#11 : Lampu Tidur

1078 Words
DANTE berdiri di balik jendela dalam waktu yang cukup lama. Manik cokelatnya yang terang menyorot lurus ke arah taman, sesekali terlihat bergerak ke kanan dan ke kiri. Tampak mengulang adegan yang mungkin dilakukan oleh sang pelaku tadi malam. Bagaimana tubuh tegapnya berjalan menembus malam dengan sebuah jaket yang sama, dengan yang digunakannya ketika membunuh Ethan. Cukup aneh memang mengetahui bahwa seseorang yang telah menghabisi nyawa orang lain, masih sangat berani menggunakan pakaian yang sudah pasti dapat menjadi barang bukti untuk mengadilinya. Pelaku yang sangat kuyakini adalah seorang pria muda, justru tampil percaya diri dan tidak ketakutan sama sekali. Umumnya, pelaku pembunuhan mungkin akan segera berlari meninggalkan TKP, membuang semua barang bukti yang bisa menjadikannya pihak bersalah lalu membersihkan diri, menghapus jejak sekecil apapun agar dirinya tidak tertangkap basah. Namun orang ini berbeda, sebuah pengecualian yang cukup unik. Ia justru terlihat seperti ingin memamerkan dirinya setelah semua yang terjadi. "Bisa kau jelaskan lagi soal mawar merah di jaketnya?" Suara Dante yang tiba-tiba menggema di ruangan berhasil membuatku terkesiap untuk sesaat. Aku menggumam pelan dan menatap langit-langit kamarku yang berwarna putih. Polos dan menggambarkan kehampaan. "Itu cukup besar sehingga aku bisa melihatnya. Mawar merah di tengah-tengah punggung, kurasa itu hanya satu. Kelopaknya memiliki bagian yang lebih lebar dan ada sebuah lingkaran kecil di atas intinya," kataku menjelaskan. Pria itu lantas menoleh dan berjalan mendekatiku, cukup dekat hingga aku dapat mencium aroma buah-buahan dari krim rambutnya yang masih tertata rapi sampai detik ini. Ia melihatku, kemudian menyimpulkan, "Bisa saja bukan hanya pelaku yang memiliki jaket itu." "M-maksudmu? Aku tidak menduga model jaket itu cukup pasaran," ucapku. Membuatnya sedikit mengatup bibir dan menimbang-nimbang perkataan ku. Sebelum sebuah suara ketukan di luar mengejutkan kami berdua. Aku refleks memundurkan tubuh, menjauhkan posisi yang cukup dekat antara aku dan detektif amatiran ini agar tidak menimbulkan salah paham di sana. Dan kutemukan sosok Louis di ambang pintu yang terbuka. Wajahnya ceria seperti biasa. Ia bahkan mencetak senyum sopan di hadapan kami setelah mata kami saling bertemu. "Maaf mengganggu pembicaraan kalian. Bisakah kita bicara, Ivana?" Keheningan yang canggung terjadi selama beberapa detik sebelum akhirnya aku menganggukkan kepala. "Ya." "Tapi lakukanlah di sini," sela Dante tanpa aba-aba. "Bukan apa-apa, Ivana sedang menjalani penyelidikan dan aku harus tahu semuanya." Membuat Louis tercenung untuk beberapa waktu dan aku menatapnya dengan ekspresi bingung. Kami berdua menatap pria berpakaian hitam itu heran, tapi entah mengapa mulut kami sama-sama tidak melontarkan komentar apapun. Dante ada benarnya, aku berada di dalam sebuah proses penyelidikan ulang. Jika aku berhasil membuktikan diriku tidak bersalah, kebebasan mungkin dapat ku genggam dengan mudah. Lagipula, dengan kehadiran Dante di sini, aku bisa merasa sedikit aman. Setidaknya sampai waktunya aku pergi, meninggalkan tempat ini. Raut wajah Louis seolah berkata 'Baiklah, aku mengerti' karena yang dilakukan pria berambut pendek itu hanyalah mengulas senyum lembut. Ia kemudian menyodorkan sebuah kotak berwarna cokelat dengan pita merah di bagian luarnya. "Aku hanya ingin memberimu sesuatu, mereka sebut ini kenang-kenangan, tapi kupikir akan lebih menyenangkan jika bisa mengatakan bahwa ini hadiah." Entah hanya perasaanku saja atau bukan, tapi Louis terlihat gugup kali ini. Ia bahkan memegangi kotak yang tidak seberapa besar itu dengan kedua tangannya yang sedikit gemetar. Kulihat Dante hanya diam dan memandangi kami berdua bergantian, dari sudut mataku. Ia tidak berkomentar apa-apa. Jadi, aku segera menerima hadiah dari perawat yang selama ini sudah membantuku dan tersenyum kecil untuknya. Louis bahkan tidak mau menurunkan senyum dari bibirnya yang abu-abu dan itu membuatku sedikit sungkan. "Terima kasih." "Aku hanya bisa memberikanmu itu," lanjut Louis yang tampak menyembunyikan kedua tangannya di belakang. "Kuharap kau suka." Dengan sangat berhati-hati, ku putuskan untuk membuka hadiah dari Louis saat ini juga. Kutarik pita yang mengikat kotak dengan sekali gerakan, membuat benda yang terbuat dari kardus ini tak lagi tertutup. Aku langsung melanjutkan aksiku, membuka penutup kotak dan menemukan sebuah lampu kecil berbentuk bunga di dalamnya. "Lampu tidur," kata Louis. "Akan sangat membantumu saat malam." Aku mengusap permukaan lampu yang berwarna putih itu. Bentuk yang indah. Ada tombol kecil di bagian belakangnya, yang sudah dapat dipastikan bahwa fungsinya adalah untuk menyalakan dan mematikan lampu tidur tersebut. Aku lantas mendongak, kembali tersenyum kepada sang pemberi hadiah. Rasanya sudah lama sekali aku tidak menerima hal-hal manis seperti ini. Aku cukup senang, tapi kuharap reaksiku tidak membuat Louis berharap lebih banyak. Setidaknya, aku harus memastikan bahwa diriku sudah sembuh dan lebih baik agar bisa melanjutkan hubungan kami. "Ini manis, terima kasih, Louis." Dan kubiarkan tubuhku bergerak, berjalan mendekat ke arahnya. Lalu ku rentangkan satu tanganku, sementara tangan satunya masih memegang kotak berisi hadiah, lalu kupeluk Louis dengan setengah badanku. Bentuk terima kasihku atas kebaikan-kebaikan yang diberikan pria ini kepadaku. Hanya beberapa detik saja sampai kudengar Dante berdeham di tempatnya. Itu suara yang sangat mengganggu omong-omong. Lalu, mataku berpaling pada Dante. Dan ia pun mengangkat kedua bahunya. "Apakah aku harus pergi sekarang karena ini adalah sebuah kamar?" Kalimat satir, sangat sarkastik. Aku tidak tahu mengapa detektif itu bersikap cukup sinis kepada Louis. Namun anehnya, aku menyukai sifatnya yang berani dan terang-terangan. Ia bahkan mencurigai pria yang masih berdiri di depanku hanya karena potongan steak yang rapi. Cukup aneh dan tidak mendasar, tapi itulah yang membuatnya menarik. "Aku akan pergi," ujar Louis mengakhiri suasana yang sangat aneh ini. "Kau ingat bahwa kau tidak sepenuhnya pergi dari sini, bukan?" Dan aku pun menganggukkan kepala, memberi tanda bahwa aku sudah sangat paham dengan peraturan yang ada. Aku memang akan keluar dari tempat ini esok hari, tapi karena bipolar diyakini berjangka panjang, bahkan sebagian besar berlaku seumur hidup, aku harus terus menjalani terapi rutin di tempat ini. Lili adalah psikiater yang menangani ku. Ia memiliki catatan-catatan penting tentang perkembangan kesehatanku. Dan tentu saja, statistiknya memberikanku sebuah kemudahan. Lili juga memberiku beberapa obat penenang yang hanya boleh digunakan di waktu-waktu darurat saja. Nomor pribadi Louis dan Lili sudah ada di ponselku. Mereka adalah orang pertama yang akan ku hubungi jika jiwaku kembali tidak stabil. Omong-omong, aku sangat suka dengan hadiah dari Louis. "Aku tidak akan melewatkan sesi terapi, Mr. Kings." Namun aku tidak tahu, bahwa ada maksud lain di balik pemberiannya yang cukup menyentuh hatiku saat itu. *** Halo semuanya, Baru di bab ini aku bisa menyapa kalian. Gimana nih menurut kalian jalan ceritanya? Seru? Ngebosenin? Bikin pusing tujuh keliling? Menurut kalian seberapa besar sih kita harus peduli sama #mentalhealth? Jangan lupa untuk vote dan komentar ya untuk membantu penulis lebih semangat lagi melanjutkan cerita ini. Aku juga senang berbagi hal-hal menarik di instagramku. Kalian bisa ikuti di : @imawrite Terima kasih ya sudah membaca ceritaku. Semoga kalian suka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD