#10 : Bicara Soal Cinta

1007 Words
SESUAI kesepakatan yang telah dibuat, aku dan Dante sama-sama setuju untuk tetap menutup mulut soal seseorang, yang bisa saja pelaku sebenarnya, berada di rumah sakit jiwa ini dari siapapun. Bukannya aku lebih percaya kepada Dante dibandingkan Louis. Pria dengan rambutnya yang selalu rapi dan wangi itu memang selalu membantuku, mengingatkanku pada jadwal-jadwal yang tersusun untuk minum obat dan menenangkan perasaanku di waktu-waktu yang buruk. Namun tetap saja, Louis adalah bagian dari rumah sakit ini. Ia bisa saja mengetahui sesuatu, atau lebih buruk dari itu. Kami berdua lantas sepakat untuk tidak mengambil risiko. Namun berada dalam pengawalan seorang detektif amatir bukanlah pengalaman yang menyenangkan bagiku. Entah hanya perasaanku saja atau bukan, tetapi pria muda yang jelas memiliki tubuh tinggi dan proposional ini terus mencuri pandang ke arahku. Mungkin ini adalah bagian dari penyelidikan, lagipula Louis sudah lebih dahulu melakukannya, tapi sungguh, kali ini rasanya berbeda. Aku merasa seperti ada sesuatu di dalam aliran darahku yang bergerak cepat, membuat pompa jantung beraktivitas lebih tinggi. Dadaku seperti akan meledak dan pipiku terasa-- "Pipimu memerah," ucap pria itu tiba-tiba. Tangan kanannya yang terlihat kokoh bahkan meski hanya karena memegang sebuah es krim dalam waffle cone membuatku tertarik. Aku menoleh, menatap wajahnya yang tenang. Pria dengan mata cokelatnya yang terang sama sekali tidak terdistraksi meski aku menatapnya dengan ekspresi aneh sekarang. Ia tetap melanjutkan acara makan penutup mulut dengan santai dan bersikap seolah-olah aku tidak sedang memandangnya dengan raut heran. "Jangan melihatku terus. Tidak akan baik untuk kesehatan jantungmu," sambung Dante. Kali ini keningku mengerut. Setidaknya hanya itulah reaksi yang dapat kuciptakan untuk menutupi kebenaran di balik kata-katanya tadi. Ia sungguh membuat sesuatu di dalam jantungku akan meledak dan aku tidak yakin apakah itu. Kemudian, kubiarkan pandanganku berkeliling. Melihat-lihat area taman yang kini disinari matahari. Tidak sedingin sebelumnya, tapi juga tidak terlalu terik. Pantas banyak sekali pasien dan perawat yang menghabiskan jam kosong setelah sarapan di sini. Menyenangkan. Selain itu, kami berdua duduk di sebuah bangku kayu panjang. Tempat yang berbeda, tapi ini terasa jauh lebih baik. "Jantungku baik-baik saja," kataku. Dan beberapa detik setelahnya, detektif ini melempar sisa waffle cone es krimnya ke dalam tempat sampah, yang berada tepat di bawah kakinya. Dengan cepat. Satu lemparan seperti head shot. Sebelum kemudian tangan yang lain mengeluarkan sapu tangan dari saku jaketnya yang berwarna hitam dan kita tentu tahu adegan selanjutnya. "Jika kau sudah selesai melihat wajahku, yang kutahu, tentu sangat tampan ini." Aku mengernyitkan kening dengan cepat saat Dante akhirnya memalingkan wajahnya ke arahku. "Bisakah kita pergi menuju ke kamarmu, Ivana?" "Ka-kamar?" Namun reaksi Dante benar-benar di luar ekspektasi ku. Ia beranjak dari kursi itu dan membenarkan jaketnya. Pria yang sangat perfeksionis. Sebelum kemudian menoleh ke arahku yang kini sedikit berada di belakangnya. "Aku harus melihat lokasi dimana kau melihat pria itu tadi malam untuk memastikan beberapa hal," jelasnya. Yang tentu saja seharusnya membuatku senang. Sayangnya tidak. Aku berharap sesuatu yang lain. Pikiranku bergerak dengan liar setiap kali aku bersamanya. Ini gila, sensasi mengerikan macam apa ini? Persetan dengan anti depresan, aku merasa lebih buruk sekarang. Dan untuk menutupi pikiranku yang aneh, yang bisa saja ditebak oleh Dante, buru-buru berdiri. Menyamakan posisiku dengannya yang berada dua langkah di depan. Tubuhnya benar-benar tinggi, kurasa ujung kepalaku hanya berada di dadanya. "Tentu saja. Ya, kau harus memastikan banyak hal," kataku gugup. "Aku akan berjalan di depan." Baru saja kami melangkah beberapa waktu, tiba-tiba saja Dante mendahuluiku dan memblokade jalan. Langkahku pun terhenti di sana, di tengah-tengah rerumputan yang kini tak lagi basah karena tersengat oleh matahari. Wajah kami bertemu, tetapi sekali lagi, detektif itu memiliki ekspresi tenang yang cukup menyenangkan untuk dipandang. Ia menatapku dalam diam, mungkin sekitar lima belas detik, sebelum kemudian kedua tangannya yang sejak tadi di sisi bergerak dan melakukan sesuatu. Dante melepaskan syal abu-abu yang sejak awal menghias di lehernya yang jenjang dan mengalungkannya padaku, di leherku. Membuatku sedikit bingung pada awalnya, tapi kemudian detektif muda itu menjelaskan, "Aku melihatmu menggigil. Kau kedinginan. Tidak baik untuk kesehatanmu." Kemudian tubuhnya berbalik, kembali melanjutkan langkah tanpa menunggu ucapan terima kasih dari mulutku. Sikapnya cukup baik, tapi aku tidak ingin seseorang mendekat padaku. Aku membutuhkannya, hanya sampai kasus ini selesai dan aku dinyatakan bebas. Setelahnya, kami berdua hanyalah sebatas manusia yang mungkin akan saling melupakan. Akan sangat berisiko jika aku melibatkan perasaan atau gairah di dalam perjalanan ini. "Ini kamarku," pungkas ku begitu kami sampai. Aku mendorong pintu ruanganku setelah berhasil membuka kuncinya. Dan pemandangan kamar yang tertata rapi menyambut indera penglihatan pria yang kini ikut masuk dan berdiri di sampingku ini. Dante terlihat memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan mengangguk-nganggukkan kepala. Seperti seorang investor yang sedang melihat-lihat rumah properti untuk dibeli. Netra cokelat itu berpendar, mengamati sekeliling. Sebelum kemudian suaranya kembali terdengar dan memenuhi ruangan. "Apa kau melihatnya di sana, dari jendela itu?" Dan aku pun menganggukkan kepala mengiyakan. Membuat pria itu segera berjalan meninggalkanku, menuju lokasi jendela yang berada lurus di hadapannya. Salah satu tangannya menyibak tirai yang menghalangi dan matanya mulai melihat ke bawah. Pandangannya tertuju kepada orang-orang yang masih berkumpul di taman dan pria itu tampak sangat serius kali ini. Pada detik selanjutnya, mata Dante menyipit dan bergerak dari kanan ke kiri, beberapa kali. "Jadi, dia keluar dari sana." Dante menunjuk-nunjuk kaca jendela itu, membuatku mendekatinya dan mengangguk setuju. "Kemudian pergi ke arah luar melalui jalur itu. Bukankah itu adalah satu-satunya pintu utama di rumah sakit ini?" Sekali lagi, aku mengangguk mengiyakan. Ia sepertinya telah melihat dan mengetahui banyak hal, tanpa perlu menanyakannya terlebih dahulu. Wajahnya tampak serius dan itu membuat ketampanannya naik seratus-- astaga, aku bicara omong kosong lagi. Segera ku tepis imajinasi mengerikan yang muncul di depan mataku tentang pria ini. Berada terlalu dekat dengannya hanya akan membuat penyakit ini semakin parah. Sehingga ku putuskan untuk mundur, lantas berjalan ke sisi ranjang dan berdiri di depannya. "Aku menangis ketakutan di sini, semalaman," kataku memperjelas situasinya. "Kau tidak memanggil bantuan?" Aku menggelengkan kepalaku di sana. Benar-benar tidak terpikirkan. "Kau bisa mencari Louis atau Lili, bukan?" "Sepertinya, seharusnya begitu. Tapi aku terlalu takut menghadapinya sendirian. Aku hanya bisa menangis dan mulai merasa sesak, bisakah kau memahaminya, Detektif?" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD