#14 : Teman Yang Hilang

1118 Words
SEBUAH rumah besar dengan nuansa putih dan cokelat kini terpampang nyata di hadapanku. Tidak banyak yang berubah dari bangunan ini selain rumput-rumput liar di sekelilingnya yang sudah dipangkas. "Sebaiknya kita masuk sebelum hujan turun," kata Dad yang sudah lebih dahulu berjalan menuju rumah tersebut. Rumah itu adalah rumahku. Tempat dimana insiden mengerikan (pembunuhan Ethan) terjadi di sana. Orang-orang bilang mungkin akan lebih baik jika aku tinggal bersama orang tua ku. Mereka memiliki beberapa rumah lain yang dapat kutinggali untuk sementara waktu. Namun aku menolaknya dengan tegas. Aku hanya ingin pulang dan merasa lebih baik. Semenjak sidang perceraian antara aku dan pria brengsek bernama Ethan Brown, aku tak lagi tinggal bersama, di rumah keluarganya. Aku membeli rumah ini dari hasil royalti menulis dan tinggal sendiri untuk menikmati hidup yang sudah kusia-siakan selama tiga tahun lamanya. Sial bagiku karena berandalan itu tahu alamat rumah baruku dan terus datang. Memperlakukanku seperti pelac-- "Kejutan!" Suara itu berasal dari orang-orang yang entah sejak kapan sudah berkumpul di ruang tamuku. Mereka adalah Oddie, Kristen dan Greg. Sahabat-sahabat terbaik yang pernah kumiliki di dunia ini. Oddie berdiri di tengah-tengah sementara tangannya memegangi kue berbentuk kotak dengan beberapa lilin di atasnya. Pria muda itu bahkan tidak peduli dengan kacamatanya yang merosot jatuh melewati pangkal hidungnya karena berseru dengan sangat heboh barusan. Lalu Kristen ada di sisi kanannya, terus memainkan terompet pesta seperti sedang merayakan festival tahun baru di pusat kota. Lalu Greg, ah, Oddie dan Kristen pasti telah memaksanya melakukan hal konyol ini. Karena pria berkumis tebal yang berdiri di sisi kiri Oddie itu hanya menepuk-nepuk tangannya. Memeriahkan acara yang sudah pasti direncanakan oleh Oddie maupun Kristen dengan dalih atas dasar pertemanan. Ia tampak senang tapi tidak benar-benar tertarik untuk melakukan kejutan konyol yang biasa kami lakukan saat kami masih anak-anak. Tanpa kusadari, kubiarkan senyum merekah di bibirku. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan mereka bertiga. Sejak kedatanganku di rumah sakit jiwa, mereka tak membiarkanku bertemu dengan siapapun dengan alasan menjaga kondisi kesehatan. Aku bahkan sudah sangat putus asa dan berpikir bahwa Oddie, Kristen dan Greg yang notabenenya sudah menjadi sahabatku sejak kami masih kecil akan pergi meninggalkanku. Tentu saja alasannya jelas, karena aku dituduh sebagai seorang pembunuh dan kini menyandang predikat sebagai mantan orang gila yang pernah tinggal di rumah sakit jiwa selama beberapa bulan. Bagaimana bisa aku menduga bahwa mereka masih ingin menjadi teman dari orang sepertiku? "Kalian tidak perlu repot-repot melakukan ini," ucapku. Namun Kristen dengan cepat memelukku. Ia berkata, "Kau sudah melewati masa-masa yang buruk sendirian, Ivana. Kami tahu ini sulit bagimu." Oddie lantas melangkahkan kakinya ke depan setelah gadis berambut pirang dengan gaun pendeknya itu merenggangkan pelukannya. Ia membenarkan kacamata dengan satu tangan sebelum kemudian kembali mengulas senyum di bibirnya dan menatapku lurus-lurus. "Selamat ulang tahun, Ivana." Mataku berpendar, menatap semua orang yang berada di ruangan ini dengan bahagia. Satu persatu, kubiarkan pandanganku menangkap ekspresi senang yang juga ditampilkan oleh orang-orang. Membuatku tanpa sadar meneteskan air mata karena terharu. Setelah sekian lama berpikir bahwa aku hidup di dunia yang sepi, kini kutahu bahwa aku tidak benar-benar sendiri. Aku meniup semua lilin di atas kue dengan cepat. Membuat semua orang akhirnya bertepuk tangan dan bersorak sorai. Sungguh acara kejutan ulang tahun yang sangat berkesan untukku. Selanjutnya, kubiarkan mereka menikmati pesta yang mereka buat. Selain kue, sepertinya mereka juga membawakan ku beberapa camilan. Ada beberapa kotak pizza, kripik kentang, soda dan beberapa permen. Mereka tampak asyik bercengkrama bersama kedua orang tuaku. Pasalnya, bukan sesuatu yang mudah untuk membuat kami berkumpul seperti ini dengan padatnya aktivitas masing-masing. Kristen bekerja di sebuah perusahaan fashion. Menjadi seorang model memang tidak mudah. Ia terus memiliki jadwal pemotretan yang penuh setiap kali kami memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan bersama. Lalu Oddie, dia adalah pria muda dengan otak yang cerdas. Bekerja sebagai manajer di salah satu perusahaan start up tentu sangat membanggakan. Sedangkan Greg, dia sibuk mengelola restoran yang diwariskan oleh kedua orang tuanya. Kudengar Greg sedang fokus mempersiapkan acara launching untuk pembukaan cabang yang ketiga. Aku sangat senang memiliki teman-teman yang sukses dan setia. Meski sebenarnya, ada seorang teman lagi yang sangat kunantikan untuk berada di sini. "Sangat menyenangkan berkumpul seperti ini," ujar Kristen setelah meneguk habis sisa soda di tangannya. "Sayang sekali Lane tidak ada di sini." Dan Kristen telah menyebut nama seorang teman tersebut. Semua mata mendadak berpaling ke arah Kristen. Kebanyakan berekspresi kaget. Namun kedua orang tuaku jelas menunjukkan raut sedih dan tak nyaman di wajah mereka. Mom kemudian bangkit dan berkata, "Dad, bisakah kau membantuku mengangkat kue di dapur?" Dan Dad dengan cepat berdiri dari sofa. "Oh, tentu. Ayo! Kau bisa saja membuat kuenya gosong, Sayang." Suasana menjadi aneh setelah kedua orang tuaku pergi ke dapur. Greg tiba-tiba meletakkan soda di tangannya ke atas meja dengan kasar. Membuat kami semua, terutama Kristen sedikit terkesiap karenanya. "Bagaimana kau bisa merusak suasana seperti ini, Krist?" "Apa salahku?" Kristen ikut menyimpan minumannya di atas meja lalu menatap Greg tak terima. "Aku hanya mengungkapkan perasaanku. Kurasa bukan sesuatu yang salah untuk merindukan seseorang." Oddie lantas menengahi. "Sudahlah. Kau hanya terlalu emosional, Greg. Mari kita lanjutkan pesta yang menyenangkan ini." Namun sepertinya Greg benar-benar kesal. Ia mendadak bangkit dan menatap gadis berambut pirang yang duduk di seberangnya dengan raut serius. "Kita sudah pernah membicarakan ini sebelumnya, bukan? Lane sudah mati dan tidak perlu mengungkitnya." Tiba-tiba Kristen berdiri. "Apa salahnya jika aku merindukan Lane? Apa kau sangat merasa bersalah karena kematiannya malam itu?" "Aku tidak merasa bersalah!" "Kau seharusnya memegang tangannya lebih kuat, Greg!" timpal Kristen. Dan kurasa situasinya dapat menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Kuputuskan untuk berdiri dan berkata, "Hentikan teman-teman!" dengan suara tinggi. "Kita sedang menikmati pesta, bukan?" Meski aku tidak yakin mengapa pesta ulang tahun yang mereka buat untukku justru berakhir seperti ini. Greg terlihat sangat kesal karena ucapan Kristen. Ia memilih untuk mencium pipi kiriku dan berpamitan lalu meninggalkan pesta begitu saja. Membuat Oddie ikut-ikutan memandangi Kristen dengan ekspresi sebal, sedikit banyak kecewa padanya. "Maaf, Ivana. Aku tak seharusnya merusak suasana hari ini," kata Kristen kepadaku. Suaranya cukup rendah dan gugup, ia tampak sangat menyesali perbuatannya tadi. Karena pada detik berikutnya, gadis itu pun menundukkan kepalanya dan mulai menangis. "Aku hanya merindukannya." Dan kubiarkan tubuhku mendekat, lalu mendekapnya. Mendengar suara tangisannya yang semakin keras, aku hanya bisa menepuk-nepuk pelan punggungnya seraya berkata, "Kau sudah melewati masa-masa yang buruk itu, Kristen. Aku tahu ini sulit bagimu." *** Halo semuanya, Bagaimana kabar kalian hari ini? Sudah membaca sampai part ini? Menurut kalian bagaimana? Apakah cerita ini cukup menghibur? Tinggalkan votes atau komen kalian agar penulis lebih semangat ya. Dan untuk kalian para sultan-sultan yang mau baca cerita ini lebih cepat atau menerima update cerita lebih cepat dengan membuka bab menggunakan koin. Kalian bisa baca cerita ini langsung di akun KBM ku ya. @imawrite Sekali lagi, Terima kasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD