13

1160 Words
Puri yakin Ical akan marah dan tidak mau menuruti kemauannya. Dia tahu, Ical pasti cuma sandiwara agar Puri mau memaafkan semua kesalahannya. Semua kebaikannya hari ini dan kemarin hanya sandiwara dan Puri tidak mau terjebak oleh permainan orang kaya seperti Ical. “Emangnya kamu udah sehat? Kamu nggak papa makan makanan sepedas itu?” tanya Ical heran. “Nggak papa. Lagi pula siapa yang ngomong sakit, aku udah biasa makan makanan pedas kayak gitu. Pedes yang tadi itu nggak seberapa dari makanan yang biasa aku makan,” kelit Puri, karena dia memang suka makan makanan pedas. Ical mengangguk dan lega. Dia senang Puri tidak apa-apa. Tanpa banyak bicara, dia langsung pergi meninggalkan Puri dan menutup pintu mobil. Puri keheranan. “Kok, pintunya ditutup?” protes Puri. Begitu Ical masuk dan sudah siap di depan kursi kemudi, dia menoleh pada Puri. “Katanya mau ke mall. Ini mau ke mall.” Puri terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa melihat Ical yang tanpa rasa marah, langsung menuruti kemauannya. “Om nggak marah?” tanya Puri memberanikan diri. “Nggak. Kenapa harus marah. Saya senang kamu baik-baik saja. Kita mau ke mall di mana? Apa ke mall yang terdekat aja?” Ical memberikan pilihan. Puri tidak mau berpikiran yang aneh-aneh, dia masih mempertahankan pikirannya tentang Ical yang hanya bersandiwara. Tidak mungkin Ical benar-benar perhatian dan baik padanya. Sekuat tenaga dia mengusir segala perasaan aneh yang coba menggoyahkan perasaan suka pada lelaki tampan itu. Mobil pun melaju menembus jalanan yang masih ramai. Suasana yang belum terlalu malam membuat hiruk pikuk kota terasa padat dan sesekali mobil berhenti karena macet. Tak lama kemudian, mereka sampai di parkiran mall. Seperti biasa, Ical membukakan pintu untuk Puri. Puri keluar dan masuk ke dalam mall. Dia bingung melihat mall yang penuh sesak. “Mau ke mana dulu, ya?” pikir Puri sambil melihat-lihat. “itu ada toko baju. Katanya kamu mau beli baju,” saran Ical. Puri mengangguk dan berjalan sendirian tanpa menunggu Ical. Ical hanya mengekor di belakang, siap menjaga Puri. Masuk ke toko, Puri masih bingung. Sebenarnya tidak suka membeli baju, dia hanya menguji kesabaran Ical saja. Siapa sangka Ical langsung setuju dan menuruti keinginannya. “Pilih aja yang kamu suka, saya yang akan bayar,” bisik Ical di samping Puri, membuat Puri kaget. “Iyalah, Om yang bayar. Masa aku yang bayar,” ketus Puri kesal. Puri kembali punya niat jahat. Dia sengaja memilih baju yang mahal-mahal dan segera mencobanya. Tak hanya satu, lima baju sekaligus dia coba. “Ini. Yang bayar dia, ya, Mbak,” ujar Puri sambil memberikan lima baju yang mahal-mahal. “Totalnya sepuluh juta,” kata kasir dan Ical pun langsung memberikan kartu berwarna hitam yang dia punya. Puri hanya melotot melihat Ical yang begitu mudah membayar baju yang harganya fantastis itu. “Tas sama sepatu, mau beli juga?” Ical bertanya lagi. Belum hilang keterkejutan Puri, Ical kembali menawari Puri berbagai barang. “Emang boleh?” Puri tidak yakin. “Tentu aja boleh. Kamu boleh minta apapun yang kamu mau,” tambah Ical lagi. Ical pun menerima kartu dan barang belanjaan Puri. Lalu mereka keluar dari toko tersebut menuju toko sepatu dan tas yang berisi barang-barang dari luar negeri. Desain dan barang yang bagus membuat Puri jatuh cinta dan memilih beberapa sepatu dan tas yang dia suka. Ical pun harus menguras isi tabungannya hingga ratusan juta. “Makasih, ya, Om. “ Puri merasa beruntung karena sudah dibelikan barang-barang mewah yang tidak pernah dia beli sejak dulu. “Sama-sama. Kalau begitu saya pulang dulu, ya?” pamit Ical saat mengantar Puri pulang. Ical pulang dan Puri pun sangat senang. Ical yang begitu royal dan loyal membuatnya berubah pikiran. “Ternyata om Ical nggak seburuk yang aku pikir. Mana ada orang jahat tapi rela beliian aku barang-barang mahal kayak gini.” Puri mulai berpikir untuk lebih baik pada Ical. *** Seminggu berlalu dan Ical pun selalu membelikan barang-barang mewah pada Puri. Puri semakin yakin kalau Ical bukan orang jahat dan dia mulai percaya pada Ical. “Bosen banget. Nggak bisa tidur lagi. Gimana, nih?” Puri merengut dan melihat jam yang masih menunjukkan jam sebelas malam. Dia tidur sejak jam tujuh sore, siapa sangka malam ini malah terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Puri pun membuka hp dan mulai iseng membuka social media. Satu jam berlalu, tidak juga rasa kantung menyerang. Iseng dia melihat pesan. Karena tidak fokus, Puri tidak sengaja memencet nomor Ical dan menelponnya. “Ini, nih, kalau tidur sore. Jadi nggak bisa tidur lagi kan?” gerutu Puri kesal sambil memandang langit-langit kamarnya yang bergambar awan. “Iya, halo.” Tiba-tiba dia mendengar sebuah suara laki-laki di kamarnya. Puri terkejut dan ketakutan. Dia hanya tinggal sendirian di kamar dan tidak ada laki-laki lain di rumah itu selain Reno. Sedangkan Reno sedang ada di luar bersama teman-temannya yang akan melakukan bisnis. “Siapa itu? Kok, tiba-tiba ada suara laki-laki.” Puri bergidig ngeri. Dia pun menutup telinganya, tak berani membuka mata. Bukannya hilang, suara itu terdengar semakin keras. “Halo. Halo. Puri ... ada apa?” Puri pun semakin ketakutan. Tentu saja dia pikir ada mahluk tak kasat mata. Apakah dia mau mengganggu Puri? “Jangan ganggu aku. Aku nggak ganggu kamu, pergi kamu,” ucap Puri dalam ketakutan itu. Dia sama sekali tidak tertarik untuk diperlihatkan wujud mereka yang menakutkan. Suasana malam itu pun semakin mencekam, dengan suara denting jam yang menyerupai langkah kaki dan suara angin yang berhembus menerpa dedauan di luar kamar. Rasa takut menguasai diri Puri. Wanita itu hanya bisa menutup mata dengan kuat agar tidak melihat apapun. Sayangnya, suara itu kembali terdengar. “Puri. Kamu kenapa? Ini saya Om Ical. Kamu ada masalah makanya kamu telpon Om malam-malam begini?” Dalam ketakutan itu, Puri merasa ada yang aneh. “Om Ical? Telpon? Jangan-jangan,” seloroh Puri kaget. Dia pun melihat ke tangannya dan benar saja, ada telpon yang masih dia genggam. Terlihat panggilan keluar yang sedang menyala. “Aduh. Kenapa aku bisa nelpon dia, sih? Ceroboh,” lirih Puri menyesali kebodohannya. Puri pun segera menutup sambungan telponnya tanpa menjawab terlebih dulu. “Mending aku matiin aja, deh.” Puri menjauhkah ponsel itu dan dia menutup mukanya yang sudah merah padam. “Malu banget aku. Pasti dia lagi ngetawain aku, deh. Bodoh banget, sih, aku. Kenapa sampai nggak sengaja telpon dia dan mikir ada setan di kamar ini. Setan dari mana coba?” Puri benar-benar tidak menyangka dia akan seceroboh itu. bukannya bertambah lega, dia semakin dibuat kebingungan. Tak lama kemudian, ponselnya berdering dan terlihat itu dari Ical. “Om Ical telpon? Ngapain, sih, dia telpon segala? Pasti mau ngetawain aku, deh. Mending aku biarin aja, deh. Daripada diledekin sama dia.” Puri pun membiarkan sambungan itu terus berdering sampai mati sendiri. Ternyata, tak hanya satu kali, Ical kembali menelponnya dan itu berlangsung sampai sepuluh kali dan Puri pun tidak mengangkat telponnya. Di panggilan yang ke sebelas, Puri merasa bingung. Haruskan dia mengangkat telponnya agar dia tahu kenapa Ical terus-terusan menelponnya di tengah malam seperti ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD