#22 : Kemungkinan dan Harapan

1026 Words
DANTE beranjak dari sofa sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Ia lantas menatapku setelah sempat berbalik, mengambil jeda beberapa saat sebelumnya. Dengan raut wajah yang serius dan dingin, pria itu kemudian berkata, "Aku akan pergi. Kau bisa menggunakan waktumu untuk beristirahat." Namun belum sempat aku memberikan reaksi, tubuh Dante sudah lebih dahulu pergi meninggalkan ruangan, juga berlalu melangkahkan kakinya pergi dari rumahku. Kembali meninggalkanku sendirian. Aku bangkit, berjalan mengikuti langkah yang pria itu ambil sebelum benar-benar menghilang dan mengintip kepergiannya dari balik pintu yang terbuka. Ia bahkan membiarkan pintunya terbuka, bukankah sangat jelas bahwa ia enggan tuk sekadar berbalik? Aku terus memandangi halaman yang kosong. Kebun bunga yang kurawat masih berdiri kokoh dan indah. Namun entah mengapa, di tengah cuaca seterik ini, aku justru merindukan hujan. "Ivana!" Suara seseorang muncul setelah sebuah mobil sedan merah berhenti di luar halaman rumahku. Mataku menyipit, mencoba melihat siapakah sosok yang datang bertamu. Hingga akhirnya kutemukan sosok Kristen membuka pintu mobil dan melambai-lambai dengan penuh antusias. Melihat wanita berambut pirang itu berjalan ke arahku dengan raut yang begitu bersemangat, membuatku refleks tersenyum ke arahnya. Ia mendekat dan aku dapat melihat pakaian yang digunakannya sekarang. Sebuah atasan sabrina dengan bagian pundak terbuka berwarna putih yang dipadukan dengan rok jeans selutut. Sangat bergaya dan kekinian. Di antara kami, Kristen memang yang paling tahu soal fashion dan gaya. Pekerjaannya sebagai model memang menuntutnya melakukan berbagai hal. Salah satunya, selalu up to date tentang tren terbaru mode yang masuk ke kota New York dan popular di berbagai kalangan. Kristen lantas memelukku dengan hangat. Ia bersikap seolah kami sudah lama tidak bertemu, meski sebenarnya dia baru saja berkunjung dan banyak berbicara kemarin. Wajahnya tirus, menunjukkan gaya diet ketat yang sedang ia jalani sampai detik ini. Hanya makan buah dan sayur tanpa karbo. Selain itu, Kristen juga tidak mengkonsumsi gula untuk menjaga berat badan ideal. Matanya cokelat dan bercahaya, meski kantung mata yang menghitam itu tak bisa benar-benar ditutupi. Bahkan meski sudah melapisinya dengan foundation dan concelear mahal sekalipun, aku bisa langsung menebak bahwa sahabat perempuanku ini sedang kelelahan. "Aku membawakanmu makan siang!" serunya sembari mengangkat plastik makanan di tangan kirinya ke udara. Suara dan gestur tubuhnya sungguh menampilkan antusias yang luar biasa. Ia memang profesional. "Mari makan siang bersama, Ivana." Kedua sudut bibirku terangkat dengan sempurna karena melihat sikap Kristen yang ramah. Kupikir dia akan sibuk, atau sangat sibuk, nyatanya kesibukan itu hanyalah soal alasan. Kau akan selalu menempatkan hal yang menurutmu dapat dijadikan prioritas meski sesibuk apapun dirimu. "Aromanya seperti keju," kataku. Aku mempersilakan Kristen untuk duduk di sofa. Atau lebih tepatnya, aku duduk dan Kristen pun mengikuti seperti sudah terbiasa melakukan hal ini sebelumnya. Kami kemudian duduk berhadapan. Dan wanita bertubuh ramping yang bahkan memperlihatkan tulang-tulang selangkanya dengan jelas itu langsung mengeluarkan satu persatu kotak makanan dari kantung plastik yang ia letakkan di atas meja. "Aku membeli fettucini dengan topping keju. Oh, itu ekstra keju kurasa." Kristen mengatakannya dengan sangat antuasias dan heboh. Lalu berkata, "Lalu salad, beberapa ayam bumbu dan soda lemon." Wanita itu langsung menatapku, seperti menunggu reaksi yang akan kutunjukan atas niat baiknya membawakan ku makan siang hari ini. Dan tentu saja, dia adalah sahabat yang menggemaskan. Aku pun mengernyitkan kening dan melihat satu persatu makanan yang disiapkan olehnya. "Ini tidak terlihat seperti makanan yang kau makan, Kristen." Ia pun tertawa. Sebelum kemudian menyodorkan sekotak ayam bumbu ke arahku. "Karena ini semua adalah makanan kesukaanmu sewaktu kita sekolah dulu," pungkasnya. "Ayam bumbu dan pasta. Kau merindukannya, bukan?" Aku pun tersenyum dan mengangguk. Kemudian menerima makanan yang diberikan oleh Kristen lalu menyantapnya. Tangan kurus milik wanita itu beralih pada salad, satu-satunya sayuran yang kami miliki di atas meja. Dan tanpa ragu, Kristen langsung ikut memakannya. "Uhm, Ivana, ada sesuatu yang ingin kutanyakan kepadamu omong-omong," ucap Kristen di tengah-tengah acara makan. "Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu yang sedikit menggangguku." "Ada apa, Kristen?" Wajah wanita itu mendadak berubah serius. Ia juga menurunkan kotak salad ke atas meja dan mencondongkan wajahnya ke depan, ke arahku. Ia terlihat sangat penasaran sekarang. "Apa kau kenal dengan seseorang yang bernama Roma Brown?" Dan setelah berhasil mengingatnya, aku pun mengangguk. "Dia adalah saudara Ethan." Namun ekspresi di wajah Kristen mendadak kembali berubah. Kali ini terlihat bingung dan penasaran di saat yang bersamaan. Ia sempat mengalihkan pandangannya, lalu kembali menatapku. "Sebenarnya ...," "Jika ada yang mau kau katakan, katakan saja, Kristen." Aku mengangkat kedua bahuku dengan tak acuh. "Kau terlihat sangat gelisah." "Malam itu," kata Kristen dengan ekspresi ragu. Namun pada akhirnya, ia pun memulai semuanya. "Aku bertemu dengan seseorang yang bernama Roma. Manajerku melakukan kerja sama dengan perusahaan yang dia miliki. Aku tidak tahu apakah ini berhubungan denganmu atau tidak, tapi malam itu, aku mendengar pria itu membicarakan Ethan di telpon." Aku mengernyitkan kening. "Maksudmu, dia sedang bertelepon dan membicarakan Ethan?" Kristen mengangguk. Ia kembali terlihat antusias dalam pembicaraan ini. "Aku mendengar dengan jelas bahwa pria itu sedang membicarakan Ethan dan hutang. Dia tampak sangat marah. Kurasa Ethan memiliki hutang yang besar kepadanya. Apakah kau mungkin juga mengetahuinya?" Namun aku tak tahu apa-apa soal kehidupan Ethan setelah dirinya sudah diangkat menjadi direktur perusahaan. Ia memiliki kehidupannya sendiri dan aku tak pernah ada di dalamnya, sepertinya. Terutama masalah hutang. Ethan memiliki cukup kekayaan untuk mengatasi semua masalah keuangan. Pendapatannya dari beberapa bisnis juga tampaknya meyakinkan. "Dia ... tidak terlihat seperti seseorang yang akan melakukan itu," ucapku tak yakin. Kristen mendecak. "Tapi aku tidak mungkin salah dengar. Pria itu jelas meminta seseorang mengancam Ethan. Kurasa itu upaya untuk menekannya. Pria itu benar-benar terlihat kesal." Kedengarannya menarik. Mungkinkah Roma memiliki masalah yang cukup besar dengan Ethan? "Lalu, apalagi yang kau dengar malam itu, Kristen?" Aku yang tidak dapat menahan rasa penasaran akhirnya terlibat percakapan lebih dalam. Mungkinkah ini adalah harapan untukku menemukan tersangka lain? "Aku cukup yakin mendengar pria itu berusaha mengintimidasi Ethan dengan cara apapun. Dia bahkan membayar orang lain. Kurasa itu cukup aneh jika tahu dia adalah saudaranya," kata Kristen. "Ah, satu lagi, kau perlu tahu satu hal yang lebih penting lainnya, Ivana. Aku mendengar pembicaraan itu di malam Ethan dibunuh." Kedua mataku membulat seketika. Mungkinkah mereka benar-benar saling berkaitan? Mungkinkah Roma bisa masuk ke dalam daftar tersangka di dalam kasus kematian mantan suamiku? "Apa katamu, Kristen?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD