#20 : Jalanan Menuju Sepi

1007 Words
GAUN selutut berwarna lilac dengan atasan tertutup menjadi opsi terakhir yang kupilih untuk menjadi pakaian berjalan-jalan di pagi hari. Aku tidak sempat memilih gaun lain karena sungguh, Louis menelponku tepat setelah aku membuka mata. Oh, atau lebih tepatnya, dia lah yang membuatku membuka mata. Akupun mengunci pintu dan membalikkan badan. Ada sebuah sedan hitam terparkir di luar gerbang. Itu pasti Louis. Benar-benar pria yang tak mudah menyerah. Dan aku takkan membiarkannya menunggu lebih lama lagi. Kakiku melangkah menghampirinya. Senyum tipis yang selalu tersungging di bibirnya yang abu-abu pun tercetak untukku begitu pandangan kami bertemu. Ia langsung melambai. Benar-benar antusias. Omong-omong, ini adalah kali pertama kami berdua bertemu di luar rumah sakit, tanpa embel-embel pemeriksaan, pemberian obat dan olahraga di pagi hari. Jalan-jalan di taman, adalah sesuatu yang baru bagi kami. Atau jangan-jangan, Louis akan mengira bahwa ini adalah kencan? "Kau sangat cantik, seperti biasa," katanya memuji. Dia adalah tipikal pria yang ramah dan sangat perhatian. Membuatku tak bisa menahan senyum untuknya. Lagipula, dia sudah tersenyum lebih dahulu untukku sejak tadi. Tidak ada salahnya untuk balas tersenyum, bukan? "Apa kau sudah lama menunggu?" "Tidak masalah jika itu adalah untuk menunggumu," goda Louis. Yang kemudian membuat kami berdua tertawa bersama. Aku sungguh hanya ingin bersahabat dengannya. Dia adalah pria yang baik, aku tak bisa bahkan hanya untuk membayangkannya saja tak bisa, bahwa nantinya kami akan menjalin hubungan, sesuatu terjadi, ada masalah dan akhirnya aku kehilangan dia. Aku tidak ingin itu terjadi. Meski aku juga menyadari satu hal;pria dan wanita tak akan benar-benar bisa hanya berteman. Louis kemudian membukakan pintu mobil dan mempersilakan wanita yang baru saja keluar dari rumah sakit jiwa ini masuk tanpa rasa takut sedikitpun. Sebelum akhirnya ia juga yang menutup pintu untukku dan kembali duduk di balik kemudinya. Lagi, senyuman itu tak sedikitpun terlepas dari bibirnya. Ia melihatku dan berkata, "Mari kita berangkat!" sebelum kemudian kakinya menginjak pedal gas dan mesin pun menyala. Setelah melewati lima belas menit dengan obrolan-obrolan ringan seperti yang biasa kami lakukan dahulu, mobil pun akhirnya berhenti. Terparkir di antara kendaraan-kendaraan lain yang ada di pelataran taman kota. Dan seperti yang dia lakukan sebelumnya, Louis turun lebih dahulu dan membukakan pintu untukku. Ia memperlakukan ku dengan sangat baik, seperti Mom dan Dad, atau lebih kepada pangeran memperlakukan sang putri di kerajaan terhormat. "Mari berkeliling. Kau ingin memastikan bunga-bunga di taman ini berkembang dengan sangat baik, bukan?" Aku pun mengangguk mengiyakan. Dan kami pun berjalan-jalan mengelilingi jalan setapak yang disediakan oleh fasilitas taman kota dengan sangat hati-hati. Berbagai macam tanaman dan tumbuhan hidup dengan baik di sana. Termasuk beberapa jenis bunga, salah satunya adalah mawar. Tanpa sadar bunga-bunga yang bermekaran itu membuatku tersenyum lega. Mereka masih hidup dengan baik meski aku sudah lama tak melihat mereka. Petugas kebun dari pemerintah sungguh merawat semua ini dengan baik. "Apa kau haus? Aku akan membelikan minuman untukmu terlebih dulu, bisakah kau menunggu?" Dan akupun mengangguk setuju. Lagipula, aku memang masih ingin memandangi bunga-bunga mawar yang sedang bermekaran ini. Namun setelah beberapa menit setelah kepergian Louis, aku mulai merasa bingung. Kenapa pria itu tidak kunjung kembali? Pandanganku menyapu sekeliling. Banyak orang berlalu lalang. Namun tidak ada satupun dari mereka yang terlihat seperti Louis. Apakah pria itu membeli minuman di tempat yang jauh? Seseorang tiba-tiba saja menabrak bahuku, membuatku mundur beberapa langkah sebelum kemudian aku menyadari bahwa aku telah kehilangan orang tersebut. Aku memegangi bahuku yang terasa nyeri sembari menatap sekitar. Orang-orang terlihat semakin banyak. Semakin padat dan ini semua terasa semakin sesak. Apa yang terjadi? "Louis?" Aku mencoba memanggil namanya. Apakah aku sungguh kehilangan dia? Namun aku tak mendengar apapun selain suara orang-orang yang seperti semakin berisik. Membuat telingaku berdenging dengan sangat nyaring dan kepalaku terasa sakit. Aku hampir kehilangan keseimbangan dan jatuh, tetapi di saat itulah, pandanganku yang berbayang justru menemukan sosok seseorang yang membelakangiku dengan jaket yang tak asing. Jaket jeans dengan logo mawar pada bagian belakangnya. "Orang itu?!" Akupun mencoba bangkit, melawan rasa sakit yang sepertinya muncul karena serangan panik secara tiba-tiba. Dadaku terasa sesak dan pandanganku memang mulai kabur. Namun aku tak bisa membiarkan siapapun yang ada di balik jaket itu lolos lagi. Aku harus mengejarnya, setidaknya aku tahu bahwa pelaku itu benar-benar ada. Bahwa aku bukanlah pembunuh yang melakukan hal keji itu kepada Ethan. Tanganku mengarah ke sisi-sisi, mencoba mencari pegangan meski akhirnya hanya berakhir sia-sia. Dadaku hanya semakin sesak saja. Aku hampir kehilangan orang itu, dia berjalan dengan sangat cepat. Apakah dia sadar bahwa aku sedang mengejarnya? "Ivana!" Seseorang menahan tubuhku tepat sebelum aku benar-benar terjatuh. Aku mendongak dan ternyata seseorang itu adalah Dante. Keningku berkerut dalam. Aku sama sekali tak menyangka bahwa detektif itulah yang akan menolongku alih-alih Louis. Ia kemudian menarik kedua tanganku dan mendekap punggungku, sebelum kemudian berkata, "Apa kau baik-baik saja?" "Ba-bagaimana kau bisa ada di sini?" "Aku sedang mencari pencuri yang berlari ke arah sini. Tapi sepertinya dia menghilang," katanya menjelaskan. Lalu tubuhnya yang tegap membantuku untuk duduk di salah satu bangku kayu yang ada di dekat kami. "Kau bisa bernapas sekarang?" "Ya. Terima kasih," ucapku. "Aku datang bersama Louis." Namun Dante justru mengernyitkan keningnya, menatapku dengan ekspresi tak percaya. "Louis? Lalu kemana dia sekarang?" "Dia pergi untuk membelikanku minuman." Ada jeda di sana. Dante tak memberikan reaksi apa-apa sampai kemudian aku sadar bahwa pria yang kini duduk di sisiku ini tak percaya dengan ucapanku. Aku pun berinisiatif untuk memberikan ponselku kepada Dante. "Kau bisa memeriksanya. Dia menelponku pagi ini." Meski terlihat tidak yakin, tapi akhirnya detektif dengan pakaian serba hitamnya itu pun menerima benda pintar milikku dan mulai memeriksa. Reaksinya benar-benar jauh dari dugaanku. Ia kemudian menaikkan satu alisnya dan membalik layar ponsel sehingga aku pun dapat melihat dengan kedua mataku sendiri tentang apa yang sebelumnya dia temukan di dalam ponsel yang baru saja kuberikan kepadanya. "Satu-satunya panggilan yang ada di sini adalah panggilanku, Ivana." Kedua mataku membulat, terkejut dan tak percaya. "Apa katamu?" Dengan cepat aku merebut ponsel itu dan ikut memastikan. "Tapi tadi pagi...," Tiba-tiba saja suaraku tertahan di udara ketika aku menyadari sesuatu. Kutatap wajah Dante dan benar saja, dia menatapku dengan eskpresi itu. "Ivana, apakah kau sudah meminum obatmu hari ini?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD