12

1160 Words
Puri menatap Ical dengan sangat marah. “Ini semua gara-gara, Om. Kalau Om nggak hancurin hidupku, aku masih bisa pergi dengan teman-temanku,” raung Puri marah bercampur tangisan. Walaupun dulu dia tidak punya banyak teman, dia punya beberapa teman yang setia menemaninya di saat dia kesepian dan bosan. Namun, sekarang semuanya tidak akan lagi sama. “Maafkan saya. Semua ini emang salah saya. Saya akan bertanggungjawab. Apa kamu mau bertemu dengan teman-temanmu?” sesal Ical, lalu mengajak Puri bertemu teman-temannya. “Emangnya Om mau temuin aku ketemu sama temen-temenku?” tanya Puri kurang yakin. “Kenapa nggak. Ke mana pun kamu mau pergi, saya anterin. Kamu mau apapun, saya turutin,” jawab Ical dengan senyuman. Puri yang tadi bersedih, seketika bahagia. Dia menghapus air mata dengan lengan tangannya. “Beneran Om mau anterian aku ke manapun? Termasuk ketemu sama temen-temanku?” tanya Puri lagi tidak percaya. “Iya, bener.” Puri langsung bersorak gembira. Persis seperti anak kecil yang masih SD. “Hapus dulu air matanya, biar tambah cantik,” bujuk Ical jujur. Ical pun mengusap air mata di pipi Puri yang masih tersisa. Tiba-tiba Puri merasakan gelenyar aneh saat Ical kembali mengusap pipinya dengan tisu. Dia merasa senang dikatakan cantik oleh Ical. Berbeda dengan Puri, kali ini Ical tidak merasakan apapun. Dia hanya bahagia karena bisa membuat wanitanya tersenyum lagi. Ical segera pergi menuju mobil dan membukakan pintu belakang seperti keinginan Puri kemarin. “Ayo masuk. Mumpung masih sore, kita masih punya banyak waktu untuk jalan-jalan,” ucap Ical, mengagetkan Puri yang terdiam. Puri pun berjalan masuk ke dalam mobil sambil bengong. Begitu Puri masuk, Ical menutup pintu dan bersiap untuk mengemudikan mobilnya. “Kita mau ke mana?” tanya Ical. “Hah? Ke ... ke mana aja, deh,” jawab Puri bingung. Dia memang mudah sekali berubah mood. “Katanya mau ngumpul sama teman-teman kamu. Nggak jadi?” Ical memastikan. “Oh, iya, ya? Lupa. Ya, udah. Kita ke rumah temenku aja kalau gitu.” “Rumahnya di mana?” tanya Ical lagi. “Oh, iya. Om nggak tahu rumah temanku, ya? Ya,udah. Jalan aja. Nanti aku tunjukin rumahnya.” Mobil pun melaju menuju rumah teman-teman Puri. Sayangnya, semua teman Puri tidak ada yang mau ikut dengannya karena mereka ada urusan masing-masing. Ada yang sedang sakit dan ada juga yang harus kerja. Puri sedih karena semua temannya tidak bisa menemaninya malam ini. Dia pun murung. Tidak mau melihat Puri sedih, Ical mengajak Puri ke sebuah tempat yang indah. Mereka datang ke sebuah danau cinta yang sedang viral dan baru dibangun beberapa minggu yang lalu. “Udah sampai. Ayo turun,” ajak Ical saat dia membukakan pintu mobil. Puri yang sedari tadi tidak menghiraukan perjalanan, sangat terkejut melihat ramai dan indahnya danau itu. Tak hanya itu, mereka pun langsung disambut dengan kembang api. “Kembang api. Wah, bagus banget,” sorak Puri antusias. Dia turun dan menghambur bersama para pengunjung yang juga sedang menikmati suasana indah malam itu. Tidak pernah Puri melihat keindahan seperti itu secara langsung sebelumnya. Biasanya dia hanya bisa melihat dalam televisi. “Gimana? Kamu suka?” tanya Ical lagi, memastikan apa yang dia berikan bisa membuat Puri senang. “Suka. Suka banget. Kok, Om tahu, sih, aku suka lihat kembang api?” telisik Puri penasaran. “Tahu, dong. Mau minum?” tawar Ical lagi, membuat Puri kembali merasakan gelenyar aneh. “Jus? Es krim? Boba atau apa?” sambung Ical lagi sambil membaca tulisan para penjual yang ada di sekitar sana. “Hmmm, terserah,” jawab Puri bingung dan tidak fokus. “Ya, udah. Kamu tunggu di sana, ya? Di sana enak ada tempat duduknya. Saya beli dulu.” Ical menunjuk sebuah kursi dan mengajak Puri ke sana. Barulah dia pergi untuk membeli minuman. Tubuh besar dan tinggi Ical mulai menjauh, Puri pun tak tahu kenapa dia justru memperhatikan Ical yang semakin lama semakin menghilang di balik kerumunan. Tanpa sadar, Puri pun tersenyum sendirian. Tidak pernah dia diperlakukan sespesial itu. Ada rasa senang dan terharu. Dia tersipu sendiri. Tak lama kemudian, Ical kembali membawa dua plastik di tangannya. Dia duduk dan membuka dua plastik tersebut. “Ada jus alpukat, ada bir pletok, ada cilok, ada batagor, ada cimol juga. Kamu suka makanan nusantara kan? Saya belikan makanan nusantara untuk kamu. Atau kamu mau coba makanan lain? Saya akan belikan lagi,” ujarnya dengan senyuman yang begitu manis. Puri kembali terdiam. Dia merasa sangat istimewa dengan perlakuan dari Ical. Namun, dia tidak mau menunjukkan perasaan yang sesungguhnya itu pada Ical. “Nggak usah. Ini aja udah cukup. Makasih,” ucap Puri mencoba bersikap biasa, padahal dia menahan degupan yang sangat kencang. Puri pun mengambil jus dan mulai meminumnya. Ical membukakan batagor dan menyuapkan batagor itu. “Cobain batagornya. Katanya ini paling enak di sini,” kata Ical ingin melihat wanitanya merasakan makanan enak hasil dari jerih payahnya sendiri. Puri menoleh dan seperti tersihir, dia langsung membuka mulut dan memakannya. Dia pun mengunyah, tapi bukan rasa enak yang dia rasakan. Melainkan rasa terharu dan bahagia. Sedangkan rasa makanan itu sendiri dia tidak tahu seperti apa, seperti hilang karena kalah oleh perhatian dari Ical. “Enak?” tanya Ical kembali. Puri hanya mengangguk tanpa menyadari makanan itu enak atau tidak. Penasaran dengan enaknya batagor itu, Ical pun ikut mencicipinya. Begitu dia makan batagor itu, rasanya sangat pedas. Dia segera membuang batagor yang sudah tercampur dengan sambal. “Puri, ini pedes banget. Kok, kamu bilang enak, sih?” Ical marah karena pedasnya sampai menusuk perut. Puri tersadar saat Ical membuang batagor itu. Barulah dia merasakan rasa pedas yang membakar lidah. “Hah hah hah, pedes-pedes-pedes.” Puri kepedesan. Ical segera memberikan minuman pada Puri. “Minum-minum.” Ical menghela napas. Antara kasihan dan kesal dengan yang dilakukan oleh Puri. “Kenapa kamu nggak bilang kalau batagornya pedes banget? Kalau aku nggak cicipin, pasti kamu sakit perut. Perut kamu nggak papa? Ayo kita ke rumah sakit,” ajak Ical langsung menarik tangan Puri. Dia takut terjadi sesuatu dengan pujaan hatinya itu. Puri pun hanya menurut dan mengikuti ke mana Ical membawanya pergi. Kali ini dia tidak protes. Dia pasrah dan merasa bahagia karena sudah diperhatikan sebesar itu oleh Ical. Ical membawa Puri ke rumah sakit dengan begitu panik, padahal Puri tidak apa-apa. Puri pun tidak bilang apa-apa melihat Ical yang panik. Dia justru tersenyum bahagia. Baru kali ini ada orang yang sepanik itu melihat dia bahkan tidak kesakitan. Begitu sampai di rumah sakit, Ical membuka pintu dan menyuruh Puri untuk masuk. “Ayo masuk? Atau kamu nggak kuat jalan? Mau saya gendong biar lebih cepat?” Ical masih sangat panik. Puri hanya menggeleng manja. “Aku nggak mau masuk. Aku mau ke mall aja,” ucap Puri lirih. “Hah?” Ical kebingungan mendengarnya. “Emang kamu nggak sakit makan makanan sepedes itu?” Puri menggeleng manja. “Enggak. Aku mau ke mall aja. Mau beli baju, tas, sepatu. Semuanya udah pada rusak, aku mau beli yang baru.” Puri iseng ingin menguji Ical. Selain perhatian, apakah dia juga sabar?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD