Puri terdiam mendapati Ical dengan lembut membersihkan sisa makanan di bibirnya. Namun, Puri tidak mau berpikir macam-macam, Puri langsung mengambil tisu yang sedang dipegang oleh Ical.
“Apaan, sih. Aku bisa ngelap sendiri kali,” dengus Puri kesal.
Ical hanya mengangguk saat melihat Puri mengambil tisu yang dia pegang lalu wanita kecil itu mengelap bibirnya yang belepotan sambal kacang dengan tisu tersebut.
Makanan Ical pun datang. Melihat Puri yang begitu lahap, Ical mencoba makan juga dan ternyata enak. Dia ikut makan makanan tersebut dengan lahap.
Puri keheranan melihat Ical yang tak kalah lahap saat makan lontong sate itu. Dia pikir orang kaya seperti Ical tidak akan suka makan makanan orang kecil seperti lontong sate.
“Ngomongin orang kayak anak kecil ... sendirinya juga kayak gitu. Makanya jangan sok ngomongin orang. Lihat, tuh, muka. Belepotan juga. Nih, elap,” ejek Puri lalu memberikan tisu untuk mengelap bibirnya yang juga belepotan sambal kacang bercampur sambal cabe.
Ical begitu tersanjung dengan perhatian Puri. Bagi Puri memang biasa, tapi bagi Ical itu membuat dirinya semakin tidak menentu.
Dengan gemetar dan tanpa berkedip, Ical menerima tisu itu. Dia tak menyangka Puri akan perhatian padanya, membuat jantungnya berdetak sangat kencang.
Puri kembali melanjutkan makan, tapi Ical hanya menatap Puri dan tisu yang ada di tangannya. Sekejap dia membeku dan tidak tahu harus berbuat apa.
‘Ya Tuhan. Aku sebenarnya kenapa? Kok, aku bisa kayak gini?’ tanya Ical pada dirinya sendiri dalam hati. Dia semakin bingung dengan yang dia rasakan.
Hari itu pun berlalu begitu saja. Ical mengantarkan Puri pulang setelah selesai makan.
***
Di kantor, Ical tidak bisa konsen dalam bekerja. Setiap kali ditanya oleh pegawainya, dia tidak nyambung. Membuat pegawainya kebingungan dalam bekerja.
“Pak Harry. Pak Haikal kenapa, sih? Dia kalau ditanya nggak nyambung. Yang ditanya apa, dia jawab apa. Gimana saya bisa kerja kalau kayak gini, Pak?” keluh salah seorang ketua proyek yang harus mengambil keputusan untuk proyek yang sedang berjalan.
Harry sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi dia segera menyelesaikan masalah ketua proyek tersebut.
“Coba saya lihat masalahnya di mana?” Harry mengambil berkas yang sedang dipegang oleh orang itu.
Harry yang sudah paham dengan seluk beluk perusahaan dan sifat Haikal atau Ical tahu persis apa yang harus dikerjakan. “Ini lakukan saja seperti hasil rapat satu minggu yang lalu karena memang ada masalah untuk rencana sebelumnya. Untuk perencanaan dua minggu sebelumnya sudah terbukti kurang efektif, jadi kita lakukan sesuai rencana terbaru,” putus Harry.
“Iya, Pak. Siap. Kalau begitu saya permisi dulu.” Orang itu pun pergi dan Harry berjalan menuju ruangan Ical.
Begitu sampai di ruangan atasannya, Harry melihat Ical sedang tersenyum sambil melihat ponsel. Dia mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi pada Ical sehingga kinerja Ical menurun.
“Permisi, Pak. Ada berkas yang harus ditanda tangani. Tolong tanda tangan di sini,” ucap Harry menyodorkan sebuah kertas kosong tanpa tulisan apapun.
Ical yang sedang kasmaran pun tidak menyadari kalau yang akan dia tanda tangani hanya secarik kertas kosong. Yang penting dia kerjakan saja apa yang diperintahkan oleh Harry, karena Harry adalah assisten pribadi kepercayaannya.
Ical langsung mengambil pena dan segera menandatanganinya. Namun, sebelum selesai menandatangani, Harry menarik kertas tersebut.
“Pak. Apa yang Bapak lakukan? Sadar, Pak. Ini hanya kertas kosong. Kenapa Bapak mau tanda tangan di sini?” protes Harry.
Ical pun terhenyak dan langsung melempar pena itu. Dia merasa sangat bodoh dan menyesal.
“Bapak sebenarnya kenapa? Banyak pegawai kita yang lapor ke saya kalau Bapak nggak nyambung akhir-akhir ini. Kalau Bapak kaya gini terus, Bapak bisa merugikan perusahaan, Pak.” Harry mengingatkan Ical yang sudah salah.
“Aku juga nggak tahu kenapa aku bisa kayak gini, Harry. Aku terus mikirin seseorang yang bayangannya selalu ada di otak,” jujur Ical menjawab.
Sekarang pun senyum Puri terbayang-bayang di mata. Baru kemarin mereka bertemu, rasanya sudah sangat lama dan Ical ingin bertemu lagi. Rindu sekali.
“Mikirin seseorang? Apa dia perempuan?” telisik Harry.
Ical mengangguk. Dengan Harry, Ical memang tidak ada rahasia. Jika Harry bertanya, dia akan menjawab dengan jujur karena Harry pun bisa menjaga rahasianya.
“Pak Ical lagi jatuh cinta?” terka Harry lagi.
“Jatuh cinta?” ulang Ical bingung.
“Iya, jatuh cinta. Emangnya Pak Ical nggak pernah jatuh cinta?” tanya Harry heran.
Ical berpikir sejenak dan mencoba mengingat. “Nggak pernah. Aku terlalu sibuk mikirin perusahaan. Mana ada waktu buat mikirin perempuan,” jawab Ical.
Sejak kecil dia memang selalu serius dengan pendidikan dan perusahaan. Bahkan, teman perempuan pun dia tidak punya. Ini pertama kalinya dia dekat dengan perempuan.
“Emangnya dia siapa, Pak?” telisik Harry lagi.
Harry tidak tahu kejadian di hotel waktu itu. Ical terlalu sibuk mengurus proyek baru sampai dia tidak sempat tanya dan menceritakan pada Harry tentang kejadian sebenarnya di hotel tempo hari.
“Bukannya kamu yang ngatur semuanya? Kamu pasti kenal siapa perempuan itu.”
Harry tidak tahu maksud ucapan Ical. “Maksudnya apa, Pak? Perempuan siapa? Saya nggak pernah ngenalin perempuan ke Pak Ical,” balas Harry semakin bingung.
“Kemarin waktu di hotel, bukannya kamu panggil Pak Reno dan istrinya buat bicarain bisnis. Terus kamu malah bawa anaknya buat nemenin aku di kamar,” cerita Ical.
“Hah? Pak Reno siapa? Saya nggak kenal sama Pak Reno atau istrinya. Apalagi anaknya.”
“Kemarin itu kepalaku pusing banget, kayaknya ada yang kasih aku obat. Terus ada yang nganterin aku ke kamar. Pas aku ke kamar, ada perempuan itu dan kamu pasti tahu apa yang terjadi. Setelah itu, orang tuanya datang dan bilang kalau dia teman kamu. Mereka minta aku tanggung jawab,” ungkap Ical.
Harry sama sekali tidak kenal dengan Reno, dia pun bingung saat Ical menceritakan semua itu. “Saya nggak kenal sama sekali dengan Pak Reno yang Bapak maksud. Kemarin saya langsung pulang karena ada urusan, tapi saya nggak sempat kasih tahu Pak Ical, makanya saya nggak tahu apa yang terjadi kemarin di hotel.”
Mereka menjadi kebingungan. Berarti ada yang tidak beres. “Kayaknya ada yang nggak beres. Saya akan cari tahu tentang mereka, Pak.”
***
Puri bosan karena tidak ada yang bisa dia lakukan. Hari masih sore, dia ingin keluar untuk cari angin. Puri pun keluar kamar dan duduk di ruang televisi bersama Reno yang juga sedang menikmati acara berita kriminal.
Melihat anaknya manyun, Reno langsung bertanya. “Kamu kenapa manyun gitu?”
“Bosen. Pengin cari angin,” jawab Puri manja.
“Ya, udah. Papa telpon Ical aja, ya? Biar dia ajakin kamu cari angin,” usul Reno langsung mengambil ponsel.
“Eh, jangan. Ngapain, sih, telpon om itu mulu. Aku nggak mau sama dia, Pa. Nyebelin banget orangnya. Aneh lagi. Pokoknya aku nggak mau lagi sama dia,” tolak Puri dengan tegas.
Dengan kejadian kemarin yang sangat aneh, membuat Puri tidak nyaman. Dia tidak mau lagi jalan dengan Ical.
“Terus kamu mau sama siapa? Nggak ada yang mau sama kamu, Puri. Kamu nggak lupa kan sama kejadian kemarin. Cuma dia yang bisa jadi suami kamu. Memangnya ada laki-laki lain yang mau sama perempuan bekas om-om kayak kamu? Nggak ada,” hina Reno dengan tenang tapi menusuk.
Sakit sekali mendengar perkataan Reno. Bukannya menenangkan, Reno justru membuat dia rendah diri. Dengan sekuat tenaga dia mencoba bangkit dari keterpurukan karena kejadian kemarin, ayahnya sendiri yang meruntuhkan semua itu.
“Nggak usah banyak alasan. Kalau kamu mau pergi, pergi sama Ical. Kalau mau apapun, bilang juga sama dia. Biar dia beliin semua yang kamu mau. Beliin semua kebutuhan kita juga. Biar kartu ATM ini Papa simpan buat tabungan kita di masa depan,” tegas Reno sekali lagi.
Tanpa menunggu persetujuan Puri, Reno pun langsung menyuruh Ical untuk datang. Tentu saja Ical segera datang karena dia pun sudah rindu dengan Puri.
Reno menyuruh Puri berdandan dan menunggu di luar. Dengan malas, Puri pun berdandan sederhana, lalu menunggu di luar rumah. Tidak mau rencananya gagal, Reno mengunci pintu agar Puri tidak bisa masuk rumah.
Puri terisak sambil berjongkok di depan pintu. Ibunya sedang keluar untuk belanja bulanan dan sampai sekarang belum pulang.
“Kalau tahu Papa akan maksa aku buat pergi sama om itu, mending aku ikut Mama aja,” isak Puri sedih.
Tanpa Puri sadari, Ical sudah sampai. Dia melihat Puri sedang menangis, dia pun memberikan sebuah tisu.
Melihat yang memberikan tisu adalah Ical, Puri langsung bangun dan menatap Ical dengan sorot yang tajam.