#19 : Rumah

994 Words
SETELAH mengganti pakaian dengan gaun tidur yang biasa kugunakan sebelum berada di rumah sakit jiwa, akupun berjalan menuju ranjangku. Mom mengganti seprai putih pucat yang menutupi spring bed dengan warna yang berbeda. Merah bermotif bunga adalah pilihan Mom untukku. Wanita yang selama dua puluh lima tahun menjadi ibuku itu memang selalu menunjukkan rasa sukanya terhadap bunga-bungaan. Tidak heran jika Dad memutuskan untuk memangkas halaman belakangnya dari pepohonan besar dan menggantinya dengan kebun bunga warna-warni yang cantik. Mataku berpendar ke sekeliling. Tidak banyak yang berubah di kamar ini selain aromanya yang tak lagi pengap dan warna-warna gelap yang mendadak berubah menjadi lebih berwarna. Melihat perubahan ini, kusadari Mom melakukannya dengan baik. Meski ia harus menahan kesedihan dan kekecewaan karena putri angkat, yang menjadi satu-satunya penerus kehidupan mereka berdua, kini telah menyandang status janda sekaligus mantan narapidana. Jika boleh dikatakan, hidupku memang menyedihkan. Aku berusaha untuk tersenyum meski tak ada siapapun yang melihat. Setidaknya aku harus menghibur diriku sendiri, karena jika bukan aku, tak akan ada orang lain yang melakukannya. Selanjutnya aku teringat pada koper yang kubawa. Dimana isi dari benda besar berwarna kuning yang diletakkan di atas ranjangku oleh Dad belum kubongkar sama sekali. Aku berbalik dan menarik koper tersebut mendekat. Sebelum kemudian menarik resleting dan membuka bagian penutup koper sampai benar-benar terbuka. Kemudian aku mengeluarkan beberapa pakaian yang sengaja dibawakan Mom untukku selama berada di rumah sakit dan sebuah pigura foto dimana ada aku, Mom dan Dad di dalamnya. Setelah sampai pada bagian bawah koper, aku menemukan sebuah lampu berbentuk mawar yang baru saja kuingat bahwa benda kecil nan indah itu adalah hadiah dari Louis. Aku mengambil dan memerhatikannya. Tiba-tiba saja ekspresi wajahnya yang kesal saat memberi hadiah terlintas di kepalaku. Dante benar-benar pria menyebalkan yang akan diingat Louis dengan sangat baik sepertinya. Mengingat hal itu membuatku mendadak tersenyum. Perasaanku sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan sebelumnya. Dan kuputuskan untuk menyimpan lampu berbentuk mawar itu di atas nakas, yang paling dekat denganku. Sebelum kemudian aku membaringkan tubuh di atas ranjang. Mataku menatap langit-langit kamar yang juga sudah dicat ulang. Mom sepertinya sangat khawatir aku akan trauma atau kembali seperti masa lalu jika melihat hal-hal yang akan mengingatkanku kepada Ethan. Ah, si berengsek itu. Dia benar-benar sudah menghancurkan hidupku. Seandainya saja aku dapat memutar kembali waktu dan mengubah segalanya. *** Suara ponsel yang terus berdering akhirnya mengusik indera pendengaranku. Aku bahkan dibuat terbangun dari tidurku yang terasa sangat nyenyak karena suatu panggilan di pagi hari. Sial. Siapakah sosok yang berani mengganggu hari pertamaku tertidur di kamarku sendiri ini? Kukedipkan mataku beberapa kali sampai akhirnya benar-benar terbuka. Aku mengumpulkan tenaga sebelum kemudian meraih ponsel dari atas nakas. Ada nomor asing di sana. Membuat kedua alisku berkerut seketika. Apakah panggilan iseng? "Halo?" Seseorang di seberang sana langsung menimpali sapaanku. "Hi, Ivana. Kau sudah bangun?" Suara yang tak asing. Aku mengenal sang pemilik suara ini dengan baik, bukan? "Aku terbangun karena panggilanmu, Louis." Namun alih-alih merasa menyesal atau setidaknya merasa bersalah, Louis justru tertawa pelan melalui sambungan telpon. Suaranya rendah dan dalam. Ia benar-benar memiliki kharismatik yang luar biasa untuk memikat para wanita. Segala sesuatu di dalam dirinya benar-benar mencuri perhatian. Sayangnya, itu semua tidak cukup bagiku. Louis tak lebih dari sekadar sahabat dan teman bicara untukku dan kuharap dia memposisikan diriku di tempat yang sama. "Kau tidak boleh menjadi malas hanya karena sudah tidak di rumah sakit, Ivana," sarannya. Yang kini justru terdengar seperti godaan. "Bagaimana jika kita berjalan-jalan di taman pagi ini?" "Oh, Louis." Aku mengerang dengan malas. Benar-benar malas. Atau setidaknya suaraku yang terdengar malas ini akan membuatnya mengurungkan niat untuk mengajakku pergi di pagi hari yang sangat cerah ini. "Kau bisa mengajakku pergi di lain hari." "Apa aku baru saja ditolak?" Tanpa sadar aku memutar kedua bola mataku. Well, aku tahu Louis tak akan menyaksikannya sendiri. Namun aku sungguh-sungguh kesal sekarang. Tubuhku bangkit dan kini duduk di tepi ranjang. Rasa-rasanya kepalaku berputar dengan hebat karena mendadak bangun seperti itu. "Jangan bangunkan tubuhmu seperti itu. Darahmu cukup rendah dan kepalamu akan pusing." "Apakah kau cenayang?" tanyaku sarkastik. Lagipula Louis berbicara seolah-olah dia bisa melihatku baru saja bangkit dan kini sedang memegangi pelipisku yang rasanya sangat pening. Akupun berdiri dan berjalan meninggalkan kamar. Hendak mengambil air minum yang ada di dapur. "Jadi, bagaimana? Kau akan keluar hari ini, bukan?" "Kau benar-benar tidak bisa membiarkanku melewatkan jam pagi rupanya." Lagi, Louis tertawa di seberang sana. "Ini sudah menjadi kebiasaan dan rasanya aneh sekali tidak melihatmu di sini bersama pasien-pasien lainnya," katanya dengan bersemangat. "Tapi aku sangat senang karena akhirnya kau bisa kembali ke rumah. Bagaimana jika kita merayakan hari kembalimu?" Dia memang pria yang tidak mudah menyerah. Membuatku tersenyum tipis sembari menganggukkan kepala setelah selesai meneguk dengan cepat satu cangkir air mineral dari dispenser. "Baiklah. Aku akan bersiap-siap." "Kau mau pergi kemana hari ini? Aku akan menemanimu," kata Louis menawarkan. "Taman? Mall? Pantai? Gunung?" "Kau pasti bercanda saat mengucapkan kata gunung," kataku sarkastik. Yang kemudian ditimpali Louis dengan tawa yang renyah dan tulus. "Mari berjalan-jalan saja di taman. Aku sedikit merindukan bunga yang pernah kulihat di sana." "Adakah bunga yang kau sukai?" Dan akupun mengangguk. Lagi, aku melakukan sesuatu yang bahkan tak dapat dilihat oleh Louis. "Ada. Satu. Kuharap bunga itu masih tumbuh di sana." "Baiklah. Kirimkan alamat rumahmu dan aku akan datang." "Ya, tentu." Setelah memutuskan panggilan telpon dengan Louis, akupun segera kembali ke kamar dan bersiap untuk mandi. Aku hanya berpikir bahwa hidupku yang normal mungkin bisa saja kembali. Atau setidaknya, aku bisa merubah hidupku di masa depan menjadi hidup yang lebih baik. Aku akan membuktikan kepada orang-orang bahwa aku bukanlah pembunuh seperti yang mereka katakan dan aku akan mencari kebenaran di balik semua kejadian mengerikan ini. Aku bersumpah akan menemukan pelaku yang membunuh Ethan. Semua ini kulakukan bukan karena aku peduli apalagi merasa kasihan pada pria berengsek ini, melainkan untuk memperbaiki nama baikku di sendiri di mata orang lain. Aku akan menunjukkan betapa jahatnya Ethan kepadaku, sebelum atau bahkan setelah kematiannya itu. Aku akan membuktikan semuanya dan hal-hal besar itu akan kumulai hari ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD