77. Rasa Perhatian

2006 Words
Dering bel pertanda pergantian jam pelajaran pun berbunyi singkat membuat beberapa guru langsung menyudahi mata pelajaran yang mereka ajar. Pandangan tersebut tampak terlihat jelas pada kelas 11 IPA 2 yang baru saja menyelesaika pelajaran kimia, membuat beberapa dari mereka langsung merenggangkan tubuh, sebelum kembali mengeluarkan buku pelajaran selanjutnya. “Baik, anak-anak! Pelajaran sampai di sini dulu, minggu besok kita akan adakan praktikum di lab!” pungkas seorang wanita paruh baya membawa seluruh barang bawaanya keluar. Sepeninggalnya sang guru yang hendak mengisi kelas lain, Jordan bangkit dari tempat duduknya. Membuat lelaki itu menarik banyak perhatian dari beberapa siswi yang terlihat sibuk membersihkan papan tulis dan kembali merapikan alat tulis seperti semula. “Jo, lo mau ke mana? Sebentar lagi pelajaran Pak Handiarto,” tanya Syafa menghadang langkah kaki lelaki itu agar tidak keluar, sebab berita mengejutkan mengenai dikeluarkannya Jordan dalam perwakilan sekolah membuat banyak sekali murid merasa tidak terima. Akan tetapi, mereka jelas tidak berdaya jika menyangkut masalah dengan Pak Handiarto. Walau bagaimanapun juga, siapa pun pasti akan mengerti bahwa guru lelaki tersebut sangatlah tegas terhadap banyak peraturan. Sehingga disegani oleh banyak murid, meskipun ada beberapa yang tidak terima dan memilih diam. Jordan menatap tanpa ekspresi, lalu menjawab, “UKS. Minggir!” Mendengar perkataan tersebut, Syafa langsung merentangkan tangannya lebar-lebar sembari menggeleng tegas. “Enggak, Jo. Lo bisa kena masalah lagi sama Pak Han kalau keluar pas jam pelajarannya.” “Terus?” Alis tebal milik Jordan terangkat acuh tak acuh membuat Syafa mengembuskan napasnya panjang. Tentu saja tidak ada bisa berbicara seberani Syafa, karena gadis itu benar-benar mempertaruhkan kesehatan mentalnya ketika berbicara dengan Jordan. Sebab, lelaki tampan dengan otak seksi itu sangat menyebalkan dan tidak memiliki pendirian. Bahkan Jordan bisa dengan mudah meninggalkan pendidikannya hanya karena menginginkan kebebasan. Namun, sampai hari ini belum ada yang mengetahui tentang kedua orang tua lelaki itu. Semua benar-benar privasi sampai kedua sahabat lelakinya yang selama ini berada di The Handsome Guy hanya mengetahi beberapa fakta, yaitu Jordan adalah anak orang konglomerat kaya raya. Bahkan bisa dikatakan lelaki itu adalah anak-anak yang terlahir dengan sendok perak. “Jo, seharusnya lo pikirin apa yang akan terjadi sama diri lo sendiri kalau masalah ini tetap lanjut,” jawab Syafa mengembuskan napasnya kasar. “Lo emangnya mau dapat masalah lebih besar lagi gara-gara dukung Zafran?” Perkataan tersebut sukses membuat Jordan menatap dingin sampai beberapa murid kelas 11 IPA 2 mendadak terdiam menatap keduanya yang bersitegang. Sampai salah satu murid memberanikan diri mendekati Syafa, dan memegang bahu gadis itu dengan lembut. “Sya, udah jangan emosi. Niat Jo pasti baik mau nyamperin Eve. Karena tadi Yeoso bilang izin cuma pelajaran pertama doang,” ujar Mesya berbisik pelan tepat di depan telinga gadis tersebut. Sedangkan Jordan yang mendengar bisikan kedua gadis di hadapannya hanya menatap datar, kemudian melenggang pergi begitu saja. Membuat Syafa hanya menatap kepergian lelaki itu dengan d**a yang bergemuruh kesal. Namun, Mesya langsung mengambil alih situasi dan membawa teman sebangkunya duduk kembal. Karena Syafa akan sangat menyeramkan jika dibiarkan tetap emosi dan mendapat banyak pandangan tidak percaya dari teman kelasnya. Langkah kaki Jordan terdengar santai nan berirama menuruni anak tangga yang langsung mengarah pada sisi gedung berbatasan langsung dengan ruang komputer. Ia sengaja memutar arah agar tidak berpapasan dengan guru yang mungkin hendak mengisi kelas, mengingat pergantian jam pelajaran membutuhkan 10 menit. Dan benar saja, sesampainya di depan ruang UKS lelaki itu melihat seorang gadis tengah berusaha mendudukkan diri sendirian. Membuat Jordan langsung berlari masuk dan memegang pundak Evelina lembut. Sontak pergerakan itu pun membuat Evelina mendongak terkejut melihat kedatangan Jordan. Padahal lelaki itu seharusnya berada di dalam kelas untuk memulai pelajaran. “Gimana keadaan lo, Ve?” tanya Jordan melirik singkat ke arah lutut yang dibaluti kain kasa berwarna putih. “Jauh lebih baik, sekarang gue mau ke kelas,” jawab Evelina berusaha menurunkan kakinya secara perlahan. Hal tersebut pun menarik perhatian Jordan yang langsung mendudukkan diri di kursi tidak jauh dari bangsal, kemudian menaruh kaki Evelina di atas pangkuannya. Membuat gadis itu spontan hendak menarik kakinya kembali. “Eh, Jo, gue bisa sendiri!” ungkap Evelina sok kuat. “Diam!” pungkas Jordan tak terbantahkan membuat gadis itu mau tidak mau terdiam mengerucutkan bibirnya kesal. Sejenak Jordan mulai membantu Evelina mengenakan kaus kaki dan sepatu pantoefel yang terlihat kotor akibat terjatuh tadi. Membuat Jordan menoleh mencari sesuatu yang bisa menyeka debu tersebut. Sampai pandangannya terhenti melihat segumpulan tisu wajah yang berada di atas nakas membuat lelaki itu mengambil beberapa lembar, dan menuangkan air dari dalam gelas milik Evelina. Kemudian, mulai menghilangkan debu yang bersarang dengan sangat menyebalkan. Tindakan tersebut tentu saja membuat Evelina diam-diam merasa tersipu. Gadis itu sama sekali tidak menyangka bahwa lelaki dingin seperti Jordan mampu meluluhkan siapa pun. “Kenapa lo bisa jatuh?” tanya Jordan tepat menyelesaikan kegiatannya dan menaruh kaki Evelina di atas kursi secara perlahan, sedangkan dirinya langsung berdiri menatap seorang gadis yang menundukkan kepalaya lesu. “Semua ini gara-gara bel kepepet tadi, terus Zafran enggak mau gue telat. Akhirnya kita berdua lari sampai enggak tahu asalnya dari mana tiba-tiba ada batu di trotoar yang membuat gue kesandung sampai begini,” jawab Evelina mengembuskan napasnya panjang. “Cidera?” tanya Jordan meringis pelan melihat balutan perban yang ada di gadis itu tersebut seperti patah tulang. Evelina menggeleng pelan. “Enggak sampai cidera juga, karena jatuhnya enggak terlalu bentur dan gue sempat pegangan sama tangannya Zafran.” Mendengar hal tersebut, Jordan mengembuskan napasnya panjang. “Lain kali hati-hati jangan sampai terluka, karena lo sendiri yang repot, bukan orang lain.” “Iya, iya,” pungkas Evelina mengangguk paksa. “Oh ya, tadi ada tugas kimia?” Jordan menggeeng pelan, lalu membalas, “Hari ini cuma ada catatan tentang molekul, besok baru praktikum.” “Ah, untung aja bukan sekarang!” gumam Evelina tersenyum senang dan kembali menatap ke arah Jordan. “Zafran lagi di ruang guru, gue rasa dia ada panggilan dari Bu Liane. Jadi, kita lebih baik langsung ke kelas aja, biar Pak Han enggak marah ngelihat lo pergi dari kelas.” ** Dengan tertatih-tatih Evelina melangkah menuju kelas 11 IPA 2 berkat bantuan dari Jordan. Sebenarnya mereka berdua hendak kembali saat Zafran telah menyelesaikan urusan, tetapi siapa sangka kalau Bu Liane malah menahan dalam waktu lama. Tak lama kemudian, Evelina dan Jordan pun mengembuskan napasnya lega tepat sampai di depan kelas yang memperlihatkan banyak murid tengah berbincang maupun mengulas kembali buku pelajaran yang akan dipelajari. Kedatangan Evelina yang sempat melewatkan satu jam pelajaran itu pun menarik salah satu perhatian teman kelasnya. Membuat gadis itu langsung melebarkan matanya terkejut. “Evelina!” panggil Mesya bangkit dan berlari menghampiri seorang gadis yang tampak mengenaskan dengan lutut diperban mencolok. Mendengar panggilan tersebut, Evelina hanya tersenyum tipis dan melenggang masuk dengan sedikit tertatih-tatih membuat Mesya langsung memegang lengan gadis itu sembari membantunya melangkah dengan pelan. Sedangkan Jordan tetap memegangi lengan gadis itu sampai di bangkunya sendiri. Membuat Jordan ikut duduk memperhatikan Evelina yang mulai mengeluarkan buku pelajarannya. Mesya yang melihat kegigihan Evelina hanya meringis pelan, lalu berkata, “Eve, gue dengar kaki lo kesandung di trotoar depan sekolah, ya? Sakit banget pasti.” “Tenang aja, udah lebih baik kok daripada tadi,” balas Evelina tersenyum menenangkan. Kedatangan Evelina jelas tidak luput dari perhatian Syafa yang sudah jauh lebih baik dibandingkan tadi. Membuat gadis itu membalikkan kursi miliknya ke belakag menatap Evelina yang tersenyum tipis, tetapi Syafa masih tidak suka melihat Jordan yang sama sekali tidak merasa bersalah. “Eve, lo cidera?” tanya Syafa mengernyit cemas. “Kata dokter engga, cuma lututnya sakit karena pendaratan spontann tadi. Jadi, butuh beberapa waktu biar enggak ngilu lagi,” jawab Evelina menggeleng pelan. “Tadi lo sempat dipanggil dokter?” sahut Mesya penasaran. “Iya, buat pastiin kalau kaki gue masih bisa dipakai tanpa tongkat,” balas Evelina mengangguk pelan. “Tapi, sepertinya kalau sampai besok pagi masih sakit, kemungkinan besar gue harus ke rumah sakit.” Spontan Mesya dan Syafa meringis penuh prihatin mendengar cerita Evelina yang tanpa sengaja jatuh malah berujung dengan cidera lutut. Bahkan sepertinya jadwal demo karate gadis itu terpaksa dibatalkan seperti itu saja. “Astaga, lain kali hati-hati, Ve,” keluh Mesya menepuk-nepuk lembut puncak kepala Evelina yang begitu lembut nan harum. “Sebenarnya ini juga kesalahan para pekerja trotoar yang sama sekali tidak memberikan pembatas ataupun penutup lubang. Sekarang kalau sudah terjadi seperti ini, siapa yang akan bertanggung jawab? Menyusahkan anak sekolah saja,” omel Syafa melampiaskan kekesalannya dari Jordan menjadi permasalahan yang tengah dihadapi oleh Evelina. Namun, gadis berwajah kalem itu tampak menggeleng pelan, seakan memberi kode pada Syafa agar tidak lagi mempermasalahkannya. Sebab, semua tidak akan terjadi jika Evelina lebih berhati-hati dalam berlari. “Jangan berbicara seperti itu, ini kesalahan gue juga yang enggak pernah ngelihat sekitar,” sanggah Evelina mengembuskan napasnya panjang, lalu menoleh ke arah Jordan yang terlihat menyibukkan diri bersama buku di depannya. “Jo, tadi Yeoso sempat ke sini, ‘kan?” Jordan mengangguk pelan sembari menatap sesaat. “Dia datang cuma nganterin tas lo.” “Iya, tadi Zafran yang nyuruh,” balas Evelina mengangguk pelan. Sejenak Mesya memperhatikan lutut Evelina yang sejak tadi melurus membuat gadis itu mendadak penasaran. “Ve, lo ‘kan lagi sakit gini, nanti jadi demo karate?” Seketika perkataan itu pun sukses membuat Evelina melebarkan matanya tidak percaya membuat gadis cantik berwajah kalem tersebut mengambil ponsel dari dalam tasnya. Namun, sayang sekali pergerakan tersebut harus diurungkan akibat Pak Handiarto telah tiba bersama setumpuk buku yang dibawa oleh seseorang. Ternyata orang itu adalah Zafran yang langsung menatap ke arah Evelina. “Tolong bagikan semua buku itu satu per satu, Zafran!” titah Pak Handiarto sembari membereskan alat tulisnya dan bersiap untuk mengajar. Zafran mengangguk mantap, kemudian lelaki itu mulai menaruh setiap meja single satu buku. Rata-rata murid kelas 11 IPA 2 yang sering memperhatikan Zafran pun tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Mereka memandangi wajah tampan tersebut dengan tatapan memuja. “Zaf, lo ada waktunya enggak istirahat nanti?” bisik salah satu siswi centil sembari memegang ujung kemeja sekolah milik lelaki tersebut. “Gue sibuk,” balas Zafran terdengar acuh tak acuh. Tanpa mengindahkan gadis tersebut, Zafran kembali membagikan buku tersebut sampai langkah kakinya terhenti tepat di samping meja Evelina yang bersekat kecil antara gadis itu dengan Jordan. “Gimana kaki lo, Ve? Nanti jangan bawa ke latihan dulu, karena dokternya bilang kalau dipaksain yang ada lo malah enggak akan bisa sembuh,” ucap Zafran meganguk mantap. “Astaga, iya! Gue enggak bakalan nekat seperti sebelumnya. Karena kalau nekat sama aja enggap peduli lagi sama diri sendiri,” balas Evelia mengangguk mantap. Hal tersebut membuat Zafran kembali menyelesaikam pekerjaanya memberikan satu per satu buku pelajaran yang sama sekali tidak ia paham. Bahkan lelaki itu tidak mempercayai kelas yang isinya orang ambisius tampak sangat tertib. Setelah selesai, Zafran melenggang keluar meninggalkan Evelina yang terlihat sibuk membaca buku di depannya. Membuat Jordan sesekali menandai perkataan Pak Handiarto yang terdengar sangat penting. Kini langkah kaki mengarah pada anak tangga yang turun ke bawah. Ternyata Zafran hendak kembali ke kelasnya sendiri yang berada di gedung sebelah membuat lelaki itu menempuh beberapa kelas IPA dengan guru mulai menerangkan pelajaran begitu serius. Sebenarya memang tidak akan ada yang mempermasalahkan Zafran berjalan di tengah kegiatan belajar-mengajar. Hanya saja terkadang lelaki itu menjaga perasaan setiap guru yang tidak suka dengan dirinya. Sehingga lebih banyak menurut agar tidak mendapatkan masalah lebih besar lagi. Memang tidak dapat dipungkiri jabatan Zafran sebagai ketos membuat lelaki itu lebih dipandag baik. Walaupun berasal dari kelas IPS yang isinya para siswa nakal. Meskipun ada beberapa dari mereka yang patuh dan hanya sekedar memilih jurusan untuk mendaftar kuliah nanti. Bukan berarti yang masuk ke kelas IPS hanya orang-orang tidak pintar, melainkan memang keputusan dari mereka sendiri. Bahkan kebanyakan dari siswa IPS sama pintarnya menghafal seperti kelas IPA. Membuat mereka bersinar dengan caranya masing-masing. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri masih banyak guru yang mengira bahwa kelas IPS hanya berisikan siswa buangan. Walaupun cap buruk tersebut sedikit dipatahkan akibat kehadiran Vela yang beberapa kali mengikuti lomba debat bersama Jordan sebagai rekannya. Kali ini Vela memang menjadi perwakilan kembali, tetapi sayangnya tanpa Jordan. Karena lelaki itu sedang dihukum oleh Pak Handiarto.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD