KEPALAKU mendadak seperti akan meledak. Menghabiskan enam puluh menit untuk bergulat dengan pikiran-pikiran yang saling bersahutan membuatku ingin muntah sekarang.
Ide gilaku untuk menemui pria aneh mungkin menjadi salah satu penyesalan terbesar dalam hidupku. Bagaimana bisa aku mendatangi Louis pagi-pagi sekali hanya untuk meminta bantuannya. Menyambungkan panggilanku kepada pria yang mengaku-ngaku sebagai detektif utusan kepolisian kota. Membuat janji temu yang terkesan terburu-buru.
Aku sedikit emosional pagi ini. Menemukan seseorang dengan jaket yang sama seperti pembunuh Ethan membuatku sangat bersemangat. Bahkan meski aku sangat berkeringat tadi malam. Mataku tidak mampu terpejam karena terlalu senang. Dadaku bergejolak cukup kencang, sangat antusias dengan harapan-harapan yang datang.
Kebebasan, aku menginginkan itu. Dan tentu saja, aku akan memperjuangkannya sekarang.
Aku seharusnya menjadikan hal itu sebagai landasan dasar mengapa keberanian yang sudah lama menghilang tiba-tiba muncul. Namun, aku gugup sekali. Kakiku bahkan tidak bisa berhenti melangkah, ke sana kemari dengan cepat seperti setrika rusak. Kali ini aku tidak bertelanjang kaki, lembapnya rumput yang basah tidak langsung menyentuh permukaan kulitku yang pucat. Aku bahkan mengikat rambutku, membentuknya seperti saat aku remaja dulu. Kuncir kuda, kira-kira orang lain menyebutnya.
Aku benar-benar bergairah, terutama ketika sosok pria yang sangat tidak ingin kutemui terlihat memasuki pekarangan taman rumah sakit. Louis sedikit menceritakan detektif itu kepadaku. Pria ini memiliki dua suku kata nama yang kutahu memiliki makna yang berarti. Mirip seperti milikku, tapi kurasa namaku terdengar lebih baik dan memiliki arti yang lebih indah.
Dante sea. Dimana yang kutahu bahwa Dante adalah sosok seniman yang melalui kisah cinta yang ironis dengan perempuan bernama Beatrice. Ia adalah manusia pertama yang merasakan cinta pada pandangan dan pertemuan pertamanya dengan Beatrice. Sayang, kisah cinta mereka tidak berujung pada jalur kebahagiaan yang didamba-dambakan semua orang. Sedangkan sea, yang dalam bahasa inggris, berarti laut. Ayolah, laut dapat memiliki makna ambigu. Dia mungkin digambarkan bersifat tenang, tapi kita semua tahu bahwa laut selalu memiliki titik terdalam dimana pada akhirnya manusia maupun kapal-kapal besar akan ditenggelamkan.
"Kau menunggu lama?"
Basa-basi yang cukup sopan. Ia menggunakan pakaian serba hitam yang memberi kesan formal. Dengan syal abu-abu yang melingkar di lehernya yang jenjang, aku jadi teringat dengan tokoh detektif Sherlock holmes yang sangat fenomenal. Namun aku tidak yakin bahwa pengetahuannya akan sama dengan tokoh Sherlock di novel ataupun di film.
"Sepuluh menit, kurasa," kataku berterus terang.
Namun sepertinya sepuluh menit bukanlah waktu yang lama bagi Dante. Karena raut di wajahnya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dirinya merasa bersalah karena telah membuatku menunggu, di taman yang cukup dingin, sendirian. Ia justru duduk di sebelahku, dengan sedikit jarak di antara kami dan melepaskan sarung tangan berbahan kulit yang sejak awal membalut jari jemarinya.
"Hal besar apa yang membuatmu berubah pikiran, Nona Arabelle?"
"Ivana," ucapku, membuatnya menoleh terkejut. "Kau bisa memanggilku Ivana saja."
Dan Dante mengatup kedua bibir, mengangguk paham setelahnya. "Baiklah. Jadi, apa yang membuatmu berubah pikiran dengan sangat cepat?"
Aku menangkap pandangan Dante yang dalam. Ia tampak menatapku serius, tetapi ekspresi di wajahnya sangat tenang. Aku bahkan tidak dapat menebak isi kepalanya jika dia terus menerus menampilkan wajah itu. "Aku melihat pembunuhnya."
Kali ini Dante, atau haruskah aku memanggilnya Detektif Dante, sedikit terlihat kaget. Ia menaikkan satu alisnya, tampak tak percaya sekaligus penasaran di waktu yang bersamaan. "Bagaimana kau bisa-"
Pria dengan rambutnya yang diberi krim agar terlihat klimis itupun menutup mulutnya, memotong kalimatnya sendiri yang bahkan belum selesai diucapkan tanpa interupsi dari siapapun. Atau mungkin, atensinya telah terdistraksi oleh ekspresi ku yang datar. Dante menangkap maksud tatapan dan gerak tubuhku. Karena pada jeda selanjutnya, ia melanjutkan,
"Bagaimana dia bisa berada di sini?"
Dan aku pun menggelengkan kepala, merasa benar-benar tak yakin. Karena itulah yang kurasakan sekarang. Aku mengalihkan pandangan ke depan, menghindari tatapannya yang terlalu serius. Kami tidak lagi beradu tatap kini. "Seseorang terlihat keluar dari ruang konsultasi, ruang terapi, itu ruangan yang sama. Dia berjalan terburu-buru, keluar melewati area taman ini dan menghilang di dalam kegelapan," jelasku.
"Bagaimana jika yang kau lihat hanyalah seorang penjaga?"
Aku menggumam pelan, hanya sesaat. Sebelum kemudian aku melanjutkan kesaksian ku di depan Dante. "Jaketnya, dia menggunakan jaket yang sama dengan yang ia gunakan di malam itu," pungkasku tanpa ragu-ragu. "Lambang mawar merah besar ada di bagian belakang punggungnya. Aku tidak menyadari itu pada awalnya, tapi saat ia berbalik, aku dapat melihatnya dengan jelas."
Dante mengangguk-anggukkan kepalanya dan berusaha bersikap profesional. Mendengarkan pasien rumah sakit jiwa seperti saat mereka menemukanku di TKP. Aku tidak berharap banyak, tapi reaksi detektif muda ini akan menentukan keputusanku.
"Apa kau bisa melihat wajahnya?"
Sayangnya tidak. "Pria itu menundukkan kepalanya. Area taman tidak memiliki cukup cahaya yang bisa menyorot wajah seseorang saat mereka melintas," tukasku menyesal.
Aku yakin sekali Dante berharap banyak kali ini. Ia terpaksa bangun lebih awal karena Louis menelponnya, memintanya datang karena seorang penderita bipolar ini tiba-tiba bersemangat dan penuh antusias. Ia mungkin harus melewatkan menu sarapannya yang lezat dan kopi panas favoritnya hanya untuk segera tiba di sini. Namun lagi-lagi, ekspresi di wajahnya sama sekali tidak terbaca. Ia hanya menggumam pelan, sesekali mengalihkan pandangannya kepada pasien lain yang juga menghabiskan waktu mereka di area taman rumah sakit. Sepertinya Dante pintar dalam hal mengendalikan emosi. Ia tampak tenang seperti laut, seperti namanya, tapi aku tidak cukup berani untuk terjun dan berenang di sana, aku tidak akan pernah tahu apakah laut di depanku ini akan membantuku berlayar atau justru akan menjeratku lebih dalam, membawaku untuk tenggelam.
"Apa kau tahu apa yang kira-kira dia lakukan di sini, di rumah sakit ini?" Dante melanjutkan setelah beberapa menit berlalu. "Sesuatu yang mungkin terpikirkan olehmu."
"Aku tidak yakin."
"Kudengar kau akan meninggalkan rumah sakit ini dalam waktu dekat?"
Seperti sedang diintrogasi, pertanyaan dari detektif bertubuh tinggi itu tak henti-hentinya terlontar. Ia lantas menoleh ke arahku, menatapku kembali dengan pandangan yang sebelumnya dia berikan. Membuatku turut serta memalingkan pandanganku, kepadanya. Tepat ke arahnya. "Aku akan berangkat besok," kataku.
"Dan mari bertemu setelah kau keluar dari rumah sakit ini."
Aku terdiam untuk beberapa saat. Lalu kulanjutkan, "Kau terlihat gusar, Detektif."
"Nyawamu mungkin berada dalam bahaya. Jadi, maukah kau mengizinkanku untuk tetap berada di sini sampai kau pergi?"