Dan buat kalian yang sudah baca cerita ini sampai part ini,
aku ingin tahu pendapat kalian ya...
Menurut kalian cerita ini seru nggak sih? (melihat dari tiga bab awal yang sudah kupublish tentunya)
dan apa yang kalian harapkan dari cerita ini?
Terima kasih semuanya.
Salam,
penulisnya hehehe
Star High School, New York.
"Mereka membunuhku, Isa!" Gadis dengan gaun berwarna putih gading itu mendekat, menatap netra biru milik Isabella dengan pandangan marah. Matanya memerah dan tampak sinis. Ada desakan tertahan pada sorot matanya yang hijau. "Mereka membunuhku!"
Isabella tercenung. Napasnya seolah tercekat di tengah-tengah tenggorokannya ketika melihat Alisa memandanginya dengan penuh harap. Ia tidak bisa membuka suara, mengatakan bahwa Isabella dan Alisa kini telah berada di alam yang berbeda. Namun tubuhnya bergerak mundur dan menghindar saat Alisa mengarahkan kedua tangan kepadanya, hendak mencekiknya. "Tidak, Alisa. Jangan lakukan ini."
Tubuh Isabella jatuh dan berguling ke lantai karena kakinya tersandung sesuatu. Dahi gadis itu menabrak keramik hingga menyebabkan kepalanya berdenyut nyeri, telinganya berdengung, menimbulkan perasaan yang tak nyaman seketika. Perlahan, Isabella membuka matanya dan netra birunya yang terang berpendar liar ke sekeliling. Namun sosok Alisa tidak ada dimana-mana. Isabella lantas menyadari bahwa tubuhnya baru saja jatuh dari kasur dengan selimut masih menutupi sebagian tubuhnya.
"Aku bermimpi?" tanyanya pada diri sendiri.
Peluh telah jatuh membasahi keningnya yang sedikit lebar dan bibirnya tampak pucat seperti mayat hidup. Mimpi tentang Alisa terasa begitu nyata di matanya. Ia ingin percaya bahwa kemunculan Alisa bukanlah efek halusinasi, tapi gadis itu langsung teringat tentang obat tidur yang diminumnya ketika ia baru saja tiba di kamarnya. Semua yang dilihatnya, termasuk yang dikatakan Alisa kepadanya, tidak benar-benar ada. Isa kemudian menghela napas berat dan memijit pelipisnya yang terasa perih, tangannya meraba goresan di sana.
"Baru hari pertama sudah sial. Bagaimana aku bisa bertahan di sini? Benar-benar menyebalkan!" gerutunya.
Gadis berambut panjang itu hendak bangkit, berdiri dari dinginnya lantai yang sejak tadi menjadi pijakannya duduk. Namun, sesuatu menarik perhatiannya. Isabella menemukan sebuah kotak merah muda berukuran sedang dengan pita besar berwarna putih yang mencolok di kolong ranjangnya. Ia yakin bahwa kotak itu bukanlah miliknya karena Isabella tidak menyukai pita ataupun warna merah muda.
"Kotak apa itu? Bukankah Alisa hanya tidur sendirian di kamar ini dan belum ada satupun siswa yang mau menempatinya sejak dia meninggal?" Isabella menoleh, melihat kolong ranjang satunya. Ranjang bertuliskan nama Alisa pada bagian kayunya. "Kalau ini milik Alisa, kenapa ada ... di sini?"
Rasa penasaran berkecamuk di dadanya. Dan tanpa menunggu lama, Isabella memberanikan diri untuk menarik kotak tersebut keluar dari kolong kasur. Ia memerhatikan bagian luar kotak, tidak ada yang aneh, hanya kotak biasa berbahan kardus tebal dan pita putih besar menempel di atasnya. Isabella tidak bisa menemukan sesuatu yang mengarah pada sang pemilik kota, meski gadis itu memutar benda itu beberapa kali. Membuatnya semakin percaya diri untuk memeriksa, karena tak ada satu orang pun yang akan marah padanya hanya karena gadis itu membuka sesuatu tanpa izin sang pemilik.
Isabella lalu menarik napas pendek dan membuka penutup kotak dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu. Matanya membulat tak percaya ketika gadis itu menemukan sebuah jurnal kecil berwarna merah muda di dalam kotak. Warnanya sedikit lebih muda jika dibandingkan dengan warna yang melapisi bagian luar kotak. Namun bukan soal warna yang menjadi poin pentingnya, melainkan sebuah nama yang tertera di bagian depan jurnal.
"Buku ini milik Alisa Harrison." Isabella membaca lamat-lamat tulisan itu. Kedua alisnya sontak bertaut dalam. "Milik Alisa? Tapi, apa mungkin?"
Suara ketukan dari luar membuat Isabella panik. Ia buru-buru menutup kotak merah muda itu dan kembali mendorongnya ke dalam kolong ranjangnya. Dan dengan segera, gadis itu berlari kecil menuju pintu untuk kemudian membukanya.
Sosok anak laki-laki dengan seragam yang sama dengannya berdiri di sana. Rambut dan pakaiannya sedikit urakan, tampak seperti murid yang tidak disiplin. Ia bahkan membiarkan seluruh kancing seragamnya terbuka dan memakai kaus hitam yang tidak sesuai dengan peraturan asrama. Laki-laki itu mengangkat tangan kanannya di udara, melambai canggung dan mengangkat satu alisnya penasaran ketika Isabella menatapnya datar. "Hey, apa kau baik-baik saja di dalam?"
"Ya."
"Aku mendengar suara teriakan tadi," kata laki-laki itu kikuk.
"Aku tidak berteriak." Isabella yang tidak sedikitpun memunculkan ekspresi pada parasnya yang cantik dan menimpali pertanyaan anak laki-laki itu dengan singkat, membuat sosok bernama Bryan Hanks itu merasa aneh.
Pasalnya, Bryan adalah sosok idola di asrama. Dia tampan, kaya dan memiliki segalanya. Semua orang yang mengenalnya, akan mendekatinya seperti magnet. Namun kebanyakan dari mereka, tidak benar-benar ingin berteman, melainkan hanya berniat mencari keuntungan dari Bryan. Terutama kaum hawa, mereka akan menghampiri Bryan untuk bisa menggali sebanyak-banyaknya harta dari putra bungsu pemilik asrama Star High School itu.
"Aku yakin kau berteriak," ulang Bryan, mencari pembenaran.
"Tidak."
"Tapi aku mendengar sesuatu terjatuh, seperti benda keras yang berat, mungkin?"
Isabella mengembuskan napas jengah dan menatap lurus-lurus ke arah Bryan. Ia lantas menyilang kedua tangannya di dada dan menggeleng. "Tidak ada sesuatu yang terjadi di dalam. Benda keras dan berat yang kau duga jatuh itu adalah aku. Aku baru saja jatuh dari kasur dan aku sama sekali tidak berteriak," katanya cepat. Ia bahkan tak memberikan sedikit jeda saat mengatakannya.
Bryan tampak mendengus geli dan mengatup bibirnya yang gelap. Gadis ini menarik.
"Jika tidak ada urusan lagi, aku akan menutup pintunya sekarang," lanjut Isabella dengan nada ketus, berbeda sekali dengan seluruh gadis di asrama yang ditemui Bryan. Isabella sama sekali tidak tertarik dengan anak dari pemilik asrama itu. "Sampai jumpa."
Tangan kokoh Bryan dengan cepat menahan daun pintu di hadapannya. Tidak peduli dengan eskpresi Isabella yang semakin dingin seperti udara di kutub utara. Gadis itu tampak kaget dengan sikap Bryan, tapi lagi-lagi Isabella berhasil mengontrol dirinya sendiri.
"Ada apa?"
Bryan diam, tetapi kakinya melangkah maju. Perlahan dan penuh kewaspadaan. Ia berhenti tepat di depan Isabella yang masih menatapnya dengan datar. Jarak mereka kini hanya beberapa senti saja, tapi Isabella sama sekali tidak goyah. Bahkan ketika Bryan mengangkat satu tangannya, menyentuh pelipis Isabella yang sedikit bengkak dan merabanya pelan, Isabella sama sekali tidak bergeming. "Kau terluka."
Namun reaksi yang ditunjukan oleh Isabella membuat Bryan terkesiap. Gadis itu dengan cepat menepis tangan Bryan dari wajahnya dan mendorongnya sampai kedua kaki anak laki-laki itu melewati ambang pintu, "Bukan urusanmu." dan pintu ditutup dengan keras oleh Isabella.
Isabella buru-buru mengunci kamarnya dan segera berjongkok untuk mengambil kembali kotak berwarna merah muda yang tadi ditemukannya. Gadis itu mendekap dan meletakkannya di atas ranjang, Isabella lalu duduk di sebelahnya. Ia mengeluarkan jurnal bertuliskan nama sahabatnya dan memberanikan diri untuk membuka halaman pertama sendirian.
Untuk Isabella, sahabatku tersayang.
Isa, aku tahu kamu pasti terkejut ketika menemukan dan membaca buku milikku. Untuk pertama kalinya aku menulis sesuatu untukmu dan rasanya benar-benar mengagumkan.
Ini seperti mengirim surel, tapi sensasinya sungguh berbeda.
Aku berharap kau bisa secepatnya menemukan buku ini karena aku ingin memberi tahumu segalanya.
Ada banyak rahasia yang tidak bisa kubicarakan secara langsung denganmu dan itu sedikit menggangguku.
Ditambah, mungkin kau akan membaca buku ini setelah aku tidak ada. Aku tidak yakin, tapi aku merasa mereka mengikutiku akhir-akhir ini. Perasaanku buruk dan aku merasa tragedi akan segera terjadi.
Jadi, aku menuliskan semuanya di buku jurnal ini.
Peraturannya adalah, jangan berhenti membacanya walau kau mungkin merasa ragu. Jangan pernah berhenti di tengah jalan atau aku akan sangat marah padamu, Isa.
Baiklah, aku akan mulai menceritakan semuanya sekarang.
Bagaimana jika kita memulainya dari Chloe Winchester?
Primadona sekolah yang selama ini tidak menyukaiku, atau membenciku.
Apa kau sudah siap mengetahui kebenarannya, Isabella?
Golden Hospital, New York.
Suara langkah kaki yang saling bertumpang tindih terdengar di telinga Zach ketika tubuhnya memasuki koridor rumah sakit. Dengan kemeja hitam berbalut jaket berbulu tebal dan topi baseball bertuliskan NYPD di bagian depannya, Zach masuk ke area ruang autopsi. Tempat dimana jasad Alisa dibedah, diperiksa untuk dipastikan penyebab kematiannya.
Mereka bilang autopsi adalah sebuah prosedur untuk mencari tahu sebab, cara, kapan dan bagaimana orang meninggal. Namun bagi Zach, autopsi hanyalah awal pekerjaan untuknya. Karena setelah proses autopsi pada korban yang ditangani oleh Zach selesai, tim forensik biasanya akan memberikan hasil dan dugaan kematian pada tim penyelidik seperti Zach untuk kemudian menemukan pelaku yang bertanggung jawab demi tuntunan keadilan dan peraturan hukum yang berlaku di negaranya.
Zach masuk ke dalam sebuah ruangan setelah mengetuk pintunya sebanyak tiga kali. Ia kemudian berjalan masuk, menghampiri seorang dokter yang sibuk menuliskan sesuatu pada papan kecil di tangan kirinya. Di atas papan itu, terlihat beberapa lembar kertas dengan tabel-tabel yang dipenuhi angka dan data yang diisi oleh sang dokter. "Sudah selesai?"
Dokter dengan papan nama bertuliskan Paul Molins di dada sebelah kanannya itu mendongak, menatap sang detektif antusias. Ia kemudian mengangguk dan memberikan papan berisi catatan miliknya kepada seorang wanita berpakaian putih di sebelahnya. "Ya. Kematian murni karena kehabisan darah. Organ vital tidak berfungsi karena banyaknya darah yang keluar."
Zach melihat kain putih yang menutupi seluruh bagian tubuh Alisa di hadapannya. Hanya rambut pirang milik gadis itu yang menyembul keluar, sementara seluruh bagian tubuhnya sama sekali tidak terlihat. Ia kemudian mengangguk paham dan kembali beralih pada Paul. "Bagaimana dengan lukanya?"
"Melihat dari sobekan dan dalamnya sayatan, kemungkinan alat yang digunakan adalah pisau berukuran 12 senti. Biasanya pisau ini digunakan untuk mengupas kulit buah, sayur dan berguna juga untuk menyayat udang." Pria bertubuh kurus dengan kumis tipis di atas bibirnya yang tipis itu lantas menganggukkan kepalanya. "Atau dengan kata lain, gadis ini menyayat tangannya dengan pisau yang biasa kita temukan di dapur. Cukup mudah mendapatkannya."
Zach mengangguk lagi. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya yang tebal dan mengamati tubuh yang berbalut oleh kain putih di depannya dengan gamang. "Ya, kau benar. Kami menemukan pisau dapur berukuran kecil di dekat mayatnya," katanya menimpali. "Apakah ada luka lain yang menandakan bahwa gadis ini mungkin mengalami kekerasan sebelumnya?"
Paul mengerjapkan matanya dua kali sebelum menyilang kedua tangannya di dada. Wajahnya berubah menjadi sedikit sedih ketika Zach menatapnya. "Ada beberapa bekas luka di tangan dan kakinya. Tapi setelah kuperiksa, sepertinya itu adalah luka yang didapatnya beberapa bulan sebelumnya. Aku bisa meyakinkanmu bahwa bekas luka itu tidak ada hubungannya dengan kematian Alisa."
"Apakah itu bekas luka akibat benda tumpul?"
"Jika maksudmu adalah kemungkinan bahwa Alisa dipukuli oleh seseorang, maka jawabanku adalah tidak. Bekas luka ini tampak seperti goresan ketika kau jatuh dan kakimu mendarat di aspal atau bebatuan tajam." Paul mengangkat kedua bahunya dan mengalihkan pandangannya pada jasad Alisa yang kini terbujur kaku di atas meja autopsi. "Alisa mungkin jatuh dengan keras sampai bekas lukanya sulit hilang sampai sekarang."
Gumaman terdengar dari Zach. Ia lantas mengernyitkan keningnya dan berasumsi. "Bagaimana dengan perundungan?"
Paul menoleh, balas menatap Zach yang kini tampak penasaran. Sebelum akhirnya pria berusia lima puluh tahun itu menganggukkan kepalanya, memberi tanda persetujuan pada pertanyaan yang justru terdengar seperti sebuah pernyataan dari Zach. "Aku tidak bisa menyangkalnya, perisakan itu bisa saja terjadi dan menimpa Alisa. Mentalnya mungkin tertekan karena adanya aksi perundungan dari teman-teman atau lingkungannya, itu bisa menjadi alasan kuat kenapa gadis cantik ini memilih untuk mengakhiri hidupnya."
Zach terdiam. Mencoba mengingat kembali kesaksian Lily dan Andrew yang notabenenya memang orang terdekat Alisa di asrama. Dari awal, Zach sudah curiga bahwa ada sesuatu yang janggal dalam kematian Alisa Harrison. Namun semuanya masih tampak samar bagi Zach, belum ada titik terang untuk memperkuat kecurigaannya.
"Omong-omong, orang tua Alisa menunggumu di ruanganku, Zach. Aku berkata kau akan datang untuk mereka, jadi aku meminta mereka menunggu di sana," sambung Paul.
Pria berusia 27 tahun itu lantas terbangun dari lamunannya dan segera menganggukkan kepala. "Aku akan menemui mereka dahulu kalau begitu." Lalu tubuhnya yang tinggi dan atletis berlalu keluar dari ruang autopsi untuk menemui kedua orang tua kandung Alisa di ruangan Dokter Paul.
Paul dan Zach sudah cukup dekat. Hubungan mereka bahkan bisa dibilang lebih dari sekadar rekan kerja. Paul dan Zach sering pergi keluar dan minum kopi bersama di sela-sela jam makan siang mereka untuk membicarakan hobi. Mereka sudah seperti teman dekat, jadi wajar jika Zach langsung tahu dimana ruang pribadi Paul tanpa perlu menanyainya lagi.
Ketika pintu dibuka, Zach mendapati seorang pria dan wanita dewasa duduk di balik meja Paul. Mereka tidak saling bercengkrama seperti orang tua pada umumnya. Zach lantas berdeham pelan sehingga kedua orang itu langsung menoleh padanya. "Selamat siang," sapa Zach sopan. Ia kemudian menjabat tangan pria dan wanita itu bergantian, lalu duduk di kursi yang biasa digunakan oleh Paul, tepat berada di hadapan kedua orang tua Alisa. "Maaf sudah membuat kalian menunggu lama."
"Aku William dan ini Emily, istriku," ujar William memberi tahu.
Namun wanita yang menggulung rambutnya ke belakang itu buru-buru mengoreksi. "Mantan istrinya." Sehingga William menoleh tak suka pada Emily. Memandangnya dengan ekspresi-apakah-wanita-itu-sungguh-harus-membahasnya-dalam-situasi-ini. "Kami ... sudah tidak lagi bersama." dan helaan napas jengah, akhirnya terdengar dari William.
"Bagaimana dengan hasil autopsinya?" tanya William, berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Mereka bilang bahwa Alisa meninggal karena kehabisan darah," terang Zach dengan suara yang tenang. Ia meminimalisir ekspresi pada wajahnya agar tidak menimbulkan spekulasi di depan William maupun Emily. "Ada beberapa bekas luka, tapi tampaknya itu terjadi beberapa bulan ke belakang."
Emily lantas memotong, "Tapi putriku tidak pernah memiliki bekas luka."
"Apa yang terjadi, Detektif?" timpal William tak kalah penasaran.
Dan Zach melihat William, lalu ke Emily bergantian sebelum kembali melanjutkan kata-katanya. "Kami menduga adanya tindak perundungan yang menimpa Alisa, tapi kami tidak memiliki bukti yang cukup untuk menguatkan pernyataan kami. Bekas luka ini bisa saja didapat Alisa ketika ia terjatuh di aspal atau semacamnya."
Meski ragu, tangan Emily menggapai punggung tangan William dan wajahnya berubah sedih. Mata wanita itu berkaca-kaca, ada sesak yang tertahan di dadanya ketika ia berkata, "Alisa tidak pernah terjatuh, William." dan tangisnya pecah seketika.
Dalam situasi ini, William dan Emily seolah melupakan masalah rumah tangga yang baru saja menimpa mereka. William merengkuh lembut tubuh Emily dan wanita itu menangis di dalam pelukan pria yang pernah menjadi suaminya. "Kita akan mencari tahu semuanya. Jangan menangis, Emily," tuturnya menenangkan.
Dan setelah tangis itu mereda, William merenggangkan jarak di antara mereka agar tangan pria itu dapat menyeka kedua pipi Emily yang basah. Ia lantas tersenyum kecil dan menatap intens wanita di hadapannya. "Jika Alisa memang mendapatkan hidup yang tidak adil, kita akan mencari tahu kebenarannya." Ia lalu beralih pada Zach yang masih memandangi adegan menyedihkan antara sepasang mantan suami istri di depannya dengan prihatin. "Detektif, aku memintamu untuk mengusut dengan tuntas kematian putriku. Jika dia memang dibunuh, pastikan kau menemukan pelakunya dan bawa orang itu ke hadapanku."
"Tapi, Tuan Harrison--"
"Aku akan membayarmu lima kali lipat, jika kau bisa menangkap pelakunya dan merahasiakan ini dari media." William menatap Zach dengan serius. "Apakah kau bersedia melakukannya untukku dan Emily, Detektif?"
***
Halo semuanya...
aku muncul lagi ehehehe
aku cuma mau kasih tahu buat kalian yang mungkin masih bingung,
jadi di cerita ini,
aku akan menggunakan alur maju dan mundur.
akan ada adegan flashback juga jadi kuharap kalian bisa memahami situasinya karena aku sengaja ga menuliskan tanggal atau harinya hahaha
Oke deh kalau begitu,
selamat membaca ya.
Terima kasih.
Salam,
penulisnya hehe