Belajar dengan kaki yang sedang cidera membuat Evelina benar-benar merasa tidak nyaman. Gadis itu sesekali mengubah posisi kakinya yang lurus menjadi bertumpu pada sisi kursi milik Syafa. Kebetulan sekali gadis itu menghimpitkan kursinya tepat di ujung meja milik Evelina.
Hal tersebut nyatanya mengusik ketenangan Jordan yang tengah mengerjakan soal-soal essay pemberian dari Pak Handiarto. Lelaki itu melirik melalui ekor matanya ke arah Evelina yang meringis pelan memegangi lutut.
“Sakit, Ve?” tanya Jordan berbisik pelan.
“Iya, Jo. Sepertinya kaki gue kram banget,” jawab Evelina mengangguk pelan.
“Jangan ditekuk dulu kakinya, coba letakkin di belakang kursi gue,” titah Jordan memajukan sedikit bokongnya ke depan.
Mendengar hal tersebut pun mengejutkan Evelina yang langsung melebarkan mata tidak percaya. Gadis itu tampak sangat tidak percaya mendengar perkataan dari seorang lelaki di sampingnya yang menjadi teman sebangku selama kelas 11.
“Yang benar lo, Jo!?” seru Evelina tertahankan.
Jordan mengembuskan napasnya panjang, lalu membalas, “Maksud gue, lo tutupin juga pakai hoodie Zafran.”
Tanpa sadar Evelina mengembuskan napasnya lega, dan mengangguk-angguk mengerti perkataan lelaki itu. Walaupun awalnya sempat memberikan pengertian yang sedikit salah paham.
Sejenak gadis itu bersusah payah mengangkat kakinya yang terasa sangat nyeri, lalu mengembuskan napas panjang menetralkan rasa sakit sekaligus nyeri pada saat bersamaan.
Pergerakan tersebut nyatanya ditangkap oleh Pak Handiarto yang tanpa sengaja mengangkat kepala bertepatan Evelina menghadap ke arah Jordan membuat lelaki paruh baya itu mengernyit penasaran.
“Evelina, ada yang mau disampaikan?” tanya Pak Handiarto memecahkan keheningan.
Spontan seluruh pandangan murid kelas 11 IPA 2 langsung menatap ke arah Evelina dan Jordan, tetapi tatapan mereka malah terlihat prihatin memperhatikan Evelina yang mungkin kesakitan.
Sedangkan Evelina dan mendapat perhatian itu pun meringis pelan. Ia sama sekali tidak percaya pertanyaan tersebut membuat seluruh pandangan kelas mengarah pada dirinya. Membuat gadis itu langsung menundukkan kepalanya menahan malu.
Jordan yang merasa bersalah akibat pertanyaannya tadi Evelina mendapat perhatian dari Pak Handiarto, tetapi lelaki itu tidak bisa melakukan banyak hal. Sebab, dirinya pula sedang dihukum oleh lelaki yang menjadi wali kelas selama mereka menempuh kelas 11.
“Tidak ada, Pak. Saya yang bertanya dengan Eve tadi, jadi dia hanya menjawab. Bukan karena ingin menyampaikan sesuatu,” jawab Jordan berdiri mewakili Evelina yang menahan rasa sakit ingin bangkit.
Pak Handiarto mengangkat kedua alisnya penasaran, sebab jarang sekali Jordan berbicara di depan kelas. Terlebih dalam membela Evelina yang terbiasa melakukan apa pun sendiri. Bahkan keduanya yang menjadi teman sebangku tidak lebih banyak berbicara, selain pada hal-hal penting saja. Karena keduanya pendiam dan dingin disatukan benar-benar sepi tidak ada percakapan sama sekali.
“Kenapa kamu yang menjawab, Jordan?” tanya Pak Handiarto terdengar serius.
“Maaf, bukan untuk menyela pembicaraan, Pak. Tapi, sepertinya Pak Han salah paham dengan Evelina,” jawab Jordan lugas.
Tanpa disangka sama sekali Pak Handiarto mengangguk pelan mendengar jawaban yang awalnya dikira akan menimbulkan masalah baru. Membuat beberapa murid langsung mengagumi keberanian Jordan tanpa suara.
Sedangkan Evelina hanya diam menatap Jordan dengan merasa tidak nyaman. Ia hendak menyela pembicaraan, tetapi rasanya sangat tidak baik. Apalagi Jordan sudah merelakan image dingin nan irit bicara yang sudah mendarah daging.
Namun, di tengah pembicaraan tersebut, Evelina mendengar banyak bisikan yang terjadi pada beberapa siswi membicarakan keberanian sekaligus sikap gentleman Jordan berkorban agar Evelina tidak mendapat masalah.
“Wah, gue baru tahu Jordan rela berkorban padahal posisi sendiri juga lagi genting!” bisik salah satu siswi yang duduk tepat sejajar seperti Evelina. Tentu saja bisikan tersebut dapat didengar dengan baik.
“Bukan itu aja, sih. Gue juga ngerasa kalau Jo belakangan ini jauh lebih santai, walaupun sikapnya masih lebih banyak dingin,” balas siswi yang menjadi teman sebangkunya antusias.
Evelina yang mendengar pembicaraan itu pun mengakui bahwa belakangan ini Jordan memang jauh lebih hangat. Walaupun terkadang lelaki itu sedikit menyebalkan ketika kembali pada mode diamnya.
“Baiklah, silakan duduk lagi, Jordan!” titah Pak Handiarto tegas, lalu menoleh ke arah sekeliling murid didiknya. “Bagi yang sudah selesai menjawab, silakan dikumpulkan lebih dulu! Sebentar lagi istirahat, dan yang belum Bapak tunggu sampai jam pulang tiba.”
Mendengar hal tersebut, satu per satu murid kelas 11 IPA 2 langsung bangkit dari tempat duduknya mengumpulkan lembaran kertas yang menjadi jawaban dari essay pemberian Pak Handiarto.
Ketika anak-anak lain sedang sibuk mengumpulkan kertas, lain halnya dengan Evelina dan Jordan yang terlihat saling menunggu satu sama lain. Akibat pertanyaan tadi, Jordan memang sempat melupakan jawabannya sendiri membuat Evelina membantu lelaki itu menyelesaikan hingga tuntas.
Evelina memang tidak banyak berbicara, tetapi sesekali ia membantu Jordan mendikte ketika lelaki itu melupakan susunan kata yang akan ditulis rapi. Meskipun menggunakan jawaban yang sama, sebisa mungkin Jordan mengarang agar tidak terlalu menjiplak. Terlebih Pak Handiarto tipikal guru yang selalu peka terhadap situasi anak didiknya.
Syafa yang kebetulah telah selesai mengumpulkan pun menoleh ke arah Jordan, lalu berkata, “Makanya Jo, belum selesai bukannya buru-buru malah nyantai. Sekarang pusing sendiri, ‘kan? Kalau gue jadi Eve, enggak akan gue kasih!”
Bukannya tersinggung, Jordan malah menukik alis pongan dan membalas, “Moella.”
Jawaban pada singkat, padat, dan jelas itu membuat Syafa mendengkus keras-keras. Namun, tetap saja gadis itu hanya menganggap bahwa candaan belaka. Karena memang tidak dapat dipungkiri Jordan terkadang menyebalkan.
Tepat menyelesaikan pencatatan jawaban essay tersebut, Jordan pun mengembuskan napasnya panjang. Kemudian, lelaki itu menoleh ke arah Evelina yang menggeleng tidak percaya.
“Gue yang ngumpulin!” pinta Jordan tegas tanpa bisa diganggu gugat.
“Makasih juseyo …,” ucap Evelina dengan diimut-imutkan sembari memberikan kertas tersebut menggunakan kedua tangannya.
Setelah itu, Jordan pun melenggang pergi membawa dua lembar jawaban membuat Evelina tersenyum senang.
“Itu tadi Jo bawain kertas jawaban lo, Ve?” tanya Mesya memiringkan kursinya ke arah Evelina.
Tanpa ragu sama sekali Evelina mengangguk, lalu menjawab, “Iya. Dia benar-benar mengagumkan kalau enggak dalam mode dingin. Bahkan kadang gue juga meleleh sama sikapnya.”
Mesya tertawa pelan. Ia sama sekali tidak mempercayai bahwa Jordan akan menjadi sedikit lebih hangat, walaupun konteks lelaki itu menjadi seperti ini hanya untuk membantu Evelina agar tidak kesusahan.
**
Tepat Jordan mengumpulkan kertas tersebut paling akhir, bel pertanda istirahat pun berdering pelan membuat seluruh murid SMA Catur Wulan kompak bersorak kemenangan. Mereka benar-benar senang menantikan jam yang sejak tadi menjadi surga bagi banyak murid.
Pak Handiarto memeriksa kertas tersebut sesaat, lalu merapikannya dan dimasukkan ke dalam amplop berwarna transparan. Sebelum akhirnya lelaki paruh baya tersebut melenggang santai.
Setelah selesai melakukan pengumpulan tugas, Jordan kembali menghampiri Evelina yang masih duduk di bangkunya. Lelaki itu kembali mendudukkan diri untuk merapikan beberapa alat tulis yang masih berada di atas meja.
“Ve, lo istirahat?” tanya Jordan menoleh sesaat.
“Enggak, Jo. Nanti Zafran ke sini buat bawain makanan, lo turun aja duluan,” jawab Evelina menggeleng pelan.
“Oke,” pungkas Jordan mengangguk lugas dan melenggang pergi meninggalkan kelasnya sekaligus Evelina yang menatap santai sembari menyandarkan tubuh memainkan ponsel.
Sementara itu, di sisi lain terlihat dua orang lelaki berseragam acak melenggang keluar dengan santai. Keduanya telah menyelesaikan pelajaran lebih cepat membua Bu Liane mau tidak mau melepaskan dua anak murid didikannya.
Sebenarnya berita tentang Evelina yang terjatuh sudah menyebar begitu cepat. Apalagi ketika Zafran datang tepat dijam kedua membuat lelaki itu benar-benar menarik perhatian, terlebih para lelaki yang menyukai Evelina. Mereka tidak segan bertanya kepada Zafran mengenai keadaan gadis tersebut.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa semua itu membuat Zafran mendadak kesal, tetapi berusaha tetap tenang agar tidak menimbulkan keributan yang baru saja datang ke kelas.
Langkah kaki Reyhan dan Zafran tampak melenggang ke arah kantin yang masih terkunci rapat membuat kedua lelaki itu mengembuskan napasnya kompak. Kemudian, mulai memanjat pagar pembatas tersebut tanpa merasa takut sama sekali.
Dengan melompat ringan, kedua lelaki tampan itu memasuki kantin yang dijaga oleh para pedangan. Kedatangan mereka berdua membuat penjaga kantin kompak saling berpandangan dengan ekspresi seakan sudah biasa.
Langkah kaki Zafran mengarah pada kedai kecil yang menyerupai warung makanan dengan berbagai macam lauk dengan nasi putih. Namun, pandangan Zafran tidak mengarah pada etalase, melainkan rentetan minuman yang menyegarkan.
“Bu, pesan teh hangat sama bubur kacang hijau tanpa es!” pinta Zafran mengambil makanan ringan dari dalam plastik yang tergantung, lalu membukanya dengan santai sembari mendudukkan diri menatap Reyhan. “Lo beli apa, Rey?”
Sejenak Reyhan mencuci kedua tangannya di wastafel kecil tepat di samping pagar, lalu menoleh dengan kening berkerut bingung ketika mendengar perkataan sahabatnya.
“Mau beli siomay sama es teh gue!”
Zafran mengangguk santai, lalu kembali memperhatikan sang penjaga warung yang ternyata seorang ibu-ibu. Padahal biasanya kantin akan dijaga oleh seorang lelaki, walaupun masih ada beberapa pedagang yang dijaga wanita paruh baya.
“Mas Zafran kok udah ke kantin aja? Bukannya istirahat masih ada lima menit lagi?” tanya ibu-ibu penjaga warung yang kini tengah ditongkrongi oleh Zafran.
“Iya, Bu. Tadi udah izin sama Bu Liane ke kantin duluan, tapi karena malas ambil kunci, jadi langsung manjat aja. Tenang, Bu. Kita berdua datang ke sini udah enggak bermasalah,” jawab Zafran tersenyum senang sembari memakan makanan ringan tersebut satu per satu.
Tak lama kemudian, Reyhan pun datang dengan sepiring siomay dilumuri bumbu kacang begitu nikmat. Lelaki itu mendudukkan diri tepat di hadapan Zafran yang sedang memainkan ponsel.
“Masih ada berapa menit lagi, Zaf?” tanya Reyhan penasaran sembari menatap sesaat.
“Tiga menit lagi,” jawab Zafran singkat.
Tepat mengatakan hal tersebut, terdengar suara gemerincing dari balik gerbang membuat kedua lelaki berseragam sekolah acak itu pun menoleh. Akan tetapi, siapa sangka kalau tindakannya membuat guru piket yang bertugas membuka gerbang kantin menatap terkejut sekaligus tidak percaya.
“Reyhan, Zafran, sedang apa kalian berdua di sini!?” seru wanita tersebut menatap garang.
Merasa sudah mendapatkan izin dari Bu Liane, Zafran terlihat santai. Jelas saja lelaki itu sama sekali tidak akan terancam karena memang apa yang dikatakannya benar.
“Ibu jangan marah-marah dulu, saya datang ke sini untuk membelikan Evelina makanan. Ibu tahu sendiri tahu Evelina cidera akibat jatuh di depan gerbang,” balas Zafran santai, lalu menoleh ke arah sahabatnya yang terlihat santai sembari menikmati makanannya. “Reyhan kali, Bu. Dia datang ke sini ikut-ikutan aja. Sekarang malah makan, padahal bukan waktunya.”
Melihat kedua lelaki yang selalu berbuat onar hanya bisa menghela napas lelah sekaligus frustasi. Namun, wanita tersebut tidak mengatakan apa pun, selain membiarkan kedua lelaki itu berbuat sesuka hati. Padahal jabatannya sebagai ketos dan waketos benar-benar tidak membuat mereka berdua berubah.
Wanita cantik nan dewasa yang menjadi guru piket tidak memberikan komentar apa pun lagi, sebab bel pertanda istirahat berbunyi membuat wanita itu memilih untuk melenggang pergi. Membiarkan dua lelaki tampan itu menghabiskan makanannya.
Sepeninggal guru piket yang kelihatan sangat marah, Zafran pun ikut bangkit membawa segelas teh hangat dengan bubur kacang hijau di dalam mangkuk. Lelaki itu melenggang pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Reyhan yang terlihat kesal. Namun, lelaki itu tidak memiliki pilihan lain, selain mempercepat makannya sebelum banyak murid yang datang.
Selama melenggang santai menuju kelas 11 IPA 2, Zafran hampir saja ditabrak beberapa kali oleh para siswi yang sama sekali tidak mengetahui kedatangan lelaki itu. Untung saja dengan cepat mereka menghentikan langkah kakinya.
“Zaf, mau ke kelas Eve, ya?” tebak salah satu siswi yang sudah merasa tidak asing, bahkan ia berharap bisa berbicara dengan lelaki itu, walaupun hanya bisa sebentar saja.
Zafran menatap datar, lalu tidak menjawab apa pun, selain melenggang pergi begitu saja. Ia terlalu malas dan membuang banyak tenaga jika harus menjawab pertanyaan yang tidak penting.
Sesampainya di depan kelas yang tidak terlalu ramai, Zafran pun melenggang masuk mengitari sekeliling ruangan mencari keberadaan seorang gadis dengan salah satu lututnya diperban.
“Zafran, lo tunggu aja di bangku. Eve lagi ke toilet sama Mesya!” celetuk salah satu siswi dari kejauhan yang terlihat sedang memasukkan beberapa barang di dalam loker.
“Udah lama?” tanya Zafran menaruh teh hangat dan bubur kacang hijau tersebut di atas meja, lalu mendudukkan diri melihat keadaan meja tersebut tampak rapi.
“Belum, mereka pergi pas bel bunyi,” jawab siswi tersebut santai, lalu melenggang pergi begitu saja meninggalkan Zafran sendirian di dalam kelas. Walaupun masih ada beberapa yang terlihat sibuk menenggelamkan diri dalam bacaan bukunya.