#28 : Kembali Dalam Sangkar

1412 Words
HARAPAN membuatmu terlihat seperti berada di ambang pintu. Kau bisa pergi, mendapatkan kebebasan dan hidup yang kau mau. Namun dapat berlaku juga sebaliknya. Kau akan menguap, dalam angan semu yang hanya membuat dada semakin sesak, kembali dalam hidupmu yang penuh penat. Keduanya hanya akan terjadi jika harapan tersebut terwujud sesuai keinginan atau terjadi sebaliknya. Inilah sebabnya orang dahulu sering mengingatkan kita untuk tidak banyak berharap pada apapun, pada siapapun, termasuk kepada manusia yang ucapannya tak akan bisa menjamin apa-apa. Percayalah, janji yang dibuat manusia adalah yang paling mudah diingkari. Lidah tidak bertulang yang mengeluarkan ribuan kalimat-kalimat harapan, seringkali membuat kita menjadi lupa daratan. Sudah terlanjur terbang, tinggi dan menembus awan, tetapi akhirnya kita dihempaskan oleh kebenaran dan kenyataan yang tidak sejalan. Sama halnya dengan apa yang dilakukan orang tuaku. Mereka memberikanku segalanya, termasuk seorang detektif kota seperti Dante, dengan harapan dapat mengeluarkanku dari sangkar penderitaan. Melepaskan kehampaan yang menyiksa setiap waktunya. Mereka telah melakukan yang terbaik yang mereka bisa. Namun pada akhirnya, aku tetap tak bisa menaruh lebih banyak harapan di dalamnya jika tak ingin jatuh lagi. Aku pernah berharap dengan sangat tinggi kepada Ethan, yang kemudian aku dapat dihancurkan dengan mudah oleh harapan itu sendiri. Ia pergi. Dan tidak berhenti sampai di situ, karena akhirnya dia pergi untuk selamanya, meninggalkan luka, meninggalkan trauma, meninggalkan sisa-sisa kehidupan yang membuatku tidak bahagia. Lucu jika mengingat-ingatnya lagi. Aku seperti seekor burung yang ditangkap oleh sang pemburu dan terus terjebak di dalam sangkar meski sang pemilik sudah terbunuh di dalam hutan yang mengerikan. Seseorang dapat melihatku, tapi tak mampu melepaskan pengait sangkarnya. Sesuatu menghalangiku mencapai kebebasan dan itulah yang sedang kuperjuangkan sekarang. "Aku akan mengantarmu pulang, Ivana." Suara Dante memecah lamunan. Membuat wajahku menoleh kepadanya. Ia tampak sedang sibuk merapikan mantelnya yang hangat sebelum kemudian balas menatapku. Melihat wajahnya yang sendu, membuatku enggan menurunkan senyum. Siapa sangka pria ini telah menghangatkan dadaku tanpa aba-aba. Menyapa kegelapan yang selama ini bersembunyi dengan baik di balik luka. "Aku akan pulang sendiri kali ini," kataku. Yang justru langsung membuatnya mengernyitkan kening. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu melihat ke sekitar untuk sesaat. Dari sorot matanya yang bingung, ia tampaknya sedang mencari-cari sebab mengapa aku menolak tawaran darinya untuk mengantarkan ku kembali ke rumah. Dante kemudian kembali melihatku dan tersenyum tipis. "Apa kau tidak merasa nyaman saat bersamaku, Ivana?" Namun aku menggelengkan kepalaku perlahan. "Aku harus pergi ke rumah sakit hari ini." Dante mengatup bibirnya, sebelum kemudian kembali membuka suara. "Kau merasa sakit? Apa ini ... karena kau menaiki motorku tadi?" "Ah, ya, sedikit," godaku. Yang ternyata langsung membuatnya berekspresi seperti itu. Ia tidak pandai menutupi rasa bersalah di wajahnya dan hal itu justru membuatnya terlihat menggemaskan. "Tapi alasan utama kenapa aku harus kembali ke rumah sakit adalah karena hari ini aku ada jadwal untuk melakukan terapi bersama Dr. Lili." Mulut Dante membulat. Ia kemudian tertawa pelan, tipuanku berhasil. Namun pria ini sama sekali tidak marah atau keberatan hanya karena aku sedikit menggodanya. Pria yang jauh lebih tinggi daripada diriku ini pun memijit pelan tengkuk lehernya, lalu berkata, "Kau hampir membuatku merasa sangat bersalah, Nona." Dan aku hanya bisa tersenyum untuk menimpali kalimatnya yang justru terdengar seperti pujian di telingaku. Dante kemudian menganggukkan kepalanya dan berkata, "Kalau begitu, aku akan pergi lebih dahulu. Aku akan mulai memeriksa orang-orang terdekat Ethan. Kau sungguh tidak apa jika kutinggal sendirian?" "Tentu. Aku sudah memesan taksi." "Baiklah, sampai jumpa." Aku tersenyum untuk melepas kepergian Dante dengan motor sportnya. Sementara tak berselang lama, sekitar dua menit setelahnya, sebuah taksi berwarna hitam pun menghampiriku yang sejak tadi berdiri menunggu di gerbang kantor polisi. Dan tanpa menunggu lama, aku pun segera menaiki kendaraan umum tersebut menuju rumah sakit. Sambutan hangat menyapaku ketika kakiku sampai di taman rumah sakit. Itu Louis, bersama seorang nenek. Jika aku tak salah ingat, dia adalah seorang nenek dari bangsal 2. Penderita demensia yang juga mengalami gangguan jiwa semenjak putri sematawayangnya meninggal. "Kupikir kau akan melewatkan terapinya, Ivana," goda Louis. Aku tersenyum kepada Louis sebelum kemudian menyapa sang nenek yang dengan setia memegangi lengan Louis. "Halo, Nyonya Jill. Kau terlihat sangat baik hari ini." Dan samar-samar kudengar wanita dengan banyak keriput di kulitnya itu berbisik kepada Louis. Ia sepertinya sama sekali tidak mengingatku, sehingga perlu menanyakan identitasku kepada sang perawat. Dan seperti biasa, dengan sikap yang sabar, Louis menjelaskannya secara perlahan. "Dia adalah Nona Ivana. Kalian sering bertemu di taman ini." "Apakah Dr. Lili sudah datang?" Melihat bahwa menunggu respon Nyonya Jill hanya akan membuang waktu, aku pun memutuskan untuk meringkas pembicaraan kami. Louis lantas mengangguk mengiyakan tanpa sedikit pun menurunkan senyum dari bibirnya. "Dia ada di ruang konsultasi. Apa kau akan lama hari ini?" "Entahlah," kataku. "Kalau begitu, aku akan menemuimu setelah sesi terapinya selesai." Dan aku setuju untuk melakukannya. Aku juga perlu bicara dengan Louis terkait kejadian beberapa hari yang lalu, di taman kota. Aku perlu memastikan bahwa apa yang kualami bukanlah bagian dari delusi. Dia nyata dan dia memang ada di sana. "Tentu." Aku berjalan meninggalkan Louis yang tampak kembali sibuk menyuapi Nyonya Jill. Melihat wanita tua itu sangat lengket dan terus tersenyum kepadanya, membuatku yakin bahwa Louis merawat nenek tua itu dengan sangat baik dan telaten. Aku meninggalkan mereka dan berjalan menuju ke ruang terapi dan konsultasi. Jadwal mingguanku adalah bertemu dengan Dr. Lili. Memastikan bahwa diriku sudah sembuh dan lebih baik daripada hari-hari sebelumnya kini menjadi suatu kewajiban setelah aku meninggalkan rumah sakit. Setidaknya aku perlu memastikan bahwa kondisi mentalku akan terus stabil selama aku menjalani hari-hari di luar rumah sakit jiwa. Sampai kemudian telingaku mendengar. "Kurasa Ivana tidak bisa benar-benar sembuh dari penyakitnya." Dan membuat langkahku terhenti seketika. Aku memundurkan langkah, bersembunyi di balik dinding yang berbeda untuk bisa mendengar percakapan di dalam ruangan dengan lebih jelas. Itu Dr. Lili, sepertinya sedang bersama seseorang. "Apa menurutmu kami bisa memasukkannya ke dalam penjara jika dia masih dalam keadaan sakit?" Dahiku sontak mengerut saat mendengar pernyataan itu. Aku mencoba mengintip, tapi tubuh seseorang yang membelakangiku membuatku kesulitan. Aku tak bisa memastikan siapakah seseorang yang sedang berbicara dengan Dr. Lili. Sehingga aku memberanikan diri untuk menjijit, setidaknya aku bisa melihat dengan lebih jelas siapakah pemilik dari suara yang membicarakanku itu. Namun sungguh sial. Sepertinya hari ini memang bukan hari keberuntunganku. *** It's information time. Meski psikiatri dan psikologi sama-sama cabang ilmu yang mempelajari masalah psikologis atau kejiwaan, tapi keduanya memiliki perbedaan. Salah satu perbedaan psikiatri dan psikologi adalah dalam batas penanganan yang bisa diberikan. Perbedaan yang paling mendasar antara seorang psikiater (orang yang menggeluti ilmu psikiatri) dan psikolog (orang yang menggeluti ilmu psikologi) adalah latar belakang pendidikan dan ruang lingkup kerjanya. Secara garis besar, psikiater adalah dokter, sedangkan psikolog bukan dokter. Psikiatri adalah ilmu kedokteran yang berfokus pada kesehatan jiwa, sedangkan psikologi adalah ilmu non-kedokteran yang mempelajari perilaku dan perasaan seseorang. Meski berbeda latar belakang, keduanya saling melengkapi. Ruang Lingkup Tugas Kedokteran Psikiatri Dokter yang telah selesai menjalani pendidikan spesialisasi di bidang psikiatri disebut psikiater atau dokter spesialis kesehatan jiwa (SpKJ). Tugas pokok seorang psikiater adalah mendiagnosis dan mengobati pasien yang mengalami gangguan mental, serta melakukan pencegahan terhadap gangguan ini. Berikut adalah beberapa contoh gangguan mental yang ditangani oleh psikiater: Fobia Depresi dan demensia Gangguan kepribadian Gangguan kecemasan Gangguan tidur dan makan Gangguan obsesif kompulsif (OCD) Gangguan stres pascatrauma (PTSD) Skizofrenia Kecanduan obat-obatan atau minuman beralkohol Selain menangani kondisi di atas, psikiater juga sering dilibatkan dalam penanganan penyakit yang dapat berkaitan dengan kondisi psikologis pasien, seperti gangguan pada otak, penyakit kronis, kanker, atau penyakit HIV/AIDS. Karena psikiatri adalah suatu cabang ilmu medis, maka psikiater diperbolehkan untuk meresepkan obat-obatan untuk membantu mengatasi gangguan mental yang dialami pasien. Berbeda halnya dengan psikolog, mereka tidak memiliki wewenang untuk meresepkan obat. Kapan Sebaiknya Mengunjungi Psikiater? Waktu yang tepat untuk mengunjungi psikiater atau psikolog adalah ketika mengalami keluhan mental atau psikologis yang sudah memengaruhi kondisi fisik atau aktivitas sehari-hari. Penderita gangguan mental sebenarnya boleh saja mengunjungi psikolog terlebih dahulu guna mendapat konseling. Ketika dirasa perlu, psikolog akan merujuk penderita gangguan mental ke psikiater untuk mendapatkan pengobatan secara menyeluruh. Meski begitu, ada beberapa kondisi yang mengharuskan penderita gangguan mental dibawa langsung ke psikiater, misalnya skizofrenia atau depresi yang sudah parah hingga memiliki niat untuk bunuh diri. Jika langsung ditangani oleh psikiater, penderita bisa segera mendapatkan pengobatan untuk meredakan gejalanya, sehingga tidak membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Ilmu psikiatri dan psikologi saling melengkapi. Meski begitu, penanganan yang dapat diberikan oleh psikiater berbeda dengan psikolog. Karena batasan inilah, psikolog lebih banyak menangani kondisi psikologis yang berkaitan dengan masalah sehari-hari, sementara psikiater lebih banyak menangani gangguan kejiwaan yang sudah parah dan memerlukan pemberian obat-obatan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD