45. Story of Mesya

1993 Words
Akhirnya, motor yang dikendarai oleh Zafran terhenti di sebuah rumah tidak terlalu besar. Tampak halaman depan masih sangat asri dengan rumput hijau bagaikan permadani yang menyelimuti. Tatapan Evelina jatuh pada dua motor besar yang sudah terparkir rapi dengan helm berada di atas tangki bahan bakar tanpa mengetahui keberadaan sang pemiliknya. Zafran memastikan bahwa pagar rumah besi yang tidak terlalu tinggi itu tidak dikunci membuat lelaki tampan yang masih mengendarai motornya itu pun mendorong pelan menggunakan roda bagian depan, sebelum akhirnya melesat masuk. “Ini benar rumahnya Mesya, Zaf?” tanya Evelina menatap sekeliling dengan bingung, lalu beranjak turun sembari menepuk-nepuk pelan roknya yang sedikit kusut. Selesai memarkirkan motor, Zafran pun turun sembari membuka pengait helm dan menjawab, “Iya benar. Itu ada motornya Jo sama Rey.” “Oke …,” pungkas Evelina mengangguk-angguk lumayan lama, dan mengikuti langkah kaki sahabatnya yang menuju rumah berbahan kayu cukup mewah. Sangat sederhana, tetapi dilihat dari ukiran setiap tembok membuat Evelina yakin bahwa kedua orang tua Mesya masih menyukai hal-hal tradisional. Di tengah menunggu kedatangan seseorang untuk membukakan pintu, Evelima menyempatkan diri menatap seluruh halaman rumah Mesya yang masih dipenuhi oleh pepohonan. Namun, gadis itu merasakan aura sedikit negatif saat memperhatikan sebuah pohon besar yang tidak jauh dari lampu penerangan jalan yang berada tepat di pinggir pagar rumah tersebut. Hal tersebut membuat Zafran yang menyadari keterdiaman Evelina pun langsung berdeham pelan. Sontak kedua orang tua Mesya sedikit bingung dan menyambut sapaan gadis dan pemuda di hadapannya tidak kalah ramah. Keduanya langsung bersalaman dengan sopan sembari dituntun memasuki rumah untuk bertemu dua lelaki yang kini sedang berbincang banyak hal bersama Mesya. Seorang gadis berkauh putih pendek dengan celana kulot hitamnya. “Kalian berdua datang juga?” tanya Mesya mengernyit bingung mendapati Zafran yang datang bersama Evelina, walaupun tidak telalu mengejutkan. Zafran tersenyum tipis dengan mengangguk singkat, lalu melepaskan tas punggungnya untuk ditaruh di bawah kaki sofa. “Gimana keadaan lo, Mes?” “Jauh lebih baik dibandingkan masih di desa itu,” jawab Mesya sekenanya. Di saat keduanya mulai berbincang ringan, tidak dengan Evelina yang malah menjadi canggung. Gadis itu menunduk dalam sembari melepaskan tas punggungnya dan ikut mendudukkan diri tepat di samping Zafran. Kebetulan sofa di sana sudah habis dan hanya tersisa di samping sahabatnya sendiri. “Oh ya, Ve, lo sempat ditanyain sama tetua di sana,” ungkap Mesya menoleh ke arah gadis yang masih saja menjadi pendiam. “Tanya apa?” Evelina mengangkat kepalanya sesaat. “Uhm … beliau ngasih sesuatu yang enggak gue tahu,” jawab Mesya berpikir sejenak, lalu bangkit dari tempat duduknya. “Sebentar gue ambilkan di kamar. Gue pikir lo enggak jadi ke sini, karena Jo bilang lo masih ada di rumah sama Zafran.” Sebenarnya Zafran bukanlah seorang lelaki yang begitu dingin dalam menanggapi banyak gadis. Lelaki itu bisa menjadi pribadi yang hangat sekaligus ramah. Akan tetapi, terkadang sikapnya sering disalahartikan oleh mereka membuat Zafran bisa merubah sikap sesuai dengan kondisi di hadapannya. Sehingga wajar saja ketika Mesya mengutip nama Zafran tidak terdengar canggung. Karena memang pada kenyataannya Mesya bukanlah seperti gadis lain yang mencari demi bisa berdekatan dengan The Handsome Guy. Sepeninggalnya Mesya mengambil sesuatu yang dititipkan, kini tersisa The Handsome Guy dan Evelina yang mulai saling berpandangan. Mereka bertiga tampak mengangguk samar berbicara melalui isyarat mata. “Lama banget, Zaf! Lo ngapain aja sama Eve tadi?” tanya Reyhan meneguk minuman di hadapannya singkat, lalu kembali menaruh di atas meja. “Gue kesiangan. Kebetulan juga Eve melarikan diri, padahal udah gue bilang bakalan dijemput. Tapi, pas gue sampai di sana ketemunya sama Bibi dan bilang kalau dia udah berangkat. Alhasil gue langsung susulin ke halte,” tutur Zafran panjang lebar. Reyhan mengangguk-angguk pelan. “Pantas aja waktu gue telepon nomor lo enggak aktif, ternyata lagi di jalan.” “Kalian berdua udah lama di sini? Sorry gue lewat dari janji yang udah ditentuin,” ujar Zafran menundukkan kepalanya penuh penyesalan. “Santai aja, gue sama Jo juga belum lama di sini. Cuma kita langsung mutusin duluan pas nomor lo enggak aktif aja,” balas Reyhan menepuk bahu sahabatnya dengan sedikit keras, menandakan bahwa kesalahannya hari ini bukanlah perkara yang harus dibesar-besarkan. Evelina yang sejak tadi diam pun mulai bersuara. “Kalian berdua pas sampai di sini ngerasa aneh?” Mendengar hal tersebut, ketiga anggota The Handsome Guy itu pun mengernyit penasaran. Mereka semua kompak menggeleng pelan membuat Evelina mengembuskan napas panjang. “Gue enggak bisa cerita sekarang, tapi yang jelas auranya sedikit negatif. Apalagi di bagian yang sekarang ditempati sama Jo,” sambung Evelina dengan tatapan serius. Tanpa mereka sadari ternyata Mesya sudah kembali dari kamar. Gadis itu tampak mengernyit bingung mendapati Evelina berbisik-bisik seakan mengetahui sesuatu. “Hayo, kalian berempat ngomongin gue apa?” goda Mesya dengan tersenyum geli, lalu mendudukkan diri tepat di seberang Evelina. Sontak perkataan itu pun sukses membuat Evelina tidak berkutik, sedangkan The Handsome Guy berdeham pelan. Menyegarkan kerongkongannya yang hampir terasa dijepit oleh sesuatu. Sebab, mereka bertiga kompak tersedak dengan air liurnya sendiri. “Aish, tenang aja gue tahu kalian bukan seperti anak-anak lain,” sambung Mesya mendadak tidak nyaman dengan perkataannya sendiri. “Kalian pasti berunding sesuatu tentang hilangnya gue sama Dara, ‘kan? Masalah ini emang belum gue ceritain sama siapa pun, kecuali kedua orang tua gue.” Zafran menatap sedikit tidak nyaman, lalu berkata, “Bisa ceritain sama kita, Mes?” Mesya mengangguk dengan sangat terbuka, lalu menjawab, “Why not? I want to tell you, everything you asked.” Sejenak keempatnya saling berpandangan. Jelas yang masih sangat penasaran adalah Evelina, karena gadis itu memiliki pandangan tersendiri di balik hilangnya Dara dan Mesya dibandingkan para guru yang sedang melakukan banyak perundingan di sekolah. Tentu saja sebagai gadis yang memiliki kemampuan istimewa membuat Evelina benar-benar terlihat berbeda. Bahkan Mesya diam-diam yakin bahwa gadis pendiam di hadapannya sedang menyembunyikan sesuatu, tetapi ia sebisa mungkin tetap berpikir positif. Mengingat selama ini Evelina tidak pernah mengusik siapa pun, meski sering kali mendapat penindasan akibat kedekatannya dengan The Handsome Guy. ** “Di sore ketika rombongan gue mulai mencari jejak, gue sama Dara emang milih buat nyari jalan pintas gitu. Kita emang udah sepakat untuk berpencar, gue sama Dara kebetulan pengen cepat selesai. Apalagi kata Bu Liane, pas gelap kita harus turun.” Mesya menarik napas panjang mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada sore sebelum malam, tepat ketika keduanya dinyatakan menghilang. Apalagi kelompok yang berisikan empat perempuan itu benar-benar mengambil giliran terakhir. “Jadi, gue sama Dara langsung tuh mulai nyari bendera pertama yang ada di dekat sungai. Entah perasaan gue aja atau emang bendera itu jauh banget. Jadi, gue sama Dara itu hampir nempuh berjam-jam buat ngambil bendera doang.” Dengan seksama The Handsome Guy dan Evelina mendengarkan secara penuh. Mereka tampak tidak mengalihkan perhatiannya sedikit pun dari perkataan seorang gadis di hadapannya. “Sampai di bendera yang jadi incaran kita berdua, akhirnya Dara buru-buru mutusin buat langsung balik. Karena sore itu langit gelap banget dan gue dengar juga udah enggak ada suara anak-anak lain. Biasanya ‘kan walau sepi gitu masih sayup-sayup dengar, tapi kali ini enggak sama sekali.” Mesya tampak sesak membicarakan masalah kejadian yang benar-benar membuat perasaannya takut. Gadis itu mengepalkan tangannya erat sehingga Evelina yang melihatnya langsung mengambil alih tangan Mesya dan tersenyum tipis. “Jangan takut, ada gue di sini,” ucap Evelina penuh kelembutan sampai tanpa sadar ikut masuk ke dalam bayangan menakutkan Mesya yang sangat gelap. “Jadi, gue sama Dara langsung lari turun buat ke vila. Anehnya semakin gue berlari sama Dara, semakin jauh pula tempat penginapan kita. Sampai tiba-tiba ada penduduk yang datang. Gue pikir dia baik, tapi kenyataanya enggak sama sekali. Gue sama Dara sore itu langsung dibawa ke suasana sekitar abad penjajahan, karena di sana benar-benar penuh sama kompeni gitu.” “Oke, gue jalan tuh sama Dara berdua. Entah apa yang kita lakuin di sana, kita juga enggak tahu. Yang jelas kita benar-benar seperti orang tersesat di masa lalu. Karena suasana di sana udah beda banget sama tahun 2000an.” “Sampai salah satu penduduk di sana sadar keberadaan kita yang sedikit mencolok, apalagi pakaian pribumi sama kompeni ‘kan beda. Jadi, gue sama Dara langsung tuh pusat perhatian di tengah pasar. Banyak banget penduduk asing yang ngira gue itu alien saking bedanya.” Lama-kelamaan mendengar cerita dari Mesya pun membuat Zafran mengernyit bingung. Lelaki itu tampak sedikit tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh gadis tersebut. “Sampai seorang lelaki datang, entah itu pemimpin atau bukan, yang jelas gue tahu dia orang besar. Karena pas dia datang, semua orang langsung nunduk hormat gitu, kecuali gue sama Dara yang plonga-plongo. Mirip anak kecil tersesat.” “Dia berusaha ngomong sama gue, tapi karena gue enggak paham. Akhirnya, kita berdua dibawa ke rumah mewah gitu. Kita benar-benar naik mobilnya yang gue kira bakalan diculik terus diambil organ tubuhnya, tapi ini enggak sama sekali.” “Pas sampai di rumah itu, gue sama Dara langsung masuk. Jelas di depan banyak tentara yang penasaran sama kedatangan warga asing. Gue sama Dara nunggu lumayan lama sampai datang lelaki tua sama istrinya yang sedang gendong bayi mungil lucu banget.” “Terus dia ngobrol sebentar, sampai akhirnya dia ngomong bahasa inggris sama gue. Tapi, anehnya kosa kata yang dia pakai itu masih lampau banget sampai gue kesulitan sendiri. Bahkan Dara yang suka sejarah pun ngerasa bodoh di sana.” Reyhan tampak tidak sabar dan langsung menyela, “Apa yang lo obrolin di sana?” Mesya menatap sesaat. “Di sana gue langsung dikasih tahu kalau ini masih zaman penjajahan, tapi mereka semua orang baik yang enggak sengaja ngelihat gue mirip orang pribumi. Meskipun cara berpakaian gue katanya sedikit aneh.” “Lumayan lama gue di sana dengan ngobrolin banyak hal, termasuk banyak pasukan pribumi yang gugur dalam perang. Membuat Dara yang suka sama sejarah langsung minta ceritain secara langsung.” “Di sana gue sekitar lima hari dengan menjadi guru bagi lima puluh tentara penjagaan. Gue sama Dara mendapat tugas buat ngasih tahu kalau emang dari masa depan. Mereka pengen tahu apa yang terjadi sama Indonesia sekaligus gimana hidup di masa depan biar tetap tentram tanpa merasa terancam.” “Karena gue orangnya realitis, ya jelas gue kasih tahu kalau hidup di dunia modern enggak bisa sebebas dulu yang orang nakal dikit langsung tembak. Semua berkembang dengan adanya hukum, walaupun gue bilang juga kalau hukum di Indonesia itu murah. Bisa dibeli.” “Selama terjebak di masa lampau, gue sama Dara mendapat banyak pelajaran sekaligus pandangan baru kalau semua yang terjadi di desa itu bukanlah ulah hantu, melainkan manusia.” “Kok bisa?” sahut Zafran tidak percaya. “Gue tanya sama dia tentang vila yang kalian berempat. Kebetulan di sana baru dibangun, jadi emang belum kelihatan seperti sekarang. Tapi, pas gue tanya masalah vila itu, mereka kaget dan enggak percaya juga.” “Vila itu memang ada sejak dulu banget, dihuni banyak keluarga sampai terbakar beberapa waktu lalu. Entah udah berapa banyak yang tinggal di sana, tapi gue tahunya itu berhenti belum lama ini. Karena saking banyaknya terror sekaligus kejadian aneh. Membuat enggak ada satu pun yang berani tinggal di sana.” “Terror gimana?” tanya Reyhan penasaran. “Kejadiannya gue juga enggak tahu, tapi dari penjelasan dia emang begitu. Spesifiknya belum diketahui. Karena mereka juga hidup enggak lama di sini dan langsung balik lagi ke belanda. Kebanyakan kompeni sekaligus penjajah yang kalah entah balik lagi atau langsung bunuh diri.” “Untuk terror vila itu, kalian mungkin bisa ngerasain sendiri. Kata dia, bakalan dirasain kalau kalian enggak menyadari keberadaan di sana. Entah itu tahu penghuni asli atau hanya siluet yang justru mengungkapkan kenyataan bahwa kalian tinggal bersama makhluk lain.” “Tepat di mana mereka pergi, di situlah gue balik lagi ke kenyataan. Gue sama Dara ditemuin di pinggir sungai lagi duduk dengan memandangi air. Jelas di situ gue sadar bahkan sempat ngobrol sama Dara, tapi karena kejadiannya aneh, kita berdua langsung diam lagi. Benar-benar seperti enggak terjadi apa pun,” pungkas Mesya mengakhiri cerita panjangnya selama menghilang di desa tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD