“Eve, apa yang terjadi?”
Peter yang datang tiba-tiba menjemput sang anak mendadak terkejut melihat kedatangan Evelina dituntun oleh Zafran. Bahkan lelaki dewasa yang berkharisma kuat itu langsung melenggang lebar-lebar menghampiri sang anak semata wayangnya.
“Papah?” gumam Evelina tidak percaya, padahal ia sama sekali tidak meminta dijemput hari ini, tetapi sang ayah malah datang secara tidak terduga.
Sedangkan Zafran yang merasa bersalah sudah mencelakai sahabatnya akibat berlari pun menunduk penuh penyesalan. Membuat Peter menoleh sesaat, lalu memperhatikan keadaan Evelina yang diperban lutut kirinya.
“Papah kok bisa ada di sini?” tanya Evelina penasaran.
Peter memegang kedua lengan anak semata wayangnya sembari menatap khawatir, lalu menjawab, “Tadi Papah niatnya mau antar kamu ke demo karate. Tapi, kenapa malah menjadi seperti ini? Apa yang terjadi?”
“Maafkan Zafran, Om!” ucap lelaki tampan yang berada tepat di samping keduanya dengan lantang.
Hal tersebut membuat Evelina spontan memukul pelan lengan sahabatnya, lalu menyanggah penuh kesal, “Jangan sok-sokan nyalahin diri sendiri. Gue jatuh akibat enggak ngelihat batu, bukan karena ulah lo. Berapa kali sih kita debat cuma gara-gara ini doang?”
Sedangkan Peter yang mengetahui situasi keduanya pun mengembuskan napas panjang. Lelaki itu mengerti bahwa Zafran akan menyalahkan dirinya sendiri akibat luka yang dimiliki oleh Evelina. Terlebih keduanya sering kali melindungi satu sama lain, sehingga pandangan wajar jika kini Zafran menyalahkan dirinya sendiri.
Tidak ingin membuat Evelina terbebani dengan pembelaan sahabatnya, Peter pun menyela, “Sudah. Om tidak akan membuat perhitungan apa pun pada kamu, Zafran. Jadi, sekarang biarkan Evelina ke rumah sakit dulu.”
Zafran menatap sesaat ke arah Evelina yang memutar bola matanya malas, lalu mengangguk pelan mengantarkan kepergian gadis itu bersama sang ayah.
Secara perlahan Evelina masuk ke dalam mobil yang disetir oleh ayahnya sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri lelaki itu jarang sekali menggunakan jasa supir, sebab kebiasaannya yang mandiri membuat Peter melakukan seluruh perjalanan kantornya sendirian.
Sejenak di dalam mobil tidak ada yang bersuara sedikit pun. Peter tampak sibuk menyetir, sedangkan Evelina yang terlihat takut menatap ke arah sang ayah. Sebab, lelaki itu mendadak memasang wajahnya serius.
“Papah, sepertinya Eve baik-baik aja,” celetuk Zyrach menipiskan bibirnya gugup.
“Enggak. Kamu harus tetap ke rumah sakit, Eve,” balas Peter tegas. “Sekarang ceritakan apa yang terjadi?”
Zyrach meringis pelan, lalu mulai menceritakan apa yang terjadi pagi tadi. “Sebenarnya, tadi Eve berangkat hampir telat, Pah. Karena perjalanan ke sini ada sistem putar balik arah. Jadi, biar enggak terlalu telat, Eve sama Zafran lari. Tapi, Eve terlalu fokus pada jam tangan sampai enggak tahu kalau ada trotoar yang belum selesai.”
Kening lebar nan mulus Peter berkerut bingung, lalu mengangguk beberapa kali mendengar perkataan anak semata wayangnya. Bukan karena tidak mengerti, melainkan lelaki itu berusaha kebiasaan ceroboh dari sang anak yang selalu melupakan kenyataan bahwa kakinya akan mudah terjatuh ketika tidak memperhatikan langkah kaki.
Tak lama kemudian, mobil mewah yang dikendarai oleh Peter pun sampai di depan rumah sakit tidak terlalu ramai. Lelaki itu pun langsung beranjak turun dan membantu Evelina keluar dari mobil.
“Papah enggak ada janji hari ini?” tanya Evelina mengernyit bingung melihat sang ayah yang terlalu santai sampai mengantar dirinya seperti ini.
“Enggak ada. Papah udah selesai tinggal ngurus berkas di perusahaan,” jawab Peter menggeleng pelan, lalu menuntun secara lembut menaiki anak tangga satu per satu menuju lobi rumah sakit yang diisi oleh beberapa pasien tampak berbincang dengan suster dan dokter.
Langkah kaki ayah dan anak itu mengarah ke bagian administrasi untuk mendaftar pengobatan ke dokter khusus tulang dan sendi. Membuat Evelina dengan sabar menunggu sang ayah mengurus p********n menggunakan kartu debit.
Setelah selesai, Peter langsung membawa Evelina memasuki elevator menuju ruang pemeriksaan yang dimaksud. Awalnya lelaki itu hendak menggunakan kursi roda, tetapi Evelina langsung menolak dengan keras. Sebab, kedua kakinya masih bisa digerakkan dengan baik. Sehingga tidak perlu menggunakan fasilitas umum hanya demi memanjakan diri.
Sesampainya di depan ruang pemeriksaan, Peter memberikan beberapa berkas ke arah suster yang bertugas memanggil pasien untuk segera diperiksa. Lelaki itu memberikan berkas sembari berbincang beberapa hal membuat Evelina yang duduk di ruang tunggu hanya menatap tanpa ekspresi.
Kehadiran seorang gadis berpakaian seragam khas SMA Catur Wulan membuat beberapa pengunjung menoleh, lalu terpaku pada salah satu kaki mungil Evelina yang diperban cukup tebal. Sebab, Zafran telalu kaku dalam mengobati orang sakit membuat Evelina tidak bisa melakukan banyak hal, selain membiarkan lelaki itu melakukan sesuka hatinya.
“Tunggu sebentar, katanya dokter yang menangani kamu sedang memiliki dua pasien lagi,” ungkap Peter sembari mendudukkan tepat di samping anak semata wayangnya.
“Sebenarnya Papah enggak perlu sampai seperti ini karena Eve baik-baik aja,” ungkap Evelina masih berusaha mengurungkan niat sang ayah.
“Enggak bisa, Ve. Gimana kalau cidera lutut kamu ini makin parah? Yang ada Papah sama Mamah lebih repot, jadi lebih baik sekarang kamu nurut dan ikuti apa kata dokter nanti,” balas Peter dengan tegas tak terbantahkan.
Mendengar perkataan itu, Evelina pun sukses mengantupkan mulutnya rapat-rapat. Gadis itu memilih menatap sekeliling pengunjung rumah sakit yang bergerak tiada henti.
Sampai seorang suster mendekat ke arah Evelina dan Peter, lalu berkata, “Tuan Smith dan Nona Evelina, silakan masuk ke ruangan!”
Spontan ayah dan anak itu pun bangkit dengan lagi-lagi Peter menuntun langkah Evelina yang tertatih. Gadis cantik yang mengenakan pakaian seragam itu melenggang masuk diikuti suster menuntun ke dalam ruangan.
Sejenak Evelina bertemu dengan seorang dokter cantik yang begitu tinggi tengah mencatat sesuatu di berkas. Wanita berkuncir kuda dengan masker menutupi sebagian wajahnya itu pun menoleh menatap kedatangan Evelina yang dituntun bergerak ke arah bangsal kosong dengan tirai setengah terbuka.
“Apa yang terjadi, Nona Evelina?” tanya sang dokter wanita tersebut mulai memeriksa lutut Evelina yang terasa sangat nyeri membuat Peter langsung bangkit menatap penuh khawatir ke arah tirai ditutup rapat.
Lelaki tampan berkharisma kuat itu sesekali bergerak ketika mendengar erangan Evelina yang keluar akibat beberapa tindakan dari sang dokter wanita tersebut. Membuat Peter semakin khawatir, tetapi tidak bisa melakukan apa pun, selain memastikan pemeriksaan telah selesai.
**
Setelah selesai melakukan beberapa prosedur pemeriksaan yang lumayan rumit, akhirnya Evelina pun didiagnosis mengalami pergeseran sendi. Untung saja masih bisa diluruskan kembali, walaupun gadis itu sempat menangis akibat terlalu sakit merasakan lututnya yang semakin berdenyut.
Kini ayah dan anak itu tampak menunggu di ruang apotek untuk mengambil beberapa obat dari sang dokter agar Evelina cepat sembuh. Terlebih gadis itu seorang atlet yang memiliki banyak jadwal dengan tulangnya harus segera pulih.
Selesai mengambil obat, Peter kembali menuntun Evelina menuju mobil yang terparkir tepat di depan lobi rumah sakit. Lelaki itu dengan sabar menunggu Evelina memposisikan dengan baik. Awalnya Evelina hendak dibelikan tongkat khusus agar tidak merepotkan siapa pun, tetapi sayang sekali gadis itu memilih untuk tetap mandiri dan tidak membuang-buang uang hanya karena cidera ringannya saja.
“Pah, hari ini beneran enggak ada jadwal?” tanya Evelina menahan pintu mobil sebelum sang ayah menutupnya.
Sejenak Peter merendahkan tubuh menatap sang anak penuh, lalu menjawab, “Sebenarnya ada, tapi anak kesayangan Papah lebih berharga dibandingkan pekerjaan.”
Evelina mengembuskan napasnya panjang, dan memegang lengan sang ayah sembari berkata, “Lebih baik sekarang Papah melakukan pekerjaan. Eve benar-benar sudah tidak apa-apa.”
“Papah ada pertemuan, sayang. Enggak mungkin ninggalin kamu gitu aja di sini,” sanggah Peter menggeleng tegas, lalu menutup pintu mobilnya begitu saja. Membuat Evelina mengantupkan bibirnya rapat.
Kemudian, Peter yang mengitari mobil hendak masuk ke jok kemudi pun membuat Evelina hendak kembali berkata. Namun, sayang sekali lelaki itu tepat selesai mengenakan sabuk pengaman langsung bergegas keluar dari pekarangan rumah sakit.
“Papah enggak akan memprioritaskan apa pun, selain kesehatan kamu, Evelina. Jadi, jangan keras kepala dan tetap ikuti apa yang Papah inginkan,” pungkas Peter sebelum anak kesayangannya berbicara.
Mendengar hal tersebut, Evelina hanya menurut dan menatap wajah sang ayah yang terlihat kusut. Entah kenapa wajah lelaki itu kesal sekaligus tidak mempercayai bahwa Evelina akan terluka seperti ini.
Mobil yang dikendarai Peter pun akhirnya sampai di depan rumah memperlihatkan seorang wanita baru saja selesai menyiram kebun dengan pakaian sedikit lembab.
“Sayang, tolong aku sebentar!” seru Peter membuat Wendy mengernyitkan keningnya bingung, lalu mendekat ke arah jok penumpang yang memperlihatkan Evelina keluar dari dalam mobil dengan lutut diperban warna cokelat kulit yang cukup kontras.
“Astaga, Evelina, apa yang terjadi?” tanya Wendy panik, lalu menuntun anak semata wayangnya khawatir.
Melihat kedua orang tuanya yang bereaksi sama membuat Evelina meringis pelan, lalu mengembuskan napas panjang. Terkadang kedua orang tuanya begitu khawatir sampai seperti ini.
“Mamah, Eve baik-baik aja cuma terkilir. Mungkin beberapa hari juga sembuh,” jawab Evelina menatap kesal ke arah sang ayah.
Peter yang masih mempunyai janji pun menyela pembicaraan keduanya, “Aku masih harus datang ke sebuah janji yang telah ditetapkan kemarin. Jadi, jaga Evelina dan jangan sampai melakukan hal berat. Dia baru saja mendapatkan perawatan dari rumah sakit.”
“Baik, Mas!” balas Wendy mengangguk patuh.
Kemudian, Wendy pun membawa Evelina masuk ke dalam rumah, sedangkan sang ayah kembali melesat pergi memenuhi janji. Entah bersama siapa lelaki itu memiliki janji, tetapi Evelina benar-benar merasa bersalah.
Sejenak Wendy membawa Evelina menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Meskipun sempat berdebat agar pindah di bawah, tetapi gadis itu benar-benar bersikeras untuk tetap berada di atas, walaupun kondisinya sama sekali belum pulih.
Kini Evelina tengah melepaskan pakaiannya di dalam kamar mandi sembari memandangi lutut yang terasa sedikit lebih baik. Sebab, dokter wanita yang ada di rumah sakit tadi memberikan beberapa pijatan menembus hingga tulang. Membuat Evelina benar-benar merasa sangat cengeng sampai menangis seperti tadi.
Setelah selesai melepaskan seluruh pakaiannya, Evelina pun mulai asyik memanjakan diri dengan berendam di dalam bathub sembari mendengarkan musik dari playlist yang memutar banyak lagu kesukaannya. Evelina yang menggunakan maskeri sembar menikmati alunan musik dan sesekali bersenandung lembut.
Namun, saat gadis itu merasa nyaman dengan kegiatan berendamnya, tiba-tiba ponsel yang memutar playlist mendadak berhenti dan kembali memutar dengan suara nada dering ponsel khas ketika mendapati panggilan masuk.
Sejenak Evelina membuka matanya, lalu mengambil ponsel yang berada di sisi kepala. Gadis itu tampak mengernyit bingung melihat nama seseorang di layar ponsel miliknya.
“Halo, Zaf!” sapa Evelina kembali memejamkan mata sembari mendengarkan panggilan melalui speaker pengeras suara yang ada di dalam kamar mandi.
“Lo lama banget, Ve. Gue udah di bawah!” keluh Zafran kesal.
Sontak perkataan itu membuat Evelina melebarkan matanya terkejut, lalu menegakkan tubuh yang menimbulkan suara gemericik air. Tentu saja pendengaran Zafran masih sangat normal membuat lelaki itu mengernyitkan keningnya menebak suara asal dari air tersebut.
“Lo lagi mandi?” tanya Zafran mengernyit penasaran.
“Iya, gue lagi mandi. Siapa suruh lo datang enggak bilang dulu,” jawab Evelina dengan sinis, lalu berusaha bangkit meraih bathrobe yang tergantung di atas gantungan pakaian.
Setelah itu, Evelina membawa ponselnya keluar dari kamar mandi menuju walk in closet. Gadis cantik dengan bathrobe meliliti tubuhnya sembari mencari pakaian untuk digunakan bertemu Zafran.
“Ya mana tahu lo baru balik. Gue pikir Om Peter sibuk dan langsung bawa lo ke rumah, tapi ternyata malah ke rumah sakit dulu,” balas Zafran berusaha membela dirinya sendiri.
Memang tidak dapat dipungkiri Evelina menyetujui perkataan lelaki itu. Bahkan Evelina sendiri tampak hampir tidak mempercayai sang ayah begitu luang sampai mengantri ke rumah sakit dan dengan sabar menunggu pemeriksaan keluar, lalu mengambil banyak obat di apotek.
Kegiatan yang berada di rumah sakit tadi benar-benar menyita banyak waktu. Sampai Evelina dan Peter sampai hampir saja masuk malam hari, karena langit gelap mulai menyapa tanpa permisi.
“Gue juga sebenarnya enggak nyangka juga bakal ke rumah sakit dulu.”
“Jadi, apa kata dokter?”
“Cedera ringan aja. Istirahat selama tiga hari juga sembuh, asal enggak dibuat lari sama hal-hal capek.”
“Ya udah, buruan ke bawah! Gue bosan banget sendirian di sini.”
Evelina tersenyum geli mendengar keluhan sahabatnya yang selalu resah ketika datang. Sebab, lelaki itu memang akan merasa kesepian ketika tidak ada Peter. Walaupun Zafran selalu rutin datang, tetapi lelaki itu akan mengunjungi Evelina dan membuat gadis itu merasa kesal akibat kedatangan sahabatnya.
Dengan cepat Evelina mengganti pakaiannya menjadi lebih baik, sebelum tertatih-tatih keluar dari walk in closet menuju ruang tengah yang menjadi tempat keberadaan Zafran.