Sesampainya di ruang tengah, Evelina melihat seorang lelaki tengah memakan cemilan yang baru saja disandingkan oleh asisten rumah tangga, Bi Darwi. Kedatangan seorang gadis yang tertatih-tatih mengenakan kaus crop dengan celana kulot itu pun membuat Zafran mengalihkan pandangannya.
“Lama banget, Ve. Hampir jamuran gue nunggu di sini,” keluh Zafran lagi-lagi seperti yang ada di panggilan membuat Evelina memutar bola matanya malas, lalu mendudukkan diri dengan santai di samping lelaki itu.
“Uhm … Bi Dar istirahat aja. Biar Zafran ngelayanin dirinya sendiri,” titah Evelina dengan lembut membuat wanita paruh baya yang tengah menyiapkan cemilan itu pun mengangguk pelan.
“Baik, Nona Eve,” balas Bi Darwi patuh dan melenggang pergi membawa nampan bersamanya.
Sepeninggal asisten rumah tangga yang sudah tidak lagi diperlukan untuk melayani, Evelina pun menoleh ke arah sahabatnya yang terlihat memakan cemilan dengan sesekali tertawa melihat tontonan di hadapannya.
Tentu saja hal tersebut membuat Evelina merasa kesal, sebab Zafran terlihat begitu santai ke rumah dengan menumpang makan saja. Padahal ia kira lelaki itu datang untuk menjenguk dirinya yang sedang cedera.
“Zaf, lo ke sini mau numpang makan atau jenguk gue?” tanya Evelina menyindir penuh kekesalan ke arah sahabatnya yang tersenyum geli.
“Maaf, gue tadi lapar banget,” jawab Zafran menyadari tingkah sahabatnya kesal. “Oh ya, gue datang ke sini mau ngasih ini dari Buna.”
Evelina tersenyum lebar melihat bingkisan dari ibu sahabatnya yang berisikan berbagai jenis buah, lalu ada beberapa kue brownies dengan bermacam-macam toping di atasnya.
Kemudian, di dalam bingkisan lainnya terdapat dua kotak donat kesukaan Evelina. Membuat gadis itu menerima dengan sangat senang hati, lalu menaruhnya di atas meja dengan begitu berhati-hati.
“Memangnya Tante Rina habis dari mana, Zaf? Kok banyak banget makanannya dikasih ke gue,” tanya Evelina penasaran.
“Buna gue baru pulang dari perjalanan bisnis sama Ayah. Sebenarnya gue enggak mau ambil, tapi entah dapat informasi dari mana tiba-tiba Buna langsung nyuruh gue buat antar ini,” jawab Zafran mengangguk pelan sembari menatap ke arah sahabatnya yang masih mengagumi banyak sekali makanan terlihat enak.
“Waw, gue sepertinya bakalan cepat sembuh kalau dikasih banyak makanan manis. Karena kata dokter gue harus banyak makan makanan manis dan istirahat cukup agar sistem imun gue balik lagi,” ungkap Evelina mengangguk mantap, lalu mulai tidak sabar membuka salah satu dari tiga kotak donat yang menjadi penarik lebih kuat di antara cemilan lainnya.
Hal tersebut membuat Zafran mendadak gemas dan mengacak rambut Evelina penuh kasih sayang, lalu tertawa pelan saat melihat gadis itu memakan dengan banyak krim menempel di bibirnya.
“Kalau kata idola lo, kiyowok! Tapi, lo emang imut sih, Ve,” ujar Zafran seakan berbicara pada dirinya sendiri sembari menatap gemas ke arah Evelina yang mendadak malu.
Sontak gadis itu langsung menampol pelan pipi Zafran agar mengalihkan pandangannya. Entah kenapa Evelina menjadi malu sendiri melihat penampilannya yang mungkin menjadi seperti anak kecil. Sampai Zafran yang biasa mengejek pun mendadak memuji dirinya dengan begitu mendebarkan.
“Jangan aneh-aneh, gue tahu lo pasti mau ngatain, ‘kan? Enggak ada yang namanya Zafran muji gue kalau enggak ada maksud terselubung,” sinis Evelina mendesis pelan dan berpura-pura kembali menikmati donat tersebut sembari sesekali menyeka sudut bibirnya agar tidak menarik perhatian.
Sedangkan Zafran yang mendengar nada sinis dari sahabatnya mengandung kebenaran hanya tertawa pelan, lalu mengambil ponselnya terasa bergetar di dalam saku. Lelaki itu tampak mengernyitkan kening sesaat, sebelum kembali memasukkan benda pipih tersebut seperti semula.
Evelina mendadak penasaran melihat ekspresi aneh dari Zafran seakan tidak ingin menerima pesan tersebut pun mulai menatap penuh. Melupakan sejenak kekesalannya terhadap Zafran.
“Dari siapa, Zaf?” tanya Evelina berpura-pura mengintip, walaupun sama sekali tidak terlihat.
“Biasa. Azalia selalu minta gue temenin,” jawab Zafran acuh tak acuh tanpa minat sama sekali untuk membalasnya.
“Kenapa enggak dibalas? Siapa tahu dia lagi butuh bantuan lo, Zaf?” Evelina menatap hati-hati ke arah Zafrah yang merubah ekspresinya dalam sesaat. “Tapi, kalau lo enggak mau juga enggak masalah, karena ini memang bukan hak gue buat nyuruh-nyuruh. Apalagi sama hal yang enggak lo suka.”
Tanpa sadar perkataan dari Evelina membuat Zafran yang awalnya dalam suasana hati buruk pun memincingkan mata penuh selidik, lalu mendekati wajah sahabatnya yang menoleh dengan gugup.
Lelaki tampan dengan penampilan sedikit berbeda itu tampak mengunci pergerakan Evelina menggunakan kedua tangannya. Mengungkung tubuh gadis itu dengan mempersempit tempat sampai Evelina mendadak berdeham pelan merasakan tenggorokannya kering.
“Kenapa? Lo udah mulai memahami gue, Ve?” tanya Zafran dengan bernada sedikit menggoda.
“Ap … apaan, sih?” elak Evelina berusaha memberontak, sebab ia sadar ini masih di rumah yang mana sang ibu kemungkinan akan memergoki mereka berdua.
Tentu saja Evelina akan sangat panik jika sang ibu melihatnya. Karena wanita itu pasti akan berpikiran yang bermacam-macam sampai Evelina tidak mampu membayangkannya sama sekali.
Namun, siapa sangka kalau Zafran melepaskan gadis itu begitu saja sembari tertawa lepas. Lelaki tampan yang sempat mempermainkan banyak gadis itu benar-benar menyebalkan membuat Evelina langsung memasukan satu donat penuh ke dalam mulut Zafran yang terbuka akibat tertawa.
Sontak perbuatan itu membuat Zafran melebarkan matanya dan melepaskan donat tersebut sembari menggingit setengah dari satu bulat lingkaran penuh dengan taburan kacang tanah.
“Jangan mangap lebar-lebar kalau enggak mau gue kerjain,” ejek Evelina menjulurkan lidahnya menyebalkan.
Hal tersebut membuat Zafran mengembuskan napasnya panjang, lalu mengabaikan ejekan gadis itu. Walaupun jauh dari dalam lubuk hatinya merasa sangat bahagia, karena Evelina masih memperhatikannya sampai seperti ini.
Saat keduanya asyik menikmati cemilan, tiba-tiba Wendy keluar dari kamarnya yang berada di lantai bawah. Wanita itu menatap terkejut melihat banyak sekali cemilan di atas meja.
“Zafran, kamu habis ngerampok di mana?” tanya Wendy setengah bercanda membuat Evelina terkejut.
“Astaga, Mamah siapa yang ngajarin jokes seperti itu?” sela Evelina menutup mulutnya tidak percaya, padahal selama ini Wendy selalu menjadi orang yang serius.
Seakan mengabaikan perkataan anak semata wayangnya, Wendy kembali menatap ke arah Zafran tertawa pelan.
“Iya, Tante Wen. Kebetulan Bunda hari ini baru pulang dari perjalanan bisnis sama Ayah, terus dengar Eve cedera. Jadi, sengaja beli semua makanan ini,” jawab Zafran.
**
Mengalami cedera kaki yang tidak terlalu parah membuat Evelina sebenarnya masih bisa melakukan banyak hal sendirian. Hanya saja terkadang gadis itu merasa lelah kalau harus menyeret kakinya berkali-kali ketika menuju berbagai tempat.
“Seharusnya tadi mau aja dibeliin tongkat,” keluh Evelina mendudukkan diri di closet sembari menyikat giginya sebelum tidur.
Salah satu kebiasaan Evelina agar giginya tetap sehat, sebab tadi gadis itu sempat memakan banyak makanan manis. Yang mana kalau dibiarkan begitu saja akan membawa bencana pada giginya ketika malam hari tiba.
Selesai menyikat gigi sekaligus membersihkan wajah, Evelina kembali tertatih-tatih menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Dengan bersusah payah melompat-lompat menggunakan satu kaki, Evelina pun sampai di depan kamar dengan selamat.
“Huh, lelah banget,” keluh Evelina mendorong pintu kamarnya dengan malas.
Dengan membanting tubuh di atas kasur, Evelina bersiap memejamkan mata. Akan tetapi, sekilas bayangan aneh membuat gadis itu kembali membuka matanya, lalu menatap sekitar yang gelap, hanya disinari oleh bulan dari luar jendela.
Sejenak Evelina kembali terduduk, lalu berkata, “Keluarlah kalian!”
Dan benar saja, sedetik kemudian beberapa sosok muncul tepat di hadapan Evelina dengan berbagai rupa. Membuat gadis itu menatap malas sekaligus tidak mempercayai bahwa mereka akan mengganggu ketika dirinya hendak tidur seperti ini.
“Apa yang kalian inginkan?” tanya Evelina menatap satu per satu ke arah sosok makhluk astral yang tidak diketahui dari mana asalnya, sebab ini kali pertama Evelina didatangi oleh mereka semua.
“Evelina, tolong kami!” jawab para sesosok itu mendadak memohon membuat Evelina bingung.
“Ada apa?” tanya Evelina lagi. Kali ini menatap sedikit penasaran.
Salah satu dari sesosok itu pun mendekat, lalu menjawab, “Kita semua diusir dari pos ronda yang ada di depan. Di sana ada ratu kuntilanak yang ditaklukan oleh seseorang. Kami tidak tahu siapa, tapi dia sangat kuat.”
Evelina mengernyit bingung mendengar penjelasan dari mereka semua yang ternyata tidak mengetahui pelakunya. “Mengapa kalian ada di sini? Bukankah lebih baik membalaskan dengan cara kalian sendiri?”
“Tidak bisa, Eve. Dia sangat kuat dan memilih botol mantra yang bisa menyedot kami untuk dijadikan sebagai budaknya,” balas sesosok bertubuh dengan lumuran darah seperti korban dari tabrak lari.
Sejenak Evelina menjatuhkan punggungnya kembali menatap langit-langit kamar membuat beberapa sosok itu langsung terbang mengelilingi Evelina yang mengembuskan napas keras-keras melihat betapa gigihnya sesosok tersebut meminta bantuan.
“Aku tidak bisa melakukannya. Bukankah kalian sendiri tahu kalau kakiku sedang cedera?” tolak Evelina memejamkan matanya mengacuhkan beberapa sosok tersebut.
“Tidak bisa, Eve. Hanya kamu yang bisa membantu kami,” ucap mereka dengan menatap penuh permohonan.
Lagi-lagi Evelina membuka matanya sembari mengembuskan napas kasar, lalu terduduk membuat tubuhnya berbenturan langsung dengan para sosok yang memenuhi langit-langit kamar.
“Ya udah, aku akan meminta bantuan temanku,” pungkas Evelina menyetujui permintaan para sosok tersebut, kemudian gadis itu mulai membuka ponselnya yang berada di nakas.
Sejenak beberapa deringan nada tunggu panggilan tersambung membuat Evelina mengembuskan napas panjang. Tanpa sadar gadis itu mengumpati Zafran yang kemungkinan sedang memainkan game sampai tidak menyadari ponsel terus berdering tanpa henti.
Kegiatan itu pun membuat Evelina menidurkan punggungnya kembali sembari memainkan ponsel dan diam-diam mengumpati Zafran yang sangat menyebalkan. Sedangkan para sosok yang memperhatikan Evelina hanya diam saling berpandangan.
“Halo, Zaf! Kenapa telepon gue baru diangkat!?” cerocos Evelina tepat teleponnya tersambung membuat lelaki yang berada di seberang langsung menjauhkan ponselnya.
Zafran meringis pelan, lalu membalas, “Sorry, Ve. Gue tadi baru selesai mandi.”
“Hah? Lo baru mandi?” tanya Evelina terkejut, lalu menoleh ke arah jam dinding yang ada di kamarnya menunjukkan pukul 10.00 pm.
“Iya, gue ketiduran tadi,” jawab Zafran mengacak rambutnya sembari menatap ke arah cermin meja rias yang ada di hadapannya.
Setelah puas memandangi penampilannya, Zafran pun mendudukkan diri di kursi malas sembari menikmati pandangan malam yang begitu khas. Bintang bertaburan dengan benda bulat terang berwarna putih.
“Ada apa, Ve? Lo tumben nelepon jam segini,” tanya Zafran kembali terfokus sembari menyandarkan tubuhnya santai.
“Gue mau minta bantuan, Zaf. Bisa enggak?” jawab Evelina menipiskan bibirnya ragu-ragu. Ia takut kalau lelaki yang ada di seberang telepon tidak menyetujuinya.
“Bantuan apa? Kalau susah gue enggak mau.” Zafran sudah menolak sebelum Evelina mengutarakan keinginannya.
“Sebentar aja, Zaf. Gue benar-benar keganggu sekarang,” pinta Evelina dengan nada memelas membuat para sosok uang berkumpul itu langsung antusias kesenangan.
“Ya udah, mau apa?”
Akhirnya Zafran pun memilih untuk mengalah, sebab lelaki itu memang tidak memiliki banyak argumen untuk diberikan pada Evelina. Walau bagaimanapun juga, gadis itu akan tetap menang.
“Lo bisa keluar sekarang, Zaf? Di kamar gue sekarang ada banyak arwah yang minta bantuan buat ngusir orang berusaha ngambil mereka,” ucap Evelina memejamkan matanya memantapkan hati menerima jawaban apa yang diberikan lelaki itu.
“Apa!?” seru Zafran meninggi.
“Zaf, gue minta bantuan sama lo sekarang doang. Kalau gue bisa, gue bakalan jalan sendiri,” lanjut Evelina memohon dengan sangat penuh.
Zafran mengembuskan napasnya panjang sembari memijat pangkal hidung beberapa kali, lalu membuka mata menatap hamparan langit malam yang gelap.
“Gue haru ke mana? Ke rumah lo dulu atau langsung ngusir itu orang?”
“Langsung ke pos yang waktu itu gue bilang ada ratu kuntilanak, Zaf. Tenang aja di sana udah enggak ratunya, karena diambil sama beberapa orang yang kemungkinan besar masih di sana.”
“Apa untungnya mereka ngambil arwah?”
“Jelas buat dijadiin b***k pesugihan, Zaf. Ayo, buruan gue mau tidur! Mereka enggak akan pergi sebelum lo ngusir orang itu.”
“Oke, gue jalan sekarang!”
Tepat mengatakan hal tersebut, panggilan pun terputus dengan wajah sumringah Evelina tercetak jelas sembari menatap beberapa arwah yang ikut senang. Mereka tidak akan mengikuti orang-orang yang hanya akan memperalat tanpa bertanggung jawab sama sekali.
Sebab, kebanyakan arwah yang sudah dipergunakan seperti itu tidak akan bisa menemukan jalan menuju kebenaran. Dan mereka yang mendatangi Evelina benar-benar sudah putus asa, karena tidak ada jalan lain, selain meminta bantuan pada satu-satunya orang yang mampu melihat mereka untuk mengusir orang tersebut.