Isabella Chapter 3

2038 Words
Star High School, New York. Bagaimana jika kita memulainya dari Chloe Winchester? Primadona sekolah yang selama ini tidak menyukaiku, atau membenciku. Apa kau sudah siap mengetahui kebenarannya, Isabella? Aku mengenal Chloe sebagai seorang gadis popular yang memiliki segalanya. Dia cantik dengan rambut merah menyala yang benar-benar keren. Selain itu, Chloe adalah seorang anak tunggal dari pengusaha kaya yang bisa dibilang sedikit lebih tinggi daripada ayahku. Namun, yang benar-benar membuatku tertarik dengannya adalah, Chloe hanya berteman dengan gadis-gadis cantik dan tak kalah popular darinya, sehingga berteman dengannya adalah sesuatu yang tampak mengesankan. Suatu hari Chloe dan dua temannya menghampiriku, mereka berkata bahwa aku mungkin bisa bergabung dengan mereka  karena aku memiliki banyak penilaian untuk mereka. Chloe bilang aku tidak kalah cantik dan kaya, aku berada di level yang sama dengan mereka. Kau pasti ingat itu, 'kan? Hari dimana aku menemui di danau dan berkata bahwa berteman dengan mereka membuatku dapat bersenang-senang?  Hari dimana aku akan menyesali perkataanku selama-lamanya. Aku tidak benar-benar bahagia berteman dengan mereka, Isabella. Mereka hanya memanfaatkanku untuk menutupi kekurangan mereka. Awalnya kupikir, pertemanan akan selalu berjalan seperti ini. Satu dengan yang lain akan saling memanfaatkan, tapi kemudian aku tersadar, bahwa aku telah dibodohi. Isabella mendelik sinis ke arah Chloe yang kini duduk di salah satu meja kafetaria, di tengah-tengah ruangan. Cocok dengan karakternya yang memang ingin menjadi pusat perhatian. Gadis berambut panjang yang ia biarkan menjuntai melewati kedua bahunya itu tampak asyik menikmati makan siang yang disiapkan oleh pihak asrama;waffles dan susu cokelat. Sepertinya Chloe sedang berdiet, melihat porsi makannya yang benar-benar sedikit dan berbeda jauh dengan Jessica atau Cassandra. Kedua gadis yang kini duduk di hadapan Chloe, atau lebih tepatnya, mengarah langsung pada Isabella, tampak lahap ketika menikmati beberapa daging asap dan minuman bersoda di sana.  Namun bukan itu yang menjadi poin utamanya. Isabella mengaduk-ngaduk susu cokelat panas miliknya dan menyeringai tipis, seraya mengingat kembali potongan kata yang tertulis dalam jurnal milik Alisa. Chloe mulai menunjukkan sikap aslinya kepadaku. Ia mulai berkata kasar dan membentakku saat aku tidak melakukan perintahnya. Dan hari itu aku tersadar, bahwa aku bukanlah temannya. Aku hanyalah salah satu anjing peliharaannya. Ia ingin aku mengekor mengelili kakinya dan terus mengibaskan ekorku seperti hewan yang tak berotak.  Chloe memperlakukanku dengan tidak hormat dan sikapnya menjadi semakin parah setelah aku berhenti berbicara dengannya. Ia mulai menggangguku di kelas, di kafetaria bahkan sampai ke kamar asrama. Chloe menumpahkan makan siangku selama beberapa hari di depan orang banyak, ia berusaha mempermalukanku dengan caranya yang jahat.  Aku pikir semua akan berlalu jika aku menutup mulut, tapi nyatanya tidak. Perlakuannya terhadapku menjadi lebih parah dari yang pernah aku bayangkan. Dia benar-benar gadis yang mengerikan. Dan sebaiknya ... kau tidak pernah bertemu dengannya, Isabella. Gadis bertubuh ramping dengan seragam ketatnya itu lantas berdiri dari kursinya. Tampaknya Chloe baru saja menghabiskan makan siangnya dan hendak pergi meninggalkan kafetaria. Jessica dan Cassandra melakukan hal yang sama setelahnya, mereka berdiri dan mengikuti sang ketua. Dengan tekad yang sudah bulat, Isabella pun beranjak dari mejanya dengan susu cokelat yang masih utuh di tangan kanannya. Ia berjalan menghampiri Chloe tanpa sedikitpun berusaha untuk berhati-hati. Hingga sebuah insiden pun akhirnya terjadi. Chloe berbalik dan menabrak tubuh Isabella yang berada tepat di belakangnya, sedang melewatinya. "Ahh!" Cairan kecokelatan di dalam gelas itu seketika tumpah, membasahi seragam dan sepatu Chloe yang berwarna putih. Semua mata di kafetaria kini memerhatikan tragedi yang terjadi di sana. Seperti waktu yang tiba-tiba berhenti, semua siswa yang sedang menikmati makan siang mereka pun mendadak diam dan tak terlihat memberikan gerakan yang berarti. Sama halnya dengan Jessica dan Cassandra yang menatap syok ke arah Chloe dan Isabella. "Kau menumpahkan susuku," ucap Isabella datar. Ia bahkan terlihat tidak peduli dan sama sekali tidak merasa bersalah pada kondisi Chloe saat ini. "Haruskah aku meminta ganti rugi padamu, Chloe?" Kedua mata cokelat Chloe melebar, menatap Isabella geram. Ia lalu mendorong bahu gadis itu dan berseru, "Apa yang kau lakukan?! Kau membuatku kotor dengan susu menjijikan ini!" Namun sang lawan bicara sama sekali tidak terprovokasi. Wajahnya masih menampilkan raut dingin dan tak merasa berdosa sama sekali. "Tapi susu itu tidak menjijikan." Isabella melirik gelas kosong di atas meja Chloe sebentar, gelas yang sebelumnya terisi oleh susu yang sama dengan milik Isabella. Lalu kembali menatap gadis itu dengan santai. "Kau menghabiskan susu itu." Chloe mendesah kesal dan menghentakkan kakinya ke lantai. Tangannya yang kecil terangkat ke udara, hendak mendaratkan satu tamparan keras di wajah Isabella seperti yang biasa ia lakukan pada anak lemah lainnya. Namun sayangnya, Chloe tidak mempersiapkan apapun untuk Isabella. Isabella menangkap tangan Chloe dan mencengkramnya erat-erat hingga gadis itu kesulitan bergerak. "Lepaskan!" pekik Chloe. Gadis bermata biru itu kemudian mencondongkan wajahnya ke depan, sehingga bibirnya yang tipis hampir mencapai telinga ratunya asrama. Ia menyeringai penuh kemenangan dan berbisik, "Aku akan membalas perbuatanmu terhadap Alisa. Aku datang ke asrama ini untuk menyingkirkan orang-orang sepertimu, Chloe." Ada sorot ketakutan di mata Chloe, tapi gadis itu buru-buru menampiknya. Ia menoleh perlahan sehingga matanya benar-benar beradu dengan Isabella dalam jarak yang hanya beberapa senti saja sekarang. Ia meneguk ludahnya dengan susah payah dan membalas ucapan Isabella, "Si--siapa kau sebenarnya?" cicitnya dengan suara pelan. Isabella melepas tangan Chloe dan menepisnya dengan kasar sehingga gadis itu terkesiap. "Aku akan membalasmu untuk Alisa." Suaranya yang keras dan lantang, membuat semua orang di tempat itu dapat mendengar ucapannya barusan. Termasuk Zach, yang baru saja memasuki kafetaria dengan ekspresi terheran-heran. Mendengar nama Alisa, membuatnya jadi curiga terhadap Isabella. "Aku akan memberi tahu dunia, gadis seperti apa kau sebenarnya, Nona Winchester." Gadis itu kembali bereskpresi datar dan melenggang pergi, meninggalkan Chloe dan kedua temannya kebingungan. Atau mungkin ketakutan. Entahlah, tapi yang jelas, semua orang di kafetaria tampak kaget karena seorang anak baru seperti Isabella bisa menyebut nama Alisa, teman satu asrama mereka yang baru saja meninggal dunia. Isabella membuat semua orang terkejut dengan sikapnya yang mencolok. Sehingga Zach memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang gadis berusia 16 tahun itu. "Isabella Moore, sepertinya dia mengetahui sesuatu tentang gadis bernama Alisa," batinnya. "Aku harus mencari tahu sesegera mungkin." ATTENTION! SEKALI LAGI, GENRE INI AKAN MENGANDUNG UNSUR 18+ (Termasuk di dalamnya adegan kekerasan, suicidal, pembunuhan dan hubungan dewasa). PEMBACA DI BAWAH 18 TAHUN DIHARAP BIJAK SAAT MEMBACA. JANGAN LUPA KLIK TOMBOL BINTANG DI SUDUT KIRI BAWAH YA TEMAN-TEMAN. *** Star High School, New York. Isabella berjalan meninggalkan kafetaria dengan perasaan lega. Satu poin! Ia berujar dalam hati. Seolah kata-kata itu ditujukan untuk Alisa yang melihatnya dari atas sana;surga. Kakinya kemudian berhenti tepat di depan sebuah balkon di atap asrama. Netra birunya yang senada dengan langit berkeliling, menyapu seluruh sudut pemandangan di sekitarnya. Tempat yang bagus. Siapa sangka, gadis itu menemukan sebuah tempat yang cocok untuknya. Atap asrama. Tempat terbuka dengan beberapa kursi kelas yang sudah tak terpakai, angin yang berembus kencang dan sinar matahari yang terhalang oleh terpal bekas. Isabella mengamati sekitar dan tersenyum puas. "Dua poin," katanya bangga. Lalu, tubuhnya yang ramping berbalut seragam asrama pun berjalan menuju salah satu bangku yang ada di sudut. Ia menarik puncak kursi dan membalikkannya ke arah utara, sehingga rumah-rumah dan kebun yang mengelilingi asrama lah yang menjadi pemandangan utamanya. Isabella lalu duduk di sana dan mengeluarkan sebatang rokok yang berhasil ia sembunyikan di dalam kaus kakinya. Pun dengan korek gas yang ia simpan di bawah kaki kirinya, di dalam sepatu. Gadis itu menyalakan rokok dan mulai menyesapnya dengan santai. Sampai embusan asap yang ketiga, seseorang tiba-tiba muncul dari arah belakang dan berkata, "Kau tidak boleh merokok di sini," hingga membuat Isabella terkesiap dan buru-buru menginjak rokoknya dengan panik. Isabella berbalik dan mengernyitkan kening saat mengetahui bahwa sosok Bryan lah yang berdiri di sana, tengah berjalan menghampirinya. "jika sendirian," sambungnya sembari menyodorkan sebatang rokok lain pada Isabella. Namun gadis itu tidak langsung merespons. Ia hanya menatap Bryan lurus-lurus dan mencoba membaca sikapnya yang tidak biasa. Bryan kembali menyodorkan rokok di tangannya pada Isabella. "Ayolah, ini hanya rokok biasa," katanya memberi tahu. "Kau mematikan milikmu karena berpikir bahwa aku mungkin melaporkanmu pada Paman Ben, bukan?" Lagi, Isabella hanya diam. Sementara salah satu alisnya yang tebal terangkat naik. Membuat laki-laki yang tampil dengan pakaian setengah berantakannya itu mengangkat kedua alisnya di depan Isabella. Ia membalas tatapan penuh selidik dari gadis itu dengan eskpresi kesal, berusaha meyakinkan. "Apa aku terlihat seperti seorang pecandu atau semacamnya?" Sehingga Isabella menyeringai miring dan menerima rokok pemberian Bryan. Gadis itu kemudian kembali duduk di kursinya dan Bryan mengikuti. Mereka duduk bersama, memandangi atap-atap rumah yang posisinya berada lebih rendah dari bangunan berlantai empat tersebut berdua. Bryan mengembuskan asap rokoknya ke udara, membiarkannya membaur dan hilang terbawa angin di sekelilingnya. Lalu, ia menoleh, memerhatikan Isabella yang tampak menikmati kegiatannya sendiri tanpa sedikitpun berminat untuk membuka obrolan di antara mereka. Sampai akhirnya Isabella sadar bahwa laki-laki di sebelahnya itu tengah mengamatinya tanpa henti dan membuatnya merasa risi. Ia menoleh, balas menatap Bryan dan mengangkat satu alisnya penasaran. "Kenapa melihatku terus?" dengan nada tak suka. Bryan terkekeh geli dan menjatuhkan puntung rokok yang tinggal sedikit ke pijakan kakinya yang terbuat dari dak beton dan menginjaknya dengan keras. Ia kemudian kembali melihat Isabella. "Kau cukup berani saat menghadapi Chloe tadi. Siapa sangka, kau bisa ketakutan setengah mati hanya karena tertangkap basah sedang merokok di area asrama," ucapnya sarkas. Isabella pun melakukan hal yang sama. Ia menyeringai tipis dan menoleh, sehingga manik birunya yang terang kini berhadapan langsung dengan mata Bryan. "Aku sudah berjanji pada seseorang untuk tidak dihukum lagi," timpalnya berterus terang dan dengusan pendek terdengar setelahnya, bersamaan dengan puntung rokok Isabella yang jatuh ke bawah kakinya. Ia menginjaknya dengan cukup kuat dan terkekeh mencemooh. "Meski rasanya benar-benar mustahil." "Kau tidak berpikir bahwa mencari masalah dengan Chloe juga akan membuatmu dihukum?" Kedua alis Isabella saling bertaut dalam. "Kenapa aku harus dihukum? Aku hanya mencoba menegakkan keadilan." Kemudian tubuh semampainya beranjak dari kursi kayu. Ia menepuk-nepuk rok bagian belakangnya, melepaskan debu yang berasal dari kursi lapuk itu dari seragamnya dan hendak pergi. Namun Bryan buru-buru bergerak. Ia berlari kecil dan memblokade jalan Isabella sehingga gadis berambut panjang itu sedikit terperanjat. Tangannya yang kurus berbalut gelang suede berwarna hitam kini saling bersedekap di depan dada. "Ada apa?" "Kita berada di kelas yang sama." "Lalu?" tanya Isabella tanpa minat. "Bukankah kita bisa berteman, atau semacamnya?" Suara Bryan terdengar ragu-ragu kali ini. "Kita bisa pergi ke kelas dan makan siang bersama-sama." Isabella terkekeh pendek, terdengar mengejek. Sebelum raut wajah gadis berusia 16 tahun itu kembali dingin seperti es yang tak pernah mencair. "Kau tampak tidak seperti anak yang suka berteman dengan orang lain, begitupula dengan aku," ungkapnya dengan santai. "Aku datang ke sini bukan untuk berteman dengan siapapun, jadi, jangan pernah mencobanya." Kemudian Isabella berlalu, melewati tubuh Bryan yang mematung sempurna di tempatnya. Ia telah membuat langkah besar untuk tidak menanggapi seorang Bryan yang sangat terkenal di asrama dan lebih memilih untuk sendirian tanpa satupun teman demi mengungkap kebenaran. Begitu sampai di koridor utama, Isabella bertemu dengan seorang gadis yang wajahnya tampak tak asing. Gadis itu menghentikan langkahnya tepat di depan Isabella sehingga mau tidak mau, Isabella harus menunggu. "Namamu Isabella, ya?" Isabella menganggukkan kepalanya sekali, tanpa sedikitpun menunjukkan ekspresi penasaran di wajahnya yang seputih salju. "Aku Lily," katanya sembari mengulurkan tangan pada Isabella. Gadis berambut pirang itu kemudian tersenyum simpul ketika Isabella akhirnya menerima jabatan tangannya yang agak kaku. "Kita berada di kelas yang sama." "Baiklah," jawab Isabella seadanya. Lagi, gadis itu menunjukkan ketidaktertarikannya dengan jelas. "Aku ... juga teman Alisa." Mendengar nama sahabatnya disebut, Isabella memberikan reaksi yang berbeda. Raut dingin itu tampak mencair dan menghangat sedikit dengan satu anggukan paham dan senyum tipis yang tercetak di wajahnya. "Kami cukup dekat dan ... akulah yang menemukan jasad Alisa hari itu." Isabella agak tersentak, terlihat dari matanya yang tampak melebar untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya ekspresi datar itu kembali muncul di sana, seperti biasa. "Kau?" "Ya. Sejujurnya, aku sedikit mengetahui perundungan yang dilakukan oleh Chloe pada Alisa di detik-detik terakhir hidupnya," kata Lily dengan nada sedih. Kepalanya pun hanya bisa tertunduk malu dan sorot matanya memancarkan penyesalan yang dalam. "Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk Alisa karena orang itu adalah Chloe. Tapi kau berhasil menghadapinya dengan berani, Isabella." Gadis itu mengerjapkan matanya dua kali sebelum akhirnya menganggukan kepala dan berkata, "Kuanggap itu sebagai pujian." "Karena Alisa adalah temanku dan dia juga adalah temanmu. Bagaimana jika mulai sekarang kita berteman saja dan kita bisa sama-sama mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Alisa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD