#1 : Darah Yang Membeku
New York.
Suara pintu yang berderit nyaring dan pelan berhasil menelusup masuk ke telingaku. Ada orang asing di depan kamar kami--aku dan mantan suamiku--atau aku harus menyebutnya dengan kamarku sekarang. Namun aku tidak langsung membuka mata dan memutuskan untuk diam saja.
Barangkali sisa-sisa pukulan dan tamparan dari Ethan yang meninggalkan luka di wajahku, telah membuat kedua kelopak mataku yang sayu, semakin sulit untuk dibuka. Atau, mungkin karena aku benar-benar sudah pasrah dengan apa yang terjadi. Firasatku buruk dan biasanya intuisi yang keluar begitu saja dalam diri ini tidak pernah salah. Sesuatu pasti akan menimpa kami berdua--atau mungkin salah satu dari kami berdua.
Gerakan dari seseorang yang berhasil kuintip dari celah pintu, terkesan sangat berhati-hati. Ia mendorong pintu kayu di hadapannya tanpa suara. Cahaya lampu dari ruangan lain yang menyinari tubuh pria besar itupun berhasil membentuk siluet sempurna di sana. Menggagalkan rencanaku yang sedang berpura-pura untuk tidur ini untuk bisa menebak siapakah sosok misterius yang berusaha menyelinap masuk ke rumahku, ke kamarku.
Sekali lagi, aku enggan beranjak dari posisiku yang berada di samping Ethan, dimana pria berengsek itu kini menutup matanya sambil memunggungiku dengan lelap. Aku tidak berniat untuk pindah sama sekali meski sosok berperawakan tinggi dengan topi baseball yang menutupi bagian wajahnya itu sudah mendekat. Pria misterius itu bahkan kini sudah berdiri di pinggir ranjang, tepat di depan Ethan yang malam itu benar-benar tertidur dengan nyenyak setelah menyetubuhi dan menganiayaku.
Kupaksa mataku untuk tetap tertutup, berpura-pura sedang berada dalam dunia mimpi yang indah dan menyenangkan. Meski sebenarnya, aku melihat pria misterius itu mengangkat pisau dalam genggamannya. Aku sudah pasrah. Lebih baik mati di tangan pembunuh daripada harus hidup dalam nelangsa yang tidak berkesudahan. Kehidupan ini terlihat lebih buruk selama Ethan masih ada, pikirku. Namun, dugaanku tidak benar.
Pria itu dengan cepat menusuk leher Ethan beberapa kali. Membuatnya tewas seketika tanpa perlawanan. Pria biadab itu mengembuskan napas terakhir di hadapanku. Akulah saksi atas kematiannya yang mengerikan.
Meski ranjang ikut bergerak saat Ethan mencoba menahan pisau, aku tetap memilih bungkam. Aku bahkan melakukan semua yang kubisa agar sang pembunuh tidak sadar bahwa aku terbangun. Atau mungkin, pembunuh itu sebenarnya tahu bahwa aku melihatnya dan ia memutuskan untuk membiarkannya saja malam itu.
Setelah mendengar erangan putus asa bersamaan dengan tubuh Ethan yang tak lagi bergerak, sang pembunuh itu tiba-tiba saja berbalik dan meninggalkanku di sana. Ia tidak membunuhku seperti dia membunuh Ethan. Ia bahkan tidak berusaha memastikan bahwa aku benar-benar tertidur atau sebenarnya melihat semua aksinya tersebut. Aku seolah tidak terlihat di sana. Ia mengabaikanku dengan sangat sempurna.
Bayangan tubuhnya yang besar berjalan santai meninggalkan kamar. Dengan tangan berbalut sarung tangan, pria itu melenggang tanpa rasa bersalah sedikitpun. Tidak ada tawa atau air mata. Semuanya benar-benar hening seolah kami hanya tertidur di malam hari dan hari akan berjalan lebih baik esok hari.
Namun dalam kilauan cahaya yang terpancar dari lampu gantung di ruang tamu, mataku yang bengkak menemukan simbol mawar merah besar pada bagian belakang jaketnya. Ada tulisan yang tertulis di bawah simbol tersebut, tapi mataku yang terlalu sakit tak mampu membacanya. Sampai akhirnya punggung pria itu menjauh sebelum kemudian benar-benar menghilang di balik dinginnya malam.
***
"Aku sungguh tidak membunuhnya."
Kiranya itu adalah ucapanku yang kesekian kali setelah polisi datang dan mengintrogasiku. Aku langsung menelpon panggilan darurat 911 setelah satu jam membiarkan mayat Ethan di ranjang, karena kupikir hanya itulah yang dapat kulakukan untuknya. Lagipula, aku tidak ingin darah terus merembas dan bau dari sesosok jasad mengotori ranjangku. Ya, hanya itulah yang terpikirkan olehku malam itu.
Aku sama sekali tidak bersimpati atas kematian Ethan. Aku tidak akan menangis atau menyesali kepergiannya;karena satu-satunya yang mencuat dibenakku saat ujung pisau yang tajam menghunus tepat ke nadi di lehernya dan membuat pria jahat itu mati adalah perasaan senang.
Aku senang karena seseorang telah mewakilkanku untuk melakukan sesuatu yang tidak dapat kulakukan sendiri;membunuhnya.
Setelah sekian tahun seusai sidang perceraian kami, Ethan masih sering datang. Memaksaku berhubungan, kemudian memukuliku sebelum pergi dan membuatku merasa seperti pelacur murahan yang biasa disewa oleh para mafia jalanan.
"Lalu apakah anda tahu siapa yang membunuhnya?" tanya Detektif Jake.
Pria bertubuh gempal dengan pakaian ketat yang berdiri di depanku menampilkan ekspresi yang datar. Ia tampak tidak percaya meski aku sudah menjelaskan apa yang kusaksikan malam itu berulang kali.
Kalimat 'seorang pria masuk dan menusuk Ethan' terdengar seperti delusi yang kuciptakan di telinga Jake, karena aku tidak memiliki bukti atau bahkan saksi mata. Meski tentu saja, aku tidak sedang berada dalam pengaruh alkohol ataupun obat-obatan. Jake dan dua rekannnya yang tampak sibuk memeriksa kondisi mayat Ethan bahkan melihat jelas lebam dan luka-luka di wajahku, tapi mereka sama sekali tidak peduli dengan itu. Mereka bahkan membentuk asumsi sendiri bahwa wajahku yang membiru ini disebabkan oleh perlawanan Ethan saat akan dibunuh, olehku, katanya.
"Aku sudah mengatakannya berulang kali," kataku menegaskan. "Ada seseorang. Dia adalah pria ber-"
"Maaf, Mrs. Arabelle," potong Jake. "Kami akan melakukan investigasi terhadap kematian Mr. Brown. Dan dengan berat hati, kami harus menahan anda untuk sementara sebagai bagian dari proses penyelidikan polisi."
Aku sungguh tidak menduga bahwa bahkan setelah mati, Ethan masih saja merepotkan. Kini, aku dituduh sebagai pembunuh dari mantan suamiku sendiri. Yang dimana seharusnya, akulah yang dilabeli sebagai korban setelah bertahun-tahun diperlakukan seperti hewan peliharaan.
"Aku sungguh melihat pembunuhnya," ucapku berusaha meyakinkan polisi bertubuh besar di depanku. "Dia masuk dari pintu, mendatangi kami dan membunuh Ethan."
Jake mengernyitkan kening, terlihat antara heran dan tidak percaya. "Jika Ethan benar-benar dibunuh saat kalian tidur bersama beberapa jam yang lalu, mengapa anda sama sekali tidak terbangun saat pelaku mencoba membunuh korban?"
Deg!
Aku terdiam. Hanya bisa menatap dalam-dalam kedua mata Detektif Jake yang terlihat sudah memasuki usia 40an akhir sekarang.
"Bukankah saat melakukan aksi, setidaknya Mr. Brown bergerak untuk melakukan perlawanan dan menimbulkan suara ribut yang cukup dekat, ah, bahkan sangat dekat dengan anda, Mrs. Arabelle?" imbuhnya. "Jadi, mengapa anda diam saja saat pembunuh yang asli menusuk korban yang berada di dekat anda?"
Ada jeda di sana. Aku tidak sedang berpikir untuk menciptakan alasan agar polisi tidak menahanku. Namun, aku hanya sedang memastikan perasaanku sendiri tentang semua yang terjadi, bahwasanya ...
"Aku senang karena seseorang telah membunuh Ethan."
***
Halo semuanya.
Mungkin beberapa bulan terakhir aku jadi nggak aktif menulis dan sekalinya nulis eh tiba-tiba menghilang.
Bahasa anak zaman sekarang tuh di ghosting.
Tapi aku mau cerita dan menuangkan sebuah cerita yang diambil dari kisah nyata.
Kalo kalian baca cerita ini,
Jangan lupa di like dan masukin ke perpustakaan kalian ya.
Terima kasih.
With love,
Nurohima.
***
CERITA INI SEDANG DALAM TAHAP REVISI.
SILAKAN LANGSUNG KE BAB 58 YA KARENA DI SANALAH KALIAN AKAN MEMULAI.
TERIMA KASIH.