#31 : Hati Yang Mengering

1105 Words
KUCURAN air panas dari ujung shower perlahan jatuh membasahi tubuhku. Aku membuka mataku setelah derasnya air membersihkan kepalaku dari sampo beraroma vanilla yang baru dikirim Mom tadi sore. Sepertinya Mom memang ahli dalam memilih wewangian. Ia selalu memilihkan yang terbaik dan hasilnya pun tidak pernah meleset. Aku menyukainya. Belum lagi campuran wewangian dari pewangi ruangan dan pewangi lantai yang juga diberikan oleh Mom. Semuanya menakjubkan. Dapat membuatku merasa lebih tenang dibandingkan tadi siang. Louis membuatku sedikit merasa gamang. Maksudku, ya, dia ada benarnya juga. Aku baru mengenal Dante beberapa waktu, tapi rasa percayaku kepadanya sudah terlampau besar. Jika boleh dibandingkan, aku bahkan lebih dahulu mengenal Louis alih-alih detektif pindahan itu. Wajar saja jika pada akhirnya Louis merasa cemburu atau tak terima karena aku lebih mempercayakan hal sebesar ini kepada Dante. Kututup mataku saat kucuran air kembali jatuh. Semua ingatan tentang Dante mendadak muncul. Anehnya, aku menikmati semua itu. Wajahnya, suaranya, bahkan aroma yang kuhirup setiap kali kami berdua berbicara, semuanya terekam jelas dalam ingatanku. Bahkan meski mataku dalam keadaan tertutup, aku masih bisa melihatnya di sana, dengan sangat nyata. Setelah merasa kegiatan mandiku telah cukup, aku pun mematikan air dan menengadah ke atas. Menatap permukaan shower yang tak lagi membuat kepala atau tubuhku basah. Airnya sudah berhenti. Aku pun berbalik, meninggalkan ruangan kotak kaca yang biasa digunakan tamu untuk membersihkan diri mereka, atau kamar mandiku yang ada di lantai satu dan menggunakan piyama handuk. Untuk pertama kalinya aku menggunakan pakaian terbuka selama berjalan-jalan di luar, bahkan untuk menemui psikiaterku sendiri. Rasanya aneh. Membuat permukaan kulitku lengket dan lebih kusam. Mungkin karena tak biasa terkena sinar matahari. Belum lagi debu dan polusi yang menempel saat aku duduk di belakang Dante. Aku berjalan meninggalkan kamar mandi ini dan mematikan lampu. Untuk kemudian kembali ke lantai dua, ke kamarku sendiri. Langkah kakiku baru terhenti tepat setelah aku sampai di balik jendela. Kubiarkan tirainya terbuka. Bunga-bunga mawarku yang indah masih ada di luar sana. Berdiri dengan tegak meski dinginnya malam terus menghantam mereka. Aku sangat menikmati suasana dan pemandangan malam ini sampai kemudian suara ponsel yang berdering mengusik indera pendengaranku. Membuatku menoleh ke arah nakas, tempat dimana aku menyimpan benda kecil itu sejak tadi. Ada sebuah panggilan masuk. Dari Dante. "Ada apa dia menelponku malam-malam begini," gumamku saat menatap layar. Dan aku pun bergerak menekan ikon hijau pada ponsel layar sentuh yang kumiliki. Panggilan kami tersambung dan suara yang khas itu pun terdengar dari seberang sana. "Apa kau sedang sibuk?" Aku mengamati diriku sendiri dari cermin panjang yang kebetulan kini berada di hadapanku. Piyama handuk berwarna merah muda ini masih menghias di sana. Aku belum menggantinya dengan pakaian tidur dan kurasa aku bisa menggambarkan diriku sebagai sosok yang sedang tak sibuk atau melakukan apapun. "Kurasa tidak." "Begitukah?" Dan aku menggumam pelan untuk mengiyakan pertanyaannya tadi. Terdengar desahan napas di seberang sana, sebelum kemudian latar suara dari panggilan berubah menjadi lebih berisik daripada sebelumnya. Aku mendengar beberapa klakson kendaraan, suara orang-orang yang berbicara, kurasa mereka membicarakan pesta demokrasi atau semacamnya dan hal-hal ribut lainnya. Sepertinya Dante sedang berada di luar ruangan. Sedikit membuatku penasaran atau setidaknya akhirnya aku memiliki topik obrolan untuk dibicarakan dengannya. "Kau sedang berada di luar ruangan, bukan?" Dan Dante langsung menjawab pertanyaanku tanpa menunggu lama. "Oh, yeah. Aku sedang berdiri di depan sebuah bangunan besar yang cukup terkenal." "Kau di depan Mall?" Namun suara di seberang sana justru berubah menjadi tawa rendah yang terdengar hangat. "Apakah Mall adalah satu-satunya yang kau pikirkan, Ivana?" Membuatku tanpa sadar menyunggingkan senyum. Dia mungkin berpikir aku konyol. Namun sepertinya, aku memang kekanakan. Aku pun menutup tirai jendela dan berjalan menuju ranjang, untuk kemudian duduk di tepian, sembari melipat satu tangan di dada dan menahan senyumku tanpa Dante tahu. "Baiklah. Aku menyerah. Bangunan mewah apa yang kau maksud?" "Ini adalah Star Coorporation." Senyumku mendadak memudar. Aku tak lagi berpikir bahwa kami sedang membicarakan hal sepele. Dante kini sedang berdiri di depan sebuah bangunan yang tak asing di telingaku. Ya, dia berada di depan kantor Ethan. Mantan suamiku dulu. Ia pasti berada di sana karena telah melakukan penyelidikan. "Kau sendirian?" "Tidak." Dante menjawabnya dengan lugas. Terdengar suara korek dari telpon, ia pasti sedang menyalakan rokoknya sambil bersandar di dalam gang atau tempat tersembunyi lain. "Aku bersama seorang rekan yang kau tahu siapa itu." Aku menunggu untuk beberapa saat, sengaja untuk tidak berbicara. Sampai kemudian Dante kembali melanjutkan obrolan. "Omong-omong, Ethan memiliki rumor yang cukup aneh tentang pernikahan kalian." "Apa maksudmu, Dante?" Ia terdengar memberi jeda. Sepertinya ragu-ragu untuk melanjutkan pembicaraan. Yang terdengar kemudian hanyalah suara rokok yang diembus dan napasnya yang berusaha distabilkan. Namun aku tidak mudah menyerah. Aku tetap diam dan menunggu. Sampai kemudian pria yang tampaknya baru saja meludah itu pun melanjutkan, "Kudengar Ethan telah membatalkan pernikahan kalian." "Apa?!" "Orang-orang di kantor ini tak tahu bahwa Ethan sudah menikah, denganmu." Dia pasti sedang melucu. "Well, aku memang hanya menanyai orang asing saja. Belum sampai ke divisi tempat Ethan bekerja. Tapi kurasa ini sudah cukup aneh, bukan? Apa kau tahu sudah berapa lama Ethan bekerja di tempat ini, Ivana?" Aku kembali menggumam, sembari mengingat-ingat kembali kapan pastinya Ethan bekerja di perusahaan terakhirnya, perusahaan yang akhirnya membuatnya naik jabatan menjadi seorang direktur secara tiba-tiba hingga akhirnya dia berubah menjadi seperti orang lain. Namun apakah ini semua adalah perbuatannya? Atau ada peran seseorang di balik semua hal ini? "Kurasa dia sudah bekerja di sana sebelum kami bertemu." "Hm, baiklah. Aku dan pecinta kopi ini akan berjalan-jalan lagi, kurasa kami akan melakukan pengintaian dua puluh empat jam untuk mengawasi seseorang," kata Dante memberi tahu. Pengintaian dua puluh empat jam biasanya hanya dilakukan untuk keadaan darurat, atau setidaknya itulah yang kuketahui soal penyelidikan ini sebagai orang awam. Dan jika Dante mengambil keputusan untuk melakukan pengawasan ketat, bukankah itu artinya ada sesuatu yang darurat? "Haruskah kalian melakukan itu malam ini?" "Seseorang sepertinya mengetahui apa rencana kami," jelas Dante. "Kami harus memeriksa ulang semua kesaksian dan alibi dari teman-teman Ethan di penyelidikan pertama. Jika ada sesuatu yang menarik, aku akan kembali menghubungimu." Aku mengangguk, meski pada akhirnya Dante atau Hendrick tak akan bisa melihatku. "Baiklah." "Beristirahatlah. Pastikan kau meminum obat dan makan makanan enak, Ivana." Lagi-lagi pria itu berhasil membuatku tersenyum. Ia memang manis dan hangat. Bahkan kehangatan yang diberikan oleh pria asing itu berhasil mencairkan hatiku yang telah lama mengering. Membuatku sekali lagi merasa yakin bahwa tidak apa-apa untuk mempercayainya lebih dari siapapun, termasuk Louis ataupun orang lain yang lebih mengenalku sebelumnya. Ini duniaku, aku berhak memilih untuk siapa aku akan menjalani kehidupanku. Entah pada akhirnya benar atau salah, aku tetap akan memilih Dante untuk tinggal. Meski aku tak tahu apakah pria itu akan mengambil keputusan yang sama denganku atau tidak. "Tentu, aku akan melakukannya untukmu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD