#32 : Membicarakan Masa Lalu

1030 Words
SUARA piano yang melantunkan salah satu musik klasik milik Felix Mendelssohn, mengiringi upacara pernikahan antara aku dan Ethan. Mom memilihkan sebuah gaun panjang A-line dress tanpa lengan berwarna putih gading untukku. Hiasan mutiara-mutiara kecil yang diimpor langsung dari negara Swiss membuat bagian dada pada gaun tampak sangat elegan. Mewah, Mom ingin melihat putri sematawayangnya tampak cantik dengan semua gaun dan aksesoris yang mewah. Bahkan setelah mengeluarkan banyak uang untuk memberikan gaun mahal ini, Mom masih menghadiahiku sebuah liontin berlian dengan bentuk bulan kecil yang berkilauan di dalam gelap. Untuk pertama kalinya di dalam hidupnya, aku merasa bahwa ini adalah hari terbaik yang kumiliki. Aku berbalik, sesuai permintaan Mom. Matanya yang berwarna kecokelatan tampak berkaca-kaca. Sesekali ia tersenyum dan mengatup kedua bibirnya, membuat gerakan yang dapat kuartikan sebagai perasaan haru di dalam dirinya. Aku kembali membalikkan tubuhku, membiarkannya melihat seluruh bagian gaun yang sudah dipesan tiga bulan sebelumnya. Mom bahkan melakukan banyak konsultasi dengan desainer yang membuat gaun ini hanya untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Mom sama sekali tidak ingin mengecewakanku, ia ingin aku mendapatkan semua yang terbaik. Seperti biasanya. Dan Mom tidak pernah berubah. "Kau benar-benar cantik, Sayang." Mom mendekat, masih dengan kedua matanya yang hampir menangis karena melihatku menggunakan gaun indah di tubuhku. Ia memegangi kedua tanganku, sebelum kemudian membawaku ke dalam dekapannya yang hangat. Pelukan seorang ibu memang selalu menjadi yang terbaik bagi anak-anaknya. Sentuhan hangat Mom dan deru napasnya yang menyusup masuk ke sela-sela leherku, adalah sesuatu yang begitu hangat. Aku akan sangat merindukannya setelah aku berada jauh darinya. "Mom sangat bahagia melihatmu hari ini." Wanita itu melepaskan pelukan, merenggangkan jarak di antara kami, tetapi tidak benar-benar melepaskan genggamannya dari tanganku. Kedua matanya menatapku intens. Ia bahkan tak bisa menyingkirkan sorot haru dan sendu dari sana. Ada sedih yang diam-diam terselip. Ia pasti membayangkan masa-masa kesepian yang akan dilewatinya setelah aku menikah dan tak lagi tinggal dengannya. Seperti kebanyakan orang tua yang ditinggalkan oleh anak mereka yang menikah, momen ini pastilah menjadi momen yang mengharukan untuk semua orang. "Terima kasih banyak, Mom," kataku pelan. Jujur saja, dadaku bergetar dengan hebat. Apa yang dirasakan oleh Mom mendadak mengalir ke dalam darahku. Aku tiba-tiba saja merasa sedih dan haru di saat bersamaan. Membayangkan tak bisa menikmati makanan buatan Mom setiap hari memberiku sensasi yang berbeda. Tak akan ada lagi ocehan Mom mengenai parfum yang kugunakan terlalu mencolok. Atau omelan tentang sisa-sisa makanan yang berantakan di atas meja. Dan hal-hal sederhana lainnya. Mom adalah malaikat terbaik yang dikirim dewa untukku. Aku sangat bersyukur bisa memiliki wanita ini di dalam hidupku. Dan ketika satu tangannya membelai pipi kiriku, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Kami menoleh dan sosok Dad berdiri di sana. Ia tampak merapikan setelan jasnya yang kebesaran dengan bangga. Tidak peduli bahwa pria itu perlu menggunakan sabuk pinggang tambahan hanya untuk menjaga celananya tidak merosot selama prosesi pernikahan berlangsung. Membuatku dan Mom tersenyum bahagia melihatnya. Aku tidak pernah melihat Dad segugup itu. Ia bahkan tidak pernah memperdulikan penampilannya selama hadir di acara-acara penting. Entah itu acara bersama kolega kerja, para pejabat atau orang penting lainnya, kali ini Dad tampak berbeda. Pria itu berjalan menghampiri kami, aku dan Mom. Ia lantas menatapku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sama sekali tidak ada niat untuk menurunkan senyumnya dari bibir. Ia tampak akan menangis pada detik-detik selanjutnya. "Apakah kau sungguh putri kesayangan Dad?" Dan akupun segera memeluk pria yang berdiri di hadapanku ini. Ia mengeratkan kedua tangannya saat kami berpelukan. Sama seperti Mom, Dad pasti sangat terharu. Karena tidak biasanya pria ini bersikap begitu gugup. Sampai kemudian, aku memutuskan untuk merenggangkan jarak dan tersenyum saat mata kami berhadapan. "Jangan menangis, Dad. Kau harus berjalan dengan percaya diri." "Yeah, tentu," kata Dad. Ia lantas merangkul istri yang sudah setia menemaninya selama berpuluh-puluh tahun dan mereka sama-sama tersenyum saat bertukar pandang. Pemandangan yang akan selalu kurindukan itu benar-benar teringat jelas dalam ingatan. Karena untuk pertama kalinya, aku bisa melihat Mom menangis karena haru dan Dad terlihat gugup hanya untuk tampak sempurna untuk putrinya. "Mari kita masuk. Semua orang pasti sudah menunggumu di dalam," lanjut Dad. Aku merasa bahwa hari terbaik selain hari ulang tahun yang dipilihkan oleh Mom adalah hari dimana akhirnya aku menikah dengan pria yang kucintai. Setelah menjalin hubungan selama beberapa bulan, Ethan, pria yang tak sengaja kutemui di taman, berhasil mencuri hatiku. Ia menyentuh sisi terdalam dari hidupku yang tak terlihat sebelumnya dan membawa warna yang berbeda. Wajahnya yang cerah dan sangat bersemangat, tampak lebih sempurna dengan setelan jas putih. Ia menungguku di altar dengan dasi kupu-kupu berwarna hitam. Dengan senyuman manis yang juga tak akan pernah kulupakan dalam hidupku. Aku merangkul lengan Dad dan berjalan di altar. Menghampiri Ethan yang sesekali menundukkan kepalanya. Ia terlihat malu-malu dan sedikit gugup, tetapi terlihat jelas bahwa pria ini cukup percaya diri untuk tidak membatalkan niatnya untuk menikahiku. Beberapa tamu yang hadir adalah sahabat-sahabat baik kami, rekan kerja Mom maupun Dad serta beberapa kolega bisnis Ethan. Hanya beberapa tamu undangan yang kami yakini memang cukup dekat. Kami sengaja memilih tamu undangan agar mendapatkan suasana pernikahan yang intim dan hangat. Seorang pendeta dan saksi pernikahan telah bersiap. Dan begitu Dad menyerahkan tanganku kepada Ethan, di sanalah aku tahu bahwa perjalanan yang sebenarnya baru saja dimulai. Mataku berpendar ke sekeliling, kulihat Mom berdiri bersama beberapa temannya di sana. Cukup dekat dengan kami. Hingga aku mampu melihat kedua tangannya yang sibuk menyeka air mata di pipinya. Ia akhirnya benar-benar menangis. Bahkan sampai Ethan menyebutkan janji sucinya di depan semua orang, Mom tak bisa menghentikan tangisnya. Kulihat Dad melambai dari sana, tepat di sebelah Mom. Ah, pria itu pasti bersusah payah membuat Mom tak lagi menangis karena melihat pernikahan kami. Dan sesaat setelah sumpah pernikahan itu selesai dilakukan, Ethan menggenggam kedua tanganku. Ia menatap kedua mataku yang juga kini memandanginya dengan kagum dan mulai tersenyum. Senyuman lembut yang pernah kumiliki selama beberapa waktu setelahnya adalah yang terbaik. Ia membelai pipi kiriku dan mulai mendekat, senyuman itu sama sekali tak memudar, bahkan semakin melebar saat akhirnya wajahnya mendekat dan bibirnya mendarat di bibirku. Kurasa pernah aku mengharapkan satu hari yang indah itu kembali. Meski tentu saja, semua keinginan itu tak akan pernah terkabul. Bahkan hanya untuk di dalam mimpi saja, aku tahu permintaan itu tak akan pernah terwujud, sampai kapanpun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD