Setelah melewati momen canggung selama lebih dari satu jam lamanya, teman-temanku akhirnya pergi. Dad dan Mom juga terpaksa meninggalkanku sendirian di rumah karena pekerjaan yang harus mereka selesaikan tidak dapat diselesaikan oleh sang sekertaris. Lagipula, Dad lebih suka turun tangan langsung untuk berkutat dengan bisnis-bisnisnya. Dengan sedikit banyak bantuan dan dukungan dari Mom, Dad merasa lebih percaya diri pada akhirnya.
Langit semakin gelap dan rintikan hujan mulai turun. Membasahi rerumputan yang ada di halaman depan. Setelah memastikan semua pintu terkunci, aku pun memutuskan untuk berjalan ke lantai dua, ke kamarku sendiri. Ah, betapa rindunya aku dengan ruangan itu. Satu-satunya tempat yang kuanggap paling nyaman, sampai ketika si brengsek Ethan tewas di tempat ini.
Aku menghela napas berat saat akhirnya pintu kamar ini terbuka. Mom sepertinya telah menyewa orang untuk membersihkan rumah besar ini secara berkali. Kutahu hal ini dari aroma bunga segar yang menyeruak masuk ke dalam indera penciumanku begitu aku sampai di kamar. Aroma bunga lili bercampur melati yang selalu dibeli Mom. Salah satu pengharum ruangan favoritnya. Ia berkali-kali menyebut aroma ini dapat menenangkan, membuat semua orang yang menciumnya akan merasa tenang. Sedikit banyak, Mom memang benar.
Ketika bokongku mendarat di pinggir ranjang yang bahkan seprai dan sarung bantalnya sudah diganti semua, aroma bunga-bungaan segar itu menyambut. Membuatku tersenyum.
Kini, tak ada lagi suara-suara berisik dari pasien rumah sakit. Tidak ada teriakan dan jeritan yang berasal dari pasien yang histeris karena mengingat seseorang atau karena jarum suntik yang bersiap disuntikkan ke dalam hidup mereka. Tidak ada lagi obrolan-obrolan perawat tentang pasien baru dan segala permasalahannya. Tidak ada lagi hal-hal seperti itu di sini, meski aku masih memiliki jadwal terapi yang harus kuikuti setiap dua pekan sekali.
Baru saja hendak kubaringkan tubuhku di atas kasur, tiba-tiba saja ponselku yang tersimpan di atas nakas berdering dengan sangat kencang. Aku bahkan tidak ingat dengan benda pintar yang kutinggalkan selama berbulan-bulan itu. Pasalnya, mereka tak mengizinkanku menggunakan ponsel. Sehingga Mom berinisiatif untuk menyimpannya di rumah dan ia sesekali datang untuk mengisi daya.
Ada nomor asing yang terlihat di layar. Tidak ada nama, hanya rentetan nomor asing yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Aku pun bergerak dari ranjang, bangkit dan menekan ikon hijau di layar, menerima panggilan.
"Halo?"
"Bisakah kau bukakan pintunya?"
Keningku mengernyit. Suara itu terdengar tak asing. Namun aku tidak benar-benar yakin untuk menarik kesimpulan, sampai akhirnya suara di sebrang sana kembali berbicara.
"Di luar hujan deras dan tentu saja, mantelku basah sekarang."
Ya. Itu adalah suara Dante. Aku cukup terkejut saat menyadari bahwa detektif muda itulah yang menelpon. Namun pada akhirnya, kutimpali ucapannya. "Apa maksudmu?"
Dan seolah mengerti bahwa aku hanya berpura-pura tidak mengerti, Dante kembali berbicara. "Aku akan mendobrak pintunya. Satu, dua-"
"Tunggu, tunggu!" sergahku dengan panik. Membuatnya berhenti menghitung. "Aku akan turun dan membukakan pintunya sekarang."
Tidak ada pilihan lain selain mematikan telpon untuk segera turun ke lantai bawah dan membukakan pintu untuk seorang tamu yang bahkan tak pernah kuundang. Mataku cukup terkejut karena sosok detektif itu benar-benar ada di sana. Berdiri di balik pintu dengan mengibas-ngibaskan mantelnya yang basah karena hujan. Ia sesekali memasang wajah kesal. Sepertinya pria bertubuh tinggi itu tak suka sesuatu mengotori mantelnya. Dan tanpa sadar, sikapnya itu membuat sesuatu di dalam dadaku bergejolak. Membuatku tersenyum geli karenanya.
Aku pun membuka pintu yang terkunci dan bertemu pandang dengan manik cokelat milik Dante.
Ia tampak menoleh, menyadari keberadaanku di sana, kemudian tersenyum tipis. Senyum yang entah mengapa, aku tak pernah bosan memandangnya. "Terima kasih."
"Kau berterima kasih?" Kusilangkan kedua tanganku di depan dada. "Aku bahkan belum mempersilakanmu masuk."
"Kau akan, bukan?"
Kepercayaan dirinya membuatku lagi-lagi tersenyum. Aku pun mengangguk pelan dan masuk ke dalam rumah. "Kau bisa menggantung mantelmu di sana," kataku, menunjuk tiang gantungan di sudut ruang tamu. "Aku akan membuatkan minuman."
"Kopi terlihat menarik."
Aku berbalik, menghentikan langkahku karena mendengar suaranya yang terkesan memerintah. Kami beradu tatap untuk beberapa saat, sampai akhirnya ia melebarkan senyumannya. Aku menghela napas dan tak bisa berkata apa-apa saat tubuhnya mendarat di atas sofa. Ia bertingkah seperti pemilik rumah di rumahku. Benar-benar menyebalkan.
Setelah membuatkannya cokelat panas karena hanya itulah yang tersisa di dapur, aku pun mengantarkannya ke ruang tamu. Dante tampak sedang melihat-lihat. Ia sungguh bersikap bahwa ini adalah rumahnya.
"Cokelat?" Dante mengangkat satu alisnya. "Kurasa cokelat memang cocok dinikmati saat hujan seperti ini."
Dan tanpa basa-basi, tangannya yang kokoh langsung mengambil cangkir cokelat dari tanganku. Ia tak mengeluh sedikitpun meski aku gagal menghadirkan kopi untuknya. Tubuhnya duduk perlahan, tepat di seberang. Ia sesekali menghirup kepulan uap panas yang berasal dari air berwarna kecokelatan itu dan menyesapnya pelan-pelan. Tampak sangat menikmati minumannya sendiri.
"Jadi, apa yang membawamu ke sini?"
Dante meletakkan cokelat panas itu ke atas meja lalu menatapku. "Dirimu."
Aku mengernyitkan keningku kembali. Tak mengerti dengan maksud ucapannya yang sedikit ambigu itu. Beberapa saat sampai akhirnya senyuman dari pria itu kembali muncul dan membuatku berekspresi tenang seperti sebelumnya.
"Aku harus berjaga-jaga di sini. Ini hari pertamamu kembali ke rumah, ke TKP." Jawabannya cukup diplomatis, meski sedikit membuatku kecewa. "Pelaku itu ada di rumah sakit, bisa saja dia nekat datang kesini untuk mengancammu."
Aku bergumam pelan. "Bukankah itu terlalu terdengar berlebihan?"
"Waspada akan lebih baik daripada sesuatu yang buruk terjadi. Kita tidak akan bisa mengubah sesuatu yang sudah terjadi, bukan?"
Tiba-tiba saja Dante berdiri, bangkit dari sofa panjang di ruang tamuku yang sepertinya juga baru dibersihkan oleh orang suruhan Mom. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu pandangannya berpendar ke sekeliling. Beberapa saat sampai kemudian mata cokelat itu kembali menatapku.
"Ada sesuatu yang ingin kau katakan?"
Dante mengedikkan kedua bahunya dengan cepat. "Aku menunggumu."
"Huh?"
"Dimana kamarnya?"
Aku benar-benar tidak mengerti dengan maksud ucapan Dante dan hanya bisa mengerutkan dahiku dalam-dalam. Sepertinya pria itu banyak membuatku bingung dalam situasi ini.
"Kamarku. Kamar untukku tinggal malam ini. Bukankah seharusnya kau menyiapkannya, Ivana?"