1
Prang
Sebuah piring berisi mi instan yang baru saja matang tiba-tiba jatuh ke lantai. Seketika itu hati Sinta sangat nelangsa. Susah payah dia masak untuk dia makan, setelah jadi, justru jatuh dan tidak bisa dia nikmati.
“Aaa. Kenapa harus jatuh segala, sih?” pekik Sinta kesal. Dia memandangi mi yang sudah berantakan di atas lantai dengan hati yang teriris.
“Itu mi instan terakhir yang aku punya.” Sinta kembali merapat sambil berjongkok melihat makanan yang tidak bisa lagi dia makan. Dia pun terduduk dengan hati yang sangat sedih.
Padahal perutnya sangat lapar dan tidak ada lagi yang bisa dia makan selain mi instan itu. Hanya berharap pada makanan itu, rasa laparnya bisa terobati, tapi sekarang semuanya tidak berguna.
Tak lama kemudian, terdengar sebuah suara dari dalam kamar. “Sayang, suara apa itu?” tanya seorang laki-laki yang berjalan mendekat.
Dia adalah Reno, suami Sinta. Dia pun langsung mendekati Sinta yang masih duduk di lantai. “Kamu habis makan mi?” sambungnya lagi dengan polos.
“Makan apanya? Belum sempat di makan, udah jatuh,” ringisnya dengan lirih. Dia begitu sedih bercampur dongkol.
“Ya, udah, sih. Biarian aja kalau udah jatuh. Masak lagi aja, kan gampang,” balas Reno dengan mudah.
“Gampang kamu bilang?” Sinta mengalihkan pandangannya pada Reno. “Itu makanan terakhir kita, Mas. Kita nggak punya makanan lagi. Dan sekarang aku lapar, aku mau makan. Kita mau makan apa sekarang? Kamu punya uang, hah?” Rasa lapar dan kesal membuat Sinta marah.
“Kenapa kamu jadi marah-marah sama aku? Itu kan karena kesalahan kamu sendiri, bukan aku yang salah. Makanya ... hati-hati. Udah tahu nggak punya uang, malah ceroboh!” teriak Reno tidak terima disalahkan.
Keadaan siang itu pun semakin panas. Bukannya menenangkan istrinya yang kalut, Reno justru tersulut emosi.
“Aku yang salah? Kamu bilang aku yang salah? Kalau kamu bisa cari uang, aku bisa makan enak, bukan makan mi instan terus kayak gini!” hardik Sinta tidak mau kalah.
“Enak aja kamu kalau ngomong. Mau makan enak, ya, kerja. Ingat Sinta, saat kamu nggak punya siapa-saiapa, hanya aku yang mau terima kamu!” Reno mengungkit masa lalu yang membuat Sinta tak bisa berkutik. “Bahkan keluarga kamu aja nggak ada yang mau dekat sama kamu. Hanya aku, hanya aku, Sinta!” tekan Reno semakin kesal.
Sinta pun menahan amarah dan hanya diam menerima ucapan Reno. Semua itu memang benar dan dia semakin merasa sakit mengingatnya. Dia duduk dan memalingkan wajahnya dari suami yang sudah dua puluh tiga tahun bersamanya.
Dalam keadaan yang menyakitkan itu, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis dan merapati nasibnya yang malang. Ingin rasanya dia kembali ke masa lalu dan mengulang semua dari awal agar dia tidak merasakan kepahitan hidup ini. Namun, semua itu tidak akan pernah terjadi.
Dari ruang tamu, samar terdengar sebuah suara pembawa berita mengucapkan sebuah kata yang tidak asing.
“Dalam waktu dekat, Surya Atmaja akan memindahkan kepemilikan Perusahaan Tunggal Atmaja pada Haikal Atmaja.”
Mendengar hal itu, Sinta menajamkan telinganya. Bahkan, dia segera berpindah ke depan televisi tersebut agar bisa mengetahui berita selengkapnya.
Sebuah berita menayangkan dua orang lelaki memakai jas mewah sedang tersenyum bahagia di depan awak media. Mereka tampak sangat dekat dan akrab. Namun, melihat hal itu, hati Sinta teriris.
“Harusnya aku yang ada di sana, bukan dia. Aku nggak terima. Aku nggak mau Ical yang mendapatkan perusahaan dan semua harta ayah,” gumam Sinta penuh dendam.
Melihat Sinta pergi, Reno ikut pergi.
“Aku setuju dengan kamu, Sayang. Ical itu nggak pantas dapat semua harta ayah kamu. Kamu anak kandungnya, kamu berhak mendapatkan semua harta ayah kamu,” bisik Reno di telinga Sinta.
Mendapat dukungan dari suaminya, Sinta semakin bernafsu mendapatkan harta itu.
“Tapi gimana caranya, Mas? Selama ini hubungan aku dan ayah kan nggak baik. Pasti ayah nggak mungkin kasih hartanya ke aku.”
Reno tersenyum miring. Dia punya cara untuk mewujudkan keinginannya. Reno pun membisikkan rencananya pada Sinta. Sinta mengangguk dan langsung menyetujui rencana itu.
***
Keesokan harinya, Sinta datang ke kantor Ical. Dengan pakaian rapi, dia mulai melaksanakan rencananya. Awalnya dia duduk di lobby sambil menunggu Ical datang.
Tak lama kemudian Ical datang dan langsung disambut oleh asisten pribadinya.
“Pak, nanti malam Bapak ada acara di hotel. Saya sudah siapkan semuanya, Pak,” ucap asisten pribadi Ical.
“Jam berapa acaranya?” tanya Ical santai.
“Jam delapan malam, Pak.”
“Ok. Siapkan semuanya dan ingatkan saya barangkali saya lupa.”
Ical dan asistennya pun masuk ke kantor dan menghilang di balik lift. Mendengar hal itu, Sinta tersenyum bahagia. Seolah alam mendukung, semuanya berjalan sesuai rencana.
Sinta segera menghubungi Reno dan memberitahu apa yang dia tahu. Sinta pun pulang dan bersiap dengan langkah selanjutnya.
Sebelum pulang, Sinta menelpon seseorang.
“Sayang. Malam ini kamu ada acara nggak?” tanya Sinta dengan lembut.
Gadis di seberang telpon itu langsung menjawab, “Enggak, Ma. Emangnya kenapa?” tanya Puri, gadis berusia dua puluh tiga tahun.
“Nanti malam kamu temani Mama, ya? Seperti biasa,” balas Sinta lagi.
Puri menghela napas. Sebenarnya dia tidak mau terlibat dengan bisnis ibu bapaknya, tapi dia juga tidak mau disebut anak durhaka. Dia pun hanya bisa menerima dengan terpaksa.
“Iya, Ma. Jam berapa?” jawab Puri lemas.
“Jam setengah delapan malam. Sampai ketemu di rumah, Sayang.” Sinta langsung mematikan telponnya agar anaknya tidak banyak bicara.
Dua langkah sudah selesai, sekarang tinggal langkah selanjutnya.
***
Malam sudah datang, Puri pun sudah berdandan cantik dengan baju yang sederhana tapi seksi. Tentu saja semua itu atas usul ibunya. Sementara itu, Reno sibuk menjalankan bagiannya dengan menguntit Ical yang masih menghadiri acara penting.
Berpura-pura menjadi salah satu tamu, Reno berhasil mendekati Ical tanpa ada seorang pun yang curiga. Diam-diam, Reno mencampurkan sesuatu ke dalam minuman dan minuman itu pun langsung diminum oleh Ical.
“Bagus banget. Rencanaku berjalan mulus.” Reno merasa menang. Dia pun mengirim pesan pada Sinta.
[Jangan lupa beri Puri obat tidur. Aku sudah berhasil membuat Ical minum obat itu. Kita harus bisa buat seolah-olah Ical dan Puri bertemu secara tidak sengaja agar semua rencana kita berhasil.]
Pesan itu pun Sinta terima dan Sinta segera melaksanakan perintah itu.
“Sayang, kamu haus nggak? Ini minum dulu,” ujar Sinta.
Puri meminumnya tanpa ragu dan dalam hitungan menit, Puri pun segera tertidur pulas.
“Maafkan Mama, Sayang. Mama terpaksa melakukan ini demi masa depan kita,” gumam Sinta dengan sorot mata licik.
Sinta segera keluar dari kamar itu dan bersembunyi di balik tembok. Sementara itu, Ical yang sudah tidak menentu, sedang dipapah Reno menuju kamarnya.
“Ini kamar Anda, Pak. Lihat ... nomornya sama kan?” Reno menunjukkan sebuah kartu bertuliskan nomor kamar Ical.
“Iya. Terima kasih, Pak.”
Ical pun tanpa ragu langsung masuk ke kamar itu. Reno dan Sinta tersenyum penuh kemenangan menunggu keberhasilannya.