LOUIS menatapku dengan ekspresi heran. Berkali-kali netra cokelatnya yang terang mengintip ke belakang, mencuri pandang ke arah pria berpakaian serba hitam yang duduk tepat di belakang, duduk tenang dengan meja yang dipenuhi menu sarapan. Aku tahu arti pandangan yang dilemparkan oleh perawat muda di hadapanku menunjukkan ketidaknyamanan, meski kuakui Louis benar-benar terlihat tenang.
"Jadi, Detektif Dante sungguh akan tinggal sampai kau pergi?" Louis memastikan. "Sekitar dua puluh empat jam dari sekarang. Seperti, sungguh?"
Dan tidak ada satupun yang dapat kulakukan selain mengangguk mengiyakan. Meski aku tidak benar-benar menyukai sifat detektif muda itu, yang tentu saja baru kutemui beberapa kali, semua perkataannya terkait kelangsungan hidupku ada benarnya. Aku mungkin dalam bahaya.
Mengingat bagaimana hidupku yang tenang tiba-tiba terguncang dengan adanya persidangan ulang, membuat seluruh tubuhku meremang. Aku seperti ditarik kembali ke dalam jalan kesulitan hanya karena keegoisan orang-orang yang tidak memiliki perasaan. Sungguh, aku akan mengutuk mu dan keluargamu, Ethan Brown. Setidaknya sampai aku dinyatakan menang dalam persidangan dan hidupku yang normal benar-benar dapat ku genggam.
"Omong-omong, kau perlu tetap datang ke sini untuk menjalani terapi. Kau ingat, bukan?"
Louis memasukkan potongan daging dari steak nya ke dalam mulut setelah selesai mengucapkan kalimat itu. Ia mengunyahnya dengan santai, karena ini merupakan waktu istirahat untuknya. Seharusnya pria muda itu melakukan kegiatan menyenangkan di hari liburnya. Namun sang perawat yang digadang-gadang menjadi yang termuda di rumah sakit jiwa ini memilih untuk menemani pasiennya berbicara, menikmati sarapan bersama. Ia sungguh memperlakukanku dengan baik, aku menghargainya. Tetapi pandanganku terhadapnya, terhadap hubungan yang terjalin di antara kami berdua, memang tidak lebih dari sebatas pasien dan perawatnya saja. Sekalipun Louis berharap, aku mungkin akan langsung mengatakan dengan jelas bahwa kami memang sebaiknya berteman saja. Menjadi temannya sudah lebih cukup bagiku yang notabenenya pernah dicap sebagai manusia gila. Aku sudah sangat bersyukur bisa memiliki seseorang sebaik Louis. Ditambah, Louis memang perhatian.
"Aku akan melakukannya dengan baik," kataku.
Memilih steak menjadi menu sarapan tampaknya tidak akan cocok denganku. Kubiarkan piringku yang berwarna putih ini diisi oleh waffles berlumur madu dan beberapa potong buah segar. Aku suka stroberi, tapi porsi melon lebih banyak pagi ini. Kurasa asam lambungku akan naik jika aku memaksakan diri. Bertemu dengan Dante, sungguh membuat reaksi di tubuh ini menjadi tak terkendali. Aku belum yakin dengan sebab maupun alasannya, tapi aku akan mencari tahu.
"Pastikan kau meminum obatmu tepat waktu dan tidurlah dengan baik," sambung Louis.
Ia bahkan tidak bisa berhenti mengkhawatirkan ku meski hari ini adalah hari perpisahan kami, di rumah sakit jiwa ini. Besok aku akan pergi, meninggalkan tempat yang sudah ku singgahi selama beberapa bulan terakhir setelah sidang kasus pembunuhan Ethan. Aku sebenarnya merasa cukup nyaman untuk tinggal, tapi tentu saja rumah adalah tujuan akhir setiap manusia. Aku hanya ingin pulang dan merasakan kenyamanan. Aku rindu aroma roti yang baru saja selesai kupanggang di pagi hari. Dengan telur acak yang memiliki aroma khas saat aku membuka pintu microwave. Banyak sekali daftar episode serial tv yang kulewatkan, padahal aku sangat ingin menontonnya tepat waktu, setiap minggu.
Meski aku tidak lagi memiliki teman, atau hidup sendirian, setidaknya aku bisa merasa nyaman. Pada akhirnya, pernikahan bukanlah puncak kebahagiaan yang kuinginkan. Aku bercerai, berakhir di meja hijau peradilan, menerima pelecehan, diperlakukan layaknya hewan kemudian dituduh sebagai pembunuh yang tak berperasaan. Meski sebenarnya, Ethan lah yang sudah melakukannya terlebih dahulu kepadaku. Dia telah membunuh diriku, jati diriku, perasaanku yang penuh harap. Dia telah membunuh sebagian besar pribadi asliku dengan hubungan yang beracun. Ethan memang pria yang mematikan.
"Aku juga akan melakukannya," ucapku sembari menunjuk wajah Louis dengan ujung sendok. "Kau tidak perlu terlalu cemas. Aku akan baik-baik saja."
Baru saja pria dengan kaus oblong berwarna abu-abunya itu hendak berbicara, suara lain yang juga tidak asing di telingaku terdengar dan memecahkan atensi kami berdua di sana. "Obrolan kalian berdua terdengar seru. Keberatan jika aku bergabung?"
Wajahku mendongak, tepat ke arah pria bertubuh tinggi yang entah sejak kapan, sudah berdiri di sisi mejaku, mejaku dan Louis. Aku menatapnya dengan ekspresi dingin, benar-benar tak berminat berada di dekatnya. "Kau bisa tetap duduk di belakang sana," kataku, menolaknya mentah-mentah. "Kami tidak membutuhkan tambahan teman bicara di sini."
Namun tanpa permisi, Dante justru duduk di sebelahku. Tepat pada kursi kosong di sisi kiri ku. Ia mencetak senyum lebar di bibirnya yang keabu-abuan sembari meletakkan piringnya di atas meja. Suara denting dari alat makan yang bergerak di piringnya membuatku sedikit terkesiap. Aku menatapnya tak percaya. "Tapi aku kesepian di sana, sendirian." Wajahnya menoleh, menatapku tanpa rasa bersalah. Justru terkesan mengejek. "Aku akan duduk di sini saja. Setidaknya aku bisa merasa aman jika bergabung dengan perawat dan pasien yang akan segera pulang."
Kutemukan ekspresi Louis berubah kaget, ia tampak tidak suka. Namun sekali lagi, pria itu memang pandai menyembunyikan raut wajah dari perasaannya yang sesungguhnya. Ia menatap Dante, lalu kepadaku bergantian, sebelum kemudian melanjutkan aksinya untuk makan. Tangannya yang sedikit berotot terlihat mahir saat memotong bagian daging di atas piring. Ia benar-benar melakukannya dengan teliti dan penuh kehati-hatian. Sedikit perfeksionis, mungkin. "Kudengar kau baru saja pindah, Detektif."
Mataku lantas berpaling pada Louis yang kini tengah santai mengunyah makanan di dalam mulutnya. Ia membuka obrolan dengan cukup baik dan hangat. Membuat emosiku yang baru saja hampir meledak, tertunda seketika.
"Well, ya." Dante mengangguk setelah menusuk potongan daging di atas piringnya dengan ujung garpu. "Aku tinggal di apartemen, cukup dekat dengan pusat kota. Kurasa hanya beberapa meter saja dari kediaman Nona Arabelle."
Mataku membulat seketika. Ia bahkan tau tempat tinggalku. Apakah dia berusaha memeriksa latar belakangku?
Dan pertanyaan-pertanyaan di dalam kepalaku langsung terjawab ketika pria muda dengan rambut klimisnya itu menoleh cepat ke arahku. "Jangan menatapku begitu. Mencari tahu identitas dan latar belakangmu, sudah menjadi tugasku. Hal ini masuk ke dalam bagian penyelidikan," katanya panjang lebar. "Aku juga tahu makanan kesukaanmu, serial televisi favoritmu dan beberapa hal lainnya. Ah, aku juga tahu kebiasaan-kebiasaan mu. Maaf soal sesak napasnya, tapi kau sebaiknya banyak berolahraga mulai sekarang."
Detektif itu lantas memalingkan wajahnya dariku setelah berbicara dalam kecepatan tinggi, tanpa jeda sama sekali. Ia kemudian kembali memotong daging steak yang masih kemerahan itu dengan terburu-buru. "Ah, aku benci makan daging. Aku selalu kesulitan di bagian 'memotong'." Tiba-tiba saja Dante mengangkat wajahnya, menatap Louis yang duduk tepat di hadapannya. "Namun sepertinya kau sangat ahli dalam menggunakan pisau, Mr. Kings."