#18 : Hujan Yang Mereda

1008 Words
AROMA buah-buahan segar dari parfum yang digunakan Dante tampaknya bertahan cukup lama. Untuk seorang detektif polisi yang bekerja di lapangan selama lebih dari, pria ini memiliki selera yang cukup bagus. Pakaiannya tampak sederhana tapi membuatnya terlihat berkelas. Mantelnya siap menghangatkan tubuhnya dari musim yang berubah-ubah. Sepertinya Dante juga cukup perfeksionis soal tampilan fashionnya. Setelah menghabiskan waktu selama beberapa menit untuk menikmati cokelat panas dan pasta tomat yang kuhidangkan untuknya, Dante tiba-tiba saja tersenyum. Ia memang pria yang mudah menebarkan senyumannya. Tak peduli seberapa banyak masalah atau kasus yang kini berada dalam genggamannya. Butuh untuk diselesaikan dalam waktu secepat mungkin. Ia kemudian mendorong piring dan cangkirnya yang sudah kosong menjauh sebelum kemudian menarik selembar tissue dari kotak tissue berwarna putih yang kusiapkan di atas meja untuknya. "Terima kasih untuk hidangannya, Nona Ivana," katanya. Dan aku hanya mengangguk dengan canggung. Hujan di luar sudah mereda. Tak ada lagi kilat atau petir yang mengiringi jatuhnya air-air hujan ke permukaan bumi. Langit juga sudah mulai gelap dan bulan tampak enggan menampilkan sinarnya malam ini. Suasana yang kuanggap paling berbahaya karena kini aku hanya berdua saja dengan seorang pria seperti Dante. Kami baru bertemu beberapa kali dan aku tak tahu seberapa agresif pria ini terhadap wanita. Namun jika boleh berkata jujur, aku cukup menikmati waktuku yang kulalui bersama Dante. Ia memang memikat sejak pertemuan pertama kami. Meski menyebalkan karena awalnya memaksa, tapi kini aku tahu dia cukup perhatian. "Kau akan tidur sekarang?" Kedua mata kecokelatan milik pria itu mendadak berpaling kepadaku. Menatapku lurus-lurus, sebelum kemudian satu alisnya terangkat dengan cepat dan menganggukkan kepalanya. Pada detik selanjutnya, ekspresinya berubah biasa saja. Kembali seperti sebelumnya sembari berkata, "Ya. Tentu." "Jadi, kau akan pergi ke kamar yang kusiapkan untukmu?" Namun tiba-tiba pria bertubuh proposional itu terkekeh. Lalu satu tangannya memijit pelipisnya yang terlihat sama sekali tidak gatal. Sebelum kemudian mendongak, memandangku dengan canggung. Ekspresinya benar-benar di luar dugaanku. Namun tidak berhenti sampai di situ. Karena ternyata, bukan hanya raut wajahnya yang tak mudah ditebak, tetapi setiap kalimat yang keluar dari mulutnya pun berlaku sama. "Sebenarnya ... aku akan tidur di kantor malam ini," ucapnya. Apa katanya? Kantor? Maksudnya, dia tidak akan benar-benar menginap di rumahku? "Akan sangat menyenangkan bermalam bersamamu," katanya yang sontak saja langsung membuat pipiku terasa panas. "Tapi aku akan lebih menikmatinya jika kita berdua tidak sedang dalam penyelidikan kasus." "A--apa maksudmu?" Mendadak lidahku kelu. Dante berhasil membuat seorang wanita yang sudah lama tak merasakan cinta kembali gugup. Kalimatnya membuatku bergetar takut dan bergairah di saat yang bersamaan. Ini pasti mimpi buruk. Lebih buruk dari apapun yang pernah kubayangkan selama ini. Dan sepertinya pria ini menyadari gerakanku yang tampak gugup. Pipiku juga pasti sudah memerah seperti udang rebus saat ini. Dia membuatku terlihat buruk. Benar-benar sial. "Aku akan pulang." Pria itu beranjak dari sofa dan merapikan kemejanya yang tampak kusut karena gerakannya sendiri. "Aku sudah berkeliling sedikit dan melihat rumahmu yang sangat menakjubkan." Aku terdiam sembari ikut berdiri, seperti refleks mengikuti gerakannya yang tiba-tiba dan membuatku tak nyaman. Maksudku, ia akan pergi. Aku akan sendirian dan entah kenapa, itu cukup menggangguku. "Kau memiliki cokelat panas yang enak dan pastanya... aku akan menginginkannya lagi jika ke sini." Lagi, Dante tersenyum. Namun bagaimana pria ini bahkan bisa tersenyum tanpa sedikitpun rasa bersalah di dalam dadanya. Maksudku, ia baru saja menggodaku. Membuat jantungku berdebar beberapa kali. Lalu, yang dia lakukan pada akhirnya hanya meninggalkanku sendirian. Seperti pada awalnya. "Kau akan pergi?" "Ya. Hujan di luar sudah reda dan aku akan kembali ke kantorku. Menyelesaikan beberapa laporan dan mencatat ulang wawancara kita," jelas Dante. "Aku perlu memeriksa latar belakang Ethan sekali lagi. Juga orang-orang yang mendadak melakukan pengunduran diri di tempat kerja mereka setelah Ethan meninggal." Ya. Itu masuk akal. Lagipula, apa yang bisa kuharapkan dari pria ini. Dia hanya menjalankan tugasnya dengan baik. Ia tak mungkin melibatkan perasaan dalam penyelidikan ini. Lagipula aku sudah menikah. Dia tak akan suka wanita yang tak lagi gadis sepertiku. "Baiklah." Pria itu berjalan menuju sudut ruang tamu dan mengambil mantelnya yang mulai kering karena tertiup angin dari air conditioner. Selanjutnya memakainya dengan sangat cekatan. Membuat tampilan kemejanya menjadi rapih dan terlihat hangat di saat yang bersamaan. Ia lalu kembali tersenyum ke arahku setelah selesai dengan pakaiannya. "Aku akan menghubungimu jika membutuhkan sesuatu." Akupun menggumam. Mencoba mencari-cari topik pembicaraan untuk menahannya sedikit lebih lama di sini. Setidaknya aku sudah berusaha. "Omong-omong, bagaimana kau bisa tahu nomorku?" "Well, semua latar belakang dan informasi tentangmu ada di dalam penyelidikan sebelumnya," ucap Dante seadanya. Sangat logis dan sesuai dengan fakta yang ada. Memangnya mau darimana lagi. Kami bahkan baru bertemu selama beberapa kali saja. Ia tak mungkin berusaha sekeras itu hanya untuk bisa menjadi lebih dekat denganku. "Oh, begitu." Apakah nada suaraku terdengar kecewa dan menyedihkan di telinganya? Dante membereskan map yang ia bawa dan menyimpannya di dalam saku mantel. Sepertinya pria itu memiliki mantel yang serba guna. Aku sempat melihat pistol di dalam sana, meski tak benar-benar yakin pistol jenis apa yang akan selalu dibawa oleh Dante kemanapun dia pergi. "Kau akan tinggal di sini sendirian setelah rumah ini menjadi lokasi pembunuhan?" Dan tak ada jawaban lain yang dapat kuberikan selain anggukan kepala mengiyakan pertanyaannya. "Orang-orang menyarankanku untuk tinggal bersama Mom dan Dad, tapi aku merasa tidak nyaman." Aku mengangkat kedua bahuku dengan cepat dan berusaha memamerkan senyumku yang terkesan dipaksakan. "Aku lebih senang menyendiri akhir-akhir ini." "Apa kau baik-baik saja? Apa kau mau kutemani?" Deg! Tentu aku mau. Namun aku tak bisa mengatakannya secara gamblang. Ia hanya membuatku tersipu untuk kesekian kalinya hanya dengan hal-hal sesepele itu. Benar-benar ajaib. Aku lantas menggeleng dan berusaha terlihat tulus. "Kedatanganmu yang mendadak ini sudah cukup mengejutkanku." "Bukankah wanita sangat suka kejutan? Kau tidak termasuk ke dalam salah satunya, Ivana?" Mata kami bertemu. Semua yang kulihat saat ini benar-benar mengesankan. Matanya, hidungnya, wajahnya, suaranya. Dante terlihat sangat sempurna di mataku. Namun sekali lagi, otak sok pintarku bekerja dengan sangat baik. Ia menjelaskan hal-hal detil, alasan yang logis tentang mengapa aku tak dapat memiliki Dante di dalam hidupku. Ini bukan soal Dante, ini adalah masalahku. Bahkan jika itu adalah orang lain. Aku yakin aku tak pantas untuk siapapun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD