#13 : Menandai Takdir

1026 Words
JAM di dinding telah mengarah ke angka sepuluh. Jarum panjangnya berdiri dengan tegak lurus di angka dua belas. Sudah waktunya bagiku untuk meninggalkan bangunan rumah sakit yang selama beberapa bulan ini menjadi tempatku tinggal dan beristirahat. Menu makanan yang kebanyakan hambar dan dibuat seadanya khas masakan rumah sakit, bau alkohol dan pewangi lantai yang saling bercampur, serta beberapa jenis obat yang tidak pernah sekalipun terlewat setiap kali sesi konsultasi dan terapi telah berakhir. Mataku berpendar ke sekeliling. Ranjang berjenis single yang cukup empuk dengan sepasang bantal dan guling yang disediakan pihak rumah sakit, telah menjadi teman terbaikku belakangan. Benda-benda dengan isian busa yang selalu menjadi saksi bisu atas setiap duka yang kubawa. Seringkali aku membasahi mereka dengan air mata. Kupikir perlu untuk sekadar meminta maaf dan berterima kasih pada semua barang-barang yang ada di ruangan ini. Namun akal sehatku berkata, jika aku melakukannya sekarang, mereka bisa saja membatalkan agenda hari ini. Dan aku tetap menjadi penghuni abadi di rumah orang-orang gila ini. Setelah memastikan bahwa acara perpisahan terhadap benda-benda di dalam kamar sudah kulakukan selama lebih dari beberapa menit, aku pun berjalan menuju kasur. Meraih pegangan koper berukuran sedang yang berisi pakaian-pakaian yang dibawakan oleh Mom saat aku pertama kali datang ke tempat ini. Wanita yang sudah tak lagi muda itu juga tak lupa menyelipkan foto keluarga kami, dimana aku, Mom dan Dad tampak sangat bahagia di dalam pigura kayu bermotif polos yang diukir sendiri oleh Dad. Omong-omong, Dad adalah seorang pengusaha yang ternyata pernah bercita-cita untuk menjadi seorang seniman profesional. Ia seringkali berandai-andai, membayangkan dirinya yang bahkan sudah memiliki banyak uban di rambutnya yang kecokelatan menjadi seorang seniman terkenal. Jika ditanya karya apa yang ingin dia miliki, Dad akan menjawab semuanya. Pelukis, penyair, pemahat, apapun. Ia sangat suka melihat seni. Seni seolah mengalir di dalam darahnya. Dan jika ditanya orang lain mengapa dirinya kemudian bergerak di bidang media, membangun perusahaannya hingga sesukses sekarang dan menyisakan banyak sekali aset di masa tua untuk anak angkat yang bahkan tidak mewarisi darahnya, Dad akan dengan tegas berkata bahwa terkadang hidup bekerja tanpa kehendaknya. Ia hanya perlu mengikuti alur, menjalani apa yang dewa rencanakan untuknya dan hal-hal umum lainnya. Aku beruntung memiliki Mom maupun Dad sebagai orang tua angkat ku. Mereka adalah gambaran malaikat tanpa sayap yang diturunkan dewa ke bumi, menyelamatkan seorang anak kecil yang malang, yang bahkan tak sekalipun diinginkan oleh kedua orang tua kandungnya. "Ivana!" Suara rendah dan hangat itu menyambut. Ceria dan suka cita yang mereka bawa menelusup masuk ke dalam tubuhku, membangkitkan setiap hormon dan membuatnya bekerja dengan baik. Mom dan Dad ada di sini, berdiri dengan pakaian mereka yang begitu formal. Jika dilihat-lihat, mereka berdua justru terlihat seperti sepasang kekasih yang hendak menjemput anak kecil mereka. Senyum di bibir Mom meluluhkan perasaan, tak ada yang lebih baik di dunia ini selain melihat seorang ibu tetap hidup dan mencintai kita. Wajah Mom yang sudah dihiasi kerutan, sedikit tertutup dengan riasan. Ia tidak biasanya berdandan. Tipikal wanita kaya yang memilih untuk hidup sederhana demi menemukan pangeran baik hati yang mencintai dirinya seutuhnya. Ia terus tersenyum ketika pandangan kami bertemu. Mom dan Dad sepertinya sudah duduk menungguku di ruang tunggu sejak tadi. Karena meski tak kentara, Dad tampak mengusap-ngusap bokongnya. Ia memang tidak bisa duduk dalam waktu yang lama atau tentu saja, penyakit tuanya akan sangat mengganggu. "Terima kasih karena kalian sudah datang," kataku, berusaha terlihat benar-benar tulus. Aku sungguh merindukan mereka. Tatapan cemas dan lega yang bercampur padu. Senyuman getir yang berusaha mereka tahan. Serta aroma kayu-kayuan yang berasal dari parfum yang Mom dan Dad gunakan. Mom sangat mencintai Dad. Begitu pula sebaliknya. Dad bahkan meminta Mom memilihkan aroma terbaik untuk parfum yang digunakan oleh suaminya. Well, mereka benar-benar akan membuat pasangan muda iri dengan kisah cinta mereka ini. Sayangnya, aku sudah lama mengubur perasaan iri itu dalam-dalam. "Aku berharap kau tidak melupakan jadwal konsultasi dan terapi berikutnya, Ms. Arabelle." Suara yang berasal dari Dr. Lili, sang psikiater yang menanganiku, berdiri dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku roknya yang besar dan berwarna putih. Wanita itu berada tepat di samping Mom, menatapku dengan ekspresi senang. Ia tidak benar-benar menampilkan senyum atau memamerkan gigi-giginya yang dipasangi kawat transparan, tetapi sorot matanya tidak dapat berbohong. Ia cukup bahagia karena akhirnya aku dapat meninggalkan rumah sakit jiwa ini dalam kondisi yang lebih baik. Aku menghampirinya, mata kami bertemu sekarang. "Kau tahu bahwa tetap stabil dan sehat adalah yang kau perlukan," tambah Lili, seraya menepuk salah satu bahuku. "Jangan buat dirimu memikirkan hal-hal yang tidak perlu, Sayang." "Baik, Dokter." Wanita itu lantas membulatkan bibirnya dan bersiul pelan. "Kau bahkan mengerti caranya memuji sekarang." Mom dan Dad tampak ikut tersenyum dengan candaan yang dilontarkan olehnya. Namun aku hanya bisa menatap mereka bergantian dan berjalan mendekati Louis. Ia berdiri tepat di belakang Mom, bersama perawat-perawat lain yang juga turut mengantar kepergianku dari rumah sakit ini. Entah siapa yang memulainya, tapi kurasa mengantar pasien-pasien di rumah sakit telah menjadi tradisi wajib yang diikuti oleh para perawat, terapis dan teman terdekat pasien di sini. Biasanya, pemilik rumah sakit akan turut hadir. Namun sepertinya, beliau sedang berhalangan dan melewatkan kepergianku kali ini. Kulihat orang-orang ini membicarakan perkembangan kesehatanku yang membaik. Membanggakan progres yang akhirnya membuatku dapat meninggalkan rumah sakit jiwa dan melepas titel pasien yang tidak waras sampai di sini. Kubiarkan pandanganku berkeliling. Kepada semua orang yang berada di sekelilingku. Dante juga ada di sana, sedikit lebih jauh dari dugaanku. Namun kedua matanya yang menyorot serius, mengingatkanku akan satu hal. Bahwa pelaku yang sebenarnya, bisa saja bersembunyi di antara orang-orang yang mengantar kepergianku hari ini. Tak ada wajah asing yang kutemukan selama beberapa menit. Sampai akhirnya kusadari bahwa ada seorang perawat wanita yang wajahnya tak pernah kulihat. Bahkan sekalipun. Mata kami sempat bertemu, tetapi wanita itu segera berbalik dan meninggalkan kerumunan. Meski aku mencoba untuk berjinjit, membuat posisi tubuhku lebih tinggi dibandingkan yang lain, gerakan dari wanita yang berseragam perawat terlalu cepat. Ia menghilang begitu saja. Seperti menguap ke udara. Atau menembus dinding seperti hantu-hantu yang sering kutemukan di acara televisi. Ia tampak tidak nyata, mengingat kondisiku yang memungkinkan untuk berhalusinasi. Namun, ketika pandanganku berpaling ke arah Dante, ia hanya menganggukkan kepalanya. Memberi tanda bahwa apa yang kusaksikan tadi adalah sesuatu yang nyata. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD