#21 : Dilema Itu Bahaya

1015 Words
TIRAI besar keemasan yang dibuka dan dikaitkan pada tiang di sisi kanan kiri jendela membuat cahaya matahari yang terik perlahan berhasil memasuki kamarku yang dominan dengan warna putih. Aku duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela yang baru saja dibuka oleh Dante. Pria itu membantuku masuk ke dalam kamar, membukakan tirai dan jendela, lalu memberikanku segelas air minum yang diambilnya dari dapur. Tubuh tinggi pria itu kemudian pergi, meninggalkanku sendirian untuk menenangkan diri katanya. Namun ia tidak benar-benar pergi, melainkan duduk menungguku di ruang tamu. Duduk pada sofa panjang berwarna hitam, tempat dimana kami berdua duduk tadi malam. Kutarik napas dengan perlahan, terasa berat dan sesak. Sepertinya efek serangan panik tadi. Sebelum kemudian kuambil satu pil anti depresan yang masih kumiliki dan meminumnya bersama air mineral yang diberikan oleh Dante. Jika boleh jujur, aku benar-benar malu. Aku pasti terlihat seperti orang bodoh di taman tadi. Mencari-cari Louis yang tiba-tiba menghilang dan semuanya seperti tak pernah terjadi. Anehnya, setiap kali aku memeriksa catatan panggilan, nama Louis memang tak pernah ada di sana. Beberapa kali aku menyegarkan laman catatan panggilan atau memeriksa ulang ponselku yang mungkin mengalami gangguan, akhirnya tetap sama saja. Sampai akhirnya tubuhku memberikan reaksi yang lebih baik daripada sebelumnya, aku tak lagi merasa sesak dan pusing. Setidaknya ketenangan dan keheningan ini memang cocok untukku. Aku pun memutuskan untuk menemui Dante, berjalan menuju ke ruang tamu. Pria yang berprofesi sebagai detektif kepolisian kota itu sedang duduk sendirian, sembari menatap layar ponselnya dengan serius. Ia pasti sedang kebingungan karena harus kehilangan penjahat karena membantu mengantarku ke rumah. Dante pasti dalam masalah besar sekarang. Tiba-tiba saja Dante beranjak dari sofa setelah menyadari langkah kakiku yang mendekat. "Kau sudah merasa lebih baik?" Dan akupun mengangguk sembari terus melanjutkan langkahku. Aku berjalan dan kemudian duduk di seberangnya, seperti posisi kami duduk tadi malam. Hampir mirip dengan de javu, tapi aku merasa tidak nyaman kali ini. Dante memandangiku dengan ekspresi cemas yang berusaha ia sembunyikan dalam wajah datarnya. Namun tentu saja aku dapat dengan mudah membaca raut wajah aslinya karena ia tampak gelisah saat memerhatikan gestur tubuhku. Sepertinya kami saling menilai dan mendikte gerakan masing-masing. "Kau sudah memin-" "Kau bisa pulang sekarang," kataku menyela. Membuat kedua alis Dante terangkat seketika. Hanya sejenak, sebelum akhirnya wajahnya kembali biasa saja dan ia pun duduk kembali di tempatnya. Ia terlihat tak percaya dengan kata-kataku sebelumnya, hingga perlu mengkonfirmasinya lagi. "Kau memintaku pergi, Ivana?" Dan aku pun mengangguk mengiyakan. Pria dengan kedua mata cokelatnya yang terang itu tercenung untuk sesaat. Meresapi kata-kata perintah dariku mungkin tidak semudah yang kuduga. Ia benar-benar sulit mempercayaiku. Dan setelah beberapa jeda yang berlalu, Dante melanjutkan, "Kau terlihat sakit." "Aku memang sakit." Kedua alis pria yang kini menjadi lawan bicaraku ini pun saling mengernyit. Ia tampaknya tidak yakin kenapa aku mengatakan hal seperti itu saat ada orang lain yang mempedulikan, tapi inilah kebenarannya. Aku memang sakit. "Kau tahu bahwa aku sakit dan aku tak bisa disembuhkan." Aku mengangkat kedua bahuku dengan cepat. "Jika kau ingin mengambil jalan yang cepat, kau bisa langsung mengatakan bahwa akulah pelakunya." "Tunggu, tunggu!" sela Dante dengan cepat. Ia tak ingin aku melanjutkan kalimatku sepertinya. "Kenapa kau mendadak berubah menjadi dilema seperti ini? Bukankah ini adalah kesempatan terakhirmu untuk mengubah segalanya? Kau bisa memperbaiki nama baikmu jika berhasil membuktikan semuanya." Aku menatap Dante dalam-dalam. Hatiku teriris setiap kali sorot matanya mengarah kepadaku, memandangi wajahku dengan raut sedih. Ia terus bersimpati. Atau bisa kutebak, Dante hanya meras kasihan kepada nasibku yang tak baik. "Untuk membuktikan bahwa aku pergi bersama Louis pun aku tak bisa, Dante. Lalu menurutmu, apa yang bisa kulakukan dalam penyelidikan kasus kematian Ethan?" "Tapi, Ivana!" "Aku mengidap bipolar," ucapku dengan lugas. "Setiap kali menghadapi situasi sulit, aku akan mengalami serangan panik yang lebih menyiksa. Dadaku rasanya sesak sekali tadi. Ini bahkan sudah membunuhku sebelum aku memulai apapun." Dante menyeka wajahnya dengan kasar dan bangkit dari sofa. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, berbalik badan dan menghela napas dengan berat di sana. Sekitar beberapa detik ia mengalihkan pandangan dariku sebelum kemudian kembali membalikkan tubuhnya dan melihatku yang masih menatap menunggunya di sofa. "Begini saja, izinkan aku pergi ke rumah sakit itu lagi dan memastikan bahwa Louis memang datang ke rumah ini dan mengajakmu pergi berjalan-jalan. Bagaimana?" Kedua alisku mengernyit. Aku sedikit kebingungan, tapi pada akhirnya yang kukatakan kepada Dante hanyalah, "Apakah mungkin?" "Siapapun dapat menjadi pelaku kejahatan di dunia ini. Ayah yang memerkosa anak sendiri, anak yang membunuh ibu dan seorang rekan yang saling menodongkan pisau. Semuanya mungkin." "Apa maksudmu Louis sedang mencoba melakukan kejahatan?" "Tidak, tidak," kata Dante mengoreksi. "Kita hanya perlu mengkonfirmasi bahwa apa yang kau lihat, apa yang kau dengar dan apa yang terjadi hari ini, sebelum kau bertemu denganku di taman tadi, adalah sesuatu yang nyata. Kita perlu tahu apakah kau berhalusinasi atau tidak." Ide yang cukup menarik. Aku merasa cukup tertantang ketika mendengarnya. Namun aku belum yakin dengan diriku sendiri. Bagaimana jika pada akhirnya jawaban yang ada tetap tidak sesuai dengan ekspektasiku? Apakah aku justru akan memperburuk keadaan dengan kondisi kesehatanku ini? "Bagaimana, Ivana? Kau setuju, bukan?" "Ta-tapi bagaimana jika Louis memang tidak pernah menghubungiku dan apa yang kulihat hari ini tidak pernah terjadi?" Aku menatap Dante dengan gamang. "Mereka mungkin akan membawaku kembali ke rumah sakit jiwa." "Tapi, Ivana-" "Sebaiknya kau pergi saja, Dante," pungkasku memotong. Akupun bangkit dari sofa dan memandangnya dengan serius. Meski rasanya ada sesuatu yang menggores hatiku, tapi kurasa inilah pilihan terbaik yang dapat kuambil demi menyelamatkan diriku sendiri. "Kau bisa pergi, melanjutkan pekerjaanmu dan aku akan menjalankan hari-hariku seperti biasa seperti seseorang yang memang pernah hidup di rumah sakit jiwa." "Ivana...," Aku membalikkan badan, berusaha menghindari tatapannya yang lagi-lagi terlihat menyedihkan. Membuatku terus merasa dikasihani dan ditelanjangi di saat yang bersamaan. Mungkin salahku karena telah melewati batas, tapi kurasa belum terlambat untuk segera menghentikan semua yang kumulai. Semua yang kuharapkan sepertinya akan sia-sia saja. Kematian Ethan mungkin memang disebabkan olehku. Lagipula, tidak ada yang bisa menjamin apakah aku tidak membunuh Ethan malam itu atau tidak. "Aku tidak punya saksi untuk membantu apapun yang kukatakan di pengadilan nanti, lalu kenapa kau memberiku harapan yang sangat besar untuk seseorang sepertiku, Dante?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD